BAB I : PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,tesis, si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan , problem , yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis, yang mungkin disetujui maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.45
Teori dan penelitian harus secara bersama berfungsi menambah pengetahuan ilmiah seorang peneliti ilmu hukum tidak boleh menilai teori terlepas dari kenyataan, fakta – fakta hukum yang ada ditengah - tengah masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan penelitian, seorang peneliti ilmu hukum harus senantiasa mendasarkan
45
diri pada teori yang ada, kemudian hasil penelitian yang dilakukan dapat mendukung, memperluas atau mengkoreksi teori tersebut.46
Kerangka teori adalah bagian penting dalam sebuah penelitian terutama pada penelitian yang menggunakan pendekatan keharmonisan antara teori atau doktrin dengan data yang dikumpulkan. Maka kerangka teori ini sangat penting untuk dirumuskan secara tepat karena kerangka teori ini merupakan pisau analisis bagi peneliti untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang telah dirumuskan.47
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu-satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun umum. Secara khusus, tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menurut Lawrence M. Friedman hukum sebagai suatu sistem atau subsistem dari sistem kemasyarakatan akan berperan dengan baik jika instrument pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan – kewenangan di bidang penegakan hukum maka sistem hukum ini tersusun dari beberapa subsistem yang mencakup,
46
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, ( Jambi : Mandar Maju, 2008 ), hal 139 47
struktur hukum (structure), substansi hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture). 48
Ketiga unsur sistem hukum inilah yang nantinya akan sangat menentukan apakah suatu sistem hukum berjalan atau tidak. Substansi hukum biasanya terdiri dari peraturan perundang – undangan. Sedangkan struktur hukum adalah aparat, sarana dan prasarana hukum. Adapun budaya hukum adalah berupa perilaku dari anggota masyarakat itu sendiri.49 Cara lain menggambarkan tiga unsur hukum itu adalah dengan mengibaratkan “struktur” hukum sebagai mesin. Substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.50
Max Weber dalam teori paksaan (dwang theory) mengemukakan bahwa
penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai tata tertib dan ketertiban. Paksaan dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh kelompok orang-orang yang mempunyai wewenang untuk berbuat demikian (dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan).51
48
M. Hatta, Beberapa masalah penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus, Yogyakarta: Liberti, 2009, hal 1.
49
Ibid
50
Lawrence Friedman, America Law An Introduction, Sebagaimana Diterjemahkan Oleh Wisnu Basuki , Jakarta: PT Tatanusa, 1984, hal. 8.
51
a. Teori Pemidanaan
Pada pokoknya, Herbert L Packer mengemukakan ada 4 teori yang berusaha
memberikan pembenaran pidana ( Justification for criminal punishment ), yaitu :
1. Retribution ( Teori Absolut )
Teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun cenderung untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat
emisional dan karena itu irrasional.52
Pandangan ini didasarkan atas gagasan bahwa terhadap kejahatan dapat dibenarkan untuk dipidana, sebab manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.Untuk itu, pelaku harus menerima ganjaran yang selayaknya. Pandangan ini dibagi dua yaitu:
a) Teori Pembalasan (revenge theory); pidana dianggap sebagai pembalasan
mutlak atas perbuatan jahat yang telah dilakukan atas dasar
pertanggungjawaban penuh dari individu pelakunya, dilaksanakan misalnya
melalui lembaga lex talionis dimana penganiayaan terhadap mata dibalas
secara setimpal dengan pidana atas mata yang serupa, mati dibalas mati, dan seterusnya.
52
b) Teori penderitaan dan penebusan Dosa. Dalam teori ini pembalasan dilakukan dengan cara membuat sipelaku kejahatan mengalami penderitaan tertentu
sehingga ia merasa terbebas dari perasaan bersalah dan berdosa.53
Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya
mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.54
2. Utilitarian Prevention: Deterrence ( Teori Relatif )
Teori relatif berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu:
prefentif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapacitation.55
Pandangan ini dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pandangan klasik
yang bersifat retributif. Pandangan ini melihat punishment sebagai sarana untuk
mencegah atau mengurangi kejahatan. Menurut pandangan tersebut bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi si terpidana hanya dapat dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu
53
Marlina, Hukum Penitensier, Medan : Aditama, 2011, hal 78
54
Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Pascasarjana USU. 55
memang menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkannya pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak – pihak
terkait.56 Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah untuk
menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.57
Terdapat dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana secara individu akan menjadi contoh bagi individu yang lain sehingga mereka tidak akan berbuat tindak pidana yang sama. Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan untuk ditujukan kepada masyarakat umum, artinya pencegahan tindak pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana melalui pembentukan Undang- undang yang bersifat represif terhadap tindak pidana tertentu. Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa yang akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara langsung pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dengan menghukum terpidana selama- lamanya di penjara. Sebagai contoh, penjatuhan pidana yang berat kepada
pelaku – pelaku tindak pidana di bidang narkotika.58
56
Marlina, Hukum Penitensier, Op.cit
57
Sholehuddin, Op.cit, hal.41 58
Bambang Hariyono, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, ( Tesis, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009 )
Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul Dei Delitti e Delle Pene ( 1764 ) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan
masyarakat.59
3. Special Deterence atau Intimidation
Menurut pandangan ini, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharap
tidak setelah pemidanaan dilakukan ( after the fact inhibition ) sehingga terpidana
tidak akan lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang, karena teori ini dapat juga disebut sebagai teori penjeraan, yang bermaksud agar si pelanggar menjadi jera. Teori ini memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sasaran untuk mengintimidasi mental si terpidana agar merasa jera untuk melakukan perbuatan pidana lagi.
4. Behavioral Prevention : In Capacitation
Menurut pandangan ini pidana dilihat sebagai suatu yang harus dilakukan agar yang bersangkutan tak dapat lagi melakukan atau meneruskan perbuatan anti sosial yang dilakukannya, artinya dengan dijatuhkannya pidana maka yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan kejahatan.
Robert D Pursley menggunakan istilah isolation. Menurutnya masyarakat juga
menganut gagasan bahwa pelanggar harus diisolasi dari anggota yang sah agar
tidak mengotori masyarakat.60
59
Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Op.cit 60
Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.61
5. Behavior Prevention : Rehabilitation (Teori Treatment )
Pandangan rehabilitation mengatakan bahwa pemidanaan dilakukan untuk
memudahkan dilakukannya pemberian pemidanaan itu sendiri guna
merehabilitasikan si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya, agar
dapat diharapkan menjadi orang baik yang taat pada hukum di kemudian hari.62
Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan
perawatan ( Treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan
sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran ini dilandaskan pada alas an bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan
perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ).63
Doubel track sistem merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Doubel track sistem tidak sepenuhnya memakai satu diantara dua jenis sanksi itu. Sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara. Penekanan dalam kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track sistem, sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan / penderitaan ( lewat sanksi pidana ) dan unsure pembinaan ( lewat sanksi tindakan ) sama – sama
61
Sholehuddin, Op.cit, hal.41 62
Marlina, Hukum Penitensier, Op cit. 63
penting.64 Pengertian sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu pengenaan derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui serangkaian proses peradilan oleh kekuasaan ( hukum ) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut
diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.65Sedangkan tindakan diartikan
sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik, mengayomi. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat, dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit dan lainnya. Sanksi tindakan bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku
tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang
dinamis (open system) dan spesifikasi non penderitaan atau perampasan kemerdekaan
dengan tujuan untuk pemulihan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.66
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan dari masalah nilai, terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana
untuk tujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan humanistik
tentu sangat diperlukan. Hal ini penting tidak hanya karena tindak pidana narkotika itu pada hakikatnya masalah kemanusiaan, tetapi juga karena hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Menurut Barda Nawawi Arief, pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada
64
M . Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, ( Kota besar: Raja Grafindo Persada, 2002 ), hal.28
65
Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal 195 66
si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab; tetapi juga harus membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan
nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.67
Tujuan hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itu sendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu:
1. Hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of sosial engineering). Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat (change agent).
2. Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku (as a tool of justification).
3. Hukum berfungsi pula sebagai .as a tool of sosial control. yaitu mengontrol
pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.68
Barda Nawawi Arief,berpendapat, ”Kebijakan atau upaya penanggulangan tindak
pidana (narkotika) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (Sosial Defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (Sosial
Welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
67
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 ), hal. 38.
68
Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1987 ), hal. 32
politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat”.69
2. Kerangka Konsepsi
Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Adapun definisi operasional dari berbagai istilah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009, Pasal 1 ayat 15 :
Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
b. Menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009, Pasal 1 ayat 13 : Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
c. Sistem Penghukuman adalah menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.70
d. Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.71
69
Badra Nawawi, Op.cit, hal 28 70
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan kebijakan pidana, ( Bandung: Alumni, 2005 ), hal 1
71
e. Tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman Pidana oleh undang – undang.72 Tindak pidana di bidang narkotika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi, atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan narkotika, merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.73
f. Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang- wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.74
g. Tujuan Hukum adalah ketertiban. Kepatuhan terhadap ketertiban adalah syarat pokok untuk masyarakat yang teratur. Tujuan hukum yang lainnya adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban pergaulan antar manusia dalam masyarakat harus ada kepastian hukum. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan.75
h. Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.76
72
Jur.Andi Hamzah, Op.Cit, hal 121
73
Gatot Supramono, Op.Cit, hal 64
74
Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), ( Yogyarkta: Liberty, 1988 ), hal. 58.
75
M. Hatta, Op.cit, hal 12 76
Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, ( Bandung: Refika, 2000), hal. 23