• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh:

NAMA: MUHAMMAD IZUL NIM: 1111045100003

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

MUHAMMAD IZUL, NIM. 1111045100003. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA). Program Studi Jinayah Siyasah Jurusan Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016 M/ 1347 H

Skripsi ini bertujuan mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam (analisa undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library reaserch yaitu melakukan pengkajian terhadap hukum pidana positif dan pidan Islam dengan menganalisa peundang-undangan tentang narkotika dan dalam skripsi ini mengacu kepada buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.

Hasil penelitian ini mengatakan bahwa, pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam terhadap pecandu narkotika, masih terkonsentrasi dengan pendekatan sistem hukum pidana. Menurut sisitem pemidanaan, baik pidana positif maupun pidana Islam, pecandu narkotika dipandang sebagai pelaku jahat yang sama kedudukan hukumnya dengan kejahatan lain. Menurut sistem hukum pidana, pecandu narkotika dianggap sebagai pelanggar hukum pidana, sanksinya adalah pinjara, sementara hukum Islam, juga memandang pecandu narkotika mendapat 80 atau 40 kali cambukan. Padahal, pecandu narkotika adalah orang yang terlanjur menjadi korban akibat perbuatannya sendiri (self victimizing victims) yang perbuatan pelanggaran hukumnya tidak merugikan orang lain kecuali dirinya sendiri. Karena melihat pecandu dianggap sebagai kategori korban, maka terbitlah undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika bertujuan membedakan anatara pemidanaan kejahatan sebagai kategori jahat yang merugikan pihak lain dengan pecandu narkotika yang harus dibantu agar normal dan sehat secara pisik dan psikisnya. Oleh karena itu, pendekatan yang baik dilakukan adalah bahwa pecandu narkotika tidak harus mendapat sanksi pinjara, tapi pelakunya didorong mendapatkan sangsi rehabilitasi sebagai perwujudan pemulihan. Terobosan hukum dengan memberi rehabilitasi bagi pecandu narkotika harus didiorong dan mendapat empati dari masyarakat dan khususnya umat Islam.

Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana, Hukum Islam, Pecandu Narkotika

Pembimbing : Amrizal Siagian. S.Hum., M.Si

(6)

ii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat

dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai

akhir zaman.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh

rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya

masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak

ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan

kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan

sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN

(7)

iii

4. Bapak Nur Rohim, LLM. Selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik atas nasihat dan

arahanya.

6. Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan

ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu

berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan

datang.

8. Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H.Baginda Mangamar dan Ibu

Hj.Mahinar Sagala yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta

dukungan moril dan materil serta doa kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Pidana Islam

angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani

perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Kepada Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang selalu

memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.

11. Kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Labuhanbatu (HIMLAB RAYA

(8)

iv

Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu

menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya

perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna

bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 24 September 2016

Penulis

(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARKOTIKA A. Telisik Deskripsi Tentang Narkotika ... 14

B. Pecandu Narkotika Sebagai Tingkah Laku Menyimpang ... 22

C. Sebab Dan Akibat Memakai Narkotika ... 26

D. Pecandu Narkotika Sebagai Korban ... 28

E. Fenomena Kehidupan Pelaku Memakai Narkotika ... 30

(10)

vi

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA

DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Narkotika Dalam Perundangan- Undangan Negara

Indonesia ... 40

B. Aturan Pertanggungjawaban Pidana ... 44

C. Prinsip Hukum Pidana ... 48

D. Pertanggungjawaban Hukum Pidana suatu Keniscayaan ... 50

E. Lingkup Pertanggungjawaban pidana Pecandu Narkotika Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika... 52

F. Pertanggungjawaban Pidana pecandu Narkotika Menurut Hukum Islam ... 57

(11)

vii

B. Inkonsistensi Pelaksanaan Peraturan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika ... 68

C. Mempersoalkan Praktek Pidana Islam Terhadap Pecandu

Narkotika ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Narkotika merupakan ancaman serius bagi kelangsungan pembangunan

manusia khususnya di Indonesia. Betapa tidak indikasi penyalahgunaan

narkotika (sering juga disebut narkoba) di Indonesia saat ini bukan hanya

terbatas pada kalangan tertentu saja, tetapi hampir disemua kalangan,

baik di tingkatan usia maupun jenis pekerjaan semua telah terkena efek

penyalahgunaan narkoba. Dari anak usia sekolah dasar sampai pada orang tua

yang berusia hampir lanjut, atau dari buruh kasar sampai pejabat pun terlibat

penyalahgunaan narkoba.

Diakui, bahwa kejahatan narkoba adalah kategori kejahatan the drug

trafficking industry yang merupakan bagian dari kelompok kegiatan

organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational

Criminal Organization) di samping jenis kejahatan lainnya, seperti smuggling

of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material,

transnational criminal organizations and terorism, trafficking in body parts,

theft and smuggling of vehicles, money loundring. 1

Dan sampai saat ini, kejahatan narkoba telah menjadi permasalahan

global dan telah menjadi kejahatan lintas negara (transnational crime). Dan

aparat hukum di banyak negara beranggapan, untuk memberantas peredaran

1

(13)

2

narkoba sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah karena

peredaran narkoba dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized crime)

yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations) yang

telah mendunia. 2

Berdasarkan hasil survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba

tahun anggaran 2014 jumlah penyalahgunaan narkoba diperkirakan sebanyak

3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun

terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun ditahun 2014

Indonesia jadi sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10 -59 tahun masih

atau pernah memakai narkoba, angka tersebut terus meningkat dengan

merujuk hasil penelitian yang dilakukan badan narkotika nasional (BNN)

dengan Puslitkes UI dan diperkirakan jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8

juta jiwa pada tahun 2015. 3

Berdasarkan hal tersebut guna meningkatkan upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana Narkotika dibentuklah Undang Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pembaharuan atas Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1997. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya

penyalahguna Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap

narkotika. Dalam Undang-undang ini diatur pula mengenai sanksi pidana

bagi penyalahgunaan Narkotika.

2

(14)

Agar dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana,

dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah

Narkotika.

Semua jenis sanksi tadi penerapannya tergantung kondisi kasusnya.

Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali misalnya, selain harus

diobati/direhabilitasi oleh negara secara gratis, mungkin cukup dijatuhi sanksi

ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat. Dengan

demikian, berbeda dengan hukum sekuler yang berlaku sekarang, dimana

pengguna narkoba justru disamakan dengan orang sakit atau korban, yang

harus diobati dengan cara yang khusus. Sehingga seolah-olah memberi pesan

bahwa mengkonsumsi narkoba itu tidak melanggar hukum. Pantas saja orang

tidak takut lagi mengkonsumsi narkoba, sebab merasa tidakakan terkena

sanksi hukum.

Ancaman hukuman bagi pengedar narkoba sangat berat di Indonesia,

tetapi mengapa para pengedar tersebut tidak merasa takut,dan bahkan warga

negara asing sudah banyak yang ditangkap polisi karena berani membawa

narkoba ke Indonesia. Sedangkan hukuman pengedar narkoba di Indonesia

paling singkat 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Kasus narkotika dengan

pidana mati salah satu jenis pidana di Indonesia. berdasarkan catatan lembaga

HAM Internasional, Indonesia merupakan negara yang masih menerapkan

ancaman hukuman mati dalam sistem hukum pidananya. Hukum nasional

(15)

4

saat ini masih diakui sebagai bagian dari hukum pidana pada pasal 10 KUHP.

Dalam KUHP terdapat dua pasal ancaman pidana mati yaitu pasal 104 dan

340.

Adapun terhadap pengedar tentu tidak layak dijatuhi sanksi hukum yang

ringan atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba,

mereka juga telah membahayakan masyarakat. Sementara untuk gembong

narkoba (produsen atau pengedar besar) yang sangat membahayakan

masyarakat, maka layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman

mati. Dalam hal ini, vonis tidak bisa berubah. Artinya, jika vonis telah

dijatuhkan, vonis ini harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau

bahkan dibatalkan seperti yang terjadi sekarang.

Sementara Meningkatnya jumlah pengkonsumsi narkoba di negeri ini, dan

itu telah menjadi persoalan nasional, salah satunya ditengarai oleh penegakan

undang-undang atau menegakan hukum atau kebijakan kriminal yang

inkonsistensi, jika tidak disebut lemah. Indikasi itu dapat terlihat dengan

mengacu kepada amanah undang-undang tentang narkoba, yaitu,

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (sebagai revisi atas UU No

5 dan 22 Tahun 1997 tentang Narkoba). Dalam undang-undang itu dijelaskan

tentang pelaku-pelaku tindak pidana narkoba, mulai dari pengedar (ada pada

Pasal 111-125),4 dan termasuk di dalamnya diatur tentang posisi pecandu

4

(16)

narkoba. 5 Hak pecandu dalam undang-undang itu disebutkan, pada Pasal 54,

wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sebab, pecandu

disebut kategori “korban” yaitu korban dari akibat perbuatannya sendiri atau

pelaku sekaligus korban (self victimizing victim atau mutual victim). 6 Artinya,

jika pecandu narkoba adalah korban berarti pemerintah wajib memberikan

pelayanan medis dan rehabilitasi sesuai standar sebagaimana amanat

undang-undang 2009 tentang narkotika. Pecandu harusnya mendapatkan treatment di

pusat-pusat rehabilitasi atau sejenisnya dan bukan ditahan di dalam

pemasyarakatan (penjara).

pembatalan vonis (baik sebagian atau total) dan itu tidak boleh”. Adapun dari

sisi waktu eksekusinya, maka pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus

dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Selain

itu, pelaksanaannya pun hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh

5

Pecandu adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sentesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam unang-undang narkotika.

6

(17)

6

masyarakat. 7Sehingga, masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi kejahatan

tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan

kali untuk melakukan kejahatan serupa, dan sanksi yang diterapkan bisa

memberi efek jera.

Narkoba pada dasarnya adalah sesuatu hal yang dilarang oleh agama.

Namun kenyataannya masih banyak warga Negara di Indonesia yang

melakukan penyalahgunaan narkoba di negeri yang mayoritas Muslim. Hal ini

sangat memprihatinkan, sehingga pemerintah sendiri menyebut Indonesia

sudah mengalami darurat narkoba. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus narkoba

terus meningkat tanpa bisa dibendung.

Bahkan bisa dikatakan bahwa persoalan ini sudah menjadi ancaman

tersendiri, khususnya bagi generasi kita di masa depan, karena narkoba bukan

hanya membunuh individu-individu, tapi membunuh satu generasi.

Oleh karenanya Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkoba Menurut

Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan Masalah

Kejahatan narkoba yang melanda negeri ini, termasuk di dalamnya

pecandu narkoba yang diperkirakan berjumlah lebih dari 5,1 juta jiwa telah

dianggap menjadi permasalahan serius dan dianggap menjadi ancaman bagi

7

(18)

kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi merusak kestabilan

politik, sosial, ekonomi dan pertahanan yang menghambat laju pembangunan

bangsa. Disadari bahwa persoalan narkoba dapat merusak berbagai sendi

kehidupan bernegara, maka berbagai produk kebijakan politik hukum

(termasuksanksi pinjara) dilakukan untuk dapat mencegah (preventif),

menghukum (represif), dan pengobatan (kuratif). Kebijakan kriminal itu

tertuang melalui terbitnya undang-undang tentang narkoba Nomor 35 tahun

2009 (revisi dari UU No 5 dan 22 tahun 1997 tentang narkoba). Dan ditambah

kebijakan berupa Peraturan Pemerintah. Terkait dengan pecandu narkoba,

meskipun agama Islam secara tegas melarang dan mengkategorikan narkoba

termasuk barang yang haram jika tidak sesuai dengan peruntukannya.

Dan secara regulasi, pemerintah Indonesia menerbitkan undang-undang

nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika tadi telah mendorong pemerintah agar

memperlakukan khusus bagi pecandu narkoba agar mendapatkan saksi

rehabilitasi baik medis dan sosial sebagaimana terdapat pada Pasal 54, bahwa

pecandu narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dengan arti lain, pecandu bukan di tempatkan pada lembaga pemasyarakatan

atau sanksi pinjara. Oleh karena itu, ketersediaan terhadap fasilitas rehabilitasi

medis dan sosial itu adalah suatu keharusan dari pemerintah untuk korban

pecandu narkoba. Jika korban narkoba berjumlah 5,1 juta orang atau

diperkirakan jumlahnya lebih dari itu, setidaknya jumlah ketersedian

fasilitasnya mampu menampung korban-korban pecandu narkoba tadi.

(19)

8

keberadaan fasilitasnya masih sangat kurang. Dengan arti lain, bahwa sanksi

pinjara bagi pecandu narkoba tidak efektif untuk mengurangi jumlah pecandu

narkoba, bahkan terlihat sebaliknya, bahwa penghuni penjara lebih banyak

didiami oleh narapidan tersangkut kasus narkoba, khusus pecandu narkoba.

Selanjutnya, agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun

secarasis tematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu

penulis uraikan tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan

dan pembatasan masalah. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif,

maka dalam skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai

pembatasan “Pertanggungjawaban Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pecandu

Narkoba (Analisa Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika)”

1. Perumusan Masalah

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pecandu narkotika menurut

sistem hukum pidana?

b. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pecandu narkotika dalam hukum

Islam?

c. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Secara pokok penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-

(20)

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pecandu narkotika.

b. Untuk mengetahui hukum pecandu narkotika menurut hukum Islam.

c. Untuk mengetahui pecandu narkotika menurut Undang- undang

Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, manfaat penelitian ini akan dapat memberi

kontribusi terhadap model pelaksanaan hukum pidana, sebagai bentuk

pertanggungjawaban pecandu narkotika.

b. Secara teoritik, bahwa model penghukuman dengan pemenjaraan

khususnya mekanisme sitem penghukuman pemenjaraan bagi

pecandu narkotika bukanlah satu- satunya model. Artinya perlu

menggali atau mencari terobosan baru terhadap model penghukuman

yang sesuai dengan pecadu yang saat ini model yang dipilih dengan

merehabilitasi pecandu narkotika.

c. Manfaat lain dari penelitian ini adalah diharapkan menjadi bahan

masukan bagi kalangan termasuk para pembuat dan pengambil

kebijakan masyarakat, para keluarga pecandu dan khususnya bagi

pecandu narkoba.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada

sebelumnya, maka penyusun mengadakan tinjauan (review) kajian

terdahulu terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

(21)

10

1. Skripsi Maskuri Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

hidayatullah Jakarta, “Pembebasan bersyarat sebagai upaya pembinaan

narapida dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam” pada

penelitian ini dijelaskan bagaimana pembebasan bersyarat bagi

narapidana sebagai hak warga binaan dalam pandangan hukum pidana

Islam dan hukum positif di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Skripsi Lukman Marsudi Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

UIN syarif hidayatullah Jarkata,“Pengaturan dan Pelaksaan Hak-hak

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatran Cipinang (Kajian Hukum

Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam)” perbedaan pada penelitian

skripsi ini terletak pada Subjek yang dituju, skripsi tersebut sasarannya

lebih kepada kebijakan pengaturan dan pelaksanaan Hak-hak

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

3. Skripsi Asharyanto Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN

syarif hidayatullah Jakarta,”Pidana bersyarat menurut hukum pidana

dan KUHP” Skipsi ini membahas bagaimana prosedur pidana

bersyarat bagi narapidana menurut hukum pidana dan KUHP.

Dari review skripsi terdahulu, penulis belum menemukan skripsi

membahas khusus mengenai materi yang terkandung secara menyeluruh

sebagaiman tema yang hendak diteliti penulis yaitu Pertanggungjawaban

Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pecandu Narkoba (Analisa Undang

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

(22)

E.Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan

dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang

disebut metodologi penelitian, yang dimaksud dengan metodologi penelitian

adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sesama untuk

mencapai suatu tujuan. 8Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan

mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi. 9Sedangkan

penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematika,

metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru atau

asli dalam usaha memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di

masyarakat.10 Dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan satu jenis

penelitian, yaitu penelitian pustaka (Library Research) .

1. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan satu jenis sumber

data, yaitu data Sekunder, merupakan data yang diperoleh melalui studi

pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber

dari, buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan dari internet,

dan lainnya yang berkenaan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana

Soekanto Soerjono, pengantar penelitian hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia press, 1986), h. 6.

10

(23)

12

2. Teknik Analisis Data.

Dalam penelitian ini teknik menganalisa data, penulis menggunakan

metode analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis

menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka.

3. Teknik penulisan

Dalam hal teknis penulisan,penulis mengacu pada buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih sistematik dan lebih terarah. Maka penulis akan

menjelaskan sistematika penulisan dalam skripsi ini. Pada dasarnya skripsi ini

terdiri dari lima bab yang saling berkaitan, yaitu.

Bab satu terkait tentang pendahuluan yaitu, latar belakang, identifikasi

masalah dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Studi

Tinjauan (Review) dan Kajian Terdahulu, metode penelitian, dan sistematika

penelitian.

Bab kedua adalah telisik narkotika secara umum, mencakup narkotika dan

turunannya, kedudukan narkotika menurut hukum Islam, pecandu narkotika

sebagai tingkah laku menyimpang, pecandu narkotika sebagai tindakan

pelanggar hukum, sebab dan akibat pecandu narkotika, fenomena kehidupan

(24)

perdaran narkotika tingkat global, perdaran narkotika tingkat nasional, dan

narkotika di kalangan pecandu narkotika.

Pada Bab ketiga, membahas tentangpertanggungjawaban pidana pecandu

narkotika dalam sistem hukum postif dan hukum pidana Islam, kedudukan

pecandu narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkoba, kedudukan

pecandu narkotika dalam hukum Islam, sistem peminjaraan menurut hukum

positif dan hukum Islam,

Pada Bab keempat adalah analisa atas temuan data, yaitu mempersoalkan

pelaksanaan peraturan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

mempersoalkan pelaksanaan peminjaraan bagi pecandu n narkotika, terobosan

alternatif bagi pecandu narkotika selain hukuman pinjara dalam hukum positif

dan hukum Islam.

Pada Bab kelima adalah bab penutup yang meliputi kesimpulan dan

(25)

14

BAB II

TELISIK NARKOTIKA SECARA UMUM

A. Telisik Deskripsi Tentang Narkoba

Berbagai istilah terminologi sering digunakan, dan tidak jarang

menimbulkan salah pengertian, tidak saja di kalangan pelaku medis tapi juga

kalangan masyarakat secara umum. Istilah asing seperti Drugs Abuse

diterjemahkan sebagai Penyalahgunaan Obat, dan Drug Dependence

diterjemahkan sebagai Ketergantungan Obat. Kata obat dalam kedua istilah

tersebut dimaksudkan sebagai zat atau bahan narkotika dan lainnya yang

sejenis atau yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia. Menurut

Hawari, pengertian Obat disini bukan untuk pengobatan dalam dunia

kedokteran, sedangkan untuk pengobatan istilah yang tepat adalah medicine

bukan drug. Untuk mengilangkan kerancuan tersebut, menurutnya, istilah

yang lebih tepat adalah Substance Abuse yang diterjemahkan sebagai

Penyalahgunaan Zat. 11

Sejak tahun 1987 kalangan medis mengganti istilah drug dengan

substance (DSM) dengan mengacu kepada terminologi internasional yaitu

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (International

Classified of Disseases). Untuk Indonesianya Substances di istilahkan dengan

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif ).

11

(26)

Selain istilah yang berasal dari terjemahan asing dikalangan awam

dikenal istilah Narkoba yang merupakan singkatan dari Narkotika,

Psikotropika dan Obat Berbahaya, dan istilah Napza adalah singkatan dari

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Sementara Dadang Hawari lebih

memakai istilah NAZA. Istilah NAZA merupakan singkatan dari Narkotika,

Alkohol & Zat Adiktif.

Sementara dalam ketentuan hukumnya, kategori ketentuan narkotika itu

termaktub dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika. Undang-undang narkotika tadi memberikan pengertian

mengenai narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Berikut kejelasan istilah Narkoba:

a) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya

rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan

dapat menimbulkan ketergantungan. Golongan ini memiliki daya

adiksi yang sangat berat dan juga memiliki daya toleran

(penyesuaian) dan daya habitual yang sangat tinggi. Jenis-jenisnya

(27)

16

b) Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah

maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan saraf otak pusat yang meneyebabkan

perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Jenis-jenisnya

antara lain MDMA, ekstasi, LSD, STP, amfetamin, metamfetamin,

metakulon, lumibal, fleenitrazepam, nitrazepam (pil BK, mogadon,

dumolid), diazepam dan lain-lain.

c) Bahan-Bahan Adiktif lainnya adalah zat selain narkotika dan

psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Seperti

rokok, alkohol, thinner dan lain-lain.

Berbagai jenis narkoba mudah ditemui dan banyak beredar di

tengah-tengah masyarakat, bahkan dengan mudah didapatkan. Hal itu terjadi karena

tersedianya barang-barang narkoba. Tentunya, karena dibutuhkan dalam

berbagai kebutuhan, untuk kepentingan kesehatan misalnya, keperluan

industri, atau keperluan dalam dunia ilmu pengetahuan. Adalah akan menjadi

masalah, apabila barang narkoba diperuntukkan tidak dalam keperluan tadi,

yaitu dikonsumsi secara legal, diperdagangkan secara gelap. Karena zat-zat

narkoba, sebagai telah disebutkan tadi, di satu sisi dibutuhkan manusia, tapi di

sisi lain akan berdampak negatif bagi manusia. Mengingat itulah, maka

Undang-undang narkoba diterbitkan, yaitu untuk mengatur kebutuhan dan

bentuk-bentuk pelanggarannya.

Saat ini, Undang-undang yang mengatur kepentingan itu tertuang dalam

(28)

sebelumnya, yaitu UU No. 22 tahun 1997. Dalam UU itu diatur, disebutkan

jenis-jenis narkoba dan turunannya serta sanksi-sanksi pidananya.

Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab UU Narkoba, secara umum,

keberadaan narkoba (narkotika dan psikotropika) dapat mendukung pelayanan

kesehatan, dan juga memegang peranan yang penting. Di samping itu narkoba

juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan meliputi penelitian,

pengembangan, pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaanya perlu

dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.

Namun di sisi lain, narkoba dapat mengakibatkan sindrom ketergantungan

apabila penggunanya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak

saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan

keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan

bangsa dan negara.

Oleh karena adanya beberapa kepentingan di atas, maka perlu diatur

melalui per-undang-undangan yang disebut dengan Undang-Undang No 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. UU tahun 2009 tentang narkotika adalah hasil

revisi dari UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No

22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-undang narkoba itu mengatur tentang produksi, peredaran,

(29)

18

pemeriksaan, label, dan iklan, prekursor, pembinaan dan pengawasan,

pemusnahan peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana. 12

Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan mempunyai cakupan

yang luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman

pidana yang diperberat. Demikianlah kiranya pembuatan Undang-Undang No

5 dan No 22 Tahun 1997 tentang narkoba. Tujuan dan harapan

Undang-Undang tersebut adalah untuk mengatur semua aspek penanggulangan

permasalahan narkoba serta dapat mewujudkan pembangunan kesehatan

sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna

tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi

setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang

dilakukan melalui berbagai upaya kesehatan, di antaranya penyelenggaraan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan

dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak

sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran

narkoba secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan

perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat

menimbulkan bahwa yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya

bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Masalah narkoba di Indonesia diharapkan dapat ditanggulangi dengan

menjalankan suatu kebijakan hukum. Hukum menjadi dasar kebijakan dalam

12

(30)

rangka pembangunan negara yang menyeluruh sehingga sekaligus dapat

menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Hukum juga diberi fungsi sebagai

mekanisme operasional dalam upaya merubah kondisi masyarakat melalui

pemerataan kesejahteraan, sebab dalam hukum melekat sifat keadilan.

Adapun jenis-jenis narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif)

yang termasuk dalam UU adalah:

1. Narkotika Alami

a) Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong

yang tepinya bergerigi dan berbulu halus. Jumlah jarinya selalu ganjil,

yaitu 5, 7, atau 9. Tumbuhan ini banyak tumbuh diberbagai daerah di

Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Pulau Sumatera pada

umumnya,serta tumbuh pula di pulau Jawa, cara penyalahgunaannya

adalah dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok lalu dibakar

dan dihisap.

b) Hasis adalah berasal dari tanaman serupa sejenis pohon ganja. Hasis

lebih banyak tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, Hasis

dan Mariyuana dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair,

harganya sangat mahal.

c) Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang

berwarna merah seperti biji kopi. Dalam tradisi masyarakat Indian

kuno, biji koka sering dipergunakan untuk menambah kekuatan orang

yang berperang atau memburu binatang. Koka kemudian diolah

(31)

20

d) Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah

opium dihasilkan candu (opiat). Dulunya bangsa Mesir dan Cina sering

dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit, memberi kekuatan,

atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu

berperang atau berburu.

2. Narkotika Semisintetis

Narkotika semisintetis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil

zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga

dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan

medis. Termasuk dalam jenis ini adalah:

a) Morfin

Morfin dipakai dalam dunia kedokteran untuk menahan rasa sakit atau

pembiusan saat operasi.

b) Kodein

Kodein dipakai untuk penghilang batuk.

c) Heroin

Heroin belum dipakai dalam pengobatan karena daya aktifnya

sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan.

Dalam perdagangan gelap narkotika, Heroin diberi nama Putaw,

atau PeTe. Bentuknya seperti tepung terigu: halus, putih, dan agak

kotor.

d) Kokain

(32)

e) Narkotika Sintetis

Narkotika sintetis adalah narkoba palsu yang terbuat dari bahan

kimia. Narkotika jenis ini, dipergunakan untuk pembiusan dan

pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan narkoba

(substitusi). Contohnya: Petidin, Methadon, dan Naltrexon.

f) Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat bukan bukan narkotika, baik

alamiah maupun sentetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. 13 Psikotropika

adalah obat yang digunakan oleh para medis untuk mengobati

pasien gangguan jiwa. kategori Psikotropika ini, dikelompokkan

dalam beberapa golongan. Golongan I: MDMA, ekstasi, LSD, dan

STP. Golongan II: amfetamin, metamfetamin, metakolon.

Golongan III: lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam. Golongan IV:

nitrazepam (pil BK, mogadon, dan dumolid), diazepam, dan

termasuk kelompok depresan, stimulan atau anti tidur, dan

kelompok halusinogen seperti tanaman kaktus, kecubung, dan

jamur tertentu.

g) Bahan Adiktif Lainnya

Bahan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan

psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Seperti

13

(33)

22

rokok, alkohol dan minuman lain yang menimbulkan ketagihan,

Thinner dan zat lain, seperti lem kayu atau lem Aibon yang dapat

memabukkan ketika dihirup.

B. Pecandu Narkotika Sebagai Tingkah Laku Menyimpang

Dilihat dari persepektif ilmu kriminologi, mengkonsumsi narkotika dapat

dikategorikan perilaku menyimpang dan sampai ketingkat pelanggaran hukum

dan disebut menyimpang karena masyarakat mencela dan masyarakat

memberi kecaman sebagai tindakan yang tidak bermoral. 14 Dikategorikan

melanggar hukum, karena hal itu diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang

narkotika dan ada sanksi pidananya.

DalamUndang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang

narkotika, memberikan pengertian mengenai pecandu narkotika yaitu orang

yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.

Dalam sejarah budaya Indonesia, narkotika sudah dikenal sejak lama,

bahkan dahulunya Indonesia (nusantara) dikenal sebagai pengekspor narkoba

dan menjadikannya sebagai komuditas utama (dahulu disebut opium) yaitu

pada masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ketika berkuasa di

tanah Jawa.

Mengkonsumsi opium dianggap sebagian masyarakat kala itu dapat

mengembalikan vitalitas, membangkitkan gairah seksual dan membangkitkan

14

(34)

eforia, hal itu disebut-sebut dalam kesustraan Jawa abad kesembilan belas

Suluk Gatoloco (Kisah Gatoloco). Namun, pemakaian dan penyebaran opium

mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat Muslim dan orang-orang

Jawa yang menjunjung etika tradisional Jawa, sebab, menurut kelompok ini

mengisap opium adalah hal-hal yang tidak boleh dilakukan, di samping

mencuri, melacur, minum-minuman keras atau mabuk, dan berjudi. 15

Penyalahgunaan narkotika adalah termasuk kategori penyimpangan.

Dikatakan penyimpangan bahwa pelaku memakai obat (drugs) secara terus

menerus atau sekali-sekali secara berlebihan, serta tidak menurut petunjuk

dokter. Arnold dan Brugardt (1983) mengatakan,16bahwa penyalahgunaan

narkoba adalah dipandang sebagai penyimpangan, karena masyarakat

melihatnya sebagai tindakan yang tidak bernilai, tidak disukai dan berbahaya,

sehingga menimbulkan celaan sosial.

Menurut Becker (1963) bahwa perilaku menyimpang adalah perilaku

melanggar aturan yang sederhana yang dilabel menyimpang oleh orang yang

memiliki kekuasaan. Aturan-aturan merupakan refleksi dari norma sosial

tertentu yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Anggota masyarakat yang

membuat aturan dapat melabel pelanggaran (perilaku menyimpang tergantung

pada derajad waktu). Mereka yang dianggap menyalahgunakan narkotika

adalah mereka yang menggunakan zat-zat tersebut bukan untuk tujuan

15

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910,(Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000), h, 75.

16

(35)

24

mengobati, tetapi digunakan untuk mencari dan mencapai “kesadaran

tertentu” karena pengaruh obat pada jiwa.

Sementara Lemert (1951),17 mengatakan bahwa ditemui ada beberapa

penyimpangan yang mungkin dilakukan seseorang. Pertama disebut dengan

penyimpangan primer (primary deviance). Pada tahap ini seseorang

melakukan penyimpangan walaupun ia masih berperan dan mempunyai status

secara normal. Ia tidak mempunyai konsep diri dan konsep peran sebagai

penyimpang. Jika penyimpangan yang dilakukannya secara materi tidak

membuat konsep diri dan memberikan peran penyimpang pada orang tersebut,

maka ia tetap dalam penyimpangan primer.

Kedua penyimpangan sekunder (secondary deviance) dapat berkembang

saat peran penyimpang dilakukan melalui keterlibatan lebih jauh di dalam

suatu subkebudayaan menyimpang dengan lebih banyak interaksi dengan

penyimpang lainnya. Misalnya, seorang pengguna narkotika akan lebih sering

berkumpul dengan sesama pengguna narkotika lainnya guna memperoleh

dukungan sosial dan suplai narkoba. Penyimpangan sekunder mendapat peran

penyimpang dengan partisipasinya yang lebih banyak dalam suatu

subkebudayaan, tambahan pengetahuan dan rasionalisasi untuk perilakunya

serta cara-cara untuk menghindari pemantauan dan sanksi penegak hukum.

Untuk mengukur menyimpang atau tidaknya seseorang bisa diukur dari

batasan-batasan norma dan perkembangan budaya masyarakatnya.

17

(36)

Masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan agama dan adat

istiadatnya sebagai batasan bersikap, akan merasa asing dengan perilaku

seperti homoseksual, lesbian, pelacuran maupun pecandu narkotika.

Penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang itu dapat dirasakan

oleh kelompok masyarakat yang melakoni perbuatannya dengan wujud tidak

diakuinya komunitas itu oleh kelompok mayoritas yang berbeda. Bahkan

acapkali sebagian masyarakat memandang mereka dianggap aib atau cela.

Mustofa mengatakan bahwa tingkah laku menyimpang atau pola tingkah

laku yang tidak mengikuti atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma-norma tersebut tidak hanya

yang dirumuskan secara formal dalam hukum atau undang-undang tetapi juga

yang hidup dalam masyarakat walaupun tidak dicantumkan dalam hukum atau

undang-undang suatu negara. 18

Berkenaan dengan penyalahgunaan narkotika Clinard dan Meier (1989)

mengatakan bahwa penggunaan obat-obatan tertentu itu menyimpang atau

tidak tergantung pada norma yang juga diciptakan secara sosial. Norma dapat

berubah sesuai berlangsungnya waktu sehingga penggunaan obat-obatan di

suatu waktu dapat dianggap menyimpang namun di lain waktu dianggap tidak

menyimpang.

18

(37)

26

C. Sebab dan Akibat Memakai Narkotika

Mengkonsumsi narkotika akan berdampak negatif ke dalam berbagai hal,

termasuk bagi kesehatan individu si pemakai baik kesehatan secara pisik

maupun psikis. Akibat pemakaian narkotika akan menimbulkan dampak yang

bermacam-macam.

Di antara efek narkoba adalah mendorong rangsangan terhadap tubuh, atau

sering juga disebut Stimulan atau ”upper”. Yaitu, merangsang dan memacu

kerja otak dan meningkatkan aktivitas tubuh. Penggunanya akan merasakan

suatu kegembiraan yang amat sangat, dan aktivitas meningkat. Narkoba yang

menimbulkan perasaan seperti tadi adalah Kokain, ATS (Amfetamin,

Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi)

Dadang Hawari mengatakan, bahwa pelaku mengkonsumsi narkotika akan

mengalami gangguan mental dan perilaku, sebagai akibat terganggunya sistem

neorotransmitter pada sel-sel susunan saraf otak. Gangguan trans-mitter tadi

mengakibatkan terganggunya fungsi koknitif (alam pikiran), efektif (alam

perasaan atau mood, atau emosi) dan psikomotor (perilaku). 19 Menurut

Hawari, setidaknya ada tiga pendekatan untuk menjelaskan mekanisme

terjadinya penyalahgunaan narkoba Orgaobiologik, Psikodinamik, dan

Psikososial.

Pertama, pendekatan Organobiologik. Dari perspektif Organobiologik

(susunan saraf pusat atau otak bahwa) mekanisme terjadinya ketagihan hingga

dependensi (ketergantungan) narkoba, ditandai dengan munculnya gangguan

19

(38)

Mental Organik atau Sindrom Otak. Yaitu kegelisahan dan kekacauan dalam

fungsi kognitif (alam pikiran), afektif (emosi), dan psikomotor (perilaku) yang

disebabkan narkoba.

Menurut A. Wikler, seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap

narkoba apabila dia terus-menerus mengkonsumsi narkoba. Tubuh akan dapat

beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf akan bekerja

keras. Jika narkoba dihentikan seketika, sel yang bekerja keras tadi akan

mengalami keausan, atau juga sering disebut putus zat atau putus narkoba.

Sehingga memaksa seseorang untuk mengulangi memakai narkoba.

Jika narkoba dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup,

dihidu, dan melalui suntikan, maka narkoba melalui peredaran darah akan

sampai pada susunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem

neoro-transmitter sel-sel saraf otak. Dan akibat gangguan neoro-transmitter tadi akan

mengganggu mental dan perilaku si pemakai.

Kedua, Psikodinamik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa seseorang akan

terlibat penyalahgunaan narkoba dan sampai kepada ketergantungan narkoba,

apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi yaitu faktor yang

membuat seseorang cenderung menyalahgunakan narkoba. Selain faktor

predisposisi, ada juga faktor kontribusi dan faktor pencetus.

Faktor predisposisi adalah gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian

(antisosial), rasa kecemasan atau depresi yang dialami seseorang. Sedangkan

faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis termasuk di

(39)

28

orang tua, dan hubungan interpersonal antar keluarga. Dan faktor pencetus

adalah pengaruh teman kelompok sebaya (peer group), dan juga mudahnya

narkoba diperoleh.

Dengan bertemunya tiga hal tadi yaitu predisposisi, kontribusi, dan faktor

pencetus akan mengakibatkan seseorang mempunyai resiko jauh lebih besar

terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika.

Ketiga, diakui bahwa penyalahgunaan narkotika adalah bentuk perilaku

yang menyimpang. Menurut perspektif psikososial bahwa seseorang menjadi

berperilaku menyimpang akibat dari pengaruh tiga kutub sosial yang tidak

kondusif. Yaitu kutub keluarga, sekolah atau kampus dan kutub masyarakat.

Seorang anak atau remaja tidak dapat lepas dari tiga kutub itu, yaitu

keluarga, sekolah, dan masyarakatnya (lingkungannya). Bila kutub keluarga

atau sekolah dan masyarakat tidak kondusif, dimana ketiga kutub itu saling

mempengaruhi kehidupan mereka, maka sebagai hasil interaksi ketiga kutub

tersebut resiko perilaku menyimpang akan jauh lebih besar yang pada

gilirannya akan berakibat menyalahgunakan narkoba.

D. Pecandu Narkotika Sebagai ”Korban”

Anggapan bahwa pecandu narkotika adalah sebagai kategori korban atau

pelaku pelanggar hukum masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuan sosial dan

pihak pembuat hukum. Indikasi perdebatan itu terlihat dari bentuk isi

undang tentang narkotika yang diterbitkan pemerintah, khususnya

(40)

tadi pecandu narkotika adalah pelanggar hukum yang mendapatkan sanksi,

khususnya sanksi pinjara, namun pada sisi lain, pecandu narkotika

diperbolehkan mendapat rehabilitasi medis dan sosial. Penentuan bentuk

sanksi rehabilitasi tadi berdasarkan atas kondisi pelaku yang dianggap sebagai

pelaku sekaligus menjadi korban (self victimizing victims). karena pecandu

narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan

narkotika yang dilakukannya sendiri. Pecandu narkotika digolongkan sebagai

korban karena akibat dari perbuatannya yang mengkonsumsi narkotika

tersebut langsung berdampak terhadap dirinya sendiri dan tidak merugikan

orang lain yang tidak menggunakan narkotka tersebut.

Dalam studi-studi viktimologi, pelaku pecandu narkotika dapat

dikategorikan dalam kategori berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi

menurut keadaan dan status korban, yaitu:

a. Unrelated victims , yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama

sekali dengan pelaku.

b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong

dirinya menjadi korban.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi

dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial

(41)

30

f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena

kejahatan yang dilakukannya sendiri. 20

Lebih jauh, ahli kriminologi Thorsten Sellin dan M. E. Wolfgang

mengkaji secara rinci tentang tipologi korban. Menurut mereka, tipologi

korban dikategorikan sebagai berikut:

1. Primary victimization (yaitu korban individual atau perorangan).

2. Secondary victimization (korban berupa kelompok).

3. Tertiary victimization (seperti masyarakat).

4. Mutual victimization (menjadi korban sekaligus menjadi pelaku. Seperti,

pelacur, pengguna narkoba).

5. No victimization (korban tidak dapat segera diketahui. Misalnya korban

penipuan).

Kategori korban menurut rumusan Sellin dan Wolfgang dikembangkan

juga oleh Ezzat Abdel Fattah berdasarkan peran korban, yaitu, a) non

participating victim. b) laten or predisposed victims. c) procative victims. d)

false victims. 21

E. Fenomena Kehidupan Pelaku Memakai Narkotika

Beberapa faktor atau alasan mengapa pelaku (termasuk anak-anak dan

remaja) itu terlibat dengan narkotika, karena penyalahgunaan narkotika terjadi

akibat interaksi dari setidaknya tiga faktor yaitu:

20

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,( PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Jakarta, hlm. 49-50.

(42)

individu, lingkungan, dan ketersediaan narkotika. Beberapa orang memang

mempunyai risiko lebih besar untuk menggunakan narkoba karena sifat dan

latar belakangnya, yang disebut faktor berisiko tinggi (high risk factor) dan

faktor kontributif (contributing factor).

Penyalahgunaan narkotika pada umumnya dimulai dari perkenalannya

terhadap rokok atau minuman beralkohol. Jika anak atau remaja telah terbiasa

merokok, maka dengan sendirinya akan mudah beralih kepada ganja atau

narkotika lain yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini terutama bagi anak

laki-laki. Pada anak perempuan kebiasaan menggunakan obat penenang atau

penghilang rasa nyeri atau njika mengalami stress memudahkannya beralih ke

penggunaan narkotika lain.

Sekali ia menerima tawaran penggunaan narkotika, selanjutnya ia akan

sulit menolak tawaran berikutnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang

menimbulkan ketagihan atau ketergantungan. 22

Pengguna narkoba umumnya berlangsung progresif, dari pemakaian

kadang-kadang, pemakaian teratur, kemudian pemakaian berbagai jenis zat,

sampai akhirnya mengalami ketergantungan kepada zat-zat tersebut.

Pada setiap tahapan, pemakaian-nya lebih intensif, lebih bervariasi, dan

meningkatkan pengaruh yang merusak tubuh. Jika seorang pemakai masih

dalam taraf pemula, ia lebih mudah untuk disembuhkan.

Namun, semakin sering menggunakannya, makin sulit bagi untuk

melepaskan diri dari ketergantungan kepada narkotika.

22

Pramono U. Tanthowi, Narkoba: Problem dan Pemecahannya dalam Perspektif Islam,

(43)

32

Di Antara kelompok yang banyak mengkonsumsi narkotika adalah usia 20

sampai 29 tahun, yaitu berjumlah 1. 474.794. kemudian disusul usia 10

sampai 19 tahun berjumlah 800. 759 orang, dan usia 30-39 tahun sebanyak

641. 745 orang. Sementara pola terjadinya baik pada kelompok laki-laki

maupun perempuan relatif sama. Diperkirakan ada satu dari 14 laki-laki dan

satu dari 57 perempuan menjadi penyalahguna Narkoba di kelompok umur

20-29 tahun. Dan ditmukan pula dengan semakin bertambahnya umur, maka

resiko menjadi penyalahguna Narkoba menjadi semakin kecil. Hal ini

mungkin karena pada kelompok umur di atas 30 tahun mayoritas sudah

berkeluarga sehingga semakin besar tanggung jawabnya terhadap keluarga

dan bagi mereka yang penyalahguna Narkoba berkeinginan kuat untuk

sembuh dari ketergantungan Narkotika.

Di samping itu, kelompok yang paling berperan memberi kontribusi

terjadinya penyalahgunaan Narkoba adalah kelompok pekerja (70%) dan

pelajar termasuk mahasiswa (22%).

Kelompok pekerja adalah kelompok yang berkontribusi tertinggi pada

pekerja yang tidak kost. Tingginya penyalahgunaan di kelompok pekerja

karena secara ekonomi memiliki kemampuan finansial, tekanan pekerjaan,

doping untuk meningkatkan stamina kerja, dan atau dari sejak awal (sebelum

kerja) telah menjadi penyalahguna Narkoba

(44)

F. Kondisi Mendunia Terkait Produksi Narkotika

Permasalahan penyalahgunaan narkotika menjadi permasalahan global dan

melampaui lintas negara (transnational crime).

Aparat hukum dibanyak negara beranggapan, untuk memberantas

peredaran narkotika sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah

karena peredaran narkotika dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized

crime) yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations)

yang telah mendunia. 23

Kejahatan lintas negara ini telah mengancam eksistensi ketahanan dan

keamanan semua bangsa. Patut diduga bahwa kejahatan narkotika (peredaran

narkoba) telah didanai oleh kejahatan terorganisir yang bersifat internasional

dengan dukungan dana besar, sumber daya manusia (SDM) yang profesional

dan teknologi yang sangat maju. Bisnis narkotika yang menjanjikan

keuntungan besar itu telah menyeret semua bangsa ke dalam berbagai

persoalan politik, sosial, ekonomi dan hankam yang berpotensi menghambat

laju pembangunan bangsa (BNN, 2006).

Sampai pada tahun 2006 yang lalu, data yang dikeluarkan oleh Badan

Narkotika Nasional melaporkan bahwa kerugian karena narkoba menunjukkan

tentang dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan

narkoba sangat mengkhawatirkan dunia. Di Amerika Serikat kerugian biaya

ekonomi dan sosial akibat narkoba mencapai $181 milyar. Sedangkan di

Canada $8,2 milyar pada tahun 2002. Di Australia kerugian mencapai sekitar

23

(45)

34

$8,190 juta pada tahun 2004/2005. Perbandingan kerugian biaya narkoba

terhadap gross domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%,

Canada 0,98%, Australia 0,88% dan Perancis 0,16%. Di Indonesia, kerugian

diperkirakan Rp. 23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 . Di Indonesia

dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat, baik

dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang

bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90. 523 butir (2001) menjadi 1,3 juta

butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1. 241,2 kg (2006). Jumlah

tersangka meningkat dari 4. 924 orang tahun 2001 menjadi 31. 635 orang

tahun 2006. Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari

masalah narkoba yang jauh lebih besar.

G. Peredaran Narkotika Tingkat Global

Peredaran narkoba pada tingkat global, terutama jalur yang dikenal

sebagai pemasok utama distribusi narkoba internasional, yang disebut sebagai

jalur “Golden Cressent” dan “Golden Triangel”. Jalur pertama adalah wilayah

berbatasan negara Afghanistan dan Pakistan dan jalur kedua adalah berbatasan

tiga negara yaitu Myanmar, Vietnam, dan Thailand. Berikut peta jalur narkoba

internasional:

Distribusi narkotika dari dua wilayah itu menunjukkan bahwa pada tahun

2010, penanaman opium menunjukkan sedikit kenaikan bila dibandingkan

dengan tahun sebelumnya. Misalnya, dari negara Afghanistan terdapat 123.

(46)

terjadi karena adanya peningkatan di Myanmar, penanaman naik 20 %

dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, jika dihitung secara global terjadi

penurunan tanaman Koka menjadi 149. 100 ha. Turun 18 % dari tahun 2007

ke 2010. Demikian juga pada narkoba jenis kokain, terjadi penurunan secara

signifikan pada tempat produksi Kokain, nampak terjadi penurunan di

Colombia namun kenaikan terjadi di negara Peru dan Bolivia.

Memang, agak sulit memperkirakan berapa jumlah sebenarnya, tentang

total distribusi narkoba, terutama jenis Amphetamine di tingkat global,

misalnya jenis ecstasy Menthamphetamine: bagian kelompok Amphetamine),

sebab di beberapa negara seperti Amerika Serikat banyak memproduksi

narkoba jenis ini melalui laboratorium-laboratorium gelap.

Meskipun demikian, jika dilihat data yang dilaporkan BNN, selain jenis

narkoba yang disebutkan tadi, jenis narkoba yang banyak diproduksi

negara lain adalah ganja. Ganja dapat ditemukan hampir di seluruh

negara-negara di dunia ini, baik di Amerika sendiri, di Eropa, jalur Oceania, dan

bahkan, pada negara-negara berkembang, ganja di tanam di rumah-rumah,

seperti yang terjadi di negara Afghanistan dan Maroko, dua negara ini adalah

termasuk penghasil ganja terbesar di dunia.

Pada tahun 1998 sampai tahun 2009, pengungkapan ganja, heroin,

morphin, dan kokain meningkat dua kali lipat, sedangkan ATS (Amfetamin,

Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi) naik tiga kali lipat. Sementara

pengungkapan kokain dan getah ganja di pasar, berbeda dari daerah asalnya.

(47)

36

Amerika Selatan. Sama seperti getah ganja turun secara signifikan di Eropa,

tetapi naik di Afrika Utara dari tahun 2008 sampai tahun 2009.

H. Peredaran Narkotika Tingkat Nasional

Laporan dari hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Puslitkes-UI

tahun 2011, yang melihat tentang ukuran usia dan pernah mengkonsumsi

narkoba mulai usia 10 – 59 tahun. Dari penelitian itu, ditemukan bahwa

sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta orang (5,9%) dari populasi pernah mencoba

mengkonsumsi narkoba, minimal satu kali sepanjang hidupnya, atau ada 1 dari

17 orang di Indonesia pernah pakai Narkoba sepanjang hidupnya dari saat

sebelum dilakukan penelitian. Sementara berjumlah 3,7 - 4,7 juta orang

(2,2%) yang masih menggunakan Narkoba dalam satu tahun terakhir dari saat

penelitian, atau ada 1 dari 45 orang yang masih menggunakan Narkoba

(current users).

Angka penyalahgunaan Narkoba terbanyak di wilayah Jawa. Tingginya

jumlah peredaran gelap narkoba di Jawa karena dari sisi akses mendapatkan

Narkoba lebih mudah, dari sisi ekonomi dan pendidikan lebih baik, dan

potensi pasarnya besar, karena jumlah penduduk Indonesia sekitar 59% dari

total populasi 10-59 tahun berada di Jawa. Di Sumatera pemakaian Narkoba

(ever used) angka prevalensinya lebih tinggi dibandingkan Kalimantan,

namun tidak untuk angka penyalahgunaan setahun terakhir (current users). Ini

mengindikasikan bahwa pernah pakai di Kalimantan lebih banyak yang masih

(48)

menunjukkan bahwa kebanyakan penyalahguna Narkoba berada pada

kelompok Teratur Pakai (45%), Coba Pakai dan Pecandu Bukan Suntik relatif

sama besar (27%) dan terakhir adalah pecandu suntik (2%).

I. Peredaran Narkotika Kepada Kalangan Remaja

Fenomena penyalahgunaan narkoba merupakan fenomena gunung es (ice

berg phenomenon) artinya yang nampak dipermukaan laut (terdata resmi)

amat kecil jumlahnya, sedangkan yang tidak nampak yaitu yang berada di

bawah permukaan laut (tidak terdata resmi) jauh lebih besar. Atau dengan kata

lain, dalam hal penyalahgunaan narkoba terdapat angka sebenarnya atau angka

gelap yang disebut dengan istilah ”dark number”. Menurut Hawari, bahwa

bila ditemukan 1 orang penyalahgunaan narkoba sebenarnya ada 10 orang

lainnya yang berada di luar (di masyarakat). Sebagai contoh misalnya,

penyalahgunaan heroin (putaw) pada tahun 1995 oleh Bakolak Inpres 6/71

(cikal bakal BNN) dinyatakan sebanyak 0,065% dari jumlah penduduk 200

juta atau sama dengan 130. 000 orang. Menurutnya, bahwa jumlah sebenarnya

adalah 1,3 juta jiwa. Bila ditambah dengan penyalahguna narkoba jenis ganja,

shabu-shabu, ekstasi, sedativa atau hipnotika dan alkohol maka jumlah

penyalahgunaan narkoba itu akan menjadi jauh lebih besar. 24

Untuk tahun 2003, kasus narkoba semakin meningkat dari tahun-tahun

sebelumnya, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di Jakarta sendiri,

jumlahnya meningkat 45,2 %, dari 2. 370 kasus di tahun 2002 menjadi 3441

24

(49)

38

kasus pada akhir tahun 2003. dengan jumlah penyelesaian kasus mencapai

87,4% dari total kasus yang ada. Selanjutnya di tahun 2004, jumlah kasus

narkoba yang ditangani Polda Metro Jaya meningkat 39,4% atau 1. 338 kasus

menjadi 4. 799 kasus. Sedangkat tingkat penyelesaian kasus juga meningkat

menjadi 95,9% dari total kasus yang ada di tahun tersebut. Selanjutnya untuk

tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 23,9% dari tahunnya sebelumnya

menjadi 5. 948 kasus. Total tersangka dalam kasus narkoba tahun 2005 adalah

7. 780 orang. Dari jumlah itu, tersangka yang termasuk kategori pengedar

sebanyak 3. 092 orang, pemakai 4. 686 orang. Dan dari total tersangka

terdapat 27 orang yang berkewarganegaraan asing, sedangkan sisanya adalah

warga Indonesia25

Sebagaimana yang dilaporkan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun

2006 lalu, bahwa di Indonesia, permasalahan dan peredaran Narkoba telah

sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Disebut mengkawatirkan karena

penyalahguna Narkoba telah merambah luas baik di lingkungan pendidikan

(termasuk kampus), lingkungan kerja, pelajar, mahasiswa dan lingkungan

pemukiman di pedesaan maupun di perkotaan. Dengan jumlah penyalahguna Narkoba mencapai 2,3 juta jiwa atau setara dengan 1,5 persen populasi

penduduk Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga kampus

perguruan tinggi menjadi lahan subur peredaran narkoba. Selain berekonomi

25

(50)

menengah keatas, penghuni kampus juga kerap mengikuti gaya hidup

berlebihan. Narkoba dinilai menjadi bagian dari gaya hidup seperti itu. 26

26

(51)

40

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM POSTIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kedudukan Narkotika dalam Perundang-undangan Negara Indonesia

Sebelum tahun 1976, istilah Narkotika belum dikenal dalam

perundang-undangan Indonesia. Peraturan yang berlaku pada saat itu adalah

Undang-Undang Obat Bius (Verdoovende-Middelen Ordonantie) Tanggal 12 Mei 1927

S. 27-278 JO 536 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1928.

Baru sekitar akhir dekade 60-an istilah “Narkotika” diperkenalkan dalam

rangka pencegahan dan pembinaan para pelanggar hukum pidana terkait

narkotika. Antara istilah Narkotika dan Obat Bius tidaklah ada perbedaan

semula narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam dunia medis dan

dalam dunia penelitian. Karena itulah tidak ada larangan dalam menggunakan

Obat Bius (Narkotika) guna kepentingan kedokteran dan ilmu pengetahuan.

Temuan Saefullah dalam penelitiannya mengatakan, bahwa melalui

pengundangan UU RI No. 8 tahun 1976, Indonesia sudah secara resmi dan

berdasarkan hukum “mengesahkan konvensi tunggal Narkotika New York

1961 beserta protokol perbaikannya” di Jenewa 1972. Peristiwa itu

mengandung pengertian bahwa Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan

Protokol perbaikannya berlaku dan mengikat Indonesia didalam kerangka

Organisasi PBB yang bergerak di Bidang Penanggulangan Penyalahgunaan

(52)

Konvensi tunggal Narkotika 1961 ini terdiri dari 51 pasal yang berisi

berbagai ketentuan mengenai Narkotika menerangkan tentang jenis-jenisnya,

jarak pengawasan termasuk lalu lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil

dan sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat menjadi pedoman bagi tiap

negara dan ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. Kemudian

setelah UU No. 9 tahun 1979 tentang Narkotika diberlakukan (LN 1976 No.

37), istilah Narkotika secara resmi digunakan dalam perundang-undangan

Indonesia.

Di Dalam UU itu, Psikotropika atau zat-zat kimia sintetis merupakan

bagian dari Narkotika. Narkotika itu dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a) Narkotika yang berasal dari tanaman atau dari hasil pemprosesan

seperti opiat (opium, morfin, dan heroin), kokain dan kanabis.

b) Narkotika yang berasal dari zat-zat kimia sintetis, yang berupa “

Psychotropic substences) (Deppressant, stimulant dan hallucinogen).

Tetapi dalam perkembangannya, terjadi banyak penyalahgunaan narkotika

dan obat-obatan Psikotropika lainnya yang menyebabkan UU No. 9 tahun

1976 mengenai narkotika tidak relevan lagi. Menyadari akan bahaya yang

ditimbulkannya dari penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, yaitu dapat

merusak bagi pemakai itu sendiri, merusak tatanan masyarakat dalam

kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, agama, ekonomi sampai kepada

penyakit sosial lainnya, maka Pemerintah bersama DPR RI menetapkan secara

Referensi

Dokumen terkait

Kadang, Anda butuh pendapat dari orang lain untuk memahami diri Anda sendiri. Tak masalah, Anda bisa mencoba bertanya pada orang-orang terdekat soal pandangan

Namun dengan instalasi nirkabel ini, yang menarik untuk diteliti adalah seberapa handal sistem nirkabel ini dalam melakukan fungsi pengiriman notifikasinya, seberapa layak

Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah : (1) Memperoleh pemahaman dari unsur-unsur kebudayaan universal masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang,

Hasil penelitian dapat disimpul- kan sebagai berikut: tngkat pendidikan remaja yang marriage diusia muda mayoritas berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah, tingkat pendidikan orang

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan yang berasal dari kulit udang yang berbentuk tepung berupa butiran berwarna putih kekuning-kuningan. Sampel

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun datang bersama ibunya ke dokter praktik umum dengan keluhan nyeri saat berkemih sejak 3 hari yang lalu.. Nyeri diasakan pada ujung penis

Hasil yang dicapai pada penelitian ini adalah sambungan balok kolom yang berdasarkan PBI 1971 mampu menahan kapasitas beban siklik sampai dengan 7,47 tf untuk beban tekan dan 5,19

(2) Mendeskripsikan karakteristik kompetensi guru program keahlian teknik pemesinan di SMK Binawiyata Kabupaten Sragen, dan (3) Mendeskripsikan karakteristik tata