• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARKOTIKA

F. Kondisi Mendunia Terkait Produksi Narkotika

Permasalahan penyalahgunaan narkotika menjadi permasalahan global dan melampaui lintas negara (transnational crime).

Aparat hukum dibanyak negara beranggapan, untuk memberantas peredaran narkotika sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah karena peredaran narkotika dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations) yang telah mendunia. 23

Kejahatan lintas negara ini telah mengancam eksistensi ketahanan dan keamanan semua bangsa. Patut diduga bahwa kejahatan narkotika (peredaran narkoba) telah didanai oleh kejahatan terorganisir yang bersifat internasional dengan dukungan dana besar, sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan teknologi yang sangat maju. Bisnis narkotika yang menjanjikan keuntungan besar itu telah menyeret semua bangsa ke dalam berbagai persoalan politik, sosial, ekonomi dan hankam yang berpotensi menghambat laju pembangunan bangsa (BNN, 2006).

Sampai pada tahun 2006 yang lalu, data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional melaporkan bahwa kerugian karena narkoba menunjukkan tentang dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkoba sangat mengkhawatirkan dunia. Di Amerika Serikat kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkoba mencapai $181 milyar. Sedangkan di Canada $8,2 milyar pada tahun 2002. Di Australia kerugian mencapai sekitar

23

Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kiminologi, Hukum dan Sosiologi, (Jakarta, Peradaban, 2001), hal,: 138

34

$8,190 juta pada tahun 2004/2005. Perbandingan kerugian biaya narkoba terhadap gross domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%, Canada 0,98%, Australia 0,88% dan Perancis 0,16%. Di Indonesia, kerugian diperkirakan Rp. 23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 . Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90. 523 butir (2001) menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1. 241,2 kg (2006). Jumlah tersangka meningkat dari 4. 924 orang tahun 2001 menjadi 31. 635 orang tahun 2006. Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari masalah narkoba yang jauh lebih besar.

G. Peredaran Narkotika Tingkat Global

Peredaran narkoba pada tingkat global, terutama jalur yang dikenal sebagai pemasok utama distribusi narkoba internasional, yang disebut sebagai jalur “Golden Cressent” dan “Golden Triangel”. Jalur pertama adalah wilayah berbatasan negara Afghanistan dan Pakistan dan jalur kedua adalah berbatasan tiga negara yaitu Myanmar, Vietnam, dan Thailand. Berikut peta jalur narkoba internasional:

Distribusi narkotika dari dua wilayah itu menunjukkan bahwa pada tahun 2010, penanaman opium menunjukkan sedikit kenaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Misalnya, dari negara Afghanistan terdapat 123. 000 ha tanaman Opium (stabil), tetapi secara global sebenarnya kenaikan

terjadi karena adanya peningkatan di Myanmar, penanaman naik 20 % dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, jika dihitung secara global terjadi penurunan tanaman Koka menjadi 149. 100 ha. Turun 18 % dari tahun 2007 ke 2010. Demikian juga pada narkoba jenis kokain, terjadi penurunan secara signifikan pada tempat produksi Kokain, nampak terjadi penurunan di Colombia namun kenaikan terjadi di negara Peru dan Bolivia.

Memang, agak sulit memperkirakan berapa jumlah sebenarnya, tentang total distribusi narkoba, terutama jenis Amphetamine di tingkat global, misalnya jenis ecstasy Menthamphetamine: bagian kelompok Amphetamine), sebab di beberapa negara seperti Amerika Serikat banyak memproduksi narkoba jenis ini melalui laboratorium-laboratorium gelap.

Meskipun demikian, jika dilihat data yang dilaporkan BNN, selain jenis narkoba yang disebutkan tadi, jenis narkoba yang banyak diproduksi negara- negara lain adalah ganja. Ganja dapat ditemukan hampir di seluruh negara- negara di dunia ini, baik di Amerika sendiri, di Eropa, jalur Oceania, dan bahkan, pada negara-negara berkembang, ganja di tanam di rumah-rumah, seperti yang terjadi di negara Afghanistan dan Maroko, dua negara ini adalah termasuk penghasil ganja terbesar di dunia.

Pada tahun 1998 sampai tahun 2009, pengungkapan ganja, heroin, morphin, dan kokain meningkat dua kali lipat, sedangkan ATS (Amfetamin, Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi) naik tiga kali lipat. Sementara pengungkapan kokain dan getah ganja di pasar, berbeda dari daerah asalnya. Pengungkapan kokain di Amerika Utara dan Eropa Barat turun dibandingkan

36

Amerika Selatan. Sama seperti getah ganja turun secara signifikan di Eropa, tetapi naik di Afrika Utara dari tahun 2008 sampai tahun 2009.

H. Peredaran Narkotika Tingkat Nasional

Laporan dari hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Puslitkes-UI tahun 2011, yang melihat tentang ukuran usia dan pernah mengkonsumsi narkoba mulai usia 10 – 59 tahun. Dari penelitian itu, ditemukan bahwa sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta orang (5,9%) dari populasi pernah mencoba mengkonsumsi narkoba, minimal satu kali sepanjang hidupnya, atau ada 1 dari 17 orang di Indonesia pernah pakai Narkoba sepanjang hidupnya dari saat sebelum dilakukan penelitian. Sementara berjumlah 3,7 - 4,7 juta orang (2,2%) yang masih menggunakan Narkoba dalam satu tahun terakhir dari saat penelitian, atau ada 1 dari 45 orang yang masih menggunakan Narkoba

(current users).

Angka penyalahgunaan Narkoba terbanyak di wilayah Jawa. Tingginya jumlah peredaran gelap narkoba di Jawa karena dari sisi akses mendapatkan Narkoba lebih mudah, dari sisi ekonomi dan pendidikan lebih baik, dan potensi pasarnya besar, karena jumlah penduduk Indonesia sekitar 59% dari total populasi 10-59 tahun berada di Jawa. Di Sumatera pemakaian Narkoba

(ever used) angka prevalensinya lebih tinggi dibandingkan Kalimantan, namun tidak untuk angka penyalahgunaan setahun terakhir (current users). Ini mengindikasikan bahwa pernah pakai di Kalimantan lebih banyak yang masih terus berlanjut menjadi penyalahguna Narkoba. Berikutnya, estimasinya

menunjukkan bahwa kebanyakan penyalahguna Narkoba berada pada kelompok Teratur Pakai (45%), Coba Pakai dan Pecandu Bukan Suntik relatif sama besar (27%) dan terakhir adalah pecandu suntik (2%).

I. Peredaran Narkotika Kepada Kalangan Remaja

Fenomena penyalahgunaan narkoba merupakan fenomena gunung es (ice berg phenomenon) artinya yang nampak dipermukaan laut (terdata resmi) amat kecil jumlahnya, sedangkan yang tidak nampak yaitu yang berada di bawah permukaan laut (tidak terdata resmi) jauh lebih besar. Atau dengan kata lain, dalam hal penyalahgunaan narkoba terdapat angka sebenarnya atau angka gelap yang disebut dengan istilah ”dark number”. Menurut Hawari, bahwa bila ditemukan 1 orang penyalahgunaan narkoba sebenarnya ada 10 orang lainnya yang berada di luar (di masyarakat). Sebagai contoh misalnya, penyalahgunaan heroin (putaw) pada tahun 1995 oleh Bakolak Inpres 6/71 (cikal bakal BNN) dinyatakan sebanyak 0,065% dari jumlah penduduk 200 juta atau sama dengan 130. 000 orang. Menurutnya, bahwa jumlah sebenarnya adalah 1,3 juta jiwa. Bila ditambah dengan penyalahguna narkoba jenis ganja, shabu-shabu, ekstasi, sedativa atau hipnotika dan alkohol maka jumlah penyalahgunaan narkoba itu akan menjadi jauh lebih besar. 24

Untuk tahun 2003, kasus narkoba semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di Jakarta sendiri, jumlahnya meningkat 45,2 %, dari 2. 370 kasus di tahun 2002 menjadi 3441

24

Dadang Hawari, Agama (Islam) Menanggulangi NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif),(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), h. 55.

38

kasus pada akhir tahun 2003. dengan jumlah penyelesaian kasus mencapai 87,4% dari total kasus yang ada. Selanjutnya di tahun 2004, jumlah kasus narkoba yang ditangani Polda Metro Jaya meningkat 39,4% atau 1. 338 kasus menjadi 4. 799 kasus. Sedangkat tingkat penyelesaian kasus juga meningkat menjadi 95,9% dari total kasus yang ada di tahun tersebut. Selanjutnya untuk tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 23,9% dari tahunnya sebelumnya menjadi 5. 948 kasus. Total tersangka dalam kasus narkoba tahun 2005 adalah 7. 780 orang. Dari jumlah itu, tersangka yang termasuk kategori pengedar sebanyak 3. 092 orang, pemakai 4. 686 orang. Dan dari total tersangka terdapat 27 orang yang berkewarganegaraan asing, sedangkan sisanya adalah warga Indonesia25

Sebagaimana yang dilaporkan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2006 lalu, bahwa di Indonesia, permasalahan dan peredaran Narkoba telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Disebut mengkawatirkan karena penyalahguna Narkoba telah merambah luas baik di lingkungan pendidikan (termasuk kampus), lingkungan kerja, pelajar, mahasiswa dan lingkungan pemukiman di pedesaan maupun di perkotaan. Dengan jumlah penyalahguna Narkoba mencapai 2,3 juta jiwa atau setara dengan 1,5 persen populasi penduduk Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga kampus perguruan tinggi menjadi lahan subur peredaran narkoba. Selain berekonomi

25

menengah keatas, penghuni kampus juga kerap mengikuti gaya hidup berlebihan. Narkoba dinilai menjadi bagian dari gaya hidup seperti itu. 26

26

REPUBLIKA. Awas, Kampus Lahan Subur Peredaran Narkoba. Kamis, 13 Oktober 2011. Diunduh Senin, 21 Rabiul Awwal 1433 / 13 Pebruari 2012 | 08:51 WIB

40

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM POSTIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kedudukan Narkotika dalam Perundang-undangan Negara Indonesia

Sebelum tahun 1976, istilah Narkotika belum dikenal dalam perundang- undangan Indonesia. Peraturan yang berlaku pada saat itu adalah Undang- Undang Obat Bius (Verdoovende-Middelen Ordonantie) Tanggal 12 Mei 1927 S. 27-278 JO 536 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1928.

Baru sekitar akhir dekade 60-an istilah “Narkotika” diperkenalkan dalam rangka pencegahan dan pembinaan para pelanggar hukum pidana terkait narkotika. Antara istilah Narkotika dan Obat Bius tidaklah ada perbedaan semula narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam dunia medis dan dalam dunia penelitian. Karena itulah tidak ada larangan dalam menggunakan Obat Bius (Narkotika) guna kepentingan kedokteran dan ilmu pengetahuan.

Temuan Saefullah dalam penelitiannya mengatakan, bahwa melalui pengundangan UU RI No. 8 tahun 1976, Indonesia sudah secara resmi dan berdasarkan hukum “mengesahkan konvensi tunggal Narkotika New York 1961 beserta protokol perbaikannya” di Jenewa 1972. Peristiwa itu mengandung pengertian bahwa Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Protokol perbaikannya berlaku dan mengikat Indonesia didalam kerangka Organisasi PBB yang bergerak di Bidang Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Internasional.

Konvensi tunggal Narkotika 1961 ini terdiri dari 51 pasal yang berisi berbagai ketentuan mengenai Narkotika menerangkan tentang jenis-jenisnya, jarak pengawasan termasuk lalu lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil dan sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat menjadi pedoman bagi tiap negara dan ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. Kemudian setelah UU No. 9 tahun 1979 tentang Narkotika diberlakukan (LN 1976 No. 37), istilah Narkotika secara resmi digunakan dalam perundang-undangan Indonesia.

Di Dalam UU itu, Psikotropika atau zat-zat kimia sintetis merupakan bagian dari Narkotika. Narkotika itu dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a) Narkotika yang berasal dari tanaman atau dari hasil pemprosesan seperti opiat (opium, morfin, dan heroin), kokain dan kanabis.

b) Narkotika yang berasal dari zat-zat kimia sintetis, yang berupa “ Psychotropic substences) (Deppressant, stimulant dan hallucinogen). Tetapi dalam perkembangannya, terjadi banyak penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan Psikotropika lainnya yang menyebabkan UU No. 9 tahun 1976 mengenai narkotika tidak relevan lagi. Menyadari akan bahaya yang ditimbulkannya dari penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, yaitu dapat merusak bagi pemakai itu sendiri, merusak tatanan masyarakat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, agama, ekonomi sampai kepada penyakit sosial lainnya, maka Pemerintah bersama DPR RI menetapkan secara terpisah UU tentang Narkotika dan UU Psikotropika yang lebih luas

42

cakupannya serta lebih spesipik pula, jika dibandingkan dengan UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Saefullah, 2007). 27

Sejalan dengan putaran waktu dan perkembangan zaman, peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak sesuai lagi, karena di dalamnya hanyalah mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur. Narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia pengobatan, demikian juga dalam bidang penelitian untuk tujuan ilmu pengetahuan, baik penerapannya maupun pengembangannya. Meskipun ada bahayanya, namun masih dapat dibenarkan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, karena untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, maka dalam undang-undang ini dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika, mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dan Ganja.

Di Dalam Undang-undang No 9 tahun 1976 tentang narkotika mengatur beberapa ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika. Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika, seperti: penanaman, peracikan produksi, perdagangan, lalu lintas, pengangkutan, serta penggunaan narkotika. Di samping itu juga mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi. Ketentuan lain yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah juga mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan dan perkara

27

Acep Syaifullah, Narkoba dalam Perspektif Hukum islam dan Hukum Positif (Sebuah Studi Perbandingan), (UIN Jakarta, 2007), h. 55.

yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Dan ketentuan-ketentuan lain yang menyangkut tindakan preventif dan represif. 28

Namun pada waktu berikutnya undang-undang No 9 tahun 1976 tentang Narkotika itu dipandang tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Salah satu alasannya adalh karena UU tersebut tidak mengatur secara rinci pembagian jenisjenis pengelompokan narkoba seperti apa jenis narkotika dan jenis psikotropika. Kemudian pada tahun 1997, diberlakukan UU baru mengenai dua hal tersebut dengan harapan agar dapat menekan jumlah pengguna maupun pengedar narkoba. Dimana istilah Narkotika dan Psikotropika dalam UU No. 9 tahun 1976 merupakan satu kesatuan, dan pada UU yang baru ini dibedakan dan masing-masing terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda yaitu UU No. 5 tahun 1997 tentang Narkotika (LN tahun 1997 No. 10) dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Psikotropika (LN tahun 1997 No. 67). Lahirnya kedua UU tersebut didahului dengan keluarnya UU No. 8 tahun 1996 tentang pengesahan Konvensi Psikotropika dan UU No. 7 tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Berikut perjalanan Undang-Undang Narkoba di Indonesia sampai pada tahap Undang- Undang 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika:

28

Lihat Kompilasi Peraturan Perundang-undangan tentang Narkoba. Kencana, Jakarta, h, 67-69

44

a. UU Obat Bius

b. UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang mengubahnya

c. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika d. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

e. UU No. 8 Tahun 1996 tentang pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971

f. UU No. 7 Tahun 1997 tentang pengesahan UN Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

g. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika h. UU. No 22 tahun 1997 tentang Narkotika

Dokumen terkait