• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA TEMUAN DATA

A. Mempersoalkan Pelaksanaan Peraturan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Pecandu Narkotika

Dalam sistem pemidanaan, pelaku yang melakukan tindak pelanggarn hukum, bahwa prinsip hukum pidana adalah “tiada pidana tanpa kesalahan”. Sebagaimana dalam KUHPidana Pasal 37 disebutkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia.

Perkembangan tentang pelaksanaan pemidanaan (penghukuman) bagi pecandu narkotika menunjukkan terjadinya kecenderungan perubahan kuat dalam memandang para penyalahguna narkotika yang tidak lagi dilihat sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban (victim) atau pasien yang harus diberi empati. 53 Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana narkotika, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang

53

Dani Krisnawaty dan Eddy O. S. Hiariej, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 99.

66

bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47:

(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:

a.Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau

b.Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Kedudukan pecandu narkotika mendapatkan fasilitas rehabilitasi dan tidak harus menerima sanksi pinajara sesuai dengan rencana pembaruan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2008. Pada RKUHPidana itu telah mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yang diatur dalam Pasal 110 :

(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang:

a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

(2). mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa. (3) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial,

baik milik pemerintah maupun swasta.

Upaya pembaruan hukum pidana dalam undang-undang narkoba di Indonesia sejalan dengan dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas, terutama pecandu narkotika di Indonesia, yang menuntut tindakan dan kebijaksanaan antisipatif. Usaha reformasi hukum pidana tersebut, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, merupakan bentuk langkah pembaharuan hukum pidana nasional yang menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang merupakan kebijakan yang bertujuan agar pengguna narkotika tidak lagi dilakukan dengan pendekatan sanksi pinjara semata, tapi lebih terfokus kepada pemenuhan auntuk mengembalikan prodiktifitas pecandu agar kembali sehat dan prima.

Dalam arti lain, bentuk pertanggungjawaban pelaku lebih bersifat tindakan

(treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. 54 sementara pendekatan treatment

sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari

54

. C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal

Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal, 81-82.

68

dalam sistem pemidanaan. Pendekatan ini bertujuan untuk pencegahan terhadap masyarakat sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama.

B. Inkonsistensi Pelakasanaan Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pelaksanaan Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengamanatkan kepada masyarakat, khususnya para penegak hukum untuk menangani penyalahgunaan narkotika agar menjamin upaya pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Amanat undang Undang tadi secara khusus diberikan kepada para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara penyalahguna narkotika (tersangka penyalahguna dan dalam keadaan ketergantungan). Kepada tersangka penyalahguna narkotika yang terbukti bersalah, hakim dapat memutuskan memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi. Begitu pula kepada tersangka penyalahguna narkotika yang tidak terbukti bersalah, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi. Hukuman rehabilitasi merupakan hukuman paling tepat bagi penyalahguna narkotika yang bermasalah dengan hukum sebagai alternatif atau pengganti hukuman, dimana penyalahguna narkotika harus menjalani tindakan perawatan, pendidikan, after care, rehabilitasi dan re-integrasi sosial (Pasal 36 UU 8/1976).

Masa menjalani rehabilitasi pun diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (103 ayat 2 UU 35/2009). Hal tersebut merupakan amanat UU 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika dan Protokol yang mengubahnya dan UU 7/1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psycotropic Substances 1988, dan telah diterjemahkan dalam pasal 4 huruf (d) UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menjiwai sejumlah pasal di dalamnya.

Substansi dari UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika penyalahguna narkotika diancam pidana, namun apabila yang bersangkutan telah melakukan kejahatan ini, disidik, dituntut, dan diputuskan oleh hakim maka dijamin oleh UU akses rehabilitasinya supaya mereka dapat dipulihkan kembali. Pemerintah pun berkewajiban menyiapkan sumber daya rehabilitasi untuk memulihkan dan melakukan reintegrasi sosial agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan secara normal.

Berdasarkan fakta di lapangan, bahwa sering ditemukan terjadi penyelewengan atau pembangkangan hukum oleh para penegak hukum narkotika, khususnya dalam menangani perkara pecandu (penyalahguna) narkotika untuk diri sendiri. Penyidik dan penuntut umum dalam memeriksa tersangka penyalahguna narkotika tidak sepenuhnya mengacu dan tunduk pada ketentuanketentuan hukum dalam UU Narkotika yang berlaku (UU 8/1976 Pengesahan konvensi tunggal tentang narkotika 1961 dan Protokol yang mengubahnya, UU 7/1997 Pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 yang

70

menjadi dasar pembentukan UU 35/2009 tentang Narkotika). Penyidik dan penuntut umum tidak pernah atau enggan meminta asesment atau keterangan ahli terkait kondisi ketergantungan baik fisik maupun psikis penyalahguna narkotika yang ditangkap dengan indikasi sebagai pecandu narkotika (yakni mereka yang membawa, memiliki, menguasai narkotika dalam jumlah tertentu untuk pemakaian satu hari). Keengganan inilah yang menyebabkan para penegak hukum narkotika dan dibarengi jalan pintas memperlakukan mereka seperti halnya tersangka pengedar narkotika. Mereka dikenakan penahanan dan pasal berlapis. Selama ini, dalam kasus penyalahguna narkotika untuk diri sendiri sangat jarang yang diberkas dengan pasal tunggal, dalam hal ini pasal 127.

C. Mempersoalkan Praktek Pidana Islam terhadap Pecandu narkotika 1. Kemaslahatan Hukum Islam

Dalam kasus narkotika (khamar) dasar hukumnya sudah jelas dan terang untuk dijadikan sebagai landasan hukum syariah bagi pecandu narkotika sebagaimana yang tercantum dalam teks suci (Qur‟an dan Sunnah) dan ijma‟ para ulama. Dasar teks hukum syariah itu sangat terkait erat dengan kebaikan manusia yang mencakup fisik dan psikis manusia sebagai hamba Allah SWT yang bertujuan untuk kelanjutan hidup manusia itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan imam Syatibi bahwa tujuan syariat adalah untuk memeilihara agama, jiwa, akal, keturunan, memelihara harta benda dan kehormatan.

Ajaran Islam yang berlandaskan al-Qur‟an dan sunnah nabi Muhammad Saw, tidak sekedar merupakan sebuah sistem yang konprehensif dalam mengatur semua aspek, tetapi juga bersifat universal yang senantiasa sesuai dengan dinamika kehidupan. Ajaran Islam memiliki hubungan yang erat dan integral dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan bermasyarakat, berpolitik, hukum, pendidikan, dan persoalan-persoalan patologi sosial (seperti kejahatan). Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan agama dengan fenomena sosial. Dan Islam bukanlah hanya sekedar membicarakan spritualitas atau ritualitas. Lebih dari itu, Islam merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan dan peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia. Islam memandang, bahwa dengan mempraktekkan ajaran Islam adalah sebagai suatu jalan hidup yang melekat pada setiap aktivitas kehidupan, baik yang terkait ritual dengan Tuhan maupun ketika manusia berinteraksi dengan sesama manusia.

Dalam pandangan Islam, tujuan hidup seorang Muslim adalah kebahagian di dunia dan di akhirat. Dua kebahagian itu akan tercapai apabila seseorang manusia (hamba) sepenuhnya taat kepada Allah. Oleh karena itu, manusia selalu merasakan akan kebutuhan terhadap Allah. Dengan demikian, seseorang individu tidak akan berperilaku sesuka hati, termasuk berperilaku jahat atau mencelakakan orang lain (memberi mudharat), sebagaimana yang dipesankan nabi Muhammad Saw ا ض ا ض ا. Lafadz ضا berarti larangan membahayakan diri sendiri atau orang lain, sedangkan ا ض ا berarti larangan saling membahayakan antara sesama orang lain. Artinya,

72

menciptakan dan menjaga kemaslahatan dan menghindari dari segala hal yang merugikan, baik merugikan diri sendiri maupun orang lain, termasuk merugikan pisik, psikis, atau kerugian materi adalah perintah ajaran Islam. Upaya menjaga atau memelihara kondisi seperti inilah yang disebut maqashid al-syariah. Para ulama mengklasifikasikan bahwa tujuan maqashid al-syariah

adalahbertujuan memelihara agama (al-din) dan diri (nafs), akal pikiran (aql), harta (mal), dan keturunan (nasl) (Al-Syatibi. 1997:72). Sebagaimana Imam Syatibi mengatakan bahwa, kelima tujuan syariah ini (tujuan maqasyid al-

syari‟ah atau sering juga disebut Maqashid al-Khamsah ) harus terjaga eksistensinya, dengan memperkuat dan memperkokoh berbagai macam aspeknya di satu sisi, serta melakukan berbagai upaya preventif (agar tidak menjadi korban kejahatan) dan tindakan refresif (terhadap pelaku kejahatan) di sisi lain, sehingga maqashid nya tidak hilang dan tetap dapat menjamin rasa aman dan tenteram bagi semua pihak. Meskipun kebutuhan dan hajat kehidupan manusia yang terus berubah. 55

Dengan demikian, maqashid (tujuan) adalah merupakan kesadaran mikro setiap Muslim. Sementara dalam skala makro, manusia adalah makhluk sosial, yaitu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa keterlibatan pihak lain. Termasuk dalam mamenuhi kebutuhaan dasar (need) dan rasa

55

Dalam mencapai maqashid ada aturan yang bersifat dharuriyah (primer), hajiyah

(sekunder), dan tahsiniyah (tersier). Apabila yang dharuriyah tidak tercapai, maka kehidupan manusia akan mengalami keguncangan. Jika hajiyah tidak terlaksana, maka kehidupan ini akan menjadi sesuatu yang menyulitkan, dan tahsiniyah apabila tidak terwujud maka kehidupan manusia akan menjadi kurang indah. Lihat H. A. Djazuli, (2007), Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, Jakarta, Kencana: 257.

keinginan (wants). Oleh karena itu, ajaran (hukum) Islam diyakini sebagai paket lengkap yang diturunkan Allah Swt kepada umat manusia. Keyakinan

itu termuat dalam isi kandungan Qur‟an, yaitu aturan yang berisikan tentang

kaidah-kaidah, aturan-aturan, dan bentuk-bentuk hukuman sebagaimana tertera baik dalam hukum-hukum fiqih maupun yang terdapat dalam hukum positif pada umumnya.

2. Perbedaan Menentukan Jumlah Sanksi Cambukan dan Prakteknya

Pecandu narkotika di Indonesia sangat mengkawatirkan semua pihak, dan sudah mencapai jumlah lebih dari 5,1 juta jiwa. Jumlah tadi, meliputi usia anak-anak, remaja, dewasa, bahkan usia kategori tua. Dan usia produktif yaitu antara 15 sampai 40 tahun yang umumnya lebih banyak. Pada sisi lain, manusia yang mendiami negeri ini adalah mayoritas beragama Islam. Dan diduga pecandu narkotika itu kemungkinan pula ada diantaranya atau mayoritas diantara mereka beragama Islam. Jika mengacu dengan sistem pemidanaan Islam, maka hukum tazir sangat relevan dipraktekkan untuk kemaslahatan umat. Hukum ta‟zir yang dimaksud adalah, pengadilan memberikan sanksi dalam bentuk perbaikan yang edukatif yang berbasiskan rehabilitatif, yang menyangkut rehabilitasi fisik dan psikis, tanpa menapikan tentang konsep refresifmya yaitu sanksi cambuk menurut hukum Islam.

Meskipun para ulama berbeda pendapat menentukan sanksi bagi pemakai

khamar (pecandu narkotika) yang terkait dengan had dan tazir. Bahkan para ulama pun berbeda pendapat menentukan jumlah sanksi cambukan bagi

74

pemakai khamar (pecandu narkotika). Sebahagian ulama mengatakan 80 kali cambukan dan ada yang mengatakan 40 kali cambukan. Seperti mazhab Malikiyah dan mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa cambukan bagi

peminum khamar sebanyak 80 kali cambuk sementara imam Syafi‟i

mengatakan bahwa had bagi pecandu narkoba adalah 40 kali cambuk, hal itu mengacu kepada keputusan Ali bin Abi Thalibyang mencambuk Walid bin Uqbah dengan 40 kali cambukan. Sanksi cambukan itu, mengacu kepada perintah Rasulullah SAW yang dilaksanakan pada saat Abu Bakar Shiddiq menjadi khalifah. Yaitu berdasarkan hadis riwayat Ibn Majah bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa,

ْ إف عبا ا يف ق مث

ْج ف ع ْ إف

ْج ف ع ْ إف

ْج ف س ا إ

ق ع ا ب ْض ف ع

ُ

apabila mereka meminum khamar, maka pukullah mereka . kemudian jika mereka kembali minum, maka pukul lagi mereka. Jika mereka kembali lagi, maka pukul lagi maka dan jika mereka kembali lagi, maka bunuhlah mereka ”. (HR. Ibnu Majah) 56

56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Dalam sistem pemidanaan bahwa sanksi akan dijatuhkan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran hukum. Bahwa prinsip hukum pidana adalah

“tiada pidana tanpa kesalahan”. Sebagaimana dalam KUHPidana Pasal 37

disebutkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia. Artinya, siapapun pelaku tindak pidana menurut sistem hukum pidana Indonesia harus menjalani proses hukum yang berdasarkan undang- undang yang berlaku. Bagi pecandu narkotika, secara jelas dikatan bahwa perbuatan mereka adalah melanggar ketentuan hukum yang berkewajiban mendapat sanksi pidana atau sanksi pinjara untuk efek jera.

2. Hukum Islam atau sering disebut hukum syariat melihat kedudukan pecandu narkotika sama dengan pemakai khamar . Kesamaan kategori itu berdasarkan adanya kesamaan perilaku dan sikap baik secara pisik maaupun secara psikis. Unsur yang memiliki kesamaan adalah sama-sama menghilangkan kesadaran akibat dari zat yang dikonsumsi. Karena ajaran Islam menghendaki terpeliharanya agama (al-din) dan diri (nafs), akal pikiran (aql), harta (mal), dan keturunan (nasl), maka Islam melakukan upaya-upaya penjagaan dan pemeliharaan dengan melakukan pencegahan (prepentif) dan sanksi cambukan atau hukuman (represif) dan juga pengobatan (kuratif).

76

3. Semenjak diterbitkannya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika, sampai saat ini, terlihat belum menunjukkan hasil yang memuaskan untuk mengatasi dan mengurangi jumlah pecandu narkotika. Maka dengan mengingat hal itu, pemerintah Indonesia melakukan upaya yang lebih memihak terhadap pecandu narkotika (bukan terhadap pengedar dan bandar) dengan mengupayakan pecandu dengan kategori korban (victim). Maksudnya, pecandu narkotika tidak harus mendapatkan sanksi pinjara, tapi mengedepankan pola perbaikan perilaku agar sehat pisik dan psikisnya dan hidup secara normal dan produktif. Kondisi itu sering disebut dengan dekriminalisasi.

B. Saran-Saran

1. Dalam konsep penegakan hukum bahwa semua orang sama di depan hukum (equality before the law). Artinya, tidak ada pengecualian bagi siapapu pelaku yang melanggarnya, termasuk pelaku pecandu narkotika. Pengakan hukum pidana sebagaimana aturan sistemnya (polisi, jaksa, hakim, lapas) akan memproses pelaku yang melanggar hukum mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadlan sampai si pelaku dijebloskan ke dalam pinjara. Namun, belakangan ada pembaruan hukum pidana, sebagaimana dalam rancangan kitab undang hukum pidana (RKUHP) bahwa sanksi pinjara tidaklah satu-satunya atau aktor yang memberikan efek jera kepada pelaku pelanggar hukum, terutama bagi pecandu narkotika. Perlu dicarikan terobosan lain yang lebih efektif dan edukatif.

2. Saran lain dari penulis, terhadap pihak-pihak yang menjalankan sistem peradilan pidana. Ada beberapa alasan kenapa pecandu tidak harus mendapat sanksi pinjara, pertama pecandu narkotika adalah korban dari akibat tingkah lakunya sendiri (self victizing victims) dan menanggung akibat keruguiannya adalah dirinya sendiri tidak merugikan orang lain.

Kedua, kalo pecandu narkotika disamakan dengan narapidana lain dan sama-sama menghuni sel pinjara, si pelaku pecandu narkotika tadi dikhawatirkan akan menjadi penjahat besar, karena dia belajar dan melatih diri serta mengetahui seluk beluk narkotika dari bandar atau pengedar narkotika selama di pinjara. Ketiga, karena pecandu adalah korban atas perbuatannya, maka idealnya adalah pecandu mendapatkan pengobatan, baik secara pisik, psikis dan spritual agar menyadari bahwa perbuatannya adalah salah dan keliru, baik secara kesehatan, hukum dan agama.

Keempat, pecandu narkotika tidaklah dapat disamakan dengan terpidana kejahatan lain, maka pertanggungjawaban pidananyapun tidak lah sama. Jika kasus pecandu narkotika dengan bandar narkotika atau kejahatan lain dikategorikan dengan sistem yang sama, dengan jumlah pecandu narkotika 5,1 juta orang, berapa banyak ketersedian fasilitas sistemnya, kapasitas pinjaranya, jumlah dan kekuatan sumber daya manusianya, biayanya dan ongkos lain untuk menangani itu. Maksudnya, kenapa tidak pola pembinaan terhadap pecandu narkotika dilakukan dengan sistem yang berbeda dan tidak harus dengan pendekatan sistem pidana untuk

78

mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mendapatkan rehabilitasi yang memadai.

3. Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta orang dan mayoritas beragama Islam, harusnya sudah menyadari bahwa eksistensi hukum Islam harus diterapkan bagi masyarakat, khususnya umat Islam. Bahwa hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan umatnya dengan menjaga agama, akal, nasab (keturunan), dan harta benda. Artinya, hukuman cambuk 80 atau 40 kali akan lebih efektif diganti dengan kewajiban menjalani rehabilitasi selama kurun waktu yang ditentukan. Manfaatnya, untuk memberi kesempatan terhadap psi pecandu narkotika bertobat dan berobat serta menyadari kekeliruannya dan memahami dampak negatif terhadap dirinya, keluarganya, dan lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, , 2007.

Acep Saifullah, Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif:Sebuah Studi Perbandingan, AL-„ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013, Universitas Ibnu Khaldun (UIK), Bogor.

Acep Syaifullah, Narkoba dalam Perspektif Hukum islam dan Hukum Positif

(Sebuah Studi Perbandingan), UIN Jakarta, 2007, Tesis, Tidak

dipublikasikan

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Ahmad Warson al-Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Agustus, 1984.

Anang Iskandar, Jalan Lurus Penanganan Penyalahguna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang, Viva Tanpas, 2015

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1994.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Becker, H. , Outsider. Glencoe; The Pree Press, 1963.

Biro Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia; 2016

C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan,Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

80

Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi penelitian, Jakarta : Bumi pustaka, 1997.

Dadang Hawari, Agama (Islam) Menanggulangi NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif),Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002

Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA, Jakarta: FKUI, 2002. Dani Krisnawaty dan Eddy O. S. Hiariej, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus,

Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu- Rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2007

Ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Ttp. : Tnp. , t. t.

Ibn Mâjah dan al-Tirmizî , Jâmi‟ al-Shahîh, III, Bayrut: Dâr al-Fikr, t. t. Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Bayrut: Dâr al Fikr, 1415 H. /1995 Ibn Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, II, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000. Junaidi lubis, Islam Dinamis Model Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks

Perubahan Masyarakat. Jakarta, Dian Rakyat, 2010

Kompilasi Peraturan Perund

ang-undangan tentang Narkoba. Kencana, Jakarta, 2007.

Lemert, E. M. Social Pathology. New York: McGraw-Hil, 1951.

Media Indonesia, 14 Feb 2006

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Muhammad al-Hawari, Narkoba Kesalahan dan Keterasingan, Riyadh: 1408. Muladi, Kapita Selekta Sisitem Peradilan Pidana, Semarang: Undip, 1995.

Mustofa, Muhammad, Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: Fisip UI Press, 2007.

Mustofa, Muhammad, Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: Fisip UI Press, 2007.

Mustofa, Muhammad, Metodologi Penelitian Kriminologi, Depok: Fisip UI Press, 2005.

Nitibaskara, Ronny. Rahman, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban, 2001.

Pramono U. Tanthowi, Narkoba: Problem dan Pemecahannya dalam Perspektif

Islam, Bandung: PBB UIN, 2003.

REPUBLIKA. Awas, Kampus Lahan Subur Peredaran Narkoba.

Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kiminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban, 2001.

Satria Effendi M. Zein, Kejahatan terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Islam,

Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986.

82

Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyelahgunanya, Jakarta: Erlangga, 2007.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung:Alumni, 1987.

Sukandarrumidi, Metodologi penelitian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004.

Suparni Niniek, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,

Jakarta: Sinar Grafika,1996

Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-„Uqûbât , Darul Ummah, cet. ii. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Penjelasannya,Bandung: Citra Umbara, 2010.

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

http://www.ikonbali.org/09/03/2010/dokumentasi/sema-dan-legitimasi- dekriminalisasi pecandu. html. .

Dokumen terkait