• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,9 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.10 Hal ini sesuai dengan Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.11 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.12

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.13

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum

9

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

10

Ibid, hal. 16.

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6.

12

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal. 203.

13

kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a comand of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilantidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.14

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa “Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan diatas mana dibangun tertib hukum.15 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.16

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

14

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 55.

15

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung 1983, hal 15.

16

Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bias dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.

Salah satu teori yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian antara PERTAMINA dan agen minyak tanah adalah teori hasrat yaitu teori yang merupakan prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan hasrat tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa yang akan dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan. Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak para pihak.17

Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang

mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.18

Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, yaitu :19

1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

17

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dan Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti,, Bandung, 2001, hal. 5

18

Lely Niwan, Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hal. 26

19

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Mataram, 2002 hal. 26.

2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.

Dalam membuat perjanjian antara pihak-pihak pasti akan menimbulkan hubungan hukum yang kemudian disertai akibat hukum, dan akibat hukum tersebut akan memikul hak dan kewajiban serta tanggung jawab diantara keduanya. Pengertian dari tanggung jawab adalah keadaan wajib menangung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersamakan, diperkarakan).20

Menurut teori Holmes tentang Tanggung Jawab Hukum (Legal Liability) yang berkenaan dengan kontrak/perjanjian. Teori-teori Holmes pada prinsipnya mendasari pada dua prinsip sebagai berikut :

a. Tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan hal-hal eksternal kedalam aturan hukum, dan

b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban.21

20 Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hal 1006.

21

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.22 Oleh sebab itu, pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam menganalisis kontrak kerjasama antara PT. PERTAMINA dengan Para Agen Minyak Tanah. Dengan teori sistem hukum tersebut maka analisa masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni dalam ketentuan peraturan peraturan-perundangan tentang kontrak tersebut.

Istilah kontrak dalam terminologi sehari-hari nampaknya sangat populer, istilah-istilah seperti kontrak sewa menyewa, kontrak jual beli, kontrak kerja, hampir tidak perlu klarifikasi bagi kaum awan dan seringkali bertolak dari pandangan bahwa yang dimaksud dengan kontrak sebuah dokumen tertulis.23 Kontrak adalah kata bahasa Belanda yang berasal dari kata Latin "Contractus", dari bahasa Latin dijabarkan menjadi "Contract" (Perancis), "Contract" (Inggris) dan “Kontrakt" (Jerman).24

Kontrak yang dalam bahasa lnggris dikenal dengan "contract", sebagaimana dikutip J Satrio :

Agreement between two or more persons which treaties an obligation to do or not to do a particular thing. Its essentials are competent parties, subject matters, a legal consideration, mutuality of agreement, and mutuality of obligation .... the writing which contains the agreement of parties, with the

22

Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional, Mandar Madju, Bandung , Cetakan 1, 2003, Hal. 65

23Ibid, Hal. 65

24

terms and conditions, and which serves as a proof the obligations.25

Pengertian tersebut di atas menjelaskan bahwa kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) di antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan (hak) dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Suatu kontrak dari definisi di atas "memiliki unsur-unsur, yaitu "pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik."26

Menurut Munir Fuady, "banyak definisi tentang kontrak telah diberikan, dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut yang dianggap sangat penting dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut."27 Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah

ada, dan bukan merupakan istilah asing. Misalnya dalam hukum perdata di Indonesia sudah lama dikenal istilah "kebebasan berkontrak" bukan kebebasan "berperjanjian", "berperhutangan", atau "berperikatan".28 KUHPerdata menyamakan istilah "kontrak dengan perjanjian, dan bahkan juga dengan persetujuan.” 29

Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.30 Dari ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat

25 Ibid, Hal. 33

26

Ibid, hal. 36

27

Munir Fuady, Op.Cit., hal. 4

28

Ibid, hal. 2

29

J. Satrio, Op.Cit, hal. 19

30

dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu :

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.31

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.32 Menurut R. Subekti perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seseorang

31

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 78.

32

mengikatkan diri kepada orang lain atau lebih dimana orang tersebut saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.33

Berdasarkan rumusan perjanjian di atas dijumpai beberapa unsur dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.

(1) Perikatan (hubungan hukum). (2) Subyek hukum.

(3) Isi (hak dan kewajiban).

(4) Ruang lingkup (lingkup hukum harta kekayaan).

Menurut J. Satrio, bahwa “Pembuat Undang-Undang dalam Pasal 1313 KUH Perdata mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, tetapi ia sama sekali tidak menjelaskan apa itu perikatan”.34 Mariam Darus Badrulzaman, mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.35

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa “Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau

33

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hal. 14.

34

J. Satrio, Op.Cit., hal 1.

35

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 1.

lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.36

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut terlihat masih belum ada kesepakatan dalam penggunaan kata perjanjian dan perikatan, karena walaupun menggunakan kata yang berbeda namun pada umumnya tetap mengacu kepada pengertian mengenai perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun penulis dalam penulisan ini menggunakan istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” sedangkan “Perjanjian” untuk istilah “overeenkomst”.

Pasal 1313 KUH Perdata dan pendapat tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan perikatan. Dengan demikian untuk adanya suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Sesuai dengan uraian tersebut dapatlah dimengerti bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu.37

Pengertian di atas juga menunjukkan bahwa perjanjian terjadi pada saat persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian telah memikirkan tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungam baginya dan kewajiban sebagai beban prestasi yang harus dilaksanakan.

36

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal 6.

37

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.38

Dengan demikian kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat dinikmati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya

38

“kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

Hal ini juga terjadi dalam Perjanjian Penunjukkan Agen Minyak Tanah yang di dalamnya mengatur tentang penyaluran minyak tanah di daerah Provinsi Aceh seperti halnya di di wilayah lain di Indonesia, prosedur penyaluran minyak tanah juga dibuat dalam suatu perjanjian antara agen minyak tanah dengan PERTAMINA yaitu kesepakatan kerjasama penyaluran minyak tanah. Bentuk perjanjian tersebut berlaku sama dengan perjanjian di seluruh wilayah Indonesia yang dikenal dengan “Surat

Perjanjian Penunjukkan Agen Minyak Tanah”. Hal ini dapat dikatakan bahwa

perjanjian yang dibuat tersebut dapat digolongkan dalam perjanjian baku.

Kontrak atau perjanjian mengatur bentuk-bentuk hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh para agen minyak tanah dalam menyalurkan minyak tanah untuk masyarakat. Kontrak kerjasama para agen minyak tanah dengan PERTAMINA merupakan media untuk menuangkan maksud pihak-pihak dalam berbagai hubungan hukum yang menyangkut berbagai aspek penjualan serta mekanisme penyaluran minyak tanah untuk masyarakat.

Salim HS mengatakan bahwa “istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu “standard contract”. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah

ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah”.39

Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah :

Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak bakuan adalah netral.40

Hondius sebagaimana dikutip Salim mengatakan mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”.41

Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan

39

Salim. H.S., Op.Cit , hal. 145.

40

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.76.

41

bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan. Mariam Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku, yaitu :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.42

Sutan Remi Sjahdeni mengemukakan bahwa :

Perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”.43

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak yang ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi

42 Ibid., hal. 147.

43

Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993, hal. 66.

apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur dalam suatu kontrak baku, yaitu (1) diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; (2) dalam bentuk sebuah formulir; dan (3) adanya klausul-klausul eksonerasi/ pengecualian.

Perbuatan hukum yang mengikat antara pihak agen minyak tanah dengan PERTAMINA dalam perjanjian penunjukkan agen minyak tanah ini diawali dengan adanya perjanjian yang dasar hukumnya terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Dalam membuat perjanjian terhadap suatu asas yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditetapkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi empat syarat yaitu (1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya; (2) Kecakapan untuk memuat suatu perikatan; (3) Suatu hak tertentu; dan (4) Suatu sebab yang halal.

Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus diaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Dalam pelaksanaan perjanjian penunjukkan agen minyak tanah selain berpedoman pada ketentuan KUH Perdata, juga diatur dengan ketentuan berpedoman pada ketentuan undang-undang, seperti Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 33) dan

Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Hal ini tergambar dari salah satu tujuan dari penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 3 huruf

Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, adalah untuk menjamin

efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan,

penyimpanan, dan niaga secara akuntabel, yang diselenggarakan melalui mekanisme

persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Untuk mewujudkan tujuan

penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tersebut, pemerintah melimpahkan

kewenangannya kepada PT.PERTAMINA (Persero) untuk melaksanakan kegiatan yang

mencakup pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi, berikut pendistribusiannya

ke seluruh pelosok tanah air.

Selanjutnya kewenangan kewenangannya kepada PERTAMINA tersebut, akibat luasnya wilayah yang harus dijangkau dalam pendistribusian BBM mengharuskan PERTAMINA melakukan kerja sama dengan pihak ketiga sebagai mitra kerja yang akan

Dokumen terkait