PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh:
NAMA: MUHAMMAD IZUL NIM: 1111045100003
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i ABSTRAK
MUHAMMAD IZUL, NIM. 1111045100003. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA). Program Studi Jinayah Siyasah Jurusan Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016 M/ 1347 H
Skripsi ini bertujuan mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam (analisa undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library reaserch yaitu melakukan pengkajian terhadap hukum pidana positif dan pidan Islam dengan menganalisa peundang-undangan tentang narkotika dan dalam skripsi ini mengacu kepada buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.
Hasil penelitian ini mengatakan bahwa, pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam terhadap pecandu narkotika, masih terkonsentrasi dengan pendekatan sistem hukum pidana. Menurut sisitem pemidanaan, baik pidana positif maupun pidana Islam, pecandu narkotika dipandang sebagai pelaku jahat yang sama kedudukan hukumnya dengan kejahatan lain. Menurut sistem hukum pidana, pecandu narkotika dianggap sebagai pelanggar hukum pidana, sanksinya adalah pinjara, sementara hukum Islam, juga memandang pecandu narkotika mendapat 80 atau 40 kali cambukan. Padahal, pecandu narkotika adalah orang yang terlanjur menjadi korban akibat perbuatannya sendiri (self victimizing victims) yang perbuatan pelanggaran hukumnya tidak merugikan orang lain kecuali dirinya sendiri. Karena melihat pecandu dianggap sebagai kategori korban, maka terbitlah undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika bertujuan membedakan anatara pemidanaan kejahatan sebagai kategori jahat yang merugikan pihak lain dengan pecandu narkotika yang harus dibantu agar normal dan sehat secara pisik dan psikisnya. Oleh karena itu, pendekatan yang baik dilakukan adalah bahwa pecandu narkotika tidak harus mendapat sanksi pinjara, tapi pelakunya didorong mendapatkan sangsi rehabilitasi sebagai perwujudan pemulihan. Terobosan hukum dengan memberi rehabilitasi bagi pecandu narkotika harus didiorong dan mendapat empati dari masyarakat dan khususnya umat Islam.
Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana, Hukum Islam, Pecandu Narkotika
Pembimbing : Amrizal Siagian. S.Hum., M.Si
ii
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat
dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai
akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh
rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya
masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak
ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan
kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan
sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN
iii
4. Bapak Nur Rohim, LLM. Selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik atas nasihat dan
arahanya.
6. Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan
ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu
berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan
datang.
8. Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H.Baginda Mangamar dan Ibu
Hj.Mahinar Sagala yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta
dukungan moril dan materil serta doa kepada penulis.
9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Pidana Islam
angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani
perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Kepada Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang selalu
memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.
11. Kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Labuhanbatu (HIMLAB RAYA
iv
Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu
menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya
perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 24 September 2016
Penulis
v DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Tinjauan Pustaka ... 9
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARKOTIKA A. Telisik Deskripsi Tentang Narkotika ... 14
B. Pecandu Narkotika Sebagai Tingkah Laku Menyimpang ... 22
C. Sebab Dan Akibat Memakai Narkotika ... 26
D. Pecandu Narkotika Sebagai Korban ... 28
E. Fenomena Kehidupan Pelaku Memakai Narkotika ... 30
vi
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA
DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Narkotika Dalam Perundangan- Undangan Negara
Indonesia ... 40
B. Aturan Pertanggungjawaban Pidana ... 44
C. Prinsip Hukum Pidana ... 48
D. Pertanggungjawaban Hukum Pidana suatu Keniscayaan ... 50
E. Lingkup Pertanggungjawaban pidana Pecandu Narkotika Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika... 52
F. Pertanggungjawaban Pidana pecandu Narkotika Menurut Hukum Islam ... 57
vii
B. Inkonsistensi Pelaksanaan Peraturan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika ... 68
C. Mempersoalkan Praktek Pidana Islam Terhadap Pecandu
Narkotika ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran-saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN
1
A. Latar Belakang Masalah
Narkotika merupakan ancaman serius bagi kelangsungan pembangunan
manusia khususnya di Indonesia. Betapa tidak indikasi penyalahgunaan
narkotika (sering juga disebut narkoba) di Indonesia saat ini bukan hanya
terbatas pada kalangan tertentu saja, tetapi hampir disemua kalangan,
baik di tingkatan usia maupun jenis pekerjaan semua telah terkena efek
penyalahgunaan narkoba. Dari anak usia sekolah dasar sampai pada orang tua
yang berusia hampir lanjut, atau dari buruh kasar sampai pejabat pun terlibat
penyalahgunaan narkoba.
Diakui, bahwa kejahatan narkoba adalah kategori kejahatan the drug
trafficking industry yang merupakan bagian dari kelompok kegiatan
organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational
Criminal Organization) di samping jenis kejahatan lainnya, seperti smuggling
of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material,
transnational criminal organizations and terorism, trafficking in body parts,
theft and smuggling of vehicles, money loundring. 1
Dan sampai saat ini, kejahatan narkoba telah menjadi permasalahan
global dan telah menjadi kejahatan lintas negara (transnational crime). Dan
aparat hukum di banyak negara beranggapan, untuk memberantas peredaran
1
2
narkoba sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah karena
peredaran narkoba dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized crime)
yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations) yang
telah mendunia. 2
Berdasarkan hasil survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba
tahun anggaran 2014 jumlah penyalahgunaan narkoba diperkirakan sebanyak
3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun
terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun ditahun 2014
Indonesia jadi sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10 -59 tahun masih
atau pernah memakai narkoba, angka tersebut terus meningkat dengan
merujuk hasil penelitian yang dilakukan badan narkotika nasional (BNN)
dengan Puslitkes UI dan diperkirakan jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8
juta jiwa pada tahun 2015. 3
Berdasarkan hal tersebut guna meningkatkan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Narkotika dibentuklah Undang Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pembaharuan atas Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1997. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahguna Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap
narkotika. Dalam Undang-undang ini diatur pula mengenai sanksi pidana
bagi penyalahgunaan Narkotika.
2
Agar dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana,
dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah
Narkotika.
Semua jenis sanksi tadi penerapannya tergantung kondisi kasusnya.
Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali misalnya, selain harus
diobati/direhabilitasi oleh negara secara gratis, mungkin cukup dijatuhi sanksi
ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat. Dengan
demikian, berbeda dengan hukum sekuler yang berlaku sekarang, dimana
pengguna narkoba justru disamakan dengan orang sakit atau korban, yang
harus diobati dengan cara yang khusus. Sehingga seolah-olah memberi pesan
bahwa mengkonsumsi narkoba itu tidak melanggar hukum. Pantas saja orang
tidak takut lagi mengkonsumsi narkoba, sebab merasa tidakakan terkena
sanksi hukum.
Ancaman hukuman bagi pengedar narkoba sangat berat di Indonesia,
tetapi mengapa para pengedar tersebut tidak merasa takut,dan bahkan warga
negara asing sudah banyak yang ditangkap polisi karena berani membawa
narkoba ke Indonesia. Sedangkan hukuman pengedar narkoba di Indonesia
paling singkat 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Kasus narkotika dengan
pidana mati salah satu jenis pidana di Indonesia. berdasarkan catatan lembaga
HAM Internasional, Indonesia merupakan negara yang masih menerapkan
ancaman hukuman mati dalam sistem hukum pidananya. Hukum nasional
4
saat ini masih diakui sebagai bagian dari hukum pidana pada pasal 10 KUHP.
Dalam KUHP terdapat dua pasal ancaman pidana mati yaitu pasal 104 dan
340.
Adapun terhadap pengedar tentu tidak layak dijatuhi sanksi hukum yang
ringan atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba,
mereka juga telah membahayakan masyarakat. Sementara untuk gembong
narkoba (produsen atau pengedar besar) yang sangat membahayakan
masyarakat, maka layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman
mati. Dalam hal ini, vonis tidak bisa berubah. Artinya, jika vonis telah
dijatuhkan, vonis ini harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau
bahkan dibatalkan seperti yang terjadi sekarang.
Sementara Meningkatnya jumlah pengkonsumsi narkoba di negeri ini, dan
itu telah menjadi persoalan nasional, salah satunya ditengarai oleh penegakan
undang-undang atau menegakan hukum atau kebijakan kriminal yang
inkonsistensi, jika tidak disebut lemah. Indikasi itu dapat terlihat dengan
mengacu kepada amanah undang-undang tentang narkoba, yaitu,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (sebagai revisi atas UU No
5 dan 22 Tahun 1997 tentang Narkoba). Dalam undang-undang itu dijelaskan
tentang pelaku-pelaku tindak pidana narkoba, mulai dari pengedar (ada pada
Pasal 111-125),4 dan termasuk di dalamnya diatur tentang posisi pecandu
4
narkoba. 5 Hak pecandu dalam undang-undang itu disebutkan, pada Pasal 54,
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sebab, pecandu
disebut kategori “korban” yaitu korban dari akibat perbuatannya sendiri atau
pelaku sekaligus korban (self victimizing victim atau mutual victim). 6 Artinya,
jika pecandu narkoba adalah korban berarti pemerintah wajib memberikan
pelayanan medis dan rehabilitasi sesuai standar sebagaimana amanat
undang-undang 2009 tentang narkotika. Pecandu harusnya mendapatkan treatment di
pusat-pusat rehabilitasi atau sejenisnya dan bukan ditahan di dalam
pemasyarakatan (penjara).
pembatalan vonis (baik sebagian atau total) dan itu tidak boleh”. Adapun dari
sisi waktu eksekusinya, maka pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus
dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Selain
itu, pelaksanaannya pun hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh
5
Pecandu adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sentesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam unang-undang narkotika.
6
6
masyarakat. 7Sehingga, masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi kejahatan
tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan
kali untuk melakukan kejahatan serupa, dan sanksi yang diterapkan bisa
memberi efek jera.
Narkoba pada dasarnya adalah sesuatu hal yang dilarang oleh agama.
Namun kenyataannya masih banyak warga Negara di Indonesia yang
melakukan penyalahgunaan narkoba di negeri yang mayoritas Muslim. Hal ini
sangat memprihatinkan, sehingga pemerintah sendiri menyebut Indonesia
sudah mengalami darurat narkoba. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus narkoba
terus meningkat tanpa bisa dibendung.
Bahkan bisa dikatakan bahwa persoalan ini sudah menjadi ancaman
tersendiri, khususnya bagi generasi kita di masa depan, karena narkoba bukan
hanya membunuh individu-individu, tapi membunuh satu generasi.
Oleh karenanya Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul
“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkoba Menurut
Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan Masalah
Kejahatan narkoba yang melanda negeri ini, termasuk di dalamnya
pecandu narkoba yang diperkirakan berjumlah lebih dari 5,1 juta jiwa telah
dianggap menjadi permasalahan serius dan dianggap menjadi ancaman bagi
7
kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi merusak kestabilan
politik, sosial, ekonomi dan pertahanan yang menghambat laju pembangunan
bangsa. Disadari bahwa persoalan narkoba dapat merusak berbagai sendi
kehidupan bernegara, maka berbagai produk kebijakan politik hukum
(termasuksanksi pinjara) dilakukan untuk dapat mencegah (preventif),
menghukum (represif), dan pengobatan (kuratif). Kebijakan kriminal itu
tertuang melalui terbitnya undang-undang tentang narkoba Nomor 35 tahun
2009 (revisi dari UU No 5 dan 22 tahun 1997 tentang narkoba). Dan ditambah
kebijakan berupa Peraturan Pemerintah. Terkait dengan pecandu narkoba,
meskipun agama Islam secara tegas melarang dan mengkategorikan narkoba
termasuk barang yang haram jika tidak sesuai dengan peruntukannya.
Dan secara regulasi, pemerintah Indonesia menerbitkan undang-undang
nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika tadi telah mendorong pemerintah agar
memperlakukan khusus bagi pecandu narkoba agar mendapatkan saksi
rehabilitasi baik medis dan sosial sebagaimana terdapat pada Pasal 54, bahwa
pecandu narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Dengan arti lain, pecandu bukan di tempatkan pada lembaga pemasyarakatan
atau sanksi pinjara. Oleh karena itu, ketersediaan terhadap fasilitas rehabilitasi
medis dan sosial itu adalah suatu keharusan dari pemerintah untuk korban
pecandu narkoba. Jika korban narkoba berjumlah 5,1 juta orang atau
diperkirakan jumlahnya lebih dari itu, setidaknya jumlah ketersedian
fasilitasnya mampu menampung korban-korban pecandu narkoba tadi.
8
keberadaan fasilitasnya masih sangat kurang. Dengan arti lain, bahwa sanksi
pinjara bagi pecandu narkoba tidak efektif untuk mengurangi jumlah pecandu
narkoba, bahkan terlihat sebaliknya, bahwa penghuni penjara lebih banyak
didiami oleh narapidan tersangkut kasus narkoba, khusus pecandu narkoba.
Selanjutnya, agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun
secarasis tematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu
penulis uraikan tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan
dan pembatasan masalah. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif,
maka dalam skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai
pembatasan “Pertanggungjawaban Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pecandu
Narkoba (Analisa Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika)”
1. Perumusan Masalah
a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pecandu narkotika menurut
sistem hukum pidana?
b. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pecandu narkotika dalam hukum
Islam?
c. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan
Secara pokok penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pecandu narkotika.
b. Untuk mengetahui hukum pecandu narkotika menurut hukum Islam.
c. Untuk mengetahui pecandu narkotika menurut Undang- undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademis, manfaat penelitian ini akan dapat memberi
kontribusi terhadap model pelaksanaan hukum pidana, sebagai bentuk
pertanggungjawaban pecandu narkotika.
b. Secara teoritik, bahwa model penghukuman dengan pemenjaraan
khususnya mekanisme sitem penghukuman pemenjaraan bagi
pecandu narkotika bukanlah satu- satunya model. Artinya perlu
menggali atau mencari terobosan baru terhadap model penghukuman
yang sesuai dengan pecadu yang saat ini model yang dipilih dengan
merehabilitasi pecandu narkotika.
c. Manfaat lain dari penelitian ini adalah diharapkan menjadi bahan
masukan bagi kalangan termasuk para pembuat dan pengambil
kebijakan masyarakat, para keluarga pecandu dan khususnya bagi
pecandu narkoba.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada
sebelumnya, maka penyusun mengadakan tinjauan (review) kajian
terdahulu terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
10
1. Skripsi Maskuri Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
hidayatullah Jakarta, “Pembebasan bersyarat sebagai upaya pembinaan
narapida dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam” pada
penelitian ini dijelaskan bagaimana pembebasan bersyarat bagi
narapidana sebagai hak warga binaan dalam pandangan hukum pidana
Islam dan hukum positif di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Skripsi Lukman Marsudi Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
UIN syarif hidayatullah Jarkata,“Pengaturan dan Pelaksaan Hak-hak
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatran Cipinang (Kajian Hukum
Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam)” perbedaan pada penelitian
skripsi ini terletak pada Subjek yang dituju, skripsi tersebut sasarannya
lebih kepada kebijakan pengaturan dan pelaksanaan Hak-hak
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
3. Skripsi Asharyanto Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
syarif hidayatullah Jakarta,”Pidana bersyarat menurut hukum pidana
dan KUHP” Skipsi ini membahas bagaimana prosedur pidana
bersyarat bagi narapidana menurut hukum pidana dan KUHP.
Dari review skripsi terdahulu, penulis belum menemukan skripsi
membahas khusus mengenai materi yang terkandung secara menyeluruh
sebagaiman tema yang hendak diteliti penulis yaitu Pertanggungjawaban
Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pecandu Narkoba (Analisa Undang
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
E.Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang
disebut metodologi penelitian, yang dimaksud dengan metodologi penelitian
adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sesama untuk
mencapai suatu tujuan. 8Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan
mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi. 9Sedangkan
penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematika,
metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru atau
asli dalam usaha memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di
masyarakat.10 Dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan satu jenis
penelitian, yaitu penelitian pustaka (Library Research) .
1. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan satu jenis sumber
data, yaitu data Sekunder, merupakan data yang diperoleh melalui studi
pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber
dari, buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan dari internet,
dan lainnya yang berkenaan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana
Soekanto Soerjono, pengantar penelitian hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia press, 1986), h. 6.
10
12
2. Teknik Analisis Data.
Dalam penelitian ini teknik menganalisa data, penulis menggunakan
metode analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka.
3. Teknik penulisan
Dalam hal teknis penulisan,penulis mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini lebih sistematik dan lebih terarah. Maka penulis akan
menjelaskan sistematika penulisan dalam skripsi ini. Pada dasarnya skripsi ini
terdiri dari lima bab yang saling berkaitan, yaitu.
Bab satu terkait tentang pendahuluan yaitu, latar belakang, identifikasi
masalah dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Studi
Tinjauan (Review) dan Kajian Terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penelitian.
Bab kedua adalah telisik narkotika secara umum, mencakup narkotika dan
turunannya, kedudukan narkotika menurut hukum Islam, pecandu narkotika
sebagai tingkah laku menyimpang, pecandu narkotika sebagai tindakan
pelanggar hukum, sebab dan akibat pecandu narkotika, fenomena kehidupan
perdaran narkotika tingkat global, perdaran narkotika tingkat nasional, dan
narkotika di kalangan pecandu narkotika.
Pada Bab ketiga, membahas tentangpertanggungjawaban pidana pecandu
narkotika dalam sistem hukum postif dan hukum pidana Islam, kedudukan
pecandu narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkoba, kedudukan
pecandu narkotika dalam hukum Islam, sistem peminjaraan menurut hukum
positif dan hukum Islam,
Pada Bab keempat adalah analisa atas temuan data, yaitu mempersoalkan
pelaksanaan peraturan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
mempersoalkan pelaksanaan peminjaraan bagi pecandu n narkotika, terobosan
alternatif bagi pecandu narkotika selain hukuman pinjara dalam hukum positif
dan hukum Islam.
Pada Bab kelima adalah bab penutup yang meliputi kesimpulan dan
14
BAB II
TELISIK NARKOTIKA SECARA UMUM
A. Telisik Deskripsi Tentang Narkoba
Berbagai istilah terminologi sering digunakan, dan tidak jarang
menimbulkan salah pengertian, tidak saja di kalangan pelaku medis tapi juga
kalangan masyarakat secara umum. Istilah asing seperti Drugs Abuse
diterjemahkan sebagai Penyalahgunaan Obat, dan Drug Dependence
diterjemahkan sebagai Ketergantungan Obat. Kata obat dalam kedua istilah
tersebut dimaksudkan sebagai zat atau bahan narkotika dan lainnya yang
sejenis atau yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia. Menurut
Hawari, pengertian Obat disini bukan untuk pengobatan dalam dunia
kedokteran, sedangkan untuk pengobatan istilah yang tepat adalah medicine
bukan drug. Untuk mengilangkan kerancuan tersebut, menurutnya, istilah
yang lebih tepat adalah Substance Abuse yang diterjemahkan sebagai
Penyalahgunaan Zat. 11
Sejak tahun 1987 kalangan medis mengganti istilah drug dengan
substance (DSM) dengan mengacu kepada terminologi internasional yaitu
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (International
Classified of Disseases). Untuk Indonesianya Substances di istilahkan dengan
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif ).
11
Selain istilah yang berasal dari terjemahan asing dikalangan awam
dikenal istilah Narkoba yang merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan Obat Berbahaya, dan istilah Napza adalah singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Sementara Dadang Hawari lebih
memakai istilah NAZA. Istilah NAZA merupakan singkatan dari Narkotika,
Alkohol & Zat Adiktif.
Sementara dalam ketentuan hukumnya, kategori ketentuan narkotika itu
termaktub dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Undang-undang narkotika tadi memberikan pengertian
mengenai narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Berikut kejelasan istilah Narkoba:
a) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya
rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Golongan ini memiliki daya
adiksi yang sangat berat dan juga memiliki daya toleran
(penyesuaian) dan daya habitual yang sangat tinggi. Jenis-jenisnya
16
b) Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah
maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf otak pusat yang meneyebabkan
perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Jenis-jenisnya
antara lain MDMA, ekstasi, LSD, STP, amfetamin, metamfetamin,
metakulon, lumibal, fleenitrazepam, nitrazepam (pil BK, mogadon,
dumolid), diazepam dan lain-lain.
c) Bahan-Bahan Adiktif lainnya adalah zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Seperti
rokok, alkohol, thinner dan lain-lain.
Berbagai jenis narkoba mudah ditemui dan banyak beredar di
tengah-tengah masyarakat, bahkan dengan mudah didapatkan. Hal itu terjadi karena
tersedianya barang-barang narkoba. Tentunya, karena dibutuhkan dalam
berbagai kebutuhan, untuk kepentingan kesehatan misalnya, keperluan
industri, atau keperluan dalam dunia ilmu pengetahuan. Adalah akan menjadi
masalah, apabila barang narkoba diperuntukkan tidak dalam keperluan tadi,
yaitu dikonsumsi secara legal, diperdagangkan secara gelap. Karena zat-zat
narkoba, sebagai telah disebutkan tadi, di satu sisi dibutuhkan manusia, tapi di
sisi lain akan berdampak negatif bagi manusia. Mengingat itulah, maka
Undang-undang narkoba diterbitkan, yaitu untuk mengatur kebutuhan dan
bentuk-bentuk pelanggarannya.
Saat ini, Undang-undang yang mengatur kepentingan itu tertuang dalam
sebelumnya, yaitu UU No. 22 tahun 1997. Dalam UU itu diatur, disebutkan
jenis-jenis narkoba dan turunannya serta sanksi-sanksi pidananya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab UU Narkoba, secara umum,
keberadaan narkoba (narkotika dan psikotropika) dapat mendukung pelayanan
kesehatan, dan juga memegang peranan yang penting. Di samping itu narkoba
juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan meliputi penelitian,
pengembangan, pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaanya perlu
dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.
Namun di sisi lain, narkoba dapat mengakibatkan sindrom ketergantungan
apabila penggunanya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak
saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan
keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan
bangsa dan negara.
Oleh karena adanya beberapa kepentingan di atas, maka perlu diatur
melalui per-undang-undangan yang disebut dengan Undang-Undang No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. UU tahun 2009 tentang narkotika adalah hasil
revisi dari UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No
22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-undang narkoba itu mengatur tentang produksi, peredaran,
18
pemeriksaan, label, dan iklan, prekursor, pembinaan dan pengawasan,
pemusnahan peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana. 12
Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan mempunyai cakupan
yang luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman
pidana yang diperberat. Demikianlah kiranya pembuatan Undang-Undang No
5 dan No 22 Tahun 1997 tentang narkoba. Tujuan dan harapan
Undang-Undang tersebut adalah untuk mengatur semua aspek penanggulangan
permasalahan narkoba serta dapat mewujudkan pembangunan kesehatan
sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang
dilakukan melalui berbagai upaya kesehatan, di antaranya penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan
dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak
sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran
narkoba secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan
perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat
menimbulkan bahwa yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya
bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Masalah narkoba di Indonesia diharapkan dapat ditanggulangi dengan
menjalankan suatu kebijakan hukum. Hukum menjadi dasar kebijakan dalam
12
rangka pembangunan negara yang menyeluruh sehingga sekaligus dapat
menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Hukum juga diberi fungsi sebagai
mekanisme operasional dalam upaya merubah kondisi masyarakat melalui
pemerataan kesejahteraan, sebab dalam hukum melekat sifat keadilan.
Adapun jenis-jenis narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif)
yang termasuk dalam UU adalah:
1. Narkotika Alami
a) Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong
yang tepinya bergerigi dan berbulu halus. Jumlah jarinya selalu ganjil,
yaitu 5, 7, atau 9. Tumbuhan ini banyak tumbuh diberbagai daerah di
Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Pulau Sumatera pada
umumnya,serta tumbuh pula di pulau Jawa, cara penyalahgunaannya
adalah dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok lalu dibakar
dan dihisap.
b) Hasis adalah berasal dari tanaman serupa sejenis pohon ganja. Hasis
lebih banyak tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, Hasis
dan Mariyuana dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair,
harganya sangat mahal.
c) Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang
berwarna merah seperti biji kopi. Dalam tradisi masyarakat Indian
kuno, biji koka sering dipergunakan untuk menambah kekuatan orang
yang berperang atau memburu binatang. Koka kemudian diolah
20
d) Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah
opium dihasilkan candu (opiat). Dulunya bangsa Mesir dan Cina sering
dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit, memberi kekuatan,
atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu
berperang atau berburu.
2. Narkotika Semisintetis
Narkotika semisintetis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil
zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga
dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan
medis. Termasuk dalam jenis ini adalah:
a) Morfin
Morfin dipakai dalam dunia kedokteran untuk menahan rasa sakit atau
pembiusan saat operasi.
b) Kodein
Kodein dipakai untuk penghilang batuk.
c) Heroin
Heroin belum dipakai dalam pengobatan karena daya aktifnya
sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan.
Dalam perdagangan gelap narkotika, Heroin diberi nama Putaw,
atau PeTe. Bentuknya seperti tepung terigu: halus, putih, dan agak
kotor.
d) Kokain
e) Narkotika Sintetis
Narkotika sintetis adalah narkoba palsu yang terbuat dari bahan
kimia. Narkotika jenis ini, dipergunakan untuk pembiusan dan
pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan narkoba
(substitusi). Contohnya: Petidin, Methadon, dan Naltrexon.
f) Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan bukan narkotika, baik
alamiah maupun sentetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. 13 Psikotropika
adalah obat yang digunakan oleh para medis untuk mengobati
pasien gangguan jiwa. kategori Psikotropika ini, dikelompokkan
dalam beberapa golongan. Golongan I: MDMA, ekstasi, LSD, dan
STP. Golongan II: amfetamin, metamfetamin, metakolon.
Golongan III: lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam. Golongan IV:
nitrazepam (pil BK, mogadon, dan dumolid), diazepam, dan
termasuk kelompok depresan, stimulan atau anti tidur, dan
kelompok halusinogen seperti tanaman kaktus, kecubung, dan
jamur tertentu.
g) Bahan Adiktif Lainnya
Bahan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Seperti
13
22
rokok, alkohol dan minuman lain yang menimbulkan ketagihan,
Thinner dan zat lain, seperti lem kayu atau lem Aibon yang dapat
memabukkan ketika dihirup.
B. Pecandu Narkotika Sebagai Tingkah Laku Menyimpang
Dilihat dari persepektif ilmu kriminologi, mengkonsumsi narkotika dapat
dikategorikan perilaku menyimpang dan sampai ketingkat pelanggaran hukum
dan disebut menyimpang karena masyarakat mencela dan masyarakat
memberi kecaman sebagai tindakan yang tidak bermoral. 14 Dikategorikan
melanggar hukum, karena hal itu diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang
narkotika dan ada sanksi pidananya.
DalamUndang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika, memberikan pengertian mengenai pecandu narkotika yaitu orang
yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.
Dalam sejarah budaya Indonesia, narkotika sudah dikenal sejak lama,
bahkan dahulunya Indonesia (nusantara) dikenal sebagai pengekspor narkoba
dan menjadikannya sebagai komuditas utama (dahulu disebut opium) yaitu
pada masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ketika berkuasa di
tanah Jawa.
Mengkonsumsi opium dianggap sebagian masyarakat kala itu dapat
mengembalikan vitalitas, membangkitkan gairah seksual dan membangkitkan
14
eforia, hal itu disebut-sebut dalam kesustraan Jawa abad kesembilan belas
Suluk Gatoloco (Kisah Gatoloco). Namun, pemakaian dan penyebaran opium
mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat Muslim dan orang-orang
Jawa yang menjunjung etika tradisional Jawa, sebab, menurut kelompok ini
mengisap opium adalah hal-hal yang tidak boleh dilakukan, di samping
mencuri, melacur, minum-minuman keras atau mabuk, dan berjudi. 15
Penyalahgunaan narkotika adalah termasuk kategori penyimpangan.
Dikatakan penyimpangan bahwa pelaku memakai obat (drugs) secara terus
menerus atau sekali-sekali secara berlebihan, serta tidak menurut petunjuk
dokter. Arnold dan Brugardt (1983) mengatakan,16bahwa penyalahgunaan
narkoba adalah dipandang sebagai penyimpangan, karena masyarakat
melihatnya sebagai tindakan yang tidak bernilai, tidak disukai dan berbahaya,
sehingga menimbulkan celaan sosial.
Menurut Becker (1963) bahwa perilaku menyimpang adalah perilaku
melanggar aturan yang sederhana yang dilabel menyimpang oleh orang yang
memiliki kekuasaan. Aturan-aturan merupakan refleksi dari norma sosial
tertentu yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Anggota masyarakat yang
membuat aturan dapat melabel pelanggaran (perilaku menyimpang tergantung
pada derajad waktu). Mereka yang dianggap menyalahgunakan narkotika
adalah mereka yang menggunakan zat-zat tersebut bukan untuk tujuan
15
James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910,(Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000), h, 75.
16
24
mengobati, tetapi digunakan untuk mencari dan mencapai “kesadaran
tertentu” karena pengaruh obat pada jiwa.
Sementara Lemert (1951),17 mengatakan bahwa ditemui ada beberapa
penyimpangan yang mungkin dilakukan seseorang. Pertama disebut dengan
penyimpangan primer (primary deviance). Pada tahap ini seseorang
melakukan penyimpangan walaupun ia masih berperan dan mempunyai status
secara normal. Ia tidak mempunyai konsep diri dan konsep peran sebagai
penyimpang. Jika penyimpangan yang dilakukannya secara materi tidak
membuat konsep diri dan memberikan peran penyimpang pada orang tersebut,
maka ia tetap dalam penyimpangan primer.
Kedua penyimpangan sekunder (secondary deviance) dapat berkembang
saat peran penyimpang dilakukan melalui keterlibatan lebih jauh di dalam
suatu subkebudayaan menyimpang dengan lebih banyak interaksi dengan
penyimpang lainnya. Misalnya, seorang pengguna narkotika akan lebih sering
berkumpul dengan sesama pengguna narkotika lainnya guna memperoleh
dukungan sosial dan suplai narkoba. Penyimpangan sekunder mendapat peran
penyimpang dengan partisipasinya yang lebih banyak dalam suatu
subkebudayaan, tambahan pengetahuan dan rasionalisasi untuk perilakunya
serta cara-cara untuk menghindari pemantauan dan sanksi penegak hukum.
Untuk mengukur menyimpang atau tidaknya seseorang bisa diukur dari
batasan-batasan norma dan perkembangan budaya masyarakatnya.
17
Masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan agama dan adat
istiadatnya sebagai batasan bersikap, akan merasa asing dengan perilaku
seperti homoseksual, lesbian, pelacuran maupun pecandu narkotika.
Penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang itu dapat dirasakan
oleh kelompok masyarakat yang melakoni perbuatannya dengan wujud tidak
diakuinya komunitas itu oleh kelompok mayoritas yang berbeda. Bahkan
acapkali sebagian masyarakat memandang mereka dianggap aib atau cela.
Mustofa mengatakan bahwa tingkah laku menyimpang atau pola tingkah
laku yang tidak mengikuti atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma-norma tersebut tidak hanya
yang dirumuskan secara formal dalam hukum atau undang-undang tetapi juga
yang hidup dalam masyarakat walaupun tidak dicantumkan dalam hukum atau
undang-undang suatu negara. 18
Berkenaan dengan penyalahgunaan narkotika Clinard dan Meier (1989)
mengatakan bahwa penggunaan obat-obatan tertentu itu menyimpang atau
tidak tergantung pada norma yang juga diciptakan secara sosial. Norma dapat
berubah sesuai berlangsungnya waktu sehingga penggunaan obat-obatan di
suatu waktu dapat dianggap menyimpang namun di lain waktu dianggap tidak
menyimpang.
18
26
C. Sebab dan Akibat Memakai Narkotika
Mengkonsumsi narkotika akan berdampak negatif ke dalam berbagai hal,
termasuk bagi kesehatan individu si pemakai baik kesehatan secara pisik
maupun psikis. Akibat pemakaian narkotika akan menimbulkan dampak yang
bermacam-macam.
Di antara efek narkoba adalah mendorong rangsangan terhadap tubuh, atau
sering juga disebut Stimulan atau ”upper”. Yaitu, merangsang dan memacu
kerja otak dan meningkatkan aktivitas tubuh. Penggunanya akan merasakan
suatu kegembiraan yang amat sangat, dan aktivitas meningkat. Narkoba yang
menimbulkan perasaan seperti tadi adalah Kokain, ATS (Amfetamin,
Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi)
Dadang Hawari mengatakan, bahwa pelaku mengkonsumsi narkotika akan
mengalami gangguan mental dan perilaku, sebagai akibat terganggunya sistem
neorotransmitter pada sel-sel susunan saraf otak. Gangguan trans-mitter tadi
mengakibatkan terganggunya fungsi koknitif (alam pikiran), efektif (alam
perasaan atau mood, atau emosi) dan psikomotor (perilaku). 19 Menurut
Hawari, setidaknya ada tiga pendekatan untuk menjelaskan mekanisme
terjadinya penyalahgunaan narkoba Orgaobiologik, Psikodinamik, dan
Psikososial.
Pertama, pendekatan Organobiologik. Dari perspektif Organobiologik
(susunan saraf pusat atau otak bahwa) mekanisme terjadinya ketagihan hingga
dependensi (ketergantungan) narkoba, ditandai dengan munculnya gangguan
19
Mental Organik atau Sindrom Otak. Yaitu kegelisahan dan kekacauan dalam
fungsi kognitif (alam pikiran), afektif (emosi), dan psikomotor (perilaku) yang
disebabkan narkoba.
Menurut A. Wikler, seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap
narkoba apabila dia terus-menerus mengkonsumsi narkoba. Tubuh akan dapat
beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf akan bekerja
keras. Jika narkoba dihentikan seketika, sel yang bekerja keras tadi akan
mengalami keausan, atau juga sering disebut putus zat atau putus narkoba.
Sehingga memaksa seseorang untuk mengulangi memakai narkoba.
Jika narkoba dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup,
dihidu, dan melalui suntikan, maka narkoba melalui peredaran darah akan
sampai pada susunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem
neoro-transmitter sel-sel saraf otak. Dan akibat gangguan neoro-transmitter tadi akan
mengganggu mental dan perilaku si pemakai.
Kedua, Psikodinamik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa seseorang akan
terlibat penyalahgunaan narkoba dan sampai kepada ketergantungan narkoba,
apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi yaitu faktor yang
membuat seseorang cenderung menyalahgunakan narkoba. Selain faktor
predisposisi, ada juga faktor kontribusi dan faktor pencetus.
Faktor predisposisi adalah gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian
(antisosial), rasa kecemasan atau depresi yang dialami seseorang. Sedangkan
faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis termasuk di
28
orang tua, dan hubungan interpersonal antar keluarga. Dan faktor pencetus
adalah pengaruh teman kelompok sebaya (peer group), dan juga mudahnya
narkoba diperoleh.
Dengan bertemunya tiga hal tadi yaitu predisposisi, kontribusi, dan faktor
pencetus akan mengakibatkan seseorang mempunyai resiko jauh lebih besar
terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika.
Ketiga, diakui bahwa penyalahgunaan narkotika adalah bentuk perilaku
yang menyimpang. Menurut perspektif psikososial bahwa seseorang menjadi
berperilaku menyimpang akibat dari pengaruh tiga kutub sosial yang tidak
kondusif. Yaitu kutub keluarga, sekolah atau kampus dan kutub masyarakat.
Seorang anak atau remaja tidak dapat lepas dari tiga kutub itu, yaitu
keluarga, sekolah, dan masyarakatnya (lingkungannya). Bila kutub keluarga
atau sekolah dan masyarakat tidak kondusif, dimana ketiga kutub itu saling
mempengaruhi kehidupan mereka, maka sebagai hasil interaksi ketiga kutub
tersebut resiko perilaku menyimpang akan jauh lebih besar yang pada
gilirannya akan berakibat menyalahgunakan narkoba.
D. Pecandu Narkotika Sebagai ”Korban”
Anggapan bahwa pecandu narkotika adalah sebagai kategori korban atau
pelaku pelanggar hukum masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuan sosial dan
pihak pembuat hukum. Indikasi perdebatan itu terlihat dari bentuk isi
undang tentang narkotika yang diterbitkan pemerintah, khususnya
tadi pecandu narkotika adalah pelanggar hukum yang mendapatkan sanksi,
khususnya sanksi pinjara, namun pada sisi lain, pecandu narkotika
diperbolehkan mendapat rehabilitasi medis dan sosial. Penentuan bentuk
sanksi rehabilitasi tadi berdasarkan atas kondisi pelaku yang dianggap sebagai
pelaku sekaligus menjadi korban (self victimizing victims). karena pecandu
narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan
narkotika yang dilakukannya sendiri. Pecandu narkotika digolongkan sebagai
korban karena akibat dari perbuatannya yang mengkonsumsi narkotika
tersebut langsung berdampak terhadap dirinya sendiri dan tidak merugikan
orang lain yang tidak menggunakan narkotka tersebut.
Dalam studi-studi viktimologi, pelaku pecandu narkotika dapat
dikategorikan dalam kategori berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi
menurut keadaan dan status korban, yaitu:
a. Unrelated victims , yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan pelaku.
b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban.
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial
30
f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri. 20
Lebih jauh, ahli kriminologi Thorsten Sellin dan M. E. Wolfgang
mengkaji secara rinci tentang tipologi korban. Menurut mereka, tipologi
korban dikategorikan sebagai berikut:
1. Primary victimization (yaitu korban individual atau perorangan).
2. Secondary victimization (korban berupa kelompok).
3. Tertiary victimization (seperti masyarakat).
4. Mutual victimization (menjadi korban sekaligus menjadi pelaku. Seperti,
pelacur, pengguna narkoba).
5. No victimization (korban tidak dapat segera diketahui. Misalnya korban
penipuan).
Kategori korban menurut rumusan Sellin dan Wolfgang dikembangkan
juga oleh Ezzat Abdel Fattah berdasarkan peran korban, yaitu, a) non
participating victim. b) laten or predisposed victims. c) procative victims. d)
false victims. 21
E. Fenomena Kehidupan Pelaku Memakai Narkotika
Beberapa faktor atau alasan mengapa pelaku (termasuk anak-anak dan
remaja) itu terlibat dengan narkotika, karena penyalahgunaan narkotika terjadi
akibat interaksi dari setidaknya tiga faktor yaitu:
20
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,( PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Jakarta, hlm. 49-50.
individu, lingkungan, dan ketersediaan narkotika. Beberapa orang memang
mempunyai risiko lebih besar untuk menggunakan narkoba karena sifat dan
latar belakangnya, yang disebut faktor berisiko tinggi (high risk factor) dan
faktor kontributif (contributing factor).
Penyalahgunaan narkotika pada umumnya dimulai dari perkenalannya
terhadap rokok atau minuman beralkohol. Jika anak atau remaja telah terbiasa
merokok, maka dengan sendirinya akan mudah beralih kepada ganja atau
narkotika lain yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini terutama bagi anak
laki-laki. Pada anak perempuan kebiasaan menggunakan obat penenang atau
penghilang rasa nyeri atau njika mengalami stress memudahkannya beralih ke
penggunaan narkotika lain.
Sekali ia menerima tawaran penggunaan narkotika, selanjutnya ia akan
sulit menolak tawaran berikutnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang
menimbulkan ketagihan atau ketergantungan. 22
Pengguna narkoba umumnya berlangsung progresif, dari pemakaian
kadang-kadang, pemakaian teratur, kemudian pemakaian berbagai jenis zat,
sampai akhirnya mengalami ketergantungan kepada zat-zat tersebut.
Pada setiap tahapan, pemakaian-nya lebih intensif, lebih bervariasi, dan
meningkatkan pengaruh yang merusak tubuh. Jika seorang pemakai masih
dalam taraf pemula, ia lebih mudah untuk disembuhkan.
Namun, semakin sering menggunakannya, makin sulit bagi untuk
melepaskan diri dari ketergantungan kepada narkotika.
22
Pramono U. Tanthowi, Narkoba: Problem dan Pemecahannya dalam Perspektif Islam,
32
Di Antara kelompok yang banyak mengkonsumsi narkotika adalah usia 20
sampai 29 tahun, yaitu berjumlah 1. 474.794. kemudian disusul usia 10
sampai 19 tahun berjumlah 800. 759 orang, dan usia 30-39 tahun sebanyak
641. 745 orang. Sementara pola terjadinya baik pada kelompok laki-laki
maupun perempuan relatif sama. Diperkirakan ada satu dari 14 laki-laki dan
satu dari 57 perempuan menjadi penyalahguna Narkoba di kelompok umur
20-29 tahun. Dan ditmukan pula dengan semakin bertambahnya umur, maka
resiko menjadi penyalahguna Narkoba menjadi semakin kecil. Hal ini
mungkin karena pada kelompok umur di atas 30 tahun mayoritas sudah
berkeluarga sehingga semakin besar tanggung jawabnya terhadap keluarga
dan bagi mereka yang penyalahguna Narkoba berkeinginan kuat untuk
sembuh dari ketergantungan Narkotika.
Di samping itu, kelompok yang paling berperan memberi kontribusi
terjadinya penyalahgunaan Narkoba adalah kelompok pekerja (70%) dan
pelajar termasuk mahasiswa (22%).
Kelompok pekerja adalah kelompok yang berkontribusi tertinggi pada
pekerja yang tidak kost. Tingginya penyalahgunaan di kelompok pekerja
karena secara ekonomi memiliki kemampuan finansial, tekanan pekerjaan,
doping untuk meningkatkan stamina kerja, dan atau dari sejak awal (sebelum
kerja) telah menjadi penyalahguna Narkoba
F. Kondisi Mendunia Terkait Produksi Narkotika
Permasalahan penyalahgunaan narkotika menjadi permasalahan global dan
melampaui lintas negara (transnational crime).
Aparat hukum dibanyak negara beranggapan, untuk memberantas
peredaran narkotika sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah
karena peredaran narkotika dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized
crime) yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations)
yang telah mendunia. 23
Kejahatan lintas negara ini telah mengancam eksistensi ketahanan dan
keamanan semua bangsa. Patut diduga bahwa kejahatan narkotika (peredaran
narkoba) telah didanai oleh kejahatan terorganisir yang bersifat internasional
dengan dukungan dana besar, sumber daya manusia (SDM) yang profesional
dan teknologi yang sangat maju. Bisnis narkotika yang menjanjikan
keuntungan besar itu telah menyeret semua bangsa ke dalam berbagai
persoalan politik, sosial, ekonomi dan hankam yang berpotensi menghambat
laju pembangunan bangsa (BNN, 2006).
Sampai pada tahun 2006 yang lalu, data yang dikeluarkan oleh Badan
Narkotika Nasional melaporkan bahwa kerugian karena narkoba menunjukkan
tentang dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan
narkoba sangat mengkhawatirkan dunia. Di Amerika Serikat kerugian biaya
ekonomi dan sosial akibat narkoba mencapai $181 milyar. Sedangkan di
Canada $8,2 milyar pada tahun 2002. Di Australia kerugian mencapai sekitar
23
34
$8,190 juta pada tahun 2004/2005. Perbandingan kerugian biaya narkoba
terhadap gross domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%,
Canada 0,98%, Australia 0,88% dan Perancis 0,16%. Di Indonesia, kerugian
diperkirakan Rp. 23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 . Di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat, baik
dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang
bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90. 523 butir (2001) menjadi 1,3 juta
butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1. 241,2 kg (2006). Jumlah
tersangka meningkat dari 4. 924 orang tahun 2001 menjadi 31. 635 orang
tahun 2006. Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari
masalah narkoba yang jauh lebih besar.
G. Peredaran Narkotika Tingkat Global
Peredaran narkoba pada tingkat global, terutama jalur yang dikenal
sebagai pemasok utama distribusi narkoba internasional, yang disebut sebagai
jalur “Golden Cressent” dan “Golden Triangel”. Jalur pertama adalah wilayah
berbatasan negara Afghanistan dan Pakistan dan jalur kedua adalah berbatasan
tiga negara yaitu Myanmar, Vietnam, dan Thailand. Berikut peta jalur narkoba
internasional:
Distribusi narkotika dari dua wilayah itu menunjukkan bahwa pada tahun
2010, penanaman opium menunjukkan sedikit kenaikan bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Misalnya, dari negara Afghanistan terdapat 123.
terjadi karena adanya peningkatan di Myanmar, penanaman naik 20 %
dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, jika dihitung secara global terjadi
penurunan tanaman Koka menjadi 149. 100 ha. Turun 18 % dari tahun 2007
ke 2010. Demikian juga pada narkoba jenis kokain, terjadi penurunan secara
signifikan pada tempat produksi Kokain, nampak terjadi penurunan di
Colombia namun kenaikan terjadi di negara Peru dan Bolivia.
Memang, agak sulit memperkirakan berapa jumlah sebenarnya, tentang
total distribusi narkoba, terutama jenis Amphetamine di tingkat global,
misalnya jenis ecstasy Menthamphetamine: bagian kelompok Amphetamine),
sebab di beberapa negara seperti Amerika Serikat banyak memproduksi
narkoba jenis ini melalui laboratorium-laboratorium gelap.
Meskipun demikian, jika dilihat data yang dilaporkan BNN, selain jenis
narkoba yang disebutkan tadi, jenis narkoba yang banyak diproduksi
negara lain adalah ganja. Ganja dapat ditemukan hampir di seluruh
negara-negara di dunia ini, baik di Amerika sendiri, di Eropa, jalur Oceania, dan
bahkan, pada negara-negara berkembang, ganja di tanam di rumah-rumah,
seperti yang terjadi di negara Afghanistan dan Maroko, dua negara ini adalah
termasuk penghasil ganja terbesar di dunia.
Pada tahun 1998 sampai tahun 2009, pengungkapan ganja, heroin,
morphin, dan kokain meningkat dua kali lipat, sedangkan ATS (Amfetamin,
Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi) naik tiga kali lipat. Sementara
pengungkapan kokain dan getah ganja di pasar, berbeda dari daerah asalnya.
36
Amerika Selatan. Sama seperti getah ganja turun secara signifikan di Eropa,
tetapi naik di Afrika Utara dari tahun 2008 sampai tahun 2009.
H. Peredaran Narkotika Tingkat Nasional
Laporan dari hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Puslitkes-UI
tahun 2011, yang melihat tentang ukuran usia dan pernah mengkonsumsi
narkoba mulai usia 10 – 59 tahun. Dari penelitian itu, ditemukan bahwa
sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta orang (5,9%) dari populasi pernah mencoba
mengkonsumsi narkoba, minimal satu kali sepanjang hidupnya, atau ada 1 dari
17 orang di Indonesia pernah pakai Narkoba sepanjang hidupnya dari saat
sebelum dilakukan penelitian. Sementara berjumlah 3,7 - 4,7 juta orang
(2,2%) yang masih menggunakan Narkoba dalam satu tahun terakhir dari saat
penelitian, atau ada 1 dari 45 orang yang masih menggunakan Narkoba
(current users).
Angka penyalahgunaan Narkoba terbanyak di wilayah Jawa. Tingginya
jumlah peredaran gelap narkoba di Jawa karena dari sisi akses mendapatkan
Narkoba lebih mudah, dari sisi ekonomi dan pendidikan lebih baik, dan
potensi pasarnya besar, karena jumlah penduduk Indonesia sekitar 59% dari
total populasi 10-59 tahun berada di Jawa. Di Sumatera pemakaian Narkoba
(ever used) angka prevalensinya lebih tinggi dibandingkan Kalimantan,
namun tidak untuk angka penyalahgunaan setahun terakhir (current users). Ini
mengindikasikan bahwa pernah pakai di Kalimantan lebih banyak yang masih
menunjukkan bahwa kebanyakan penyalahguna Narkoba berada pada
kelompok Teratur Pakai (45%), Coba Pakai dan Pecandu Bukan Suntik relatif
sama besar (27%) dan terakhir adalah pecandu suntik (2%).
I. Peredaran Narkotika Kepada Kalangan Remaja
Fenomena penyalahgunaan narkoba merupakan fenomena gunung es (ice
berg phenomenon) artinya yang nampak dipermukaan laut (terdata resmi)
amat kecil jumlahnya, sedangkan yang tidak nampak yaitu yang berada di
bawah permukaan laut (tidak terdata resmi) jauh lebih besar. Atau dengan kata
lain, dalam hal penyalahgunaan narkoba terdapat angka sebenarnya atau angka
gelap yang disebut dengan istilah ”dark number”. Menurut Hawari, bahwa
bila ditemukan 1 orang penyalahgunaan narkoba sebenarnya ada 10 orang
lainnya yang berada di luar (di masyarakat). Sebagai contoh misalnya,
penyalahgunaan heroin (putaw) pada tahun 1995 oleh Bakolak Inpres 6/71
(cikal bakal BNN) dinyatakan sebanyak 0,065% dari jumlah penduduk 200
juta atau sama dengan 130. 000 orang. Menurutnya, bahwa jumlah sebenarnya
adalah 1,3 juta jiwa. Bila ditambah dengan penyalahguna narkoba jenis ganja,
shabu-shabu, ekstasi, sedativa atau hipnotika dan alkohol maka jumlah
penyalahgunaan narkoba itu akan menjadi jauh lebih besar. 24
Untuk tahun 2003, kasus narkoba semakin meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di Jakarta sendiri,
jumlahnya meningkat 45,2 %, dari 2. 370 kasus di tahun 2002 menjadi 3441
24
38
kasus pada akhir tahun 2003. dengan jumlah penyelesaian kasus mencapai
87,4% dari total kasus yang ada. Selanjutnya di tahun 2004, jumlah kasus
narkoba yang ditangani Polda Metro Jaya meningkat 39,4% atau 1. 338 kasus
menjadi 4. 799 kasus. Sedangkat tingkat penyelesaian kasus juga meningkat
menjadi 95,9% dari total kasus yang ada di tahun tersebut. Selanjutnya untuk
tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 23,9% dari tahunnya sebelumnya
menjadi 5. 948 kasus. Total tersangka dalam kasus narkoba tahun 2005 adalah
7. 780 orang. Dari jumlah itu, tersangka yang termasuk kategori pengedar
sebanyak 3. 092 orang, pemakai 4. 686 orang. Dan dari total tersangka
terdapat 27 orang yang berkewarganegaraan asing, sedangkan sisanya adalah
warga Indonesia25
Sebagaimana yang dilaporkan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun
2006 lalu, bahwa di Indonesia, permasalahan dan peredaran Narkoba telah
sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Disebut mengkawatirkan karena
penyalahguna Narkoba telah merambah luas baik di lingkungan pendidikan
(termasuk kampus), lingkungan kerja, pelajar, mahasiswa dan lingkungan
pemukiman di pedesaan maupun di perkotaan. Dengan jumlah penyalahguna Narkoba mencapai 2,3 juta jiwa atau setara dengan 1,5 persen populasi
penduduk Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga kampus
perguruan tinggi menjadi lahan subur peredaran narkoba. Selain berekonomi
25
menengah keatas, penghuni kampus juga kerap mengikuti gaya hidup
berlebihan. Narkoba dinilai menjadi bagian dari gaya hidup seperti itu. 26
26
40
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM POSTIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Kedudukan Narkotika dalam Perundang-undangan Negara Indonesia
Sebelum tahun 1976, istilah Narkotika belum dikenal dalam
perundang-undangan Indonesia. Peraturan yang berlaku pada saat itu adalah
Undang-Undang Obat Bius (Verdoovende-Middelen Ordonantie) Tanggal 12 Mei 1927
S. 27-278 JO 536 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1928.
Baru sekitar akhir dekade 60-an istilah “Narkotika” diperkenalkan dalam
rangka pencegahan dan pembinaan para pelanggar hukum pidana terkait
narkotika. Antara istilah Narkotika dan Obat Bius tidaklah ada perbedaan
semula narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam dunia medis dan
dalam dunia penelitian. Karena itulah tidak ada larangan dalam menggunakan
Obat Bius (Narkotika) guna kepentingan kedokteran dan ilmu pengetahuan.
Temuan Saefullah dalam penelitiannya mengatakan, bahwa melalui
pengundangan UU RI No. 8 tahun 1976, Indonesia sudah secara resmi dan
berdasarkan hukum “mengesahkan konvensi tunggal Narkotika New York
1961 beserta protokol perbaikannya” di Jenewa 1972. Peristiwa itu
mengandung pengertian bahwa Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan
Protokol perbaikannya berlaku dan mengikat Indonesia didalam kerangka
Organisasi PBB yang bergerak di Bidang Penanggulangan Penyalahgunaan
Konvensi tunggal Narkotika 1961 ini terdiri dari 51 pasal yang berisi
berbagai ketentuan mengenai Narkotika menerangkan tentang jenis-jenisnya,
jarak pengawasan termasuk lalu lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil
dan sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat menjadi pedoman bagi tiap
negara dan ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. Kemudian
setelah UU No. 9 tahun 1979 tentang Narkotika diberlakukan (LN 1976 No.
37), istilah Narkotika secara resmi digunakan dalam perundang-undangan
Indonesia.
Di Dalam UU itu, Psikotropika atau zat-zat kimia sintetis merupakan
bagian dari Narkotika. Narkotika itu dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a) Narkotika yang berasal dari tanaman atau dari hasil pemprosesan
seperti opiat (opium, morfin, dan heroin), kokain dan kanabis.
b) Narkotika yang berasal dari zat-zat kimia sintetis, yang berupa “
Psychotropic substences) (Deppressant, stimulant dan hallucinogen).
Tetapi dalam perkembangannya, terjadi banyak penyalahgunaan narkotika
dan obat-obatan Psikotropika lainnya yang menyebabkan UU No. 9 tahun
1976 mengenai narkotika tidak relevan lagi. Menyadari akan bahaya yang
ditimbulkannya dari penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, yaitu dapat
merusak bagi pemakai itu sendiri, merusak tatanan masyarakat dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, agama, ekonomi sampai kepada
penyakit sosial lainnya, maka Pemerintah bersama DPR RI menetapkan secara