• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Agen dan Perjanjian Keagenan

BAB II. TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM

D. Pengertian Agen dan Perjanjian Keagenan

Menilik sejarah lahirnya lembaga keagenan di Indonesia dapat dilihat dari pelaksanaan Undang-undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam

104

Negeri, kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan, yang menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai penyalur atau agen dengan membuat surat perjanjian. Pada Pasal 7 PP Nomor 36 Tahun 1977 tersebut, dimuat ketentuan bahwa perusahaan asing dapat menunjuk perusahaan nasional sebagai perwakilan, pembagi, dan penyalur (agen, distributor, dan dealer).

Sejak dikeluarkannya PP Nomor 36 Tahun 1977 tersebut, beberapa departemen teknis mengeluarkan surat keputusan yang mengatur mengenai masalah keagenan, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak mengatur hubungan perdata antara prinsipal dengan agen. Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara khusus tentang keagenan, namun berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian apa saja, termasuk perjanjian keagenan asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dasar hukum keagenan didapati dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:105

1. Dalam KUH Perdata, yang di dalamnya terkandung asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata).

105

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 246.

2. Dalam KUH Perdata tentang Sifat Pemberian Kuasa (yang diatur pada Pasal 1792 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1799 KUH Perdata).

3. Dalam KUH Dagang yang mengatur mengenai Makelar (Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD).

4. Dalam KUH Dagang yang mengatur mengenai Komisioner (Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 a).

5. Dalam bidang-bidang khusus, seperti dalam perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengatur tentang dealer atau pialang saham.

6. Dalam peraturan administratif, semisal peraturan dari departemen perdagangan dan perindustrian, yang mengatur masalah administrasi dan pengawasan terhadap masalah keagenan ini.

Sekilas analisa mengenai dasar hukum yang digunakan dalam keagenan seperti tersebut diatas, perihal sifat pemberian kuasa, lazimnya pemberian kuasa dalam keagenan berupa pemberian kuasa secara khusus, yaitu pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agen hanya diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu saja, misalnya dalam hal melakukan transaksi. Selanjutnya, perihal penggunaan dasar hukum dalam KUH Dagang mengenai Komisioner, apabila dikaitkan dengan karakteristik keagenan, sebenarnya keagenan cenderung lebih sesuai dengan pengaturan mengenai Makelar dalam KUH Dagang, karena antara makelar dengan agen memiliki kesamaan karakter yaitu bertindak untuk dan atas nama pihak yang memberikan kuasa, sedangkan komisioner bertindak untuk pihak yang memberikan kuasa, namun atas nama dirinya sendiri.

Pada kegiatan perdagangan, yang dimaksud dengan agen adalah seseorang atau badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya melakukan transaksi atau membuat

perjanjian antara seseorang dengan siapa ia mempunyai hubungan yang tetap (prinsipal) dengan pihak ketiga, dengan mendapatkan imbalan jasa.106

Agen bukanlah karyawan prinsipal, ia hanya melakukan perbuatan tertentu/mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga, dan pada pokoknya agen merupakan kuasa prinsipal. Secara lebih lanjut, keagenan diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama (pihak) prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan agen, sepanjang dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.107 Dengan perkataan lain, apabila seorang agen dalam bertindak melampaui batas kewenangannya, maka ia yang bertanggung jawab secara sendiri atas tindakan tersebut.

Disebutkan pula dalam Black’s Law Dictionary, “ agency is a fiduciary relationship created by express or implied contract or by law in which one party (the agent) may act on behalf of another party (the principal) and bind that other party by words or actions ”.108 Hubungan antara prinsipal dengan agen adalah fiduciary relationship, dimana prinsipal mengijinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan agen berada di bawah pengawasan prinsipal.109 Hal ini tentunya berbeda dengan pemberian kuasa, yang dalam pelaksanaannya penerima kuasa melaksanakan suatu

106

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit., hal. 7.

107

Y.Sogar Simamora, “Pemahaman Terhadap Beberapa Aspek Dalam Perjanjian”,

Yuridika, No.2, Maret-April 1996, hal.74.

108

Henry Campbell Black, “Black’s Law Dictionary”, St.Paull Minn, 1999, hal.1322.

109

Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Preneda Media, Jakarta, 2004, hal.41.

perbuatan yang dikuasakan kepadanya guna mewakili pemberi kuasa. Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa dalam keagenan terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu:110

1. Prinsipal, yaitu perorangan atau perusahaan yang memberi perintah/kuasa, mengangkat atau menunjuk pihak tertentu (agen) untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Pengangkatan atau penunjukan agen tersebut dapat dilakukan oleh prinsipal pada umumnya secara tertulis, sekalipun secara lisan tidak ada larangan, tetapi pada saat ini hubungan agen dengan prinsipalnya biasanya diikat oleh suatu persetujuan dalam bentuk kontraktuil .

2. Agen, yaitu pihak yang menerima perintah/kuasa untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum yang harus dilakukan tersebut biasanya tercantum dalam perjanjian termaksud.

Pihak prinsipal dan pihak agen membuat perjanjian yang memuat perbuatan apa saja yang harus dilakukan seorang agen untuk prinsipalnya, hak yang diterima agen, serta kewajiban yang harus dipenuhi sekaligus hak yang dimiliki oleh prinsipal. Seluruhnya diatur di dalam perjanjian keagenan yang dibuat antara pihak agen dengan pihak prinsipal.

3. Pihak ketiga, yaitu pihak yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan.

Agen membuat perjanjian dengan pihak ketiga mengenai transaksi yang dikuasakan kepadanya (agen) tersebut. Perjanjian dengan pihak ketiga tersebut dibuat oleh agen atas nama prinsipal, serta atas tanggung jawab prinsipal.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa agen dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal. Agen bukanlah karyawan prinsipal. Hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya tidak bersifat seperti antara majikan dengan buruhnya. Agen dan prinsipal ada pada posisi yang setingkat, selaku pemberi kuasa dengan penerima kuasa.

110

Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya111, dengan demikian, barang yang menjadi objek transaksi tetap menjadi milik prinsipal sampai proses penjualan terselesaikan, yang berarti tidak ada perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada agen, yang ada hanyalah perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada pembeli ketika terjadi proses jual beli.

Keagenan menurut jenisnya dibedakan sebagai berikut:112

1. Agen Manufaktur (Manufacturer’s Agent), yaitu agen yang berhubungan langsung dengan pabrik untuk melakukan pemasaran atas seluruh/sebagian barang-barang hasil produksi pabrik tersebut.

2. Agen Penjualan (Selling Agent), yaitu agen yang merupakan wakil dari pihak penjual yang bertugas untuk menjual barang-barang milik pihak prinsipal kepada pihak konsumen.

3. Agen Pembelian (Buying Agent),yaitu agen yang merupakan wakil dari pihak pembeli yang bertugas untuk membeli barang-barang untuk pihak prinsipal. 4. Agen Umum (General Agent), yaitu agen yang diberikan wewenang secara umum

untuk melakukan seluruh transaksi atas barang-barang yang telah ditentukan. 5. Agen Khusus (Special Agent), yaitu agen yang diberikan wewenang khusus kasus

per kasus/melakukan sebagian saja dari transaksi tersebut.

111

Ibid, hal. 8

112

6. Agen Tunggal/Eksklusif (Sole Agent/Exclusive Agent), yaitu penunjukan hanya satu agen untuk mewakili prinsipal untuk suatu wilayah tertentu.

Keagenan dalam prakteknya terdapat 2 ( dua ) macam, yaitu:113

1. Agen Insidental, yaitu agen yang semata-mata bertugas atau mempunyai bisnis tidak semata-mata di bidang keagenan.

2. Agen Institusional, yaitu seorang atau sebuah perusahaan yang memang bertugas semata-mata untuk menjadi agen dari pihak lain.

Tiap-tiap jenis perjanjian memiliki karakteristik atau kriteria yang berbeda satu sama lain, begitu pula dengan perjanjian keagenan. Beberapa karakteristik dari agen, antara lain:114

1. Bertindak untuk siapa

Seorang agen akan menjual barang atau jasa atas nama pihak prinsipalnya. Dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga, agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Prinsipal yang akan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan agen sepanjang tindakan tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh prinsipal kepada agen.

2. Pendapatan yang diterima

Dalam hal keagenan, pendapatan yang diterima oleh seorang agen adalah berupa komisi dari hasil penjualan berupa barang/jasa kepada konsumen.

3. Tujuan pengiriman barang

Barang dikirim langsung dari prinsipal ke konsumen. Barang-barang tetap menjadi milik prinsipal.

4. Pembayaran harga barang

Pembayaran harga barang langsung dari konsumen kepada pihak prinsipal tanpa melalui agen. 113 Ibid, hal.154 114 Ibid, hal.153.

Selanjutnya apabila dilihat dari ketentuan hukum perdata Menurut Mariam Darus dikenal ada dua perjanjian bernama :

1. Perjanjian Bernama Di Dalam KUH Pedata a. Jual-beli

b. Tukar-menukar c. Sewa-menyewa

d. Persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan e. Persekutuan

f. Hibah

g. Penitipan barang h. Pinjam-pakai i. Pinjam-meminjam

j. Bunga tetap atau bunga abadi

k. Persetujuan-persetujuan untung-untungan l. Pemberian kuasa m. Penanggungan n. Perdamaian o. Asuransi p. Pengangkutan q. Makelar r. Komisioner

s. Jual beli saham dipasar modal.

2. Perjanjian Bernama Di Luar KUH Pedata a. Perjanjian keagenan dan distribusi b. Perjanjian pembiayaan.115

Dasar hukum suatu keagenan didapati dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Dalam KUH Perdata tentang Kebebasan Berkontrak. 2. Dalam KUH Perdata tentang Kontrak Pemberian Kuasa. 3. Dalam KUH Dagang tentang Makelar.

4. Dalam KUH Dagang tentang Komisioner

5. Dalam bidang-bidang hukum khusus, seperti dalam perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengatur tentang dealer atau pialang saham.

115

6. Dalam peraturan administratif, semisal peraturan dari departemen perdagangan dan perindustrian, yang mengatur masalah administrasi dan pengawasan terhadap masalah keagenan ini.116

Selanjutnya mengenai wilayah agen dan saluran distribusi erat kaitannya dengan masalah apakah penunjukkan seorang agen itu harus dalam bentuk agen tunggal atau tidak. Untuk beberapa sektor tertentu diantaranya alat-alat besar, kendaraan bermotor dan pupuk secara tegas memang dinyatakan bahwa penunjukan harus dalam bentuk agen tunggal yang disebut dalam perjanjian. Secara logis, karena tidak dinyatakan bahwa penunjukan itu (di luar ketiga sektor yang disebut di atas) tidaklah harus dalam bentuk agen tunggal, seorang prinsipal boleh saja menunjuk lebih dari seorang agen untuk memasarkan hasil-hasil produksinya di Indonesia.

Secara konkret, seorang prinsipal di luar negeri yang ingin memasarkan komputer misalnya dapat menunjuk beberapa agen di Indonesia. Namun adakalanya praktek memang menunjukkan hal yang lain, baik dengan apa yang seharusnya dalam bentuk agen tunggal maupun yang seharusnya tidak diisyaratkan dalam bentuk agen tunggal. Dapat saja terjadi bahwa suatu perjanjian keagenan yang sebenarnya tidak harus dalam bentuk-bentuk agen tunggal, tetapi dalam praktek ternyata harus dalam bentuk agen tunggal.

Dalam rangka kegiatan memperlancar arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen dalam hal ini produk Pertamina berupa minyak tanah dapat dikatakan sebagai suatu produk, maka salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan adalah memilih secara tepat saluran distribusi atau chanel distribution yang akan

116

digunakan dalam rangka penyaluran barang-barang dan jasa-jasa dari produsen ke konsumen.

Sama halnya dengan keagenan, distribusi yang juga tercakup dalam pengertian lembaga perwakilan pada umumnya ini baru mengembangkan sayapnya dalam dunia

perdagangan di Indonesia sejak dikeluarkannya PP No.36 Tahun 1977 tentang

Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman

Modal Dalam Negeri. Kitab undang Hukum Perdata maupun Kitab

Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) juga tidak mengatur secara khusus mengenai distributor, tetapi hanya mengenai mekelar, pedagang perantara dan komisioner.

Dalam Pasal 63 KUHD yang berlaku terhadap makelar dan Pasal 79 ayat (1) KUHD untuk komisioner.

Ketentuan mengenai perantara atau makelar ini dibuat dalam Bagian 2 Pasal 62 s.d. Pasal 73 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Pasal 62 KUHD menentukan bahwa “Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh presiden atau oleh penguasa yang dalam hal ini diangkat oleh presiden dianggap berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan atas amanat dan atas nama orang-orang yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap”.

Lebih lanjut Pasal 63 KUHD dinyatakan bahwa “Perbuatan-perbuatan pedagang perantara yang tidak diangkat dengan cara demikian tidak mempunyai akibat lebih jauh dari pada apa yang ditimbulkan dari perjanjian dengan pemberi amanat. Ketentuan ini menyatakan bahwa dalam praktek dapat saja terjadi perjanjian

yang juga melibatkan perantara yang tidak diangkat oleh presiden tetapi yang tanggung jawabnya hanya berupa amanat dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Sementara yang dimaksud komisioner di sini adalah seseorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan persetujuan atas nama sendiri tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain dengan menerima upah atau provisi tertentu. Namun menurut Pasal 79 KUHD, jika seorang komisioner bertindak untuk dan atas nama prinsipal, maka terhadap hak dan kewajiban dan tanggung jawabnya diberlakukan ketentuan KUH Perdata tentang pemberian kuasa, dimana dalam hal ini memberi kuasalah yang bertanggung jawab kepada pihak ketiga. Dengan demikian ketentuan KUH Perdata dan KUHD tentang makelar dan komisioner tersebut dapat dijadikan landasan yuridis tentang keterlibatan perantara dalam jual beli.

Perjanjian distribusi juga merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak

sebagaimana daitur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian dari distributor adalah perusahaan/pihak yang ditunjuk oleh prinsipal untuk memasarkan dan menjual barang-barang prinsipalnya dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu tertentu,

tetapi bukan sebagai kuasa prinsipal. Distributor tidak bertindak untuk dan atas nama

prinsipalnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama sendiri.117

David A. Revzan dalam bukunya Marketing Organization Trough The Channel yang dikutip oleh Basu Swastha DH, mengatakan bahwa: “Saluran distribusi

117

merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus barang dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai ke pemakai.”118

Definisi di atas bersifat sempit, karena cenderung menggambarkan pemindahan jasa-jasa atau kombinasi antara barang dan jasa. Selain membatasi barang yang disalurkan definisi ini juga membatasi lembaga-lembaga yang ada. Philip Kotler mengatakan bahwa:”Sistem distribusi merupakan sumber extern yang penting. Untuk membentuk sistem itu biasanya dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan sistem tersebut tidak akan mudah diubah. Sistem ini sama pentingnya dengan sumber daya intern penting lainnya seperti pengolahan, penelitian, rekayasa dan karyawan penjualan serta fasilitasnya. Sistem ini mencerminkan suatu ikatan yang penting dari perusahaan dengan sejumlah besar perusahaan mandiri yang bertugas melaksanakan distribusi dan dengan pasar khusus yang mereka layani.

Sistem ini juga mencerminkan suatu ikatan terhadap seperangkat kebijaksanaan dan praktek yang membutuhkan struktur dasar sebagai landasan untuk suatu hubungan yang luas berjangka panjang.”119 Secara formal definisi saluran distribusi menurut M.Manullang adalah: “Suatu jalan yang diikuti dalam mengalihkan pemilikan secara langsung atau tidak langsung atas suatu produk, sementara ia berpindah tempat dari produsen kepada konsumen terakhir atau pemakai industri.”120

118

Basu Swastha , Saluran Pemasaran, BPFE UGM, Yogyakarta, 2000, hal. 3.

119

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan dan Pengendalian, Terjemahan Herujati Purwoko dan Jaka Wasana, Erlangga, Jakarta, 1992. Hal. 172.

120

Dari definisi tersebut dapat diketahui adanya beberapa unsur penting yaitu: 1. Saluran merupakan sekelompok lembaga yang ada diantara berbagai lembaga

yang mengadakan kerja sama untuk mencapai suatu tujuan.

2. Karena anggota kelompok terdiri dari beberapa pedagang dan beberapa agen, maka ada sebagian yang ikut memperoleh nama dan sebagian lagi tidak. Tidak perlu bagi tiap saluran untuk menggunakan sebuah agen, tetapi pada prinsipnnya setiap saluran harus memiliki seorang pedagang, alasanya adalah bahwa hanya pedagang saja yang dianggap tepat sebagai pemilik untuk memindahkan barang. 3. Tujuan dari saluran distribusi adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu. Jadi.

Pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran.

4. Saluran melaksanakan dua kegiatan penting untuk mencapai tujuan, yaitu mengadakan penggolongan produk menunjukkan jumlah dari berbagai keperluan produk yang dapat memberikan kepuasan kepada pasar. Jadi, barang (mungkin juga jasa) merupakan bagian dari penggolongan produk dan masing-masing produk mempunyai suatu tingkat harga tertentu.121

Perjanjian distribusi adalah perjanjian antara distributor dengan prinsipal

atau produsen dalam suatu wilayah teritorial tertentu, mengambil laba

pada penjualan kembali terhadap pihak ketiga, menanggung sendiri semua risiko dari keberadaan produk yang dalam kekuasaannya dan menyalurkan barang kepada pihak

ketiga termasuk dalam hal ini dalam perjanjian pendistribusian minyak tanah bersubsidi

oleh agen minyak tanah yang dilakukan melalui Surat Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah.122

Hal ini juga benarkan oleh Muhammad Jafar dilakukan dalam perjanjian

penunjukan agen minyak tanah, dimana agen yang ditunjuk melalui surat perjanjian penunjukan agen minyak tanah berwenang untuk menjual kembali

minyak tanah kepada masyarakat konsumen sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET)

121

Basu Swastha, Op.Cit, hal. 90-91

122

Hasil Wawancara dengan Suherimanto, General Manager Pemasaran BBM Region I PERTAMINA Aceh, September 2010.

yang ditentukan pemerintah, dan di dalamnya telah memperoleh keuntungan karena harga pembelian dari pihak Pertamina lebih rendah dari Harga Eceran Tertinggi

(HET).123

Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah harga eceran tertinggi minyak tanah di pangkalan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.124 Harga

eceran tertinggi ini digunakan oleh pangkalan minyak tanah sebagai harga dasar pendistribusian bagi masyarakat. Penetapan harga eceran tertinggi ini tidak

sama pada di pangkalan setiap daerah, di mana sangat tergantung pada kondisi dan jarak daerah dan sarana transpotasi ke daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, besarnya harga eceran tertinggi ditetapkan oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota yang sebelumnya didasarkan pada penetapan harga eceran tertinggi dalam provinsi oleh gubernur dan penetapan harga eceran tertinggi skala nasional dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Bahan Bakar Minyak.

Suherimanto membenarkan bahwa harga eceran tertinggi minyak tanah yang dijual di pangkalan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yaitu yang ditetapkan berdasarkan lokasi daerah dan prasarana transportasi ke daerah yang bersangkutan dengan berpedoman pada

123

Hasil Wawancara dengan Muhammad Jafar, Sales Area Manager Pemasaran BBM Region I PERTAMINA Aceh, September 2010.

124

penetapan harga oleh pemerintah seperti yang termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Bahan Bakar Minyak.125

Penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dalam penyaluran kepada masyarakat ini dilakukan di tingkat pangkalan minyak tanah. Pangkalan minyak tanah yang dimaksud adalah usaha perorangan, yang melaksanakan kegiatan penyaluran minyak tanah kepada konsumen rumah tangga dan usaha kecil.126 Dengan demikian

pangkalan minyak tanah merupakan pihak yang menjual langsung minyak tanah kepada

masyarakat. Minyak tanah yang dijual oleh pangkalan minyak tanah tersebut diperoleh

dari agen PERTAMINA sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Proses penyaluran minyak tanah dari agen kepada pangkalan minyak tanah ini juga dilakukan melalui perjanjian lain

yang dibuat antara agen minyak tanah dengan pangkalan minyak tanah. Hal ini

sebagaimana dikemukakan Nuzirwan bahwa pihaknya sebagai agen dalam penyaluran minyak tanah kepada pangkalan juga didasarkan pada perjanjian yang dibuat antara

pihaknya dengan pangkalan minyak tanah yang bersangkutan.127

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa prosedur kerja dari distributor yaitu, distributor membeli sendiri barang-barang dari prinsipalnya, kemudian ia

menjualnya kepada para pembeli dengan menentukan sendiri besar laba yang

akan diperolehnya, dan penjualan dilakukan di dalam wilayah yang diperjanjikan oleh prinsipal dengan distributor tersebut. Yang perlu ditekankan dalam kinerja seorang

125

Hasil Wawancara dengan Suherimanto, General Manager Pemasaran BBM Region I PERTAMINA Aceh, September 2010.

126

Lihat Pasal 1 angka 6 Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah

127

Hasil Wawancara dengan Nuzirwan, Pimpinan Agen Minyak Tanah UD Nuzirwan NRAMT 12.4.326, September 2010.

distributor adalah, segala akibat hukum dari perbuatannya menjadi tanggung jawab distributor itu sendiri.

Digunakannya agen dan distributor Indonesia oleh para pengusaha

atau perusahaan luar negeri untuk memasarkan produk-produknya di Indonesia,

di samping karena perusahaan memerlukan bantuan pengetahuan, dan kemampuan lobbying dari para agen dan distributor, dari sudut bisnis, peningkatan

efisiensi di segala sektor dan bidang adalah faktor yang penting untuk meningkatkan

keuntungan perusahaan.

Sama halnya dengan keagenan, dari sisi efisiensi, penunjukan suatu distributor

dilandaskan pada adanya manfaat yang dapat diperoleh, yaitu :

1. Prinsipal, agar dapat lebih meluangkan waktu untuk berkonsentrasi pada peningkatan hasil produksi atau hal-hal lain; prinsipal kemungkinan tidak perlu lagi menyediakan

atau membangun tempat-tempat untuk memasarkan produk-produknya, yang berarti

akan mengurangi biaya perusahaan.

2. Distributor, agar lebih berkonsentrasi dalam memasarkan barangnya; transfer barang

Dokumen terkait