• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi

Terapi antimalaria harus segera diberikan apabila dijumpai hasil positif pada pemeriksaan hapusan darah (Krause, 2011). Terapi antimalaria berdasarkan klinis hanya dapat dilakukan apabila alat diagnostik tidak tersedia. Selain itu,

terapi perlu diberikan terapi, antimalaria yang lengkap tetap dibutuhkan sekalipun diagnosis tidak dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium apabila memang pasien dicurigai kuat menderita malaria. Terapi antimalaria lengkap juga dibutuhkan meskipun pasien dipertimbangkan mempunyai imunitas sebagian (WHO, 2010).

Malaria tanpa komplikasi dapat diberikan obat antimalaria dengan rawat jalan (Rampengan, 2008). Saat ini antimalaria yang digunakan sesuai dengan program nasional adalah derivat artemisinin golongan aminokuinolin, yaitu (Dinas Kesehatan RI, 2010):

a. Kombinasi tetap (Fixed Dose Combination = FDC) yang terdiri atas Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). 1 tablet FDC mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat ini diberikan per–oral selama tiga hari dengan range dosis tunggal harian sebagai berikut: Dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB; Piperakuin dosis 16-32 mg/kgBB. b. Artesunat – Amodiakuin (AAQ)

Kemasan yang ada pada program pengendalian malaria dengan 3 blister, setiap blister terdiri dari 4 tablet artesunat 50 mg dan 4 tablet amodiakuin 150 mg. Dosis amodiakuin basa yaitu 10 mg/kgBB dan dosis artesunat yaitu 4mg/kgBB.

Artemisin tidak dianjurkan diberikan sebagai monoterapi karena dapat memicu terjadinya resistensi (WHO, 2010). Sejak akhir tahun 2007 Depkes RI telah memutuskan untuk menggunakan DHP di Papua sebagai pengganti AAQ (Hasugian et al., 2007). Kombinasi ini dapat dijadikan pengobatan alternatif, khususnya di daerah dengan tingkat kegagalan terapi AAQ yang sudah tinggi (Harijanto, 2008).

Di daerah dengan transmisi rendah, primakuin dapat mencegah kekambuhan sehingga direkomendasikan pada pasien tanpa defisiensi G6PD (Glucose-6-phospate dehydrogenase) (WHO, 2010). Penggunaan primakuin sebagai gametositosid berguna untuk mengurangi transmisi malaria falsiparum, dan secara khusus membantu mengurangi penyebaran malaria falsiparum yang resisten terhadap artemisin di Asia Tenggara. WHO merekomendasikan

pemberian primakuin 0,75 mg basa/kgBB (dosis dewasa 45 mg) untuk regimen terapi malaria falsiparum di daerah dengan endemisitas rendah, terutama pada daerah dengan ancaman terjadinya resistensi terhadap artemisin. Primakuin juga digunakan sebagai penanganan radikal malaria vivaks (WHO, 2012). Pada area dengan transmisi musiman dimana relaps terjadi 6-12 bulan setelah serangan primer, terapi dengan primakuin dapat memperlambat terjadinya relaps. Ini merupakan keuntungan dalam program untuk memutuskan transmisi malaria (Dinas Kesehatan RI, 2010). Sayangnya sering didapati ketidakjelasan mengenai prevalensi dan keparahan dari defisiensi G6PD, dan pemeriksaan biasanya tidak tersedia di daerah tersebut. Pada praktiknya, kemungkinan untuk mengalami AHA (Acute Hemolytic Anemia) membatasi penggunaan primakuin (WHO, 2012).

2.2.1. Pengobatan Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks

Regimen pengobatan malaria falsiparum dan vivaks yang direkomendasikan Depkes RI sebagai lini pertama saat ini adalah yang menggunakan ACT ditambah primakuin. Dosis ACT sama untuk malaria falsiparum dan vivaks, sedangkan primakuin hanya diberikan pada hari pertama untuk malaria falsiparum (0,75 mg/kgBB) dan 14 hari untuk malaria vivaks (0,25 mg/kgBB).

a. Lini pertama

Tabel 2.2 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan DHP dan Primakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010) ACT + Primakuin

Tabel 2.3 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan DHP dan Primakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Dosis antimalaria dihydroartemisinin dan piperakuin sebaiknya disesuaikan dengan berat badan pasien. Apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan, maka dosis obat dapat disesuaikan dengan umur pasien (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Tabel 2.4 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Tabel 2.5 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin

b. Lini kedua untuk malaria falsiparum

Lini kedua yang dipakai adalah kina ditambah doksisiklin atau tetrasiklin dan dikombinasikan dengan primakuin. Pengobatan ini diberikan apabila pengobatan lini pertama tidak efektif, dimana ditemukan gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau terjadi rekrudesensi (Dinas Kesehatan RI, 2010). Lini kedua diberikan bila kegagalan terapi terjadi dalam 14 hari sejak pemberian ACT atau ACT tidak tersedia (WHO, 2010). Selain harganya yang murah, efikasi kombinasi kina-doksisiklin telah dibuktikan pada beberapa penelitian (Lubis & Pasaribu, 2008). Namun, berdasarkan data ekstensif yang ada, kina seharusnya tidak digunakan sebagai terapi malaria tanpa komplikasi ketika ACT tersedia. ACT mempunyai keuntungan dalam perhitungan dosis yang lebih mudah, yang akan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan apabila dibandingkan dengan kina yang diberikan selama 7 hari, toleransi obat yang lebih baik serta berkurangnya toksisitas yang serius (Achan et al., 2009). Penelitian di Brazil menunjukkan bahwa penggunaan ACT menunjukkan laju clearance parasit yang lebih cepat secara signifikan bila dibandingkan dengan kombinasi kina dan doksisiklin (Alecrim et al., 2006). Doksisiklin dan tetrasiklin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil dan anak di bawah usia 8 tahun. Selain dapat menimbulkan perubahan warna gigi yang menetap, dampak yang timbul dapat berupa deformitas atau gangguan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak (Deck & Winston, 2012). Oleh karena itu, klindamisin dapat dijadikan sebagai pengganti doksisiklin dan tetrasiklin pada anak di bawah 8 tahun dan wanita hamil (WHO, 2010).

c. Lini kedua untuk malaria vivaks

Lini kedua yang dipakai adalah kombinasi kina dan primakuin. Kombinasi ini digunakan apabila pengobatan malaria vivaks tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan ACT (Dinas Kesehatan RI, 2010).

d. Pengobatan malaria vivaks yang relaps

Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis 0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit

kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pada kasus ini pasien diberi dosis primakuin yang ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari (Dinas Kesehatan RI, 2010).

2.2.2. Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaks

Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Tabel 2.6 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan DHP

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Tabel 2.7 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan Artesunat + Amodiakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Dokumen terkait