• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS TIGA PUTUSAN PENGADILAN) TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS TIGA PUTUSAN PENGADILAN) TESIS"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS TIGA PUTUSAN PENGADILAN)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JEFRIANTO SEMBIRING NIM. 137005038

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian... 25

1. Spesifikasi Penelitian ... 25

2. Metode Pendekatan ... 26

3. Sumber Data ... 27

4. Teknik Pengumpulan Data ... 28

5. Analisis Data ... 28

BAB II LANDASAN HUKUM ATAS PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ... 30

B. Pemberian Rehabilitasi Dalam Rangka Melindungi Hak-Hak Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 40

1. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 51

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 56

C. Tujuan Pemberian Rehabilitasi Terkait Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak ... 58

D. Manfaat Pemberian Rehabilitasi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 68

(7)

E. Permasalahan-Permasalahan Dalam Pemberian Rehabilitasi Bagi

Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 71

1. Permasalahan Substansi Hukum Pemberian Rehabilitasi Yang Diatur Undang-Undang Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 71

2. Permasalahan Pada Aparat Penegak Hukum Mengenai Perbedaan Persepsi Atas Pemberian Rehabilitasi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 75

3. Permasalahan Mengenai Kurangnya Kesadaran Tata Tertib Budaya Hukum Masyarakat Terkait Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika ... 78

4. Solusi Dalam Menyelesaikan Permasalahan Pemberian Rehabilitasi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 80

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pada Penetapan Nomor 111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby ... 83

B. Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pada Putusan Nomor 1817 K/Pid.Sus/2011 ... 90

C. Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pada Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst ... 102

D. Analisis Tiga Putusan Pemberian Rehabilitasi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 116

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

LAMPIRAN ... 126

(8)

ABSTRAK

Pada dasarnya pemberian rehabilitasi merupakan jalan untuk menyelamatkan jiwa generasi penerus bangsa dari ketergantungan narkoba, sebab pidana penjara bagi anak bukan satu-satunya cara untuk membuat efek jera bagi anak pelaku tindak pidana narkoba. Rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika ini harusnya lebih didukung oleh semua kalangan, mengingat narkotika adalah musuh bersama dan harus diberantas secara bersama oleh semua pihak, dan bagi anak yang sudah menjadi korban, sudah selayaknya diberikan rehabilitasi agar anak tersebut dapat terpulihkan kondisi fisik dan jiwanya hingga dapat melanjutkan cita-cita penerus bangsa di masa yang akan datang. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni apakah yang menjadi landasan hukum atas pemberian rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika, apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam Penetapan Nomor 111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817 K/Pid.Sus/2011, dan Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dan juga menggunakan data primer sebagai data pelengkap dengan menggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan, serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.

Landasan hukum atas pemberian rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika adalah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi narkotika adalah tempat yang memberikan pelatihan keterampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkotika. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pertimbangan hakim dalam melakukan pemeriksaan sidang dalam perkara narkotika yang dilakukan anak adalah menjatuhkan pidana narkotika dengan melakukan rehabilitasi terhadap terdakwa.

Hakim menyatakan bahwa dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap anak yang bermasalah dengan hukum disebut sebagai anak nakal. Hakim menyatakan bahwa sungguh pun dalam dakwaan penuntut umum, namun demikian hakim memandang dalam memberikan hukuman pidana terhadap pemakai narkotika dengan pelaku anak, maka dengan memperhatikan asas utama bagi anak yaitu kepentingan terbaik bagi anak dalam menjatuhkan sanksi, maka ketentuan tentang rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi terdakwa dapat diterapkan.

Kata Kunci: Rehabilitasi, Anak, Tindak Pidana Narkotika

(9)

ABSTRACT

Essentially the granting of rehabilitation is the way to save the nation's next generation of drug dependence, since imprisonment for children is not the only way to create a deterrent effect for the perpetrators of the crime of drugs. Rehabilitation for perpetrators of this criminal act should be more narcotic drugs supported by all circles, given narcotics are a common enemy and must be eradicated collectively by all parties, and for the children who have become victims, already should be given rehabilitation so that the child can recover his mental and physical condition to be able to continue the ideals of the successor Nations of the future. The issue raised in this study, namely, whether that be legal basis over the granting of rehabilitation against the perpetrators of the crime of narcotics, whether that be a consideration of judges in giving the rehabilitation of perpetrators of criminal acts of narcotics in the determination of the number 111/Pid. Sus-Child/2014/Pn. Sby, ruling number 1817 K/Pid. Sus/2011, and verdict Number 988/Pid. B/2011/PN.Jkt.Pst.

To find answers to these problems then this research using this type of normative legal research is a descriptive analytical, normative legal research which uses secondary data as the primary data and also use the primary data as supplementary data by using data collection techniques are carried out by means of the study of literature, as well as data analysis using the method of qualitative data analysis. This research was intended to accrue to the description in detail and systematically about issues that will be examined. Based on the description of the intended analysis, facts are obtained will be done carefully analyses to answer the problem.

Legal basis over the granting of rehabilitation against the perpetrators of the crime of narcotics is according to the provisions of Act No. 35 of 2009, and Act No.

11 in 2012. Rehabilitation is a facility to its semi closed, meaning only certain people with special interests who can enter this area. Rehabilitation of narcotics is a place that provides skills training and knowledge to prevent yourself from narcotics.

According to Act No. 35 of 2009, there are two types of rehabilitation medical rehabilitation and rehabilitation that is social. The consideration of judges in evaluating the trial in the case of narcotics that kids do is dropping the criminal narcotics by doing rehabilitation against the defendant. The judge stated that in the legislation of criminal justice system of children of a troubled with the law is referred to as a bad boy. The judge stated that truly matter in the indictment the public prosecutor, the judge nevertheless looked in the criminal penalties against giving users of narcotics offenders children, then by observing the main principle for the children's best interests for the child, namely in the dropping of sanctions, then the provisions of the rehabilitation of medical and social rehabilitation for the defendant can be applied.

Key Words: Rehabilitation, Children, Crime Of Narcotics

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa. Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.1 Menurut hukum positif anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).2

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Batasan umur dewasa adalah apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Anak yang telah berumur 17 tahun dan telah kawin maka tidak lagi termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut Pasal 294 dan 295 KUHP adalah yang belum mencapai umur 21 tahun dan

1 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 50

2 Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm. 5

(11)

belum kawin sebelumnya atau sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi kedalam kategori belum cukup umur.

Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Narkotika sangat diperlukan dalam dunia kesehatan untuk pengobatan dan studi ilmiah terhadap jenis-jenis penyakit tertentu.

Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Narkotika pada saat ini dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda.3

Menyangkut penyalahgunaan narkoba, sindroma ketergantungan si pemakai narkoba disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor predeposisi

a. Dikarenakan gangguan (faktor intern) dari dalam diri pribadi si pelaku.

b. Karena kecemasan (faktor intern) yang ada dalam perasaan si pemakai tersebut semisal beban hidup yang begitu berat sehingga si pemakai ingin lari dari kenyataan.

c. Karena depresi (faktor intern) atau tekanan batin yang mengakibatkan turunnya gairah hidup si pelaku.

2. Faktor kontribusi

a. Dikarenakan hubungan interpersonal (intern/extern) yakni dengan adanya interaksi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari yang bila hubungan tersebut membawa ke arah yang kurang baik, maka terjerumuslah orang tersebut.

b. Karena kebutuhan keluarga (faktor intern) yang apabila keutuhan keluarga tersebut terganggu atau kurang harmonis.

3 Materi Advokasi, Pencegahan Narkoba (Handbook Narkotika Nasional), (Jakarta: Badan Narkotika Nasional, 2005), hlm. 8

(12)

c. Karena kesibukan keluarga (faktor intern) dapat mengakibatkan kurangnya perhatian dan pengawasan terhadap anak remaja mereka.

3. Faktor pencetus

a. Pengaruh teman (faktor extern atau lingkungan atau dari luar) yang telah lebih dahulu sebagai pemakai, yang dapat membawa akibat negatif

b. Kelompok pemakai (faktor extern) yang dapat mempengaruhi remaja, sehingga meniru apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, semisal idola dari remaja tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dapat diakses melalui tayangan televisi, internet, dan lain sebagainya tanpa melalui sensor.

Ketiga faktor di atas termasuk factor demand yang akan menjadi suatu perbuatan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika bila dibarengi dengan factor supply.4 Menurut Ida Listyarini Handoyo bahwa pada umumnya para pengguna narkoba pada awalnya hanya iseng, ingin mencoba dan sebagainya. Akan tetapi sifat senyawa narkoba yang dapat mengakibatkan ketagihan membuat si pengguna tidak lepas dari jerat narkoba.5

Hadiman menyatakan bahwa salah satu alasan meningkatnya penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak adalah kurangnya pendidikan dasar tentang narkoba baik di kalangan orangtua dan anak-anak. Terutama banyak orangtua yang tidak menyadari pengaruh narkoba yang ada di masyarakat dan bahaya yang dihadapi anak- anak setiap harinya.6

Kalangan anak muda mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba, terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami

4 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 2-4

5 Ida Listryarini Handoyo, Narkoba Perlukah Mengenalnya, (Yogyakarta: Pakar Raya, 2004), hlm. 22

6 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua Dan Aparat Dalam Penanggulangan Dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Bersama Warga Tama, 2005), hlm. 2

(13)

perubahan dengan cepat di segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung menimbulkan perilaku yang nakal.7

Seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana tentunya akan mendapatkan sanksi pidana yang berupa hukuman, hal ini dapat berupa pidana mati, penjara, kurungan, atau denda. Pemberian hukuman sangat erat kaitanya dengan pertanggungjawaban pidana dimana orang yang dihukum harus mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana harus sesuai dengan asas hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana yang berbunyi tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld actus non facit reum nisi

7 Gatot Supramono, Loc. Cit.

8 M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1

(14)

mens sist rea).9 Hal-hal yang meringankan pemidanaan, terbagi juga menjadi tiga, yaitu, percobaan (poeging), pembantuan (medeplictige), dan belum cukup umur (minderjarig). Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang melakukan kenakalan, Undang-Undang Tentang Peradilan Anak mengatur bahwa bagi anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya menjadi dikurangi ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada orang dewasa.10

Pidana penjara tidak berarti adalah sanksi yang paling tepat bagi anak. Bagi anak seharusnya kebijakan untuk melihat permasalahan justru lebih dipentingkan, apalagi apabila dilihat dari sudut ilmu kriminologi, bahwa anak-anak yang melakukan kenakalan lebih dilatarbelakangi oleh pengaruh dari lingkungan. Teori yang paling dekat adalah teori differential association11, yang pada intinya bahwa perilaku kenakalan anak itu dilator belakangi oleh faktor belajar, selain itu juga teori motivasi dari Romli Atmasasmita, yang artinya, lingkungan yang sehat dan kondusif untuk perkembangan fisik, sosial dan mental anak harus diperhatikan sejak dini.

Masalah penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika, baik dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, hanya menerapkan sanksi bagi pelaku tindak pidana berdasarkan golongan narkotika dan psikotropika yang disalahgunakan.

Bagi sebagian orang, menjatuhkan pidana terhadap anak dianggap tidak bijak, akan

9 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Reneka Cipta, 2009), hlm. 165

10 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak

11 Nashriana, Hukum Pidana Anak, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2009), hlm. 36-37

(15)

tetapi ada sebagian yang beranggapan bahwa pemidanaan terhadap anak adalah tetap penting dilakukan, agar sikap buruk tidak terus menjadi permanen sampai ia dewasa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak adalah dengan menjatuhkan pidana atau tindakan kepada anak yang bersangkutan. Pertimbangan hakim sangat berperan dalam memberikan putusan terhadap pelaku anak dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Hakim dalam putusannya haruslah tetap berdasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian putusan tersebut merupakan putusan yang terbaik bagi kepentingan si anak itu sendiri, dan untuk putusan hakim yang berupa pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa:12

(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:

a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat

1) Pembinaan di luar lembaga 2) Pelayanan masyarakat, atau 3) Pengawasan

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga, dan e. Penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau b. Pemenuhan kewajiban adat.

Sedangkan untuk putusan hakim yang berupa suatu tindakan bagi anak disebutkan:13

12 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

13 Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(16)

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:

a. Pengembalian kepada orang tua atau wali b. Penyerahan kepada seseorang

c. Perawatan di rumah sakit jiwa d. Perawatan di LKPS

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta

f. Pencabutan surat izin mengemudi, dan/atau g. Perbaikan akibat tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak memberikan pengecualian terhadap pelaku anak, namun terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim mengenai hukuman apa yang dikenakan dan berat hukuman yang dijatuhkan haruslah mempertimbangkan dari keadaan sosial mengenai fakta-fakta dari pelaku anak tersebut. Hakim sebelum menjatuhkan putusan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim. putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan si anak tersebut pada masa selanjutnya, oleh karena itu hakim harus yakin benar bahwa putusan yang akan diambil adalah yang paling tepat dan juga adil.14

Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipai secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Hal tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak

14 Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 16

(17)

bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.15

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.16 Menyangkut anak yang melakukan kenakalan (anak nakal), pada hakekatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana yang berarti melingkupi pengertian anak nakal. Menurut Maulana Hasan Wadong pengertian anak nakal meliputi dimensi pengertian sebagai berikut:17

a. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.

b. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak.

c. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri.

d. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.

e. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa:18

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.

15 Pasal 2 Ayat (3), (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

16 Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 23

17 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:

Grasindo, Jakarta, 2000), hlm. 22

18 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(18)

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.

c. Penyedian sarana dan prasarana khusus.

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.

g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga.

b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi dan korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial.

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal ini menyebutkan bahwa seorang anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupun secara mental, spiritual dan sosial, selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab pemerintah, dan anak yang jadi korban tersebut berhak untuk senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang dihadapinya.

Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa rehabilitasi seharusnya diberikan kepada semua korban tindak pidana yang memerlukan pemulihan baik secara fisik maupun mental. Pemberian rehabilitasi seharusnya dilakukan secara

(19)

merata kepada semua korban tanpa adanya diskriminasi, dalam hal ini lembaga- lembaga perlindungan anak harus bersikap lebih aktif dalam memberikan bantuan berupa rehabilitasi korban sesuai amanat dari undang-undang.

Suatu bagian penting dari hukum pidana yang tampaknya masih kurang mendapat perhatian adalah bagian mengenai pemidanaan (sentencing atau straftoemeting). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada akhirnya akan berpuncak kepada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang, harta bendanya, bahkan jiwanya. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, bebas menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, akan tetapi kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan), dan pidana.19

Penyalahgunaan narkotika merupakan persoalan yang cukup kompleks mulai dari proses hukum hingga proses pemulihan korbannya. Persoalan hukum karena terkait dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di satu sisi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut merupakan tindak pidana dan di sisi lain korban ketergantungan terhadap narkotika wajib menjalani pengobatan dan perawatan (rehabilitasi). Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang

19 Eddy Djunaedi Kamasudirdja, Bebarapa Pedoman Pemidanaan Dan Pengamatan Narapidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1996), hlm. 80

(20)

mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Seharusnya sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang bahwa anak pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Perbedaan pandangan hakim dalam memberikan pertimbangan bagi anak pelaku tindak pidana narkoba juga menjadi dasar diberikan atau tidak diberikannya rehabilitasi kepada anak pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia. Hal ini dapat dilihat lebih banyaknya putusan-putusan hakim yang lebih condong memberikan hukuman penjara dibandingkan memberikan rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika. Kenyataan ini sangat disayangkan mengingat anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perlu perhatian dari semua pihak, lebih condong di berikan hukuman fisik dari pada memulihkan jiwa anak dari kecanduan dan ketergantungan narkotika tersebut.

Pada dasarnya pemberian rehabilitasi merupakan jalan untuk menyelamatkan jiwa generasi penerus bangsa dari ketergantungan narkoba, sebab pidana penjara bagi anak bukan satu-satunya cara untuk mebuat efek jera bagi anak pelaku tindak pidana narkoba. Rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika ini harusnya lebih didukung oleh semua kalangan, mengingat narkotika adalah musuh bersama dan harus diberantas secara bersama oleh semua pihak, dan bagi anak yang sudah menjadi korban, sudah selayaknyalah diberikan rehabilitasi agar anak tersebut dapat terpulihkan kondisi fisik dan jiwanya hingga dapat melanjutkan cita-cita penerus bangsa dimasa yang akan datang.

(21)

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut diatas, maka penelitian ini diberi judul “Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan).”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi landasan hukum atas pemberian rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika?

2. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam Penetapan Nomor 111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817 K/Pid.Sus/2011, dan Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst?

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi semua kalangan baik civitas akademika, pemerintah, masyarakat maupun para pihak yang terlibat langsung dalam setiap pemberian rehabilitasi kepada anak pelaku tindak pidana narkoba. Selain itu tujuan penelitian ini untuk mengembangkan pengetahuan hukum khususnya hukum yang mengatur

(22)

tentang perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai landasan hukum atas pemberian rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pertimbangan hakim dalam memberikan rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam Penetapan Nomor 111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817 K/Pid.Sus/2011, dan Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst.

D. Manfaat Penelitian

Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritas kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para praktisi hukum.

1. Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan displin ilmu hukum khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana narkoba.

2. Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.20 Secara praktis diharapkan juga

20 Soerjono Soekanto(1), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 106

(23)

agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak anak yang tersangkut kasus pidana, mengingat faktor pengawasan internal dan eksternal sangat dibutuhkan dalam mengawasi perkembangan anak.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)” adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:

1. Nama : Anjan Pramuka Putra Nim : 067005063

Judul : Analisis Yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba

(24)

2. Nama : Elizabeth Siahaan Nim : 077005036 Tahun : 2009

Judul : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatera Utara

3. Nama : Elvina Anggraini Nim : 127005029

Judul : Tinjauan Kriminologis terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.21 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi

21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

(25)

sosial sangat ditentukan oleh teori.22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami mengenai konsep rehabilitasi yang diterapkan bagi anak pelaku tindak pidana narkoba, dimana konsep rehabilitasi diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana narkoba.

Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori treatment dan sosial defence. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, sosial defence. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment dan sosial defence.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).

22 Soerjono Soekanto(1), Ibid., hlm. 6

(26)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).23 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.

Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi.24

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L.

Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan

23 C. Ray Jeffery Dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy Dan Non Penal Policy Dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 79

24 Ibid., hlm. 81-82

(27)

sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya.

Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih baik.25

Setelah lahirnya teori treatment, maka lahirlah teori sosial defence.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga menganut teori sosial defence sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Teori Sosial defence berkembang setelah Perang Dunia Ke II. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi yaitu konsepsi radikal (ekstrim), dan konsepsi yang moderat (reformist).26

Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica.

Menurut Gramatica, hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya, oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang

25 Herbert L. Packer, The Limits Of The Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54

26 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 35-38

(28)

tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat diantaranya:

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi- fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.27

Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penulisan tesis ini. Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak.

Tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.28 Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

27 Marc Ancel, Sosial Defence, Modern Approach To The Criminal Problem, (London:

Roatledge & Paul Keagen, 1965), hlm. 35

28 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53

(29)

manusia.29Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.30

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.

Perlindungan hukum preventif yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban, sedangkan perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi pidana. Penyelesaian sengketa melalui peradilan seharusnya merupakan jalan terakhir (ultimum remedium).31 Fungsi teori perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini adalah untuk melindungi hak-hak dari anak pelaku tindak pidana narkoba mengingat anak masih dalam usia pengawasan

29 Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana:

Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3

30 Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14

31 Ibid., hlm. 20

(30)

dan pembelajaran dari orang tua kandungnya segingga diperlukan konsep rehabilitasi untuk melindungi anak pelaku tindak pidana narkoba.

Teori dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori kepastian hukum.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang

(31)

mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.32

Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.33

Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas.

Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan- putusan terdahulu.34 Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting).

Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan

32 Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.

287-288

33 Ibid., hlm. 162

34 Ibid., hlm. 294

(32)

perdamaian.35 Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum.

Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:36

a. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

c. Peraturan tersebut tidak berlaku surut.

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak dari tuntutan hukum atas tindak pidana narkoba yang dilakukannya, mengingat perlunya kepastian hukum atas sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan kepada anak pelaku tindak pidana narkoba.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.37 Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

35 Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 22

36 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294

37 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3

(33)

a. Pemberian adalah upaya untuk memberikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud memberikan suatu manfaat kepada orang lain atas suatu pemberian tersebut.

b. Rehabilitasi, menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri.

d. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

e. Narkoba adalah adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya (napza). Semua istilah ini, baik narkoba ataupun napza, mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang

(34)

biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

f. Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.38

Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.

Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.39

38 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 42

39 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.

13

(35)

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.40

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi

40 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35

(36)

dan regulasi.41 Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

3. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep, teori dan informasi serta pemikiran konseptual.42 Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotrofika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang

41 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 93

42 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:

Bayumedia, 2006), hlm. 192

(37)

diteliti. Selain data sekunder penelitian ini juga di dukung oleh data primer berupa penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan di bahas dalam penelitian ini nantinya.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi- konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.43

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian

43 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

(38)

konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.44 Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan prinsip pemberian rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.45

44 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 225

45 Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

(39)

BAB II

LANDASAN HUKUM ATAS PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

F. Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Indonesia saat ini sedang melaksanakan proses pembaharuan hukum pidana.

Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya.46 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi.47 Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.48

Barda Nawawi Arief, menyatakan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari:49

1. Sudut pendekatan kebijakan, dimana:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial

46 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi Dan Victimologi, (Jakarta:

Djambatan, 2007), hlm. 38

47 Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 1

48 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 2002, hlm. 20

49 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), hlm. 31-32.

(40)

(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Sudut pendekatan nilai dimana pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filososfis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau.50

Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat.

Hal ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan.

Penggunaan pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.51

50 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1

51 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 86

(41)

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut- nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.52 Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.53 Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

Hal yang sangat menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Secara tersirat, kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime. Uraian dalam pasalnya menitikberatkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika.

Sayangnya rumusan tersebut tidak efektif dalam kenyataannya. Peradilan terhadap pecandu narkotika sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan vonis rehabilitasi sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang tersebut.54

52 M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 162

53 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta;

Sinar Grafika, 1996), hlm. 3

54 Megawati Marcos, Tinjauan Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Pecandu Narkotika, Jurnal, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Atmajaya, 2014), hlm. 4

(42)

Pergeseran bentuk pemidanaan dari hukuman badan menjadi hukuman tindakan merupakan proses depenalisasi. Depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam dengan pidana kemudian ancaman pidana ini dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi.55 Pada proses depenalisasi terdapat suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan tercela atau anti sosial itu kepada reaksi sosial saja atau kepada kelembagaan tindakan medis. Perbuatan yang termasuk kenakalan remaja ditanggulangi diluar proses peradilan pidana. Demikian pula perbuatan zina dengan pertimbangan sosial ekonomis menjadi perbuatan yang tidak kriminal dengan proses depenalisasi.

Depenalisasi terjadi karena adanya perkembangan atau pergeseran nilai hukum dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan nilai hukum pada norma hukum pidana. Perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan yang tercela, tetapi tidak pantas dikenai sanksi pidana yang berat, lebih tepat dikenai sanksi pidana ringan atau tindakan.56 Adapun alasan untuk menentukan depenalisasi terhadap pecandu dan korban narkotika, karena mereka dianggap sebagai orang yang sakit sehingga perlu mendapat perawatan dengan memberikan terapi maupun obat agar sembuh. Untuk korban penyalahgunaan narkotika, sesungguhnya mereka tidak menyadari dengan apa yang telah diperbuat disebabkan mereka melakukan perbuatan

55 Focus Group Discussion Tentang Dekriminaliasi Pecandu Narkotika, Diselenggarakan Oleh Badan Narkotika Nasional Bekerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tanggal 10 Oktober 2014, hlm. 14

56 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

menanggulangi keberadaan imigran yang tidak relevan dengan kebijakan yang ada, maka akan dilakukan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti misalnya diberikan

Hal ini diungkapakan dalam tulisan bahwa “ International networking ” atau yang dapat di singkat dengan internet, merupakan dua komputer atau lebih yang saling

The combined response due to the three modes from UMRHA, and the exact response from NLTHA for the pier’s top displacement of pier 7 are shown in Figure 9.. All peak values

ada beberapa masalah yang akan dipecahkan, yaitu bagaimana MTs Parmiyatu wassa’adah dapat memanfaatkan aplikasi web sebagi suatu sarana untuk menyajikan dan mengirimkan

Pengaruh Senam Aerobik Dan Yoga Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien. Diabetes Mellitus Tipe II Di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam RSUP

Seluruh dosen dan staf Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang secara tidak langsung telah banyak membantu penulis

Pada tahap ini dilakukan perencanaan campuran ( mix design ) (SNI-03-2834- 2000) berdasarkan hasil pengujian dari masing masing bahan yang akan digunakan untuk

Berdasarkan jenis permasalahan yang ada dalam judul penelitian, maka penulis menggunakan jenis penelitian korelasional yaitu “hubungan satu atau lebih variabel (yang