BAB II LANDASAN HUKUM ATAS PEMBERIAN REHABILITASI
B. Pemberian Rehabilitasi Dalam Rangka Melindungi Hak-Hak Anak
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa, dikarenakan setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law).
Negara bersama-sama dengan segenap masyarakat saling bekerja sama dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai wahana kejahatannya, agar anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin keras di masa-masa yang akan datang. Seorang anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak untuk memperoleh kebebaasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan itu merupakan upaya hukum terakhir (ultimum remidium).99 Anak yang dirampas kemerdekaannya, berhak:
99 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
a. Mendapat perilaku yang manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efekttif dari setiap tahapan hukum.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak.100
d. Seorang anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.101
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan pada dasarnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Adanya kewajiban dan tanggungjawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua terhadap penyelenggaraan perlindungan anak dikemukakan dalam undang-undang ini, yang meliputi kewajiban dan tanggungjawab sebagai berikut:
a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental.
b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.102
Dari rincian mengenai tanggung jawab dan kewajiban tersebut, ialah suatu bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada anak guna melindungi anak dari
100 Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
101 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
102 Pasal 21-Pasal 25 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
hal-hal yang tidak layak bagi hidupnya ataupun yang dapat merampas hak-hak anak dikarenakan anak secara jasmani dan rohani sekaligus sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, oleh karena itu merupakan kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan kepentingan anak.
Pemeliharaan, jaminan, dan pengamanan kepentingan tersebut selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengasuhnya yaitu keluarga, tidak hanya keluarga anak tersebut akan tetapi masyarakat dan pemerintah juga berperan aktif dalam hal ini.
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui perlakuan secara manusiawi sesuai hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tepat untuk kepentingan yang terbaik baik anak, pemantauan dan pecantatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan keluarga serta perlindungan dari pemberitaan media.
H. Tujuan Pemberian Rehabilitasi Terkait Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Bab I Ketentuan Umum Angka 17, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Rehabilitasi sosial adalah proses pengembalian kebiasaan pecandu narkotika dalam kehidupan masyarakat agar pecandu tidak lagi menyentuh narkotika, rehabilitasi
sosial bertujuan mengintregasikan kembali penyalahguna atau pecandu narkotika kedalam masyarakat dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku dan beremosi sebagai komponen kepribadian agar mampu berinteraksi dilingkungan sosialnya.103
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pelaksanaannya dapat dilakukan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, pada angka 2 menyatakan bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:
1. Terdakwa pada saat tertangkap tangan oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
a. Kelompok metamphetamine (shabu) 1 gram b. Kelompok MDMA (ekstasi) 2, 4 gram c. Kelompok Heroin 1,8 gram
d. Kelompok kokain 1,8 gram e. Kelompok Ganja 5 gram f. Daun Koka 5 gram g. Meskalin 5 gram
h. Kelompok Psilosybin 3 gram
i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide 2 gram j. Kelompok PCP (Phencyclidine) 2 gram
k. Kelompok Fentanil 1 gram l. Kelompok Metadon 0,5 gram m. Kelompok Morfin 1,8 gram
103 Bab I Ketentuan Umum Angka 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
n. Kelompok Petidin 0,96 gram o. Kelompok Kodein 77 gram p. Kelompok Bufrenorfin 32 gram
3. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik.
4. Perlu surat keterangan dari dakter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.104
Tempat-tempat rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika antara lain yaitu:
1. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan diawasi oleh Badan Narkotika Nasional
2. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta 3. Rumah Sakit Jiwa (Depkes RI)
4. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
5. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari departemen kesehatan atau departemen sosial (dengan biaya sendiri).105
Rehabilitasi medis merupakan proses penyembuhan seorang Pecandu Narkotika dari ketergantungan dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika. Selama rehabilitasi medis seorang pecandu narkotika akan diberi terapi untuk menghilangkan dampak buruk narkotika. Tujuan utama dalam rehabilitasi
104 Pasal 103 Huruf a, b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
105 Surat Edran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010
medis adalah bagaimana seorang pecandu narkotika bisa sembuh dan tetap pada keadaan bebas dari ketergantungan narkotika. Kesembuhan medis tidak menjamin bahwa seseorang tidak akan kembali kepada narkotika.
Proses rehabilitasi sosial yang seharusnya dilaksanakan sesudah rehabilitasi medis dijalankan, itu artinya rehabilitasi sosial dijalankan oleh seorang mantan pecandu narkotika, namun tujuan rehabilitasi sosial yang diharapkan oleh undang-undang tidak tercapai karena tempat rehabilitasi yang ditunjuk oleh pengadilan hanya mengadakan program rehabilitasi medis saja. Pemberian rehabilitasi medis dan sosial oleh hakim berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Adapun tujuan rehabilitasi medis adalah untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika sehingga bisa hidup sehat seperti orang normal lainnya, sedangkan tujuan rehabilitasi sosial adalah agar bekas pecandu narkotika bisa kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi, sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.106 Jenis-jenis narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Bab III Ruang Lingkup Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III. Pada
106 Sudarsono, Prospek Pengembangan Obat Bahan Alami Bidang Kesehatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 4
lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, yang dimaksud dengan Golongan I, antara lain sebagai berikut:
1. Papaver adalah tanaman papaver somniferum l, dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman papaver somniferum l yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya
3. Opium masak terdiri dari:
1) Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok utuk pemadatan.
2) Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
3) Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing 4. Morfina, adalah alkaloida utama dari opium.
5. Koka, yaitu tanaman dari semua genus erythroxylon dari keluarga erythoroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
6. Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus erythroxylon dari keluarga erythoroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
7. Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
8. Kokaina, adalah metil ester-i-bensoil ekgonia
9. Ekgonina, adalah lekgonina dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi ekgonina dan kokain
10. Ganja adalah semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hashis
11. Damar ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.107
Adapun bentuk penyalahgunaan narkotika yang sering dilakukan oleh pelakunya adalah:
a. Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu
107 Anonim, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 74
pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika.
b. Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain:
1) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai risiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita dan lain-lain.
2) Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum maupun instansi tertentu.
3) Mempermudah penyaluran perbuatan seks.
4) Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.
5) Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup.
6) Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan.
7) Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah.
8) Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan.
9) Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.108
Menurut Dadang Hawari akibat dari penyalahguna narkotika dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu:109
1. Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil. Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan orang yang menderita sakit (pasien) namun salah atau tersesat ke narkotika dalam upaya untuk mengobati dirinya sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke dokter (psikiater). Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.
2. Ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta pengaruh teman kelompok sebaya (peer group pressure). Mereka ini sebenarnya merupakan korban (victim) dimana golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.
3. Ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan ketergantungan narkotika sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian anti sosial (psikopat) dan
108 Buku Pedoman III, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres Nomor 6 Tahun 1976, hlm. 8-9
109 Hawari, Dadang, Peran Keluarga Dalam Gangguan Jiwa, Edisi 21, Jurnal Psikologi, (Bandung: Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, 2009), hlm. 6
pemakaian narkotika itu untuk kesenangan semata. Mereka dapat digolongkan sebagai kriminal karena seringkali mereka juga merangkap sebagai pengedar (pusher). Mereka ini selain memerlukan terapi dan rehabilitasi juga hukuman.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab penyalahgunaan narkotika oleh pelakunya, yaitu:
1. Faktor psikis, antara lain:
a. Mencari kesenangan dan kegembiraan b. Mencari inspirasi
c. Melarikan diri dari kenyataan
d. Rasa ingin tahu, meniru, mencoba, dan sebagainya.
2. Faktor sosial kultural, antara lain:
a. Rasa setia kawan
b. Upacara-upacara kepercayaan/adat
c. Tersedia dan mudah diperoleh dan sebagainya
3. Faktor medik, antara lain, seseorang yang dalam perkembangan jiwanya mengalami gangguan, lebih cenderung untuk menyalahgunakan narkotika.
Misalnya untuk menghilangkan rasa malu, rasa segan, rasa rendah diri dan kecemasan.110
Efek dari penyalahgunaan narkotika yang sering dirasakan oleh pelakunya, antara lain:
1. Halusinogen, efek dari narkoba bisa mengakibatkan bila dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang menjadi berhalusinasi dengan melihat suatu hal atau benda yang sebenarnya tidak ada atau tidak nyata contohnya kokain.
2. Stimulan, efek dari narkoba yang bisa mengakibatkan kerja organ tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk sementara waktu, dan cenderung membuat seorang pengguna lebih senang dan gembira untuk sementara waktu.
3. Depresan, efek dari narkoba yang bisa menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak sadarkan diri.
4. Adiktif, dimana seseorang yang sudah mengkonsumsi narkoba biasanya akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkoba mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara tidak langsung narkoba memutuskan syaraf-syaraf dalam otak.
110 D. Soedjono, Narkotika Dan Remaja, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 97
5. Jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkoba maka lambat laun organ dalam tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran maka pengguna itu akan overdosis dan akhirnya berujung pada kematian.
Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkotika dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Yang bersifat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu secara khusus dan umum, secara umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si pemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Euphoria, suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kondisi badan si pemakai (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotik dalam dosis yang tidak begitu banyak).
b. Dellirium, suatu keadaan di mana pemakai narkotika mengalami menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria).
c. Halusinasi, adalah suatu keadaan di mana si pemakai narkotika mengalami khayalan, misalnya melihat, mendengar yang tidak ada pada kenyataannya.
d. Weakness, kelemahan yang dialami fisik atau phychis/kedua-duanya
e. Drowsiness, kesadaran merosot seperti orang mabok, kacau ingatan, mengantuk.
f. Coma, keadaan si pemakai narkotika sampai pada puncak kemerosotan yang akhirnya dapat membawa kematian.111
Bagaimanapun penyalahgunaan narkotika, bahwa bahaya dan akibat sosialnya akan lebih besar dibanding bahaya yang bersifat pribadi, karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara di masa dan generasi mendatang, bahaya sosial terhadap masyarakat tersebut antara lain kemerosotan moral, meningkatnya kecelakaan, meningkatnya kriminalitas, pertumbuhan dan perkembangan generasi terhenti. Dengan memahami bahaya dan akibat penyalahgunaan narkotika sebagaimana paparan di atas, maka selanjutnya akan lebih mengenal secara utuh
111 Anonim, Op. Cit., hlm. 79
tentang apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika tersebut.
Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika dapat dikelompokkan menjadi:
1. Faktor internal pelaku dimana ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus ke dalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain sebagai berikut:
b. Perasaan egois, merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika atau para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.
c. Kehendak ingin bebas, sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang mambatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap kali seseorang diimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.
d. Kegoncangan jiwa, hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika.
e. Rasa keingintahuan perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.
2. Faktor eksternal pelaku, dimana faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah berikut ini:
a. Keadaan ekonomi, keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang
atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah, demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Terdapat hubungan antara ekonomi dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam kelompok ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya cukup.
Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harganya beraneka ragam, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.
b. Pergaulan atau lingkungan dimana pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan atau lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya, apabila di lingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar adanya.
c. Kemudahan dimana di sini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika.
d. Kurangnya pengawasan, pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan dan peredarannya, jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi dan pemakaian narkotika.
Kurangnya fungsi pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan, disisi lain, keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat keperbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika. Kurangnya pengawasan seperti dimaksudkan di atas, maka tindak pidana narkotika bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.
e. Ketidaksenangan dengan keadaan sosial dimana bagi seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara, tetapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang dan sebagainya
tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat melepaskan diri dari himpitan keadaan social, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu.112
Pemberian rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menaggulangi penyalahgunaan narkotika. Upaya ini merupakan upaya atau tindakan alternatif, karena pelaku penyalahgunaan narkotika juga merupakan korban kecanduan narkotika yang memerlukan pengobatan atau perawatan. Pengobatan atau perawatan ini dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan pidana alternatif yang dijatuhkan oleh hakim dan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman, dan diharapkan tujuan pemberian rehabilitasi ini adalah untuk memulihkan kondisi anak dan mengembalikan anak pada lingkungan sosialnya.
I. Manfaat Pemberian Rehabilitasi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Menurut Soedjono Dirjosisworo, narkotika atau yang sering diistilahkan
Menurut Soedjono Dirjosisworo, narkotika atau yang sering diistilahkan