TINJAUAN PUSTAKA
5. Tingkat Suku Bunga
2.5 Kerangka Konseptual
Kondisi underpricing menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dana secara maksimal dan terjadinya transfer kemakmuran dari emiten kepada investor yakni berupa capital gain. Dalam hal ini, investor tentu berharap agar underpricing semakin besar, sehingga capital gain yang diterima juga semakin besar. Sebaliknya, bila terjadi overpricing, maka investor akan merugi karena tidak menerima initial return (selisih keuntungan harga saham di pasar perdana dengan harga saham di pasar sekunder).
Fenomena underpricing dapat juga terjadi karena adanya asimetri informasi yang berkaitan dengan pasar modal. Informasi keuangan dan non keuangan yang terkandung dalam prospektus merupakan ketentuan yang harus dimiliki perusahaan go public. Dengan adanya informasi dalam prospektus tersebut diharapkan akan dapat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya pada perusahaan yang akan go public, sehingga perusahaan sebagai emiten di bursa akan mendapatkan return yang maksimal untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Informasi keuangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah return on asset, debt to equity ratio, besaran perusahaan, EPS dan ukuran penawaran saham. Sedangkan informasi non keuangannya adalah umur perusahaan, reputasi underwriter, reputasi auditor, inflasi dan tingkat suku bunga.
Return on Asset digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan untuk mendapatkan laba. Investor melihat seberapa besar kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba dari investasi
yang ditanamnya apabila menginvestasikan sahamnya pada perusahaan tersebut. Semakin tinggi ROA, maka underpricing akan semakin rendah karena profitabilitas yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga dapat menurunkan underpricing.
Debt to equity ratio (DER) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar utangnya dengan ekuitas yang dimilikinya. Jika DER tinggi, tingkat ketidakpastian juga akan semakin tinggi dan nilai underpricing juga akan semakin tinggi pula. Sehingga investor dalam melakukan keputusan investasi akan cenderung menghindari DER yang tinggi karena memiliki resiko yang tinggi pula (Suyatmin dan Sujadi, 2006).
Besaran perusahaan (firm size) merupakan faktor yang juga mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan pada saham yang IPO. Perusahaan yang berskala besar tentu lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan perusahaan kecil dan investor tentu akan lebih memilih untuk menginvestasikan modalnya di perusahaan besar karena dianggap lebih mampu bertahan lama daripada perusahaan kecil (Yasa, 2008).
Earning per Share merupakan proxy laba per lembar saham perusahaan yang diharapkan dapat memberikan gambaran bagi investor mengenai bagian keuntungan yang dapat diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan memiliki suatu saham. Perusahaan yang memiliki EPS yang tinggi, tentu akan menyebabkan banyak investor yang membeli saham tersebut sehingga harga saham di pasar tentu menjadi tinggi (Handayani, 2008).
Ukuran penawaran saham (proceeds) menunjukkan besarnya ukuran penawaran saat IPO. Melalui IPO diharapkan dapat memperbaiki prospek perusahaan yang terjadi karena ekspansi atau investasi yang akan dilakukan atas hasil IPO. Dimana semakin tinggi proceeds, semakin rendah ketidakpastian dan initial returns akan semakin kecil pula.
Perusahaan yang telah lama berdiri tentu akan memiliki pengalaman yang tidak sedikit dalam menjalankan usahanya. Umur juga menunjukkan bahwa panjangnya sejarah yang menjadikan perusahaan tersebut lebih matang. Semakin lama perusahaan berdiri, maka semakin banyak pula informasi yang dapat diperoleh publik mengenai kegiatan perusahaan. Sehingga akan mengurangi ketidakpastian informasi di masa yang akan datang. Perusahaan yang sudah lama berdiri menunjukan bahwa perusahaan tersebut mampu bersaing dengan perusahaan lain dibidangnya. Hal ini juga akan mempengaruhi kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehingga perusahaan yang telah lama berdiri memiliki underpricing lebih rendah dibandingkan perusahaan baru karena perusahaan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh para investor dan tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar (Yasa, 2008).
Reputasi underwriter adalah reputasi penjamin emisi sebuah perusahaan yang dapat dipakai sebagai sinyal untuk mengurangi tingkat ketidakpastian yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi yang didapat dalam prospektus dan memberi sinyal bahwa informasi dari emiten mengenai prospek perusahaan di masa datang tidak menyesatkan. Reputasi underwriter mempengaruhi perusahaan dalam penentuan harga saham pada penawaran perdana sehingga dapat
mempengaruhi jumlah dana yang akan diperoleh perusahaan atas kegiatannya menerbitkan saham. Emiten yang menggunakan underwriter yang berkualitas akan mengurangi tingkat ketidakpastian tersebut. Berarti semakin bagus reputasi underwriter maka underpricing semakin kecil (Aprilianti, 2008).
Auditor yang memiliki banyak klien berarti auditor tersebut mendapat mendapatkan kepercayaan yang lebih dari klien untuk membawa nilai perusahaan klien ke pasar modal. Semakin baik dan profesional seorang auditor maka akan mengurangi kesempatan emiten untuk melakukan kecurangan sehingga diharapkan underpricing akan semakin rendah (Suyatmin dan Sujadi, 2006).
Inflasi adalah salah satu indikasi tentang adanya ketidakstabilan perekonomian di Indonesia. Ketidakstabilan perekonomian dapat mempengaruhi investor dalam melakukan investasi yang menyebabkan perbedaan penafsiran prospek perusahaan dan harga saham. Kesalahan penafsiran terhadap harga saham dapat menyebabkan underpricing (Aprilianti, 2008).
Suku bunga bank dapat mempengaruhi pemilik perusahaan dalam melakukan penerbitan saham dan juga mempengaruhi investor dalam menetapkan keputusan investasi. Kenaikan suku bunga bank dapat menyebabkan penurunan harga saham karena turunnya permintaan terhadap saham akibat naiknya suku bunga deposito. Masyarakat akan lebih suka untuk deposito karena masyarakat cenderung memilih investasi bebas resiko yang mempunyai keuntungan lebih tinggi dan pasti. Hal tersebut dapat mempengaruhi harga saham perusahaan yang melakukan IPO dan dapat menyebabkan underpricing (Aprilianti, 2008).
Variabel Keuangan Besaran Perusahaan (Size)
Earning per Share (EPS) Ukuran Penawaran Saham
(proceeds)
Reputasi Auditor Inflasi
Tingkat Suku Bunga Reputasi Underwriter
Variabel Non Keuangan
Underpricing Umur Perusahaan (Age)
Berdasarkan penjelasan tersebut, kerangka konseptual yang menjadi dasar penelitian ini adalah sebagai berikut:
Return on Asset (ROA) Debt to Equity Ratio (DER)
Sumber : Trisnaningsih (2005), Suyatmin dan Sujadi (2006), Aprilianti (2008) dan Yasa (2008).
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
2.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual tersebut, maka dihipotesiskan bahwa
“Variabel keuangan yang terdiri dari return on asset (ROA), debt to equity ratio (DER), besaran perusahaan (size), earning per share (EPS), ukuran penawaran saham (proceeds) dan variabel non keuangan yang terdiri dari umur perusahaan, reputasi underwriter, reputasi auditor, inflasi, dan tingkat suku bunga berpengaruh terhadap underpricing pada saham perusahaan yang melakukan Initial Public Offering(IPO) di Bursa Efek Indonesia”.
BAB III