BAB II: KLASIFIKASI SEORANG PENYALAHGUNA NARKOTIKA
F. Parameter Penyalahguna Narkotika Dapat
Seseorang yang terlibat narkotika biasanya mengalami gangguan fungsi kerja tubuh dan perilaku dikarenakan oleh zat adiktif / candu yang terkandung dalam berbagai jenis narkotika. Mereka tidak dapat mengendalikan diri untuk berhenti begitu saja, sehingga menghilangkan kontrol sosial mereka. Keadaan seperti ini membuat mereka siap melakukan apa saja untuk mendapatkan narkotika. Inilah yang membentuk karakteristik para pemakai narkotika.111 Menteri kesehatan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/menkes/sk/iii/2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan Napza, memberikan gambaran bagaimana karakteristik / parameter seorang pecandu narkotika yang dapat disimpulkan bahwa seseorang penyalahguna narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika adalah seseorang yang memiliki ciri sebagai berikut:112
a. Ciri pecandu narkotika secara umum: 1. Suka berbohong
2. Delusive (tidak biasa membedakan dunia nyata dan khayal) 3. Cenderung malas
4. Cendrung vandalistis (merusak) 5. Tidak memiliki rasa tanggung jawab
111
www. Elib.unikom.ac.id, jenis-jenis narkoba dan sifat penggunanya, diakses 4 7 2012
112 Lihat Lampiran Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
6. Tidak bisa mengontrol emosi dan mudah terpengaruh terutama untuk hal - hal yang negatif
b. Gejala dan ciri – ciri seorang pecandu narkotika secara fisik:113
Yang dimaksud dengan ketergantungan fisik mencakup gejala – gejala yang timbul pada fisik pecandu yang menyebabkan pecandu tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada narkotika. Hal ini dipengaruhi oleh sifat toleransi yang dibawa oleh narkotika itu sendiri, yaitu keadaan dimana pemakaian narkotika secara berulang – ulang membentuk pola dosis tertentu yang menimbulkan efek turunnya fungsi organ – organ sehingga untuk mendapatkan fungsi yang tetap diperlukan dosis yang semakin lama semakin besar. Seseorang dikatakan sebagai pecandu menurut petugas assessment di Primansu adalah ketika seseorang itu telah menggunakan narkotika selama 3 tahun, pemakaian mencapai 4 kali atau lebih dalam satu hari, dan telah addicted ( kecanduan ), tahapan seseorang menggunakan narkotika dapat dibagi menjadi 3 tahap: 1. Tahap coba – coba, 2. Tahap pengguna, 3. Tahap Pecandu Narkotika, namun secara fisik dapat disimpulkan bahwa ciri – ciri pecandu narkotika adalah :
Ciri fisik yang sering timbul pada pecandu narkotika antara lain: 1. Pusing / sakit kepala
2. Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan, lemah
113
Hasil wawancara dengan Fitri Yanti, S.Sos (divisi jaringan & komunikasi) Primansu, dilakukan tanggal 5 7 2012
3. Mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman. 4. Bicara cadel
5. Mual
6. Badan panas dingin
7. Sakit pada tulang- tulang dan persendian 8. Sakit hampir pada seluruh bagian badan 9. Mengeluarkan keringat berlebihan. 10.Pembesaran pupil mata
11.Mata berair 12.Hidung berlendir
13.Batuk pilek berkepanjangan 14.Serangan panik
15.Ada bekas suntikan atau bekas sayatan di tangan.
Ciri – ciri pecandu narkoba secara psikologis: 1. Halusinasi
Pemakai biasanya merasakan dua perasaan berbeda yang intensitasnya sama kuat. Akibat dari ini menimbulkan penglihatan – penglihatan bergerak, warna – warna dan mata pemakai akan menjadi sangat sensitif terhadap cahaya terang. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan terhadap hewan percobaan, efek hallucinogen ini mempengaruhi beberapa jenis zat kimia yang menyebabkan tertutupnya system penyaringan informasi. Terblokirnya
saluran ini yang menghasilkan halusinasi warna, suara gerak secara bersamaan. Biasanya halusinasi ini merupakan efek dari penggunaan narkotika yang bersifat organic (ganja) tetapi dapat juga ditimbulkan oleh narkotika sintetis seperti putauw.
2. Paranoid
Penyakit kejiwaan yang biasanya merupakaan bawaan sejak lahir ini juga dapat ditimbulkan oleh pengguna narkoba dengan dosis sangat besar pada jangka waku berdekatan. Pengguna merasa depresi, merasa diintai setiap saat dan curiga yang berlebihan. Keadaan ini memburuk bila pengguna merasa putus obat, menyebabkan kerusakan permanen dalam system saraf utama. Hasilnya adalah penyakit jiwa kronis dan untuk menyembuhka membutuhkan waktu sangat lama. Efek ini ditimbulkan oleh jenis shabu – shabu yang memancing keaktifan daya kerja otak sehingga melebihi porsi kerja otak normal.
3. Ketakutan pada bentuk – bentuk tertentu
Pengguna narkoba pada masa putus zat (sakau) memiliki kecenderungan pisikologis ruang yang serupa diantaranya:
a. Takut melihat cahaya
b. Mencari ruang sempit dan gelap
d. Mudah terpengaruh oleh warna – warna yang merangsang.
4. Histeria
Pengguna cenderung bertingkah laku berlebihan diluar kesadarannya, ciri – cirinya adalah:
a. Berteriak – teriak
b. Tertawa – tawa diluar sadar c. Menangis
d. Merusak
Efek ini dapat ditimbulkan dari berbagai macam jenis narkotika karena pada dasarnya, efek pisikologis yang ditimbulkan narkotika juga dipengaruhi oleh pembawaan pribadi pecandu.
Tingkat ketergantungan dari pengguna narkoba terbagi tiga tahap:114 a. Toleransi
Pada tahap ini narkoba hanya berpengaruh pada fisik pengguna narkoba. Tahap ini adalah tahap dimana tubuh seorang pengguna menjadi terbiasa dengan narkoba dengan dosis rendah. Pada umumnya pengguna tidak akan bertahan lama pada dosis ini, karena tubuh pengguna akan terus meminta dosis yang lebih tinggi untuk merasakan efek yang diinginkan.
114
b. Kebiasaan
Pada tahap ini narkoba berpengaruh pada fisik dan mental pengguna narkoba. Tahap ini merupakan tahap seorang pengguna narkoba memiliki keinginan untuk terus menerus mengkonsumsi narkoba. Pengguna merasa tanpa mengkonsumsi narkoba mereka tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik.
c. Addict
Pada tahap ini narkoba mempengaruhi pengguna dalam segala aspek, mereka merasa tidak dapat hidup tanpa narkoba. Kematian karena over dosis sering terjadi pada tahap ini.
Masalah penyalahgunaan narkotika bukan merupakan aib keluarga, tetapi merupakan masalah nasional tanggung jawab bersama yang harus ditanggulangi secara terpadu, terkoordinir, terarah dan berkelanjutan serta dilakukan secara serius/sungguh-sungguh. Semua komponen bangsa harus merasa terpanggil untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan melakukannya dengan penuh keikhlasan sebagai suatu ibadah. Pecandu narkotika secara kenyataan belum dapat dikatakan sebagai pecandu secara yuridis atau menurut hukum jika pecandu tersebut belum melakukan kewajiban dan hak pecandu yang telah diatur dalam peraturan perundang – undangan tentang narkotika.
Menurut peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang narkotika pecandu narkotika yang diakui secara hukum di bagi menjadi dua yaitu :
1. Pecandu Narkotika Karena Melapor KepadaInstitusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
Indonesia telah memiliki Undang - Undang N0 35 tahun 2009 tentang narkotika yang dalam Pasal 54 menyatakan bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Bagi pecandu, terapi dan rehabilitasi adalah langkah terbaik. Ketergantungan adalah penyakit yang harus disembuhkan dan bukan dihukum.
Ketentuan tentang wajib lapor bagi seorang penyalahguna narkotika yang merupakan pecandu narkotika semakin dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, diterangkan dalam Peraturan Pemerintah ini bahwa wajib lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya , dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan /atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 ini mengatur secara lebih jelas menerangkan bahwa Institusi Penerima Wajib Lapor adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Wajib Lapor dapat dilakukan oleh orang tua atau wali Pecandu
Narkotika yang belum cukup umur dan Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya. Pasal 4 mengatakan bahwa Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor, Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri kesehatan, Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur tentang tata cara wajib lapor, seperti diterangkan dalam Pasal 6 yang mengatakan Wajib Lapor sebagaimana dilakukan dengan melaporkan Pecandu Narkotika kepada Institusi Penerima Wajib Lapor, dalam hal laporan dilakukan selain pada Institusi Penerima Wajib Lapor, petugas yang menerima laporan meneruskannya kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Pasal 7 menjelaskan bahwa Institusi Penerima Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib melakukan asesmen (asesmen yaitu suatu tahap dalam pra terapi bagi calon pasien untuk menilai tingkat keparahan dan atau menentukan kebutuhan penyembuhan)115 terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika, Asesmen meliputi aspek medis dan aspek sosial. Pasal 8 mengatakan Asesmen sebagaimana dilakukan dengan cara wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu Narkotika. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat psikiatris, serta
115
riwayat keluarga dan sosial Pecandu Narkotika. Observasi yang dilakukan meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika.
Pasal 9 menjelaskan fase setelah asesmen yaitu hasil asesmen dicatat pada rekam medis atau catatan perubahan perilaku Pecandu Narkotika, hasil asesmen bersifat rahasia dan merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang bersangkutan, kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rencana rehabilitasi kemudian disepakati oleh Pecandu Narkotika, orang tua, wali, atau keluarga Pecandu Narkotika dan pimpinan Institusi Penerima Wajib Lapor. Pasal 10 menjelaskan Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan, Kartu lapor diri diberikan oleh Pimpinan Institusi Penerima Wajib Lapor.
Undang – Undang No 35 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 dengan jelas mengatur bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai seorang pecandu narkotika ketika ia melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib Lapor ( IPWL ), Untuk melaksanakan wajib lapor pecandu narkotika tersebut maka perlu ditetapkan Institusi Penerima Wajib Lapor ( IPWL ) , menyikapi hal tersebut Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1305 / Menkes / SK/ VI/ 2011 yang menetapkan RSUP H. Adam Malik –Medan, Puskesmas Tanjung Morawa – Deli Serdang dan Rumah Sakit Jiwa – Medan sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor
, untuk daerah Sumatera Utara. Menteri Sosial juga menyiapkan beberapa IPWL di Sumatera Utara yaitu : Sibolangit Center dan Panti Sosial Pamardi Putra (Panti Insaf).
2. Pecandu Narkotika Karena Mengajukan Permohonan Pada Saat Menjalani Proses Peradilan
Kewajiban rehabilitasi medis dan / atau rehabilitasi sosial ini juga berlaku pada pecandu narkotika yang masih berada pada tahap – tahap peradilan walaupun belum jatuh vonis seperti yang tertuang dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika dalam Pasal 13 menjelaskan Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga bagi Pecandu Narkotika yangdiperintahkan berdasarkan: 1. Putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, 2. Penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
Pasal 13 ini juga mengatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud uraian diatas merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter. Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 sebenarnya sangat memberi kewenangan kepada para penegak hukum untuk dapat memeriksa secara benar apakah seseorang itu penyalahguna murni atau memang dia juga seorang pecandu, jika dia adalah seorang pecandu maka ia harus segera di rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan.
Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 ini di perkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, dalam SEMA No 3 Tahun 2011 ini Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan adanya aturan – aturan dalam Undang - Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, yang juga mengatur mengenai rehabilitasi bagi korban narkotika, memberikan posisi yang sangat sentral kepada Polisi, Jaksa dan Hakim khususnya terkait dengan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan sampai proses pemeriksaan di persidangan untuk membentuk penetapan, namun demikian hakim tetap diminta dalam memberikan perintah penetapan maupun putusan tetap memperhatikan dan merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010.116
Badan Narkotika Nasional dalam menyikapi Peraturan Pemerintah No 25 Tahu 2011 ini telah mengeluarkan Peraturan yaitu Peraturan Kepala Badan Narkotika
116
Nasional Republik Indonesia No 2 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan, Dan Pecandu Narkotika, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa penyalahguna, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika yang ditetapkan sebagai tersangka atau Terdakwa dalam perkara tindak pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika selama proses peradilan perlu penanganan secara khusus melalui penempatannya dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan/atau Rehabilitasi Sosial guna memperoleh pengobatan dan Perawatan dalam rangka pemulihan.
Peraturan Kepala BNN ini memberikan pedoman teknis dalam penanganan penyalahguna yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa untuk dapat menjalani rehabilitasi medis dan/atau Rehabilitasi sosial selama proses peradilan berlangsung. Pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Peraturan ini dijelaskan tata cara pengajuan permohonan agar tersangka atau terdakwa dapat di rehabilitasi yaitu , tersangka atau terdakwa harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada penyidik, Jaksa Penuntut Umum, atau Hakim sesuai tingkat pemeriksaan, dalam Pasal 6 Peraturan ini juga dijelaskan syarat – syarat yang harus dilengkapin agar permohonan dapat diproses lebih lanjut.117
Pada Pasal 8 dijelaskan bahwa untuk penanganan permohonan yang telah diterima yaitu, Kepala BNN membentuk Tim Penanganan Penyalah guna, dimana susunan tim meliputi :
a. Kepala BNN sebagai pelindung
117
b. Inspektur Utama BNN sebagai pengawas c. Sekretaris Utama BNN sebagai Penasenat
d. Deputi Rehabilitasi BNN sebagai Penanggung jawab e. Deputi Hukum dan kerjasama BNN sebagai ketua Tim
f. Deputi Pemberantasan BNN sebagai Koordinator Kajian Jaringan Narkotika
g. Direktur Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat BNN sebagai Koordinator Kajian Medis.
h. Direktur Hukum Deputi Hukum dan Kerjasama BNN Koordinator Kajian hukum
i. Perwakilan dari Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Deputi Bidang Rehabilitasi, dan Direktorat Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerjasama BNN sebagai Sekretaris dan Anggota Tim.118
Prosedur Penanganan permohonan oleh Tim BNN dijelaskan dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 20 Peraturan ini dimana dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa setelah tim menerima permohonan maka berkas akan diperiksa oleh ketua tim, setelah diteliti kelengkapan persyaratan dokumen permohonan selanjutnya tim melakukan pembagian tugas dan membentuk tim untuk melakukan asesmen dan kajian medis, psiko dan sosial terhadap tersangka atau terdakwa. Asesmen dan kajian medis meliputi beberapa kegiatan yaitu wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada
118
tindak kriminalitas, riwayat psikiatris, riwayat keluarga dan sosial tersangka atau terdakwa, observasi atas perilaku tersangka atau terdakwa, serta pemeriksaan fisik dan psikis.119
Kajian selanjutnya yang harus dilakukan adalah kajian narkotika dan prekusor narkotika dimana kegiatan kajian ini meliputi pencocokan identitas tersangka, seperti photo, sidik jari, ciri-ciri fisik, dan nama/alias, dengan data jaringan narkotika yang ada di database Deputi Bidang Pemberantasan BNN, analisis data intelijen terkait, serta telaah Berita Acara Pemeriksaan Tersangka atau Terdakwa yang terkait lainnya. Terakhir kajian yang dilakukan adalah Kajian Hukum yaitu meliputi telaah tentang hasil asesmen dan hasil kajian medis serta hasil kajian jaringan narkotika dan prekusor narkotika, telaah penerapan pasal – pasal Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010, dan pembuatan pendapat hukum.
Tim dapat meminta keterangan kepada tersangka atau terdakwa dan pihak lain yang terkait ketika melakukan asesmen dan kajian, hasil asesmen dan kajian medis, hasil kajian jaringan narkotika dan prekusor narkotika, dan hasil kajian hukum di sampaikan kepada ketua Tim, kemudian ketua tim mengadakan rapat pengambilan keputusan paling lambat 3 ( tiga ) hari sejak tanggal menerima hasil asesmen dan
119
kajian, Tim asesmen dan kajian melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu paling lambat 15 hari kerja. Asesment dan kajian dilaksanakan di Kantor BNN.120
Keputusan tim dapat berupa permohonan di kabulkan, dan tim akan memberikan rekomendasi penempatan Tersangka dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan/atau Rehabilitasi Sosial, Rekomendasi diberikan dalam bentuk Surat Keterangan yang ditandatangani oleh ketua tim disampaikan kepada pemohon. Keputusan juga dapat berupa penolakan permohonan, penolakan tersebut diberitahukan kepada pemohon disertai alasan penolakan.
Tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai pengedar narkotika dan/atau prekusor narkotika dan tersangka atau terdakwa yang terbukti memiliki narkotika melebihi jumlah tertentu dan terbukti positif memakai narkotika sesuai hasil asesmen tetap ditahan dirumah tahanan BNN dengan tetap mendapatkan pengobatan dan perawatan dalam rangka pemulihan baik secara medis maupun secara sosial.121
120
Ibid
121
BAB III
SISTEM PENGHUKUMAN BAGI PECANDU NARKOTIKA MENURUT UNDANG - UNDANG NO 35 TAHUN 2009
A. Pidana Dan Penghukuman
Sebelum membahas tentang sistem penghukuman bagi pecandu narkotika terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan penghukuman. Menurut Sudarto,perkataan penghukumansinonim dengan perkataan pemidanaan, tentang hal tersebut menurut beliau antara lain bahwa: Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.122
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi: 123
a. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
122
www.zharfan29.blogspot.com, Hukuman-Pidana-Dan-Macamnya.html. Diakses 11 4 2012 123
c. Dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang – Undang ( orang memenuhi rumusan delik/Pasal).
Pidana merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal justice process) merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan dan pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.124
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan /diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.125
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu.
124
www.kejaksaan.go.id/pusdiklat, Op.cit
125
Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.126
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:127
a. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (Undang - Undang pidana yang memuat sanksi pidana dan Undang - Undang non pidana yang memuat sanksi pidana).
b.Beratnya sanksi itu;
c.Lamanya sanksi itu dijalani; d.Cara sanksi itu dijalankan;dan e.Tempat sanksi itu dijalankan.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk pengganti kata Pidana,: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah. Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno lebih tepat ”pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara
126
www.zharfan29.blogspot.com, Op.cit
127
yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang - Undang Hukum Pidana.128
1. Sistem Penghukuman Pidana Menurut KUHP Dan Undang – Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Moeljanto berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljanto mengatakan bahwa “ orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan ( dijatuhi Pidana ) kalau dia