SISTEM PENGHUKUMAN BAGI PECANDU NARKOTIKA
PADA UNDANG – UNDANG NO 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
Oleh
IWAN SETYAWAN
107005049 /HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
SISTEM PENGHUKUMAN BAGI PECANDU NARKOTIKA
PADA UNDANG – UNDANG NO 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
IWAN SETYAWAN
107005049 /HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis :ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGHAPUSAN PIDANA BAGI PECANDU NARKOTIKA PADA UNDANG – UNDANG NO 35 TAHUN 2009
Nama Mahasiswa : Iwan Setyawan Nomor Pokok : 107005049 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) Ketua
( Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum ) ( Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Dekan
( Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) ( Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 24 Juli 2012
Panitia Penguji Tesis
Ketua
:
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.HumAnggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.
2. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang – Undang N0 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptis analitis, dengan menggunakan Teori Pemidanaan peneliti mencoba menganalisis bagaimana seorang penyalahgunanarkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika, tentang sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 tahun 2009 dan menganalisis tentang peranan Badan Narkotika Nasional dalam system penghukuman bagi pecandu narkotika.
Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan secara terus menerus akan mempengaruhi fungsi berfikir, perasaan dan perilaku orang yang memakainya. Keadaan ini bisa menimbulkan ketagihan (addiction) yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan (dependence). Kondisi yang menimbulkan gejala dan ciri fisik dan psikis yang khas yang dapat digunakan sebagai parameter seseorang tersebut adalah pecandu narkotika . Menurut peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang narkotika pecandu narkotika yang diakui secara hukum di bagi menjadi dua yaitu : Pecandu Narkotika Karena Melapor Kepada Institusi Penerima Wajib Lapor ( IPWL ), Pecandu Narkotika Karena Mengajukan Permohonan Pada Saat menjalani Proses Peradilan.
Sistem penghukuman bagi pecandu narkotika dapat dilakukan dengan hukuman pidana maupun hukuman tindakan berupa rehabilitasi, dapat diambil kesimpulan bahwa Jenis Sanksi yang diterapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana (straf ) tetapi juga sanksi tindakan (maatregel) . Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system
Dengan adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011dan di perkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika. Memberikan posisi yang sangat sentral kepada BNN khususnya terkait pemberian rekomendasi untuk menempatkan pecandu narkotika dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, guna memperoleh pengobatan dan Perawatan dalam rangka pemulihan.
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Pecandu memiliki karekteristik yang khas dan seorang pecandu nerkotika harus melaporkan diri kepada pihak yang berwenang agar dapat diakui oleh hukum bahwa ia seorang pecandu narkotika, BNN memiliki peranan untuk memberi rekomendasi bahwa seorang tersangka/terdakwa adalah seorang pecandu narkotika, dimana rekomendasi itu dapat digunakan sebagai pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman.
ABSTRACT
The aim of the research was to see how the punishment system was imposed upon drug addicts as it stipulated in law No 35/2009 on Narcotics. The research was judicial normative and descriptive analytic approach. In using punishment theory, the researcher analyzed how a drug abuser could be called a drug addict, about the punishment system for drug addicts as it is stimpulated in Law No 35/2009, and about the rule of BNN ( National For Combating Drug Abuse ) in the punishment system for drug addicts.
A drug addicts is a person who uses and abuses drugs, and his dependence on drugs, either physically or psyhically. Since the drug is abused continuously, it will eventually affect his mind, felling, and behavior. He becomes addicted and dependent on it. This specific symptom and phisycal and psychical characteristics can be used as the parameter for this person to be called a drug addict. According to the legal provisions on narcotics, a drug addict, who is legally recognized, comprises of two types: A drugs addict because he reports to IPWL ( the Institution for receiving a person who is Liable to report ) and a drug addict because he appeals to the court when he is on trial.
The punishment system imposed upon a drug addict can be done by corporal punishment and punitive action such as rehabilitation. It can be concluded that the type of punishment, which is implemented, comprises of criminal sanction ( straf ) and punitive action ( maatregel ). The recognition of the principle of equality between criminal sanction and punitive action is the basic truth or the basic idea of double track System.
Gouverment Regulation No 25/2011, ratified by the Directives of the Head of BNN No 2/2011 on the Procedures of Handling the Suspects and the Accused of Drug Abuse, Drug Abuse Victims and Drug Addicts, has given the vital position to BNN recommend drug addicts to be medically and socially rehabilitated, starting from the investigation process, in order that they can be cured and treated in the rehabilitation.
The result of the research showed that drug addicts had specific characteristics, a drug addict must report to the authority in order that he is legally recognized as a drug addict, and BNN could recommended that the suspects/the accused are drug addicts. This recommendation could be used by the judge in giving the verdict.
KATA PENGANTAR
ﻢﯿﺣّﺮﻟا ﻦﻤﺣّﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ
Segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah Swt. atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya yang dianugrahkan kepada penulis, sehingga tesis ini
dapat diselesaikan. Salawat dan salam, penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW. Yang telah membawa petunjuk dan jalan kebenaran, untuk mencapai
kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum (MH) pada Program Studi Ilmu Hukum pada jenjang Strata dua
(S2) Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun tesis
berjudul: SISTEM PENGHUKUMAN BAGI PECANDU NARKOTIKA
MENURUT UNDANG - UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA. Penulis sangat menyadari dalam penulisan tesis ini demikian banyak
mengalami kendala, namun berkat adanya bantuan, motivasi serta bimbingan,
maupun doa dari semua pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis
mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung,
SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis
untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang sekaligus sebagai dosen penguji, Bapak Prof. Dr. Suhaidi,
SH, MH, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk
mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi pembimbing
yang telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada
penulis dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis
ini.
5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada
penulis dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis
ini.
6. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis
dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.H, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis serta
Universitas Sumatera Utara memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap
penulis.
8. Para Bapak/Ibu Guru Besar dan Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu
pengetahuan dan membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat
dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang.
9. Teristimewa kepada Almarhum Ayahanda dan Ibunda tercinta Ir. Soedjiarno (
Alm ) dan Dra. Hj. Yayuk Sri Rahayu, MBA (Alm ), yang telah mendidik
putra-putrinya dan senantiasa dengan penuh kesabaran membimbing serta member
kasih sayangnya yang sungguh besar nilainya bagi penulis dalam menyelesaikan
studi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
10.Teristimewa kepada Ibu Prof. Hj. Sri Sulistyawati, SH, M.Si, Ph.D dan Bapak Ir.
H. Suardi Santoso, yang telah mendidik penulis dan senantiasa mengiringi
penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta memberi dorongan, semangat dan
bantuan baik moril maupun materil yang sungguh besar nilainya bagi penulis
dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
11.Teristimewa kepada Ibu Hj. Ramisah Rangkuti dan Bapak H. Fachruddin Lubis,
BA yang senantiasa mengiringi penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta
memberi dorongan, semangat dan bantuan baik moril maupun materil yang
sungguh besar nilainya bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Program
12.Teristimewa kepada Istri penulis Fauziah Lubis dan ananda Rafif Taufiqurrahman
yang senantiasa mengiringi penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta
memberi dorongan, semangat yang sungguh besar nilainya bagi penulis dalam
menyelesaikan studi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
13.Teristimewa kepada Adinda penulis tersayang Asti Wulandari, SP,M.Si, Bagoes
Arthiko, SE dan Erwin Hermawan, SP yang telah memberikan perhatian dalam
menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
14.Sahabat-sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun Ajaran 2010 terutama pasukan regular
B
15.Para Pegawai di lingkungan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yakni Kak Fika, Kak Fitri, Kak Juli, Ibu
Ganti, Ibu Niar, Bang Hendra, Bang Udin, Bang Herman, yang tak
bosan-bosannya memberikan nasehat kepada penulis untuk tetap semangat, terima kasih
atas dukungan dan doanya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah, limpahan rahmat dan
karunia-Nya serta membalas segala kebaikan dengan yang lebih baik lagi. Penulis
menyadari bahwa penulisan tesis ini masih memerlukan kritik dan saran yang sifatnya
kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang
ilmu hukum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Iwan Setyawan
Tempat/tanggal lahir : Purwokerto/ 2 Desember 1979
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Nama orang tua
Ayah : Ir. Soedjiarno ( Alm )
Ibu : Dra.Hj.Yayuk Sri Rahayu, MBA ( Alm )
Alamat : Sei Mencirim, Jl Jati, Comp Jasari No 12
Deli Serdang
e-mail : Slighters19@yahoo.com
Hp : 08153140835
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri Sompok II Semarang Lulus Tahun 1992
2. SLTP Negeri 2 Semarang Lulus Tahun 1995
3. SLTA Negeri 1 Medan Lulus Tahun 1998
4. Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah Medan Lulus Tahun 2002
Medan, Juli 2012
DAFTAR ISI
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi………..……… 28
G. Metode Penelitian ……… 40
1. Jenis Penelitian ………..40
2. Sumber data ……….………….. 40
3. Tekhnik Pengumpulan Data ……….………. 42
4. Analisis Data ………. 42
BAB II: KLASIFIKASI SEORANG PENYALAHGUNA NARKOTIKA DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI SEORANG PECANDU NARKOTIKA. A. Sekilas Tentang Narkotika ………. 43
B. Definisi Narkotika ………. 46
C. Jenis – Jenis Narkotika ……….. 49
D. Manfaat Narkotika ……….…… 52
E. Pecandu Narkotika ……… 58
Kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) …... 68 2. Pecandu Narkotika Karena Mengajukan
Permohonan Pada Saat Menjalani Proses
Peradilan ……….. 71
BAB III: SISTEM PENGHUKUMAN BAGI PECANDU NARKOTIKA
MENURUT UU NO 35 TAHUN 2009
A. Pidana Dan Penghukuman ……….……… 77
1. Sistem Penghukuman Pidana Menurut KUHP
Dan Undang – Undang No 35 Tahun 2009 …………. 80
2. Bentuk – Bentuk Hukuman Dalam KUHP ……….…. 85
3. Penyalahgunaan Narkotika ………. 107
B. Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika
Menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika ………..……….. 110
1. Sistem Penghukuman Pidana terhadap
Pecandu Narkotika ………. 110
2. Sistem Penghukuman Rehabilitasi terhadap
Pecandu Narkotika ………. 123
BAB IV: PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM
SISTEM PENGHUKUMAN BAGI PECANDU NARKOTIKA
A. Sejarah Badan Narkotika Nasional ……….. 133
B. Peranan Badan Narkotika Nasional Dalam
Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkotika Setelah Lahirnya
Undang – Undang No 35 tahun 2009 Dan
Peraturan Presiden No 23 Tahun 2010 ………. 138
Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika………... 169
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……… 175
B. Saran ………... 179
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Pengadilan Negeri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang – Undang N0 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptis analitis, dengan menggunakan Teori Pemidanaan peneliti mencoba menganalisis bagaimana seorang penyalahgunanarkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika, tentang sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 tahun 2009 dan menganalisis tentang peranan Badan Narkotika Nasional dalam system penghukuman bagi pecandu narkotika.
Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan secara terus menerus akan mempengaruhi fungsi berfikir, perasaan dan perilaku orang yang memakainya. Keadaan ini bisa menimbulkan ketagihan (addiction) yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan (dependence). Kondisi yang menimbulkan gejala dan ciri fisik dan psikis yang khas yang dapat digunakan sebagai parameter seseorang tersebut adalah pecandu narkotika . Menurut peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang narkotika pecandu narkotika yang diakui secara hukum di bagi menjadi dua yaitu : Pecandu Narkotika Karena Melapor Kepada Institusi Penerima Wajib Lapor ( IPWL ), Pecandu Narkotika Karena Mengajukan Permohonan Pada Saat menjalani Proses Peradilan.
Sistem penghukuman bagi pecandu narkotika dapat dilakukan dengan hukuman pidana maupun hukuman tindakan berupa rehabilitasi, dapat diambil kesimpulan bahwa Jenis Sanksi yang diterapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana (straf ) tetapi juga sanksi tindakan (maatregel) . Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system
Dengan adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011dan di perkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika. Memberikan posisi yang sangat sentral kepada BNN khususnya terkait pemberian rekomendasi untuk menempatkan pecandu narkotika dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, guna memperoleh pengobatan dan Perawatan dalam rangka pemulihan.
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Pecandu memiliki karekteristik yang khas dan seorang pecandu nerkotika harus melaporkan diri kepada pihak yang berwenang agar dapat diakui oleh hukum bahwa ia seorang pecandu narkotika, BNN memiliki peranan untuk memberi rekomendasi bahwa seorang tersangka/terdakwa adalah seorang pecandu narkotika, dimana rekomendasi itu dapat digunakan sebagai pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman.
ABSTRACT
The aim of the research was to see how the punishment system was imposed upon drug addicts as it stipulated in law No 35/2009 on Narcotics. The research was judicial normative and descriptive analytic approach. In using punishment theory, the researcher analyzed how a drug abuser could be called a drug addict, about the punishment system for drug addicts as it is stimpulated in Law No 35/2009, and about the rule of BNN ( National For Combating Drug Abuse ) in the punishment system for drug addicts.
A drug addicts is a person who uses and abuses drugs, and his dependence on drugs, either physically or psyhically. Since the drug is abused continuously, it will eventually affect his mind, felling, and behavior. He becomes addicted and dependent on it. This specific symptom and phisycal and psychical characteristics can be used as the parameter for this person to be called a drug addict. According to the legal provisions on narcotics, a drug addict, who is legally recognized, comprises of two types: A drugs addict because he reports to IPWL ( the Institution for receiving a person who is Liable to report ) and a drug addict because he appeals to the court when he is on trial.
The punishment system imposed upon a drug addict can be done by corporal punishment and punitive action such as rehabilitation. It can be concluded that the type of punishment, which is implemented, comprises of criminal sanction ( straf ) and punitive action ( maatregel ). The recognition of the principle of equality between criminal sanction and punitive action is the basic truth or the basic idea of double track System.
Gouverment Regulation No 25/2011, ratified by the Directives of the Head of BNN No 2/2011 on the Procedures of Handling the Suspects and the Accused of Drug Abuse, Drug Abuse Victims and Drug Addicts, has given the vital position to BNN recommend drug addicts to be medically and socially rehabilitated, starting from the investigation process, in order that they can be cured and treated in the rehabilitation.
The result of the research showed that drug addicts had specific characteristics, a drug addict must report to the authority in order that he is legally recognized as a drug addict, and BNN could recommended that the suspects/the accused are drug addicts. This recommendation could be used by the judge in giving the verdict.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan hakikatnya adalah upaya mewujudkan tujuan nasional bangsa
Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan, berdasarkan iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesuai tujuan yang tercantum dalam alinea
keempat Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa hakikat
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan
kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu
melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi.1
Pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah penggerak (fasilitator dan
dinamisator) perwujudan tujuan nasional itu. Pemerintah sebagai penyelenggara
proses pembangunan, maka pemerintah bertindak mewakili kepentingan seluruh
lapisan bangsa. Pembangunan dilaksanakan langsung oleh pemerintah dan
masyarakat yang terdiri dari: tingkat mikro individu atau pribadi rakyat; tingkat
agregat-nasional dimulai di tingkat kelompok masyarakat, desa-kelurahan,
kecamatan, kabupaten-kota, propinsi sampai nasional, dan tingkat global
internasional pembangunan antar negara bangsa.2
Kita tidak dapat mengelak bahwa pembangunan yang kita laksanakan
sekarang ini berada pada era globalisasi membawa dampak positif dan negatif
1
Bapennas.Go.id, pokok – pokok penyelenggaraan Pembangunan Nasional, Diakses 9 februari 2012 2
terhadap kehidupan suatu bangsa. Banyak efek positif dan negatif yang ditimbulkan
oleh perkembangan masa globalisasi tersebut, sehingga akses ke seluruh dunia mudah
diterima dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan kita yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Keadaan itu menuntut
peran kita sebagai manusia untuk dapat memilah-milah mana yang baik dan mana
yang buruk. Peran ideologi Pancasila sangat penting digunakan sebagai filter
terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar tentu saja yang sesuai dengan
kepribadian bangsa .3
Kita sebagai manusia dalam hidup ini dibekali akal dan budi atau perasaan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia , yakni
sejak jaman manusia ada di bumi hingga sekarang ini tidak pernah luput dari berbagai
tantangan yang senantiasa menghampiri dirinya maupun kelompoknya.4
Pembangunan yang sangat penting harus dilaksanakan saat ini adalah
pembangunan di bidang hukum. Pembangunan hukum nasional itu bertujuan untuk
mewujudkan sistem hukum dan pemerintahan agar lebih baik, transparan, dan
tanggap terhadap peran publik yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan. Agenda pembangunan nasional yang dituangkan dalam Undang – Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang program pembangunan Nasional telah merumuskan
visi bangsa Indonesia yang salah satunya menginginkan terwujudnya sistem hukum
nasional yang menjamin tegaknya supermasi hukum dan hak asasi manusia
3Ibid
4
berlandaskan keadilan dan kebenaran, untuk mewujudkan aparatur negara yang
berfungsi melayani masyarakat, professional, berdaya guna, produktif, transparan,
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.5
Penegakan hukum seperti yang di cita-citakan diatas selalu melibatkan
manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat
tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji –
janji serta kehendak – kehendak yang tercantum dalam ( peraturan – peraturan )
hukum.6
Penegakan hukum tidak terlepas dari beberapa masalah yang harus mendapat
perhatian agar cita – cita kita untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum kita
dapat segera tercapai adalah : 7
1. Masalah kualitas SDM calon penegak Hukum
2. Masalah Kualitas penegak hukum “ in abstracto” ( proses pembuatan produk perundang – undangan )
3. Masalah kualitas penegak Hukum “ in concreto”, dan
4. Masalah kualitas budaya hukum ( pengetahuan dan kesadaran hukum )
masyarakat.
Tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi individu,
masyarakat, bangsa, maupun negara, maka harus dapat diberantas semaksimal
5
Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum, 2010, hal.3
6
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, ( Semarang : Genta, 2009 ), hal.7
7
mungkin tidak terkecuali permasalahan narkotika. Masalah narkotika merupakan
masalah nasional dan internasional, karena penyalahgunaannya akan berdampak
negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal yang
dirasakan di Indonesia dimana hampir setiap hari peredaran narkotika dan
penyalahgunaannya, mulai dari tertangkapnya pengedar ataupun ditemukannya
pabrik-pabrik narkotika hingga berita generasi muda yang tewas karena
mengkonsumsi narkotika, tiada henti-hentinya diberitakan di media cetak maupun
media elektronik.8
Perkembangan penyalahgunaan narkotika dari waktu ke waktu
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan kasus-kasus yang
terungkap oleh jajaran kepolisian RI hanyalah fenomena gunung es, yang hanya
sebagian kecil saja yang tampak di permukaan sedangkan kedalamannya tidak
terukur. Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah nasional dan Internasional
karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek
kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara serta dapat menghambat proses
pembangunan nasional.9
Direktur Advokasi Deputi Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN)
Brigjen Pol Anang Iskandar mengungkapkan, intensitas peredaran gelap narkotika
saat ini meningkat, baik untuk tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi, maupun
usia. Hasil survei BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
8
http://www.komnasham.go.id, pendidikan-dan-penyuluhan, diakses 5 Februari 2012
9
pada tahun 2010 menemukan, prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia diproyeksikan naik 2,21 persen dari 1,99 persen di tahun 2008, bila tidak dilakukan
upaya-upaya penanggulangan yang komprehensif, ini akan meningkat lagi menjadi
2,8 persen atau setara dengan 5,1 juta orang pada tahun 2015 .10
Kasus penyalahgunaan narkotika berikut ini merupakan bukti bagaimana
narkotika sudah begitu hebat menyusup ke semua lapisan masyarakat . Seorang pilot
Lion Air berinisial HA ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di sebuah
karaoke Hotel Grand Clarion, Makassar, Sulawesi Selatan. Selasa (9 Januari 2012),
pukul 23.30 WIB. Saat melakukan pesta narkoba, dia tak sendiri. HA bersama 5
orang temannya di kamar 308 karaoke Hotel Grand Clarion. BNN juga menemukan
sejumlah barang bukti salah satunya di dalam kantong celana pilot tersebut ditemukan
shabu - shabu seberat 0,3 gram. 11
Satuan narkotika Polres Jakarta Utara menangkap dua oknum pegawai Badan
Narkotika Nasional (BNN) yang kedapatan menjual narkotika. Keduanya ditangkap
dengan barang bukti disita 67,9 gram sabu, 11 butir ekstasi dan sepucuk senjata api
berikut satu butir peluru. Kedua oknum PNS BNN yakni, Ade Setiawan (25) dan
Tayep Taher (36). Keduanya berhasil ditangkap setelah sebelumnya, Edihamsah
tertangkap saat menjual shabu - shabu kepada polisi narkotika yang melakukan
penyamaran.
10
http://www.gatra.com/hukum, BNN Peredaran Gelap Narkotika Meningkat, diakses 4 februari 2012
11
Dari pengakuan Edihamsah yang ditangkap di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara
mengaku 0,25 shabu yang diperoleh Edihamsah dari Ade oknum PNS BNN.12
Kasus 13.500 personel aparat Kepolisian Daerah Aceh, 6,4 persen polisi atau
sekitar 800 lebih teridentifikasi terlibat narkotika dan 60 persen di antaranya positif
pemakai narkotika setelah dilakukan tes urin. Kepala Polisi Daerah Aceh, Irjen Pol
Iskandar Hasan, di Meulaboh mengatakan, sebelum itu 800 lebih personil yang
semula terindikasi sebagai pemakai, pengedar bahkan bertindak sebagai backing
peredaran narkotika di wilayah Aceh. Aceh memang sejak lama terkenal menjadi
salah satu sumber peredaran ganja (Cannabis sativa, L). Dengan topografis dan kondisi alam yang luas dan terpencil, penanaman ganja di ladang-ladang di
gunung-gunung masih marak terjadi.13
Peristiwa terbaru adalah kasus tabrakan maut dimana Mobil Xenia yang
dikemudikan Afriyani yang diduga mengkonsumsi narkotika telah menewaskan 9
orang di Tugu Tani Jakarta. Hal ini harus dijadikan momentum awal untuk
membangkitkan kembali gerakan bebas narkotika. Kita jadikan kasus Afriyani
menjadi momentum untuk menghidupkan kembali gerakan anti penyalahgunaan
narkotika. Jadi diperlukan revitalisasi gerakan anti penyalahgunaan narkotika dengan
pola baru dan desain baru. Aparat penegak hukum harus bisa merancang sebuah
operasi pembebasan generasi muda dari penyalahgunaan narkotika.14
12
www. Analisadaily.com, Oknum BNN Menjual Narkotika, diakses 3 Februari 2012
13
www.antaranews.com, Personel Polda Aceh Terlibat Narkotika, diakses 2 Februari 2012
14
Bahaya Narkotika di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Penggunaan yang
terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan sebuah fakta yang menunjukkan
bahwa masalah narkotika di Indonesia tak kunjung usai sampai saat ini. Bagaimana
bisa usai jika sebagian besar penggunanya adalah generasi muda penerus bangsa.
Mereka tidak menyadari apa sesungguhnya resiko / bahaya yang akan mereka terima
dari penggunaan narkotika. yang mereka pikirkan hanyalah kepuasan sesaat setelah
menggunakan narkotika tersebut.15
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan. Di satu sisi narkotika merupakan obat atau
bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya
pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama.16
Peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah
keberadaannya apabila diadakan dan digunakan untuk tujuan kepentingan medis dan
ilmu pengetahuan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 7 Undang – Undang No 35
Tahun 2009 yang berbunyi : “ Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi “
15
www.komnasham.go.id, Pendidikan-Dan-Penyuluhan, diakses 5 Februari 2012
Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika hanya melarang
penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang. Keadaan yang demikian ini
dalam kenyataan di lapangan , penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan
untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu,
dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan
ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya
generasi muda.
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Penyalahgunaan / melebihi dosis
2. Pengedaran narkotika
3. Jual beli narkotika
Ketiga bentuk Tindak pidana Narkotika itu adalah merupakan salah satu sebab
terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang
secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi
muda, dan terutama bagi si pengguna, Seperti : 17 a. Pembunuhan
b. Pencurian
c. Penodongan
d. Penjamretan
e. Pemerasan
17
f. Pemerkosaan
g. Penipuan
h. Pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas dan lain – lain
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan
berbahaya lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup
nasional maupun secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika
memang telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok
kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan ketahanan
nasional sebuah bangsa, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
perkembangannya hingga saat ini penyalahgunaan penggunaan narkotika tersebar
secara luas pada berbagai jenjang usia dan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari
jenjang usia muda hingga tua, kelas ekonomi bawah sampai dengan menengah ke
atas. Namun yang patut mendapat perhatian lebih adalah adanya kecenderungan
peningkatan angka yang signifikan pada lapis usia produktif.18
Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika)
dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional
dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya
penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disenergikan
dan diintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui
kerjasama regional maupun internasional.
Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya
dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961.
Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk :19
1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh
negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan
internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8
bentuk perjanjian internasional.
2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi
penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan; dan
3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran
narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas
Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi
tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1976
Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang
mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk
menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah Undang - Undang No. 9
19
Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang - Undang No. 9 Tahun 1976 menjadi
pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial
Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 jo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.20
Sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara
anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat
transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Havana, Cuba. Resolusi ketigabelas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi
kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan :
(a) Meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya
narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan
pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan
bahaya narkotika.
(b) Program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah
antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan
20
pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.21
Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia
Tenggara disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional
ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :
1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan
kejahatan narkotika.
2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika
3. Membentuk badan koordinasi di tingkat nasional; dan
4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan
internasional.
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs
dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL)
yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di
wilayah ASEAN. Selain itu, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian.
21
Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum
terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada
tingkatan nasional, regional, maupun internasional.22
Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah menunjukkan sikap yang
sama dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, dengan merumuskan kesepakatan untuk mempercepat menjadikan ASEAN
bebas narkotika. Untuk mencapai hal tersebut, oleh ACCORD (Asean and China CooperativeOperations in Response to Dangerous Drugs), telah disusun empat pilar sebagai pokok kegiatan sebagai berikut : .23
1. Secara proaktif membangkitkan kesadaran dan mendorong peran masyarakat
dalam menangkal penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
2. Membangun kesepakatan bersama dan bertukar pengalaman terbaik dalam
upaya pencegahan.
3. Mempertegas penegakan hukum dan peraturan melalui kerjasama yang lebih
baik dalam pengawasan dan peningkatan kerjasama aparat penegak hukum,
serta peninjauan pembuatan undang-undang yang berlaku.
4. Menghapus persediaan narkotika gelap dengan mendorong program-program
pengembangan alternatif dalam membasmi penanaman gelap narkotika.
22
Ibid
23
Kita sangat mengharapkan operasi pembersihan secara besar-besaran terhadap
penyalahgunaan obat yang akan dilancarkan, baik oleh inisiatif berbagai kalangan
masyarakat, maupun oleh kepolisian dewasa ini, akan mencapai hasil optimal, paling
tidak dapat membatasi meluasnya penyalahgunaannya. Upaya baik berupa
pencegahan, pemberantasan maupun penanggulangan permasalahan peredaran gelap
narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya telah dilakukan oleh segenap elemen
bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan Undang-Undang tentang Narkotika dari
Undang – Undang No 9 tahun 1976 menjadi Undang - Undang Nomor 22 tahun 1997
kemudian diubah lagi menjadi Undang - Undang Nomor 35 tahun 2009.24Menurut Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika , bahwa peraturan
pelaksanaan dari Undang - Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan /atau belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan Undang – Undang ini. Dengan berlakunya undang –
undang ini maka Undang - Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ( Lembaran
Nagara tahun 1997 nomor 67, tambahan LN nomor 3698 ) dinyatakan tidak berlaku.
Undang – Undang No 35 Tahun 2009 berlaku pada tanggal diundangkan 12 Oktober
2009.25
Kebijakan Perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi
Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk meningkatkan
kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
24Ibid 25
narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa,
dan Negara. Undang – Undang baru ini bertujuan untuk mengatur upaya
pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana,
yaitu : pidana penjara, pidana seumur hidup, pidana mati.26
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 diyakini dapat memberikan efek jera
yang diiringi harapan semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan
obat-obatan terlarang lainnya di Indonesia. Pelaksanaan upaya pencegahan juga telah
dilakukan baik oleh pihak Kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN)
ditingkat pusat sampai dengan Kabupaten melalui upaya-upaya penyuluhan dan
sosialisasi tentang bahaya narkotika serta langkah-langkah penegakan hukum yang
dilakukan oleh pihak Kepolisian dibantu instansi-instansi terkait lainnya. Berbagai
pabrik-pabrik yang memproduksi Narkotika berhasil di ungkap oleh petugas, namun
tetap saja bahaya kejahatan ini menjadi sebuah permasalahan yang harus diwaspadai
olehmasyarakat.27
Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo menargetkan pada tahun 2015
Indonesia bebas narkotika. Karena Polri adalah bagian dari pemberantas narkotika
sehingga diharapkan bisa memberikan bukan hanya penegakan hukum tapi
cantumkan 2015 Indonesia bebas narkotika. Begitulah yang diungkapkan Kapolri di
Gedung DPR, Rabu 1 Februari 2012. Kapolri juga mengatakan, pemberantasan
narkotika bukan hanya tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri saja, namun
26
Ibid
27
seluruh masyarakat juga ikut bertanggung jawab untuk memberantas narkotika,
sehingga peningkatan penegakan hukum yang dilakukan Polri dengan BNN , dapat
efektif dilakukan dan dapat menghasilkan efek pemberantasan penyalahgunaan
narkotika yang lebih maksimal.28
Peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang ini telah menjadi sebuah
bisnis besar yang menghasilkan keuntungan besar bagi para pelaku kejahatan
tersebut. Namun dibalik hal itu, ancaman yang diberikan dari penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya ini sungguh teramat berbahaya. Masalah
ini bukanlah permasalahan yang harus di atasi oleh pemerintah dan aparatnya,
melainkan menjadi sebuah permasalahan yang harus di atasi oleh keseluruhan
masyarakat beserta elemen-elemen pendukungnya. 29
Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh
lembaga formal pemerintah ( Dep. Kes, Imigrasi, Bea dan Cukai, Polri, BNN,
BNP, dan lain-lain) maupun oleh lembaga swadaya masyarakat lainnya masih
belum optimal, kurang terpadu dan cenderung bertindak sendiri-sendiri secara
sektoral. Oleh sebab itu masalah penyalahgunaan narkotika ini tidak tertangani
secara maksimal, sehingga kasus penyalahgunaan narkotika makin hari
bukannya makin menurun tapi cenderung semkin menigkat baik secara kualitas dan
kuantitas.30
28
www. nasional.vivanews.com, Polri-Targetkan-Ri-Bebas-Narkotika-2015, diakses 1 februari 2012 29 http://ferli1982.wordpress.com, Op.cit.
30
Melihat trend perkembangan peredaran dan penyalahgunaan Narkotika dan
obat-obatan terlarang lainnya saat ini, adalah suatu hal yang mustahil di berantas dan
ditanggulangi apabila kita hanya mengandalakan peran pemerintah dan instansi
terkait termasuk Badan Narkotika dan Kepolisian semata.31
Berdasarkan resolusi no 42/112 PBB, United Nations On Drugs and Crime
(UNODC) menetapkan tanggal 26 Juni sebagai “International Day Against Drug
Abuse and Illicit Drug Trafficking” atau yang biasa dikenal dengan “Hari Anti Madat
Sedunia”. Sampai dengan hari ini, tanggal 26 Juni dijadikan tonggak untuk
memperkuat aksi dan kerjasama dunia internasional untuk menciptakan masyarakat
yang bebas dari penyalahgunaan Narkotika. 32
Masalah dengan narkotika tidak akan pernah bisa diselesaikan bila tidak
disertai dengan pemahaman tentang penyakit kecanduan dan regulasi yang tepat.
Kebanyakan masyarakat dan pembuat kebijakan masih percaya bahwa penghukuman
yang menimbulkan efek jera dapat menjadi senjata yang efektif. Pendekatan seperti
ini juga yang selama ini diterapkan dalam kampanye global “War Against Drugs”.33
Pemerintah sampai saat ini belum memiliki data konkrit tentang keefektifan
kebijakan narkotika yang selama ini diterapkan. Kebanyakan negara-negara di dunia,
(termasuk Indonesia) menerapkan pendekatan “drug prohibition” yang cenderung represif. Bila kita melihat kembali sejarah di Amerika Serikat pada tahun 1972
sampai dengan 1988 – angka penggunaan cocaine justru meningkat 5 kali lipat saat
31
www. ferli1982.wordpress.com, Op.Cit
32ibid 33
gencarnya kampanye “War Against Drugs”. Kampanye yang dirancang untuk menurunkan prevalensi penggunaan narkotika pada saat itu justru menciptakan efek
kebalikannya meningkatkan jumlah penggunaan.34
Pembuat kebijakan seringkali melupakan bahwa permasalahan narkotika tidak
akan pernah selesai apabila kita tidak memecahkan masalah utamanya seperti
kemiskinan, tingginya angka pengangguran, dan minimnya akses terhadap layanan
publik. Langkah menempatkan pengguna narkotika sebagai kriminal tidak tepat,
karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah akses terhadap layanan-layanan yang
dapat membantu mereka pulih dari kecanduannya. Kecanduan adalah sebuah
penyakit yang bersifat progresif, merusak biologis, psikologis, sosial dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini adalah chronical relapsing disease (penyakit kambuhan). Oleh sebab itu sudah sangat jelas bahwa pecandu adalah Korban.35
Di Indonesia saat ini sudah ada peraturan yang menyebutkan bahwa pengguna
narkotika dapat dikirim ke panti rehabilitasi untuk menjalani perawatan sebagai ganti
hukuman kurungan. Namun sayangnya, semenjak peraturan tersebut berlaku tahun
1997 ( Undang - Undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika ), belum banyak yang
dikirim ke panti rehabilitasi atas perintah hakim di pengadilan. Hal ini terjadi
terutama karena masih kurangnya batasan antara pengguna dan pengedar di dalam
Undang - Undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika tersebut.36
34
Ibid
35Ibid 36
Masyarakat memang sering menganggap orang yang menyalahgunakan
narkotika sebagai sampah masyarakat, ini tidak bisa disalahkan. Karena baru
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 yang memberikan perlakukan yang berbeda bagi
pelaku penyalahgunaan narkotika. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada
perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkotika,
sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkotika, terdapat
perbedaan yang jelas terhadap masing – masing pelaku penyalahgunaan narkotika
seperti Bandar adalah orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai dan menjual narkotika, sedangkan Pengguna narkotika
adalah orang yang menggunakan narkotika tetapi belum sampai tahap kecanduan,
Pecandu adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik fisik maupun psikis.37 Pecandu narkotika sangat membutuhkan dukungan komunitas. Bagaimanapun juga pecandu adalah warga
negara yang memiliki persamaan hak dengan anggota masyarakat lainnya. Tidak
dapat dipungkiri kampanye-kampanye yang selama ini dilakukan cenderung
menempatkan pengguna narkotika sebagai kelompok yang terisolir, sehingga secara
tidak langsung berdampak kepada kesempatan mereka untuk mengakses
layanan-layanan.38
37
Hasil wawancara dengan Fitri Yanti, S.Sos (divisi jaringan & komunikasi) Primansu, dilakukan tanggal 5 7 2012
38
Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah
manusianya. Sebaliknya paradigma hukum positivistis meyakini kebenaran hukum di
atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya
paradigma hukum progresif justru hukum yang boleh dimarjinalkan untuk
mendukung eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.
Penegakan hukum terutama bidang penganggulangan penyalahgunaan
narkotika ini memang harus terus menerus berada pada status membangun diri. Lihat
saja bahwa perubahan sosial terkait dengan semangat menegakkan hukum bagi
pecandu narkotika dengan dukungan sosial engineering by law tujuan hukum progresifnya yakni kesejahteraan manusia.
Pengalaman di berbagai belahan dunia ini bahwa telah berkembang stigma
pecandu hingga menjadi keyakinan masyarakat bahwa pecandu narkotika adalah
jahat. Stigma ini hanya membuat kian terpuruknya pecandu. Lahirnya
Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika memberikan angin segar terhadap
pergeseran perlakuan pecandu narkotika. Mereka adalah korban yang wajib
disembuhkan dengan dukungan kasih sayang. Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 4 tahun 2010 dan diperkuat dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2011
menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang tertangkap tangan oleh aparat
pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang
telah ditentukan.39
Implementasi Undang-Undang Nomor 22/1997 tentang Narkotika, meski
pecandu dikriminalisasi toh terlihat bagai tiada efek jera. Kondisi secara nasional
sangat memprihatinkan. Jumlah pemakai Narkotika pada tahun 1998 adalah 1,3 juta
orang dan tahun 2001 menjadi 4 juta orang atau (2% dari jumlah penduduk). Dalam
kurun waktu 3 tahun pemakai Narkotika meningkat 300%. Dari jumlah pemakai
tersebut 80-90% adalah pada usia produktif yaitu 15-25 tahun. Data BNN tahun 2008,
jumlah kasus Kejahatan Narkotika dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) tercatat
sebesar 85.596 kasus dengan angka peningkatan rata-rata 22,3% per tahun. Jumlah
tersangka yang ditangkap dalam kurun waktu tersebut sebanyak 135.278 orang
dengan rata-rata peningkatan per tahun 25,6%, dan sekitar 76,5 % pelaku adalah usia
produktif (16-40 tahun).40
Barang bukti narkotika yang disita, periode 2005-2008, antara lain : jenis
narkotika, daun Ganja 206.927.300,1 gram, Pohon Ganja 3.633.761 batang, Hashish
5.761,4 gram, Heroin 65.638 kg, Kokain 2.902 gram. Jenis Psikotropika, Ekstasi
2.988.498 tablet, Shabu 3.370.660,7 gram, dan Daftar G 11.800.972 tablet. Kejahatan
narkotika telah menjadi lahan bisnis sindikat dunia dan tak terpisahkan dari kejahatan
internasional. Para pelaku seakan tak mengalami efek jera. Secara keseluruhan
39
www. kadarmanta.blogspot.com, A. Kadarmanta , Penegakan Hukum bagi Pecandu Narkoba Paradigma Undang - Undang N0. 35 Tahun 2009, di akses 28 1 2011.
40
jumlah terpidana mati kasus narkotika di Indonesia adalah 72 orang yang divonis oleh
berbagai Pengadilan Negeri (PN).41
Meningkatnya penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun tidak terlepas
dari putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan itu, ada baiknya
penulis menggambarkan kasus narkotika yang diputus oleh Pengadilan Negeri yang
menjadi bahan penelitian penulis.
Tabel Kasus Narkotika Pengadilan Negeri Medan
NO Tahun Jumlah Kasus Hukuman
Penjara Rehabilitasi
1 2009 672 672 ---
2 2010 899 897 2
3 2011 421 421 ---
Sumber : Pengadilan Negeri Medan ( Maret 2012 )
Dari tabel kasus narkotika di atas, terlihat adanya penerapan hukuman pada
kasus penyalahgunaan narkotika terdapat 2 ( dua ) sanksi pidana yang dapat
diputuskan oleh hakim yaitu sanksi pidana penjara bahkan hukuman mati dan sanksi
tindakan berupa rehabilitasi bagi para penyalahguna narkotika, dan putusan yang
dijatuhkan kepada penyalahguna narkotika yang juga seorang pecandu terkesan masih
jauh dari yang diharapkan oleh ketentuan perundang-undangan tentang Narkotika,
41
seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga) unsur
yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Lahirnya undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang terbaru
ini cenderung lebih bersifat humanis/manusiawi dalam memandang korban
penyalahgunaan narkotika namun sangat keras terhadap para pengedar, importir dan
produsen narkotika itu sendiri. Selain itu, dalam undang-undang ini juga ditegaskan
bagi para pecandu yang sudah cukup umur maupun orang tua / wali dari pecandu
yang belum cukup umur wajib untuk melapor kepada puskesmas, rumah sakit atau
lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk pemerintah, untuk mendapatkan
pemulihan atau rehabilitasi.42
Menurut Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat
rehabilitasi ketergantungan narkotika. Dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik,
mental dan sosial pecandu, dengan tujuan akhir dengan sembuhnya pecandu dari
belenggu ketergantungan narkotika, maka cara ini akan menjadi alat pemutus rantai
siklus peredaran gelap narkotika (bertolak pada permintaan dan penawaran) yang
belakangan ini meningkat.43
42
www. id-id.facebook.com/, Perlindungan Hukum Pecandu/Pemakai Narkotika, diakses 20 4 2012 43
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 103
menyebutkan:
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika..
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pengaturan mengenai penerapan tindakan rehabilitasi dalam Undang-Undang
Narkotika ini terkandung pada Pasal 54, 103, dan 127 sebagaimana disebutkan diatas.
Disamping itu, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2010 mengatur mengenai
Penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika ke
menjelaskan hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan
Terdakwa penyalahguna narkotika untuk mendapat tindakan Rehabilitasi. Apabila
dihitung sejak 12 Oktober 2009 diberlakukannya Undang-Undang No 35 Tahun
2009, apakah Undang-Undang ini dapat mempermudah hakim dalam menerapkan
tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika. Dan apakah
peraturan perundang-undangan ini sudah dapat melindungi hak rehabilitasi para
pecandu. Karena hingga akhir tahun 2010, Badan Narkotika Nasional hanya
mencatat sebanyak 16 pecandu yang telah divonis hakim berdasarkan rujukan
SEMA untuk menjalani perehabilitasian.44
Pemaparan yang ada dalam Pasal 103 dan Pasal 127 Undang - Undang No 35
Tahun 2009 menjelaskan bahwa untuk penyalahguna narkotika dapat dihukum pidana
maupun hukuman rehabilitasi. Dengan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik
untuk meneliti lebih lanjut tentang hal tersebut sehingga penulis memilih judul dalam
tesis ini “Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika Pada Undang – Undang No
35 Tahun 2009 tentang Narkotika”
44
B.Permasalahan
Dari Uraian seperti yang tersebut diatas maka dapatlah dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah seorang penyalahguna narkotika dapat dikatakan sebagai
seorang pecandu narkotika?
2. Bagaimana sistem penghukuman bagi pecandu narkotika menurut Undang -
Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?
3. Bagaimanakah peranan Badan Narkotika Nasional dalam Sistem
Penghukuman bagi pecandu narkotika ?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang
masalah-masalah yang telah dirumuskan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana seorang penyalahguna
Narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika menurut Undang –
Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
b. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana sistem penghukuman bagi
pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang
c. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Peranan Badan Narkotika
Nasional dalam Sistem Penghukuman Bagi pecandu narkotika.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut:
a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran tentang bagaimana seorang
penyalahguna Narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika menurut
Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
b. Memberi sumbangan pemikiran bagaimana sistem penghukuman bagi
pecandu narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
c. Memberi sumbangan pemikiran bagi peningkatan Peranan Badan Narkotika
Nasional dalam Sistem Penghukuman Bagi pecandu narkotika
d. Memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang
hukum pidana, khususnya permasalahan tentang narkotika.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan
hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa
penelitian tentang “Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika Pada Undang –
Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, belum pernah dilakukan di dalam
permasalahan dan pendekatan yang digunakan. Walaupun ada beberapa hasil
penelitian di perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang tindak
pidana Narkotika, namun permasalahan dan pendekatan yang digunakan adalah
berbeda. Jadi penelitian ini asli dan belum pernah ditulis oleh peneliti lain
sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara
akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori,tesis, si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan , problem , yang bagi si
pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis, yang mungkin disetujui
maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.45 Teori dan penelitian harus secara bersama berfungsi menambah pengetahuan
ilmiah seorang peneliti ilmu hukum tidak boleh menilai teori terlepas dari kenyataan,
fakta – fakta hukum yang ada ditengah - tengah masyarakat. Dengan demikian dalam
melakukan penelitian, seorang peneliti ilmu hukum harus senantiasa mendasarkan
45
diri pada teori yang ada, kemudian hasil penelitian yang dilakukan dapat mendukung,
memperluas atau mengkoreksi teori tersebut.46
Kerangka teori adalah bagian penting dalam sebuah penelitian terutama pada
penelitian yang menggunakan pendekatan keharmonisan antara teori atau doktrin
dengan data yang dikumpulkan. Maka kerangka teori ini sangat penting untuk
dirumuskan secara tepat karena kerangka teori ini merupakan pisau analisis bagi
peneliti untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang telah dirumuskan.47 Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang
sebagai satu-satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam
alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945
mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun umum. Secara khusus,
tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menurut Lawrence M. Friedman hukum sebagai suatu sistem atau subsistem
dari sistem kemasyarakatan akan berperan dengan baik jika instrument
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan – kewenangan di bidang penegakan
hukum maka sistem hukum ini tersusun dari beberapa subsistem yang mencakup,
46
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, ( Jambi : Mandar Maju, 2008 ), hal 139
47
struktur hukum (structure), substansi hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture). 48
Ketiga unsur sistem hukum inilah yang nantinya akan sangat menentukan
apakah suatu sistem hukum berjalan atau tidak. Substansi hukum biasanya terdiri dari
peraturan perundang – undangan. Sedangkan struktur hukum adalah aparat, sarana
dan prasarana hukum. Adapun budaya hukum adalah berupa perilaku dari anggota
masyarakat itu sendiri.49 Cara lain menggambarkan tiga unsur hukum itu adalah dengan mengibaratkan “struktur” hukum sebagai mesin. Substansi hukum adalah apa
yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau
siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.50
Max Weber dalam teori paksaan (dwang theory) mengemukakan bahwa
penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang
merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai tata tertib dan ketertiban.
Paksaan dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh kelompok orang-orang yang
mempunyai wewenang untuk berbuat demikian (dalam hal ini seperti kepolisian,
kejaksaan, maupun pengadilan).51
48
M. Hatta, Beberapa masalah penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus, Yogyakarta: Liberti, 2009, hal 1.
49
Ibid
50
Lawrence Friedman, America Law An Introduction, Sebagaimana Diterjemahkan Oleh Wisnu Basuki , Jakarta: PT Tatanusa, 1984, hal. 8.
51