• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Konseptual

Pasien Hemodialisis Reguler

Modifikasi kadar natrium dialisat sesuai kadar natrium

plasma pasien

Kualitas hidup diukur denganSF-36

Hipertensi

Asidosis Edema paru LVH

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 PENYAKIT GINJAL KRONIK

2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik (NKF/KDOQI, 2004)

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, yang umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana akan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kriteria PGK dapat dilihat pada table 2.1

Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal yang terjadi >3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

a. kelainan patologis

b. terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,atau kelainan dalam tes pencitraan

2. LFG <60ml/mnt/1,73m2 ginjal.

selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan

2.1.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (NKF/KDOQI, 2004)

PGK diklasifikasikan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73m2) =

72 X kreatinin plasma (mg/ml) (140-umur) x berat badan *)

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan

(ml/mnt/1,73m2

) LFG

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90 2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau

dialysis

2.1.3 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.9

Penatalaksanaan PGK meliputi:

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

f. Terapi pengganti ginjal

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) diperlukan pada penderita PGK stadium terminal, ketika LFG <15 ml/mnt/1,73m2, dimana ginjal tidak dapat mengkompensasi kebutuhan tubuh untuk mengeluarkan zat-zat sisa hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui pembuangan urin, mengatur keseimbangan asam-basa dan keseimbangan cairan serta menjaga kestabilan dalam lingkungan.8

Tujuan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan kehidupan, meningkatkan kualitas hidup sehingga penderita dapat beraktifitas seperti biasa serta mempersiapkan transplantasi ginjal apabila memungkinkan.' Terapi pengganti ginjal yang tersedia saat ini ada 2 pilihan: dialisis dan transplantasi ginjal. Ada 2 metode dialisis yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis.9

2.2 HEMODIALISIS

Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita Penyakit Ginjal Kronik stadium terminal. Dalam suatu proses HD, darah penderita dipompa oleh mesin ke dalam kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam lubang serat sementara dialisat mengalir diluar serat, sedangkan dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif kedalam kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut berpindah dari darah kedalam cairan dialisat untuk selanjutnya dibuang.8

2.2.1 Cairan Dialisat

Cairan dialisat adalah suatu cairan pembersih yang digunakan dalam bahan-bahan kimia yang serupa dengan yang terdapat dalam tubuh manusia.

Komposisi dialisat dan persiapan bersama dengan penggunaan dialisat merupakan salah satu topik yang paling menarik dalam nefrologi, di mana kemungkinan bisa ber inovatif dan perbaikan yang beragam. Selain itu, belajar tentang seni dan ilmu dari penciptaan dialisat adalah salah satu cara terbaik untuk lebih memahami proses patofisiologis yang mendasari asam basa, cairan, elektrolit, serta kelainan tekanan darah. Di sisi lain, pengetahuan yang mendalam tentang proses patofisiologis di atas sangat akan meningkatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar di mana dialisat yang dihasilkan.

10

10

2.2.2 Natrium Dialisat

Dari semua elektrolit dalam plasma manusia, Natrium adalah yang paling banyak (natrium plasma normal adalah 138 mmol/L dan disertai dengan angka yang sesuai anion). Akibatnya, tingkat osmolalitas plasma ( normal menjadi 287 mmol/kg ) terkait erat dengan nilai natrium plasma. Perlu dicatat bahwa tingkat dialisat natrium menentukan tidak hanya pertukaran natrium antara dialisat dan plasma, antara plasma dan cairan ekstraselular (ECF), tetapi juga pertukaran antara air dialisat dan plasma, antara plasma dan ECF, dan antara ECF dan intraselulernya.

Pada awal hemodialisis, dialiser koil yang digunakan pada saat itu tidak bisa menahan tekanan hidrostatik transmembran tinggi dengan baik, penghapusan air selama dialisis telah dicapai dengan menggunakan sejumlah besar glukosa ( misalnya, lebih dari 1.800 mg/dL) pada dialisat, mengambil keuntungan dari proses yang dikenal sebagai ultrafiltrasi osmotik. Karena konsentrasi air dalam plasma kemudian lebih tinggi daripada dalam dialisat (osmolalitas yang lebih tinggi pada dialisat dari dalam plasma), air akan mengalir dari plasma ke dialisat. Oleh karena itu, jika dialisat isonatrik itu harus digunakan, hipernatremia akan selalu terjadi. Akibatnya, selama hari awal, konsentrasi Natrium dialisat yang sengaja tetap rendah, misalnya dalam urutan 126-130 mmol/L.

10

Selanjutnya, bagaimanapun, membran lebih tahan yang dapat menahan tekanan transmembran tinggi dikembangkan. Membran yang baru dimasukkan ke dalam piring dan kapiler dialyzers dengan tertutup kompartemen dialisat, sehingga memungkinkan untuk mengeluarkan cairan dengan mengubah tekanan transmembran. Proses terakhir ini dikenal sebagai ultrafiltrasi hidrostatik. Dengan teknik baru ini, kebutuhan untuk meningkatkan konsentrasi glukosa dialisat tidak lagi ada. Pendekatan menurunkan konsentrasi glukosa dialisat bertepatan dengan yang mengangkat tingkat dialisat natrium (misalnya, menjadi antara 130 dan 137 mmol / L ).

Terlepas dari penghapusan produk limbah, tujuan penting dari dialisis adalah untuk membuang natrium dan air keuntungan yang diperoleh selama interval interdialitik sebelumnya tanpa membuat perubahan signifikan dalam konsentrasi natrium plasma. Volume ultrafiltrasi yang sesuai dengan jumlah natrium dan air terakumulasi selama periode interdialitik demikian diperlukan (dengan asumsi bahwa pasien telah mencapai status '' kering ''). Selain ultrafiltrasi yang tepat, dalam rangka memenuhi tujuan di atas, dialisat dengan konsentrasi natrium yang tepat harus digunakan. Dengan ultrafiltrasi hidrostatik , natrium akan dihapus pada tingkat yang erat mirip dengan air, sehingga memungkinkan tingkat natrium plasma tetap relatif konstan. Perlu dicatat bahwa mayoritas natrium dan air dihilangkan dengan ultrafiltrasi dibandingkan dengan difusi.

10

Kadar Natrium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam refill volume darah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen intravaskular akan rendah bila status hidrasi dari interstisial juga rendah.

10

Semakin tinggi konsentrasi Natrium pada cairan dialisat, maka cairan akan bergerak dari kompartemen intraselular, sedangkan konsentrasi Natrium yang rendah, disequilibrium antara kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu, dialisis dengan kadar Natrium yang rendah, pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial akan terganggu, oleh karena normalnya cairan akan bergerak dari interstisial kedalam kompartemen intraselular, sementara dengan kadar Natrium dalam dialisat, cairan akan bergerak dari intraselular ke dalam kompartemen interstisial, yang pada gilirannya akan

mempengaruhi pengembalian volume darah dari interstisial kedalam kompartemen intravaskular.10

2.2.3 Pengaruh modifikasi kadar Natrium Dialisat terhadap keluhan- keluhan saat hemodialisis (Hemodialysis-Related Symptoms)

Pada penelitian yang dilakukan oleh George Lam Sui Sang dan kawan-kawan, mereka meneliti modifikasi Natrium (sodium ramping) dari 414 sesi hemodialisis pada 23 pasien secara acak dari kadar Natrium dialisat tetap yaitu 140 mEq/L, modifikasi linear dari 155 mEq/L menjadi 140 mEq/L atau berkala dari 155 mEq/L selama 3 jam dan 140 mEq/L selama 1 jam. Dari hasil penelitian didapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara kedua protokol modifikasi Natrium dialisat dibandingkan dengan standar dialysis, yaitu berkurangnya efek samping (kramp, mual, muntah, sakit kepala) dan jumlah episode hipotensi namun meningkatnya keluhan interdialitik (fatigue, rasa haus), berat badan dan hipertensi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh davenport dan kawan-kawan, mereka meneliti 2187 pasien dengan hemodialisis reguler 3 kali seminggu, pada peresepan dialisat dengan konsentrasi Natrium 140 mmol/L dan > 140 mmol/L didapatkan 13,5% pasien hemodialisis menggunakan dialisat tinggi Natrium mengeluhkan hipotensi intradialisis dan membutuhkan resusitasi cairan, dibandingkan dengan pasien hemodialisis dengan dialisat Natrium lebih rendah sebesar 2,7%.

11,12

Santos dan peixoto pada penelitiannya didapatkan hasil bahwa peresepan dialisat rendah Natrium menurunkan rasa haus pasien, IDWG, dan tekanan darah pada pasien dengan hemodialisis reguler.

12,22

Depaula dan kawan-kawan mendapatkan hasil dari penelitiannya bahwa ada penurunan yang signifikan dalam berat badan interdialytic (2,91 +/- 0,87 kg vs 2,29 + / -0,65 kg, P <0,001), nilai haus interdialytic, dan episode hipotensi intradialytic dalam individual Na (+) periode dibandingkan dengan fase standar.

13

2.3 Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis Reguler 2.3.1 Definisi

Kualitas hidup adalah kumpulan beberapa hal seperti : kesejahteraan material, kesehatan, produktivitas, keakraban, keamanan, kesejahteraan masyarakat dan kesejahteraan emosional yang dinilai baik secara obyektif (menurut nilai-nilai kultural) maupun subyektif (kepuasan yang diukur secara individu).15

Penilaian kualitas hidup umumnya dilakukan pada penyakit-penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, asma, keganasan, AIDS dan penyakit ginjal tahap akhir, karena pada penyakit-penyakit tersebut kualitas hidup dapat berubah baik akibat pengaruh terapi jangka panjang maupun jangka pendek.

Terdapat berbagai instrument untuk mengukur kualitas hidup, umumnya terdiri dari instrument nonspesifik/generik (misal SF-36) dan instrument spesifik (disease specific).

15

15

2.3.2 Instrumen non spesifik/generik SF-36

SF-36 merupakan instrumen non spesifik yang biasanya digunakan

Pada hampir semua penelitian penyakit kronis dan bisa juga digunakan untuk menilai kualitas hidup pada populasi yang sehat. SF-36 telah terbukti dapat dipakai untuk menilai kualitas hidup penderita penyakit kronis termasuk pasien hemodialisis.

7,16

SF-36 berisi 36 pertanyaan yang terdiri dari 8 skala antara lain 17 :

a. Fungsi fisik (Physical Functioning)

Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, dan gerak badan. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan berat.

b. Keterbatasan akibat masalah fisik (Role of Physical)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan fisik mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan aktivitas. Nilai tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap pekerjaan ataupun aktivitas sehari-hari.

c. Perasaan sakit/ nyeri (Bodily Pain)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal baik di dalam maupun di luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat dan sanga membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri.

d. Persepsi kesehatan umum (General Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan termasuk kesehatan saat ini, ramalan tentang kesehatan dan daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan terhadap kesehatan diri sendiri yang memburuk. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri sendiri yang sangat baik.

e. Energi/ Fatique (Vitality)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, capek, dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek, dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh semangat dan berenergi. f. Fungsi sosial (Social Functioning)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik atau masalah emosional yang menggangu aktivitas sosial normal. Nilai yang rendah menunjukkan gangguan yang sering. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan.

g. Keterbatasan akibat masalah emosional (Role Emotional)

Terdiri dari 3 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat dimana masalah emosional mengganggu pekerjaan atau aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan masalah emosional mengganggu aktivitas termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas, pekerjaan menjadi kurang sempurna, dan bahkan tidak dapat bekerja seperti biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan aktivitas karena masalah emosional.

h. Kesehatan mental (Mental Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental secara umum termasuk depresi, kecemasan, dan kebiasaan mengontrol emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan tenang, bahagia.

Skala SF-36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, dimana persepsi kesehatan umum, energi, fungsi sosial, dan keterbatasan akibat masalah emosional disebut sebagai dimensi “Kesehatan Mental” (Mental Component Scale), sementara fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik, perasaan sakit/ nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut sebagai dimensi “Kesehatan Fisik” (Physical Component Scale). Masing-masing skala dinilai 0-100, dimana skor yang lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih baik.5,23

Dalam penatalaksanaan pasien hemodialis reguler, peniaian terhadap kualitas hidup merupakan faktor utama disamping tindakan hemodialisis yang adekuat. Kualitas hidup berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Penilaian kualitas hidup dibutuhkan untuk mengidentifikasi faktor resiko dan memodifikasi terapi terhadap faktor resiko tersebut.5,23

Dokumen terkait