• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori

Definisi Bank Syari’ahberdasarkan UU RI No.21 tahun 2008 pada Bab 1 dijelaskan bahwa bank syariah merupakan bank yang melaksanakan proses operasionalnya berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah dibagi dalam dua jenis yakni Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

Sumitro (1996: 5) bank Islam atau bank syariah merupakan bank yang tata cara operasinya dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam. Menurut eksiklopedi Islam dalam Sumitro (1996: 5) mengartikan bahwa bank Islam atau bank syariah merupakan lembaga keuangan memiliki usaha pokok memberikan kredit dan jasa lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam yakni berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa bank syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang memiliki usaha menyalurkan pembiayaan dan lalu lintas pembayaran berdasarkan syari’at Islam.

Bank syariah dibentuk berdasarkan tujuan tertentu. Tujuan Bank Syariah Menurut Sumitro (1996: 17) tujuan adanya bank Islam atau bank syariah adalah sebagai berikut:

a. Mengarahkan ekonomi umat dalam bermuamalah secara Islam sehingga terhindar dari praktik riba yang berdampak buruk bagi kehidupan ekonomi umat.

b. Mencapai keadilan ekonomi antara orang miskin dan orang kaya sehingga kesenjangan ekonomi dapat berkurang.

c. Meningkatkan kualitas hidup umat dengan adanya produk pembiayaan sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan perekonomiannya secara produktif dan optimal.

d. Membantu menanggulangi kemiskinan yang terjadi dalam kehidupan perekonomian umat melalui kegiatan pembinaan dagang, pembinaan usaha dan pengembangan modal melalui pembiayaan usaha.

e. Menjaga kestabilan moneter pemerintah. Aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan oleh bank syariah diharapkan mampu menghindarkan inflasi yang dialami.

f. Menyelamatkan umat Islam dari ketergantungan terhadap bank konvensional.

Menurut Arifin dalam Mulyani (2016: 24) pelaksanaan aktivitas perbankan dan keuangan dapat dijadikan sebagai lahan bagi masyarakat modern minimal pelaksanaan kepada dua ajaran Al-Quran sebagai berikut:

a. Prinsip ta’awun, merupakan prinsip dimana manusia saling bekerja sama dan membantu sesamanya dalam kebaikan. Hal

tersebut berdasarkan QS Al-Maidah ayat 2 dengan arti yang berbunyi sebagai berikut:

“….Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan…”.

b. Prinsip menghindari al-Iktinaz, merupakan tindakan menyimpan atau menahan uang dan transaksi yang dapat bermanfaat bagi umat yang telah diterangkan dalam QS An-Nisa ayat 29 dengan arti yang berbunyi sebagai berikut:

“…Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu..”

2. Profitabilitas

Profitabilitas merupakan informasi hasil akhir kebijakan keuangan dan kebijakan operasional yang telah dilakukan, hasil akhir yang diharapkan adalah laba (Brigham & Houston, 2010: 146). Harahap (2007:300) mengartikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktifitas operasi yang merupakan tujuan dari perusahaan. Profitabilitas menggambarkan kinerja fundamental perusahaan ditinjau berdasarkan tingkat efisiensi dan efektifitas operasi perusahaan dalam perolehan laba (Harmono, 2009:109).

Dalam teori keuangan, profitabilitas seringkali digunakan sebagai indikator atau alat ukur kinerja fundamental perusahaan yang mewakili kinerja manajemen.

Tingkat keuntungan atau profit yang diperoleh oleh bank dapat dipengaruhi oleh faktor yang dapat dikendalikan dan tidak dikendalikan. Faktor yang dapat dikendalikan antara lain seperti faktor segmentasi bisnis (seperti orientasi retail) dan pengendalian pendapatan. Faktor yang tidak dapat dikendalikan di antaranya faktor yang datang dari luar yakni faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan situasi persaingan (Mulyani, 2016:26). Dalam menghadapi faktor eksternal bank tidak dapat mengendalikannya, namun bank dapat membuat rencana fleksibel dan strategis dalam menghadapinya. Menurut Arifin (2009) dalam Mulyani (2016:26) terdapat dua rasio yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja bank yakni Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE).

Menurut Lukman dalam Defri (2012:4) profitabilitas diukur dengan Return on Asset (ROA) sebagai alat ukur bank dalam mendapatkan keuntungan bersih. Rudy mengungkapkan dalam Defri bahwa ROA menjadi ukuran dalam menilai besarnya tingkat pengembalian dari asset perusahaan. Menurut Dendawijaya (2005) dalam Mulyani (2016:27) dalam menentukan tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia lebih mengutamakan perhitungan ROA daripada ROE. Hal tersebut karena nilai profitabilitas bank yang diukur berdasarkan

asset dana yang sebagian besar berasal dari masyarakat lebih diutamakan.

Return on Asset (ROA) atau Return on Investment (ROI) adalah rasio yang menunjukan hasil atau pengembalian atas jumlah aktiva yang digunakan perusahaan. ROA menunjukan nilai efektifitas manajemen dalam mengelola investasinya. Selain itu, hasil pengembalian investasi menunjukan bahwa produktivitas dari seluruh dana perusahaan, baik modal pinjaman maupun modal sendiri. Semakin rendah rasio ROA, maka semakin tidak efektif perusahaan tersebut dalam mengelola investasinya (Kasmir, 2008:202).

Menurut SK DI BI No.30/ 12/ KEP/ DIR dan SEBI No.30/ 3/ UPPB pada tanggal 30 April 1997 penilaian dalam menentukan bank sehat atau tidak apabila memiliki ROA diatas 1, 215%.

Perhitungan ROA berdasarkan ketetapan Bank Indonesia dapat dilakukan dengan menghitungnya berdasarkan formula berikut:

ROA =laba sebelum pajak x 100% Rata-rata total aktiva

3. Intelectual Capital (IC)

Intelectual Capital dalam tulisan ini disingkat dengan IC merupakan asset tidak berwujud yang berupa pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh suatu organisasi, praktisi ataupun komunitas (Marfuah, 2014: 3). Menurut Sentosa dan Setiawan dalam

Kartika dan Hatane (2013) Intelectual Capital (IC) merupakan aset tidak berwujud, merupakan asset utama setelah asset fisik dan finansial yang apabila potensinya dimanfaatkan dengan baik akan dapat memberikan nilai tambah dan pembeda dengan perusahaan lain.

Stewart (1997: 89) mendefinisikan intellectual capital (IC) adalah segala hal yang diketahui dan dikontribusikan oleh orang yang berada dalam perusahaan yang memberikan keunggulan bersaing. Hal yang diketahui merupakan materi intelektual yang dapat digunakan guna menciptakan kekayaan. Pengukuran penilaian Intelectual capital menurut Thaib (2013) dapat diukur dengan Value Added (VA). Structural Capital Value Added (STVA) merupakan salah satu dari tiga unsur yakni human capital, relational capital, dan structural capital yang dapat digunakan untuk mengukur intellectual capital (IC).

a. Structural Capital Value Added (STVA)

Structural Capital Value Added (STVA) merupakan alat yang dapat mengukur seberapa sukses structure capital (SC) dapat melakukan proses penciptaan nilai perusahaan. Rasio ini mengukur jumlah structure capital yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari value added dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan structure capital dalam penciptaan nilai (Ulum, 2009: 88).

SC (structural capital) = VA – HC

VA (Value Added)= Out put – In put atau VA = OP+EC+D+A Out put = merupakan total penjualan dan pendapatan lain atau total pendapatan

In put = adalah beban penjualan dan biaya-biaya lain (selain beban karyawan)

OP = Operating profit (Laba Operasi) EC = Employed costs (beban karyawan) D = Depreciation (depresiasi)

A = Amortisation (amortisasi).

HC (human capital)= total pengeluaran untuk karyawan.

Total pengeluaran diperoleh dari beban tenaga kerja atau beban karyawan dan beban promosi yang diperoleh dari pos laba rugi dalam laporan keuangan bank terkait (Ulum, 2009:89).

b. Capital Employed Eficiency (CEE)

Menurut Pulic dalam Cahyati (2012:8) menyatakan bahwa penilaian yang ideal untuk mengukur Intelectual Capital adalah dengan Value Added Intelectual Capital (VAIC) model. Capital Employed Eficiency (CEE) merupakan salah satu jenis efisiensi dari Value Added Intelectual Capital (VAIC) model yang dapat digunakan untuk mengukur Intelectual Capital. Capital Employed Eficiency (CEE) merupakan komponen intellectual capital yang penting dalam mengukur human capital. Ulum (2009:89)

menyebut Capital Employed Eficiency (CEE) sebagai Value Added Human Capital (VAHU) yang memberikan petunjuk mengenai banyaknya value added yang dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Rasio perhitungan ini memberikan deskripsi kontribusi yang dibuat dari setiap rupiah yang diinvestasikan dalam human capital terhadap value added.

Capital Employed Eficiency (CEE)adalah pengukuran yang mengukur sejauh mana modal manusia atau karyawan dengan kemampuan intelektualnya dapat bekerja dan mampu menghasilkan asset tetap dan asset lancar suatu perusahaan.

CEE = VA/ CE

VA (Value Added)= Out put – In put atau VA = OP+EC+D+A Capital Employed (CE) = Nilai buku aktiva bersih (laba bersih atau dana yang tersedia)

4. Inovasi Layanan Perbankan

Inovasi menurut Ferryanto (2009) adalah sesuatu hal baru atau penemuan baru secara sistematis yang ditemukan oleh seseorang karena kemampuannya dalam melihat dunia melalui mata orang lain dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara optimal. Inovasi merupakan cara sebuah organisasi, institusi atau perusahaan untuk bertahan dan melanjutkan kegiatan bisnisnya sehingga dapat bersaing dengan lembaga bisnis yang lain.

Dalam Yinimindra, Samsir, dan Wijayanto (2015) Barker, Sinkula dan kawan-kawannya menyatakan bahwa inovasi memiliki nilai yang menjadi penentu kesuksesan pada pasar kompetitif suatu perusahaan dalam jangka panjang. Bahkan Brown dan Eisen Hard (1997) dalam Jimenez,et.al yang dikutip Yinimindra, Samsir, dan Wijayanto (2015) menyatakan bahwa perusahaan dengan kemampuan dan kapasitas inovasi yang tinggi akan mampu merespon tantangan dan tuntutan lingkungan dengan lebih baik dan cepat.

Menurut Damanpour (1991) dalam Han.et.al (1998) dikutip dalam Yinimindra, Samsir, dan Wijayanto (2015) inovasi terbagi menjadi dua yakni technical innovation dan administrative innovation. Technical innovation berupa produk, pelayanan dan teknologi. Adapun administrative innovation berupa sistem dan proses administrasi.

Electronic banking dan branchless banking merupakan technical innovation dalam pelayanan nasabah bank dengan berdasarkan teknologi dan sistem baru didalamnya. Berikut merupakan uraian singkat keduanya:

a. Electronic banking

Dalam Wikipedia electronic banking atau biasa disebut internet banking merupakan transaksi, pembayaran, dan transaksi lain melalui daring atau internet dengan website bank bersangkutan yang telah dilengkapi dengan sistem pengaman. electronic banking adalah inovasi layanan perbankan berdasarkan perkembangan

teknologi. Cronin dengan bukunya Banking and Finance the Internet dalam bulletin bank Indonesia oleh Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia (2002: 2) mendefinisikan bahwa

The financial services application that enables financial institutions to offer traditional banking products and services such as checking, savings and money market accounts and certificates of deposit over the internet.

Perkembangan teknologi dan informasi membuat lembaga perbankan diharuskan fleksibel mengikutinya. Hal ini mau tidak mau harus dilakukan untuk dapat bertahan dan terus bersaing antar bank satu dengan lainnya. Bahkan pelayanan electronic banking telah memiliki regulasi khusus yang diatur dalam PBI 9/ 15/ PBI/ 2007 dan SE BI No.6/ 18/ DPNP mengenai Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum sebagai antisipasi resiko oleh pihak yang tidak bertanggungjawab seperti hacker/ cracker yang dapat menembus firewall internet bank.

Penyelenggaraan internet banking merupakan penerapan atau aplikasi teknologi informasi. Perkembangan teknologi ini dimanfaatkan dalam rangka menjawab kemauan nasabah perbankan yang menginginkan servis aman, cepat, nyaman, murah dan mudah diakses dari mana saja baik itu dari HP, Komputer,

laptop/ note book, PDA, dsb dan siap kapan saja (selama 7 hari x 24 jam).

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia (2002:1) menyatakan inovasi layanan perbankan non cash meliputi: Authomatic Teller Machine (ATM), Smart card (Credit card, debit card, ATM card, termasuk e-money), Mobile banking atau phone banking, Internet banking.

Hal tersebut di atas merupakan beberapa inovasi layanan perbankan non cash yang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun tanpa batasan ruang dan waktu. Terdapat 3 tingkatan internet banking:

1) Entry/ informasional

Merupakan brosur eletronik atau tahapan dimana bank menyediakan data informasi statistik serta jasa atau produk yang ditawarkan dengan resiko rendah mengingat hal tersebut tidak berkaitan dengan data base.

2) Intermediate/ communicative

Tingkatan yang memiliki resiko lebih besar dari sebelumnya, memberikan pelayanan yang lebih banyak dari sekedar informasi karena aktifitas interaksi terbatas seperti on line account application, account inquiry, electronic mail, dan hal lain.

3) Advance transaction

Tingkatan terlengkap karena seluruh transaksi yang dibutuhkan dapat ditampilkan nasabah seperti transfer, pembayaran dan hal lain selain penarikan.

Fasilitas yang ditawarkan dalam electronic banking meliputi ATM, sistem aplikasi perbankan, sistem penyelesaian bruto waktu nyata (Real Time Gross Settlement (RTGS)), internet banking, mobile banking dan kliring elektronik.

Jean Michael Sahut dalam Hapsari (2015:22) menyatakan bahwa electronic banking merupakan model bisnis baru yang digunakan akibat pengaruh teknologi. 4 (empat) bentuk dalam model bisnis ini yaitu:

1) Vertical portal, menawarkan jasa informasi keuangan. 2) Agrregator, sebagai pihak ketiga pada transaksi online guna

mencegah kejahatan.

3) Speciality manufacture, penyedia jasa keuangan yang mendistribusikan jasanya dengan jaringan yang dimiliki sendiri atau pihak yang bekerjasama dengannya seperti layanan perbankan.

4) Company sites, penyedia jasa keuangan secara online seperti asuransi, investasi atau layanan perbankan.

Dalam penelitian ini, penulis menekankan kepada salah satu fasilitas dari electronic banking yaitu mobile banking. Hal

tersebut karena a) penggunaan mobile banking yang mudah digunakan dimana saja. b) selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sharing vision jumlah pengguna smartphone sebagai salah satu instrument penggunaan internet banking telah mencapai 50,45 juta orang.

Electronic banking sebagai inovasi pelayanan perbankan memiliki pengaruh terhadap profitabilitas berdasarkan pemanfaatannya yang dapat dijadikan alternatif dalam menekan cost dalam menjangkau nasabah. Dalam Hapsari (2015: 23) survey yang pernah dilakukan di Amerika tahun 2000, menyimpulkan bahwa penggunaan electronic banking atau internet banking memiliki fungsi sebagai subtitusi pengadaan kantor cabang yang dapat memberikan beban biaya lebih murah dibandingkan pemanfaatan kantor cabang, telepon, ATM, dan PC Banking.

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Maihami, dkk (2013) dan Sumra, dkk (2011) serta Hapsari (2015) yang menyatakan bahwa Electronic banking memberikan pengaruh positif terhadap profitabilitas bank.

b. Branchless banking

Certified government Audit Professional (GCAP) dalam branchless banking diagnostic templatemendefinisikan branchless bankingyakni

as the delivery of financial services outside conventional bank branches, often using agents and relying on information and

communications technologies to transmit transaction details typically card-reading point-of-sale (POS) terminals or mobile phones

Branchless banking di Indonesia disebut dengan Laku Pandai. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.19/ POJK.03/ 2014 tentang layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif mendefinisikan laku pandai atau branchless banking merupakan kegiatan penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. Kerjasama pihak lain tersebut adalah dengan agen yang menjadi tangan panjang bank untuk menyediakan layanan perbankan secara inklusif sehingga masyarakat yang unbankable menjadi bankable. Sebelumnya dalam preliminary study Bank Indonesia (2011) disebutkan bahwa branchless banking secara umum merupakan strategi pelayanan keuangan masyarakat akan jasa keuangan tanpa memerlukan kantor cabang bank secara fisik atau dilakukannya outsourcing proses transaksi layanan jasa perbankan kepada pihak ketiga.

Survey nasional literasi keuangan mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia yang menikmati layanan perbankan baru 57,28%. Ini bertolak belakang dengan adanya lembaga perbankan yang telah ratusan tahun. Laku pandai merupakan program Otoritas

Jasa Keuangan (OJK) yang dibuat untuk menjawab layanan keuangan di pelosok daerah yang belum terjangkau layanan perbankan karena tantangan kondisi geografis Indonesia tanpa terkena resiko tingginya biaya pembuatan kantor cabang. Program ini juga menjadi solusi bagi masyarakat daerah yang belum terjangkau layanan perbankan untuk dapat meningkatkan pendapatannya melalui fasilitas pembiayaan dan menampung masyarakat daerah tersebut untuk menabung tanpa ke kantor bank. Pentingnya pemanfaatan teknologi bagi pemanfaatan branchless banking untuk memperluas jangkauan keuangan membutuhkan kerjasama diantara dengan lembaga keuangan mikro, operator telepon, perusahaan teknologi, perusahaan telekomunikasi, dan agen ritel. Elemen branchless Banking menurut CGAP adalah:

1) Penggunaan outlet pihak ketiga. Penggunaan outlet meliputi ekslusif dan non eksklusif seperti pom bensin, pedagang, counter pulsa, toko, mini market, ataupun kantor pos. Tindakan dalam transaksi yang membutuhkan aktifitas secara fisik seperti transaksi penyetoran, penarikan dan pembukaan rekening akan di handle oleh mereka.

2) Penggunaan teknologi. Transaksi jarak jauh dapat dilakukan melalui teknologi seperti kartu pembayaran atau telepon selular untuk mempermudah transaksi dan identifikasi elekronis.

3) Memerlukan institusi yang dapat menjalankan fungsi sebagai pengumpul dana layaknya bank yang diakui pemerintah.

4) Penyediaan minimal jasa penyetoran dan penarikan selain transaksi serta jasa keuangan yang lain.

Sarah (2016:141) menyebutkan terdapat tiga tipe branchless Banking, diantaranya:

1) Bank Led Model

Penggunaan jasa agen atau telekomunikasi atau bahkan keduanya dalam melayani masyarakat ada pada model ini. Bank berperan penuh dalam mulai dari proses perizinan, pelaksaaan, pengelolaan financial dan sistem. Lynan dalam Sarah (2016:141) menjelaskan, pendistribusian produk dan layanan dilakukan oleh agent retail sebagai pengelola nasabah, adapun bank menciptakan jasa dan produk keuangan. Perusahaan telco adalah sebagai penyedia saluran infrastruktur guna transaksi layanan perbankan, sehingga bank membutuhkan jasa perusahaan telekomunikasi sebagai agen. Model ini menjadi pertimbangan karena rendahnya biaya, cepat dan dekat. Negara yang menggunakan model ini yaitu India dan Brazil.

Dua jenis agen Agen yang ditunjuk oleh bank (Sarah, 2016) yakni: a. super agent: merupakan badan hukum yang bekerjasama dalam distribusi layanan keuangan, memiliki

kegiatan bisnis yang berjalan lama dan memiliki jaringan yang luas, contohnya adalah PT Pos Indonesia. b. Sub agent: adalah jaringan super agent yang menyebar di seluruh wilayah. Pelayanan langsung terhadap nasabah akan dilayani oleh sub agent ini secara face to face.

2) Telco Led Model

Model ini merupakan model di mana proses perizinan dan operasional branchless banking dipegang oleh perusahaan telekomunikasi yang menjadi penanggung jawab penuh atas transaksi yang biasa dilakukan perbankan seperti proses transfer.

Dalam model ini bank tidak terlibat langsung, bahkan hanya memberikan dukungan kepada perusahaan. Hubungan kontraktual antara nasabah dengan perusahaan tidak terjadi. Menurut Bank Indonesia produk yang ditawarkan dalam model ini biasanya berupa e-money yang merupakan uang yang dimasukan dalam kartu elektronik yang dapat digunakan untuk aktivitas pembayaran selain penerbit.

3) Hybrid Led Model

Dalam Hybrid Led Model bank menggandeng institusi non-bank untuk bekerjasama dalam bentuk joint venture ataupun partnership guna menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat melalui handphone. Masing-masing memiliki

keunggulan untuk menguasai pasar yang ditargetkan. Jasa telekomunikasi yang diberikan seperti sms, pengisian saldo, dan lainnya menjadi tanggung jawab perusahaan yang bekerjasama dengan bank, adapun jasa mobile banking yang berkaitan dengan transaksi menjadi tanggung jawab bank (Bank Indonesia, 2011).

Sumber: sharing vision.com

Dokumen terkait