• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Kerangka Teori

Dalam setiap masyarakat, hukum buatan orang itu akan berkembang untuk mengontrol hubungan-hubungan yang terjadi antara anggota-anggotanya. Peraturan- peraturan esensial kalau masyarakat bekerja, dan peraturan-peraturan itu akan dijumpai dalam semua bentuk kegiatan yang bergantung kepada suatu bentuk kerjasama dalam permainan, dalam sekolah, dalam kelompok. Peraturan-peraturan muncul dalam bermacam-macam cara, walaupun dalam kebanyakan hal harus sudah terjadi persetujuan antara paling sedikit beberapa anggota masyarakat bahwa peraturan-peraturan itu diinginkan. Apabila seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat melaksanakan peraturan-peraturan, maka

peraturan-peraturan tersebut akan memperoleh status sebagai ”hukum” dalam arti kata diterima secara umum.20

Apabila pemerintah yang sah mengeluarkan suatu peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis sehingga seorang yang tidak patuh terhadap peraturan tersebut dapat dikritik kelakuannya, bahkan dapat dituntut hukuman melalui pengadilan. Hal tersebut dikatakan bahwa hukum bersifat normatif.21 Hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (legges, wetten) yang mengatur hidup bersama, yang dibuat oleh instansi yang berwenang dan berlaku sebagai norma.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia dan masyarakat. Berangkat dari situ maka menjalankan hukum tidak dapat dilakukan secara matematis atau dengan cara yang disebut ”mengeja pasal-pasal undang-undang”. Dengan meneruskan pendapat Radburch, maka dalam hukum tidak hanya ada 1 (satu) logika, yaitu logika hukum, melainkan juga logika filosofis dan sosial. Ketiga-tiganya akan selalu berada dalam persaingan satu sama lain.22

20

S. B. Marsh dan J. Soulsby, Op.Cit, hal 1.

21

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 45, bahwa hukum bersifat normatif tampak dalam perumusan kaidah-kaidah hukum. Bila hukum itu diakui sebagai normatif, diakui bahwa hukum itu mewajibkan dan harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat disamakan dengan ketaatan suatu perintah. Hukum ditaati bukan karena terdapat suatu kekuasaan dibelakangnya, melainkan karena mewajibkan yang merupakan hakikat hukum tersebut.

22

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Krisis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2007), hal.87.

Dalam sistem hukum yang disebut kontinental, hukum terjalin dengan prinsip- prinsip keadilan, hukum adalah Undang-Undang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional dimana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. 23 Pengertian hukum ini sesuai dengan yang ada pada orang-orang Indonesia bahwa hakikat hukum adalah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht).24

Memasuki era reformasi tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat mendasar di bidang ketenagakerjaan, diawali dengan diratifikasinya oleh Indonesia konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 1998. Sebelumnya pada masa orde baru tidak terdapat kebebasan berserikat karena hanya dikenal 1 (satu) organisasi pekerja /buruh (single union), menjadi lebih dari 1 (satu) organisasi pekerja/buruh (multi union) pada masa reformasi. 25 Dengan diberikannya kebebasan

23

Theo Huijbers, Op. Cit, hal. 71, bahwa hukum bersifat etis, sebab harus digabungkan dengan keadilan, seperti yang sudah dikemukakan oleh para tokoh filsafat Yunani : Sokrates, Plato dan Aristoteles, yang kemudian dipertahankan dalam sistem hukum Romawi yang membedakan antara hukum sebagai ius dan hukum sebagai lex. Hukum Romawi itu dengan tanggapan-tanggapan fundamentalnya menjadi sumber utama hukum perdata Eropa Kontinental. Apabila telah ditetapkan secara prinsipil bahwa undang-undang hanya dapat disebut hukum dan karenanya mewajibkan, bila sungguh-sungguh adil, jangan ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap orang pada tiap-tiap saat dapat menilai Undang-Undang sebagai tidak adil, dan karenanya tidak sah. Menurut para pemikir yang menuntut supaya Undang-Undang adil untuk dapat disebut hukum, selalu harus diandaikan bahwa Undang-Undang yang dibentuk oleh instansi yang berwenang adalah adil dan sah,asal saja dasarnya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

24

Ibid, hal. 77.

25

berserikat dan menyampaikan pendapat secara terbuka (transparan), hal yang tabu pada masa lalu, para pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat, maka berdirilah SP/SB di Indonesia bagaikan jamur di musim hujan.

Kondisi perekonomian yang terpuruk telah memaksa pemerintah dan dunia usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif agar mampu membuka peluang investasi baru dan atau mempertahankan/memajukan usaha-usaha yang telah ada. Melalui berbagai regulasi, pemerintah telah menciptakan perangkat hukum bagi berkembangnya investasi melalui dunia usaha. Di sisi lain, pengusaha juga berupaya untuk menangkap setiap peluang bisnis yang ada, baik melalui pemanfaatan berbagai kemudahan usaha yang diberikan pemerintah maupun melalui upaya-upaya internal, misalnya melakukan efisiensi untuk menghemat biaya operasional.

Menurut Erman Rajagukguk, bahwa penyebab lain krisis ekonomi selain sistem hukum adalah disebabkan penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau sikap aji mumpung (moral hazard) di berbagai sektor baik ekonomi, politik dan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam. 26 Untuk membuat sistem hukum yang efektif harus ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard yang berarti sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi. Kalau diperhatikan lebih jauh hukum yang melandasi pembangunan ekonomi masih kurang berfungsi dan

26

Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato disampaikan pada Dies Natalis dan Perigatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Depok, Tanggal 5 Februari 2000, hal. 6.

menyebabkan kurang memberi kepastian hukum. Hukum yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen akan memberikan keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Faktor pendidikan baik moral maupun akademis adalah sangat penting untuk memperbaiki budaya hukum di negara berkembang, misalnya Indonesia.

Serangkaian peraturan yang merupakan sumber hukum yang berkaitan dengan hukum perburuhan/hukum ketenagakerjaan bukannya terkodifikasi dalam satu buku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam era tahun 2000-an ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum ketenagakerjaan, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);27

27

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.3, bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini mencabut 15 (lima belas) ordonansi, yaitu:

a.Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);

b.Ordonansi tanggal 17 desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Mo. 647);

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang ini mencabut :

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan

c.Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-Anak dan Orang Muda di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);

d.Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun1936 Nomor 208);

e.Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);

f.Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);

g.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);

h.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 589a);

i. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);

j. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);

k.Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) di Perusahaan Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);

l. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); m. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun

1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);

n.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan

o.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);

Selain peraturan-peraturan tersebut, ada lagi sumber hukum tertulis yang datangnya dari para pihak yang terikat dalam hubungan kerja, yaitu :

1. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan;

2. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak;

3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.28

Salah satu regulasi yang banyak mendapat sorotan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun Undang-Undang tersebut sebagian besar merupakan pembaharuan atau perpanjangan dari Undang-Undang

28

Ketenagakerjaan yang lama, namun karena memuat beberapa ketentuan baru banyak mengundang perdebatan menyangkut kepentingan buruh dan pengusaha. Masalah ketenagakerjaan ini tak kalah penting karena merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi dan selalu menarik untuk dibahas karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih kurang 50 % penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar diantaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labour

force)

Antara majikan/pengusaha dengan pekerja/buruh membuat suatu perjanjian kerja yang mana perjanjian ini mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini disadari karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan kerja dan memberikan jaminan kepastian hak serta kewajiban bagi para pihak. Pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, ya

.29

itu adanya kesepakatan, adanya kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.

Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak atau salah satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika dibuat tanpa adanya pekerjaan yang

29

Sehat Damanik, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, (Jakarta: DSS Publishing, 2007), hal.1.

diperjanjikan dan pekerja yang diperjanjikan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut batal dem

agi menjadi 2 (dua) macam: 1.

Pasal 60 Undang- erjaan.

2.

i hukum.

Berdasarkan jangka waktunya perjanjian kerja dib

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Perjanjian kerja ini diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagak

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Perjanjian kerja ini tersurat pada Pasal 1603 q ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan perundang- undangan atau pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tertentu. Selanjutnya PKWTT dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Dalam kehidupan sehari-hari PHK antara pekerja/buruh dengan pengusaha dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya pekerja/buruh atau karena sebab lainnya. Dalam praktek, PHK terjadi karena berakhirnya waktu yang

telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu.30 Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak lebih-lebih pekerja/buruh yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha, karena PHK bagi pihak pekerja/buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis

keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.

dan finansial, sebab :

1. Dengan adanya PHK, bagi pekerja/buruh telah kehilangan mata pencaharian;

2. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (biaya keluar masuk perusahaan, disamping biaya-biaya lain seperti surat-surat untuk keperluan lamaran dan fotokopi surat-surat lain); 3. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan

Jika PHK terjadi disebabkan karena adanya perselisihan, maka peranan SP/SB sangat besar untuk melindungi buruh dan menangani perselisihan yang terjadi

30

di perusahaan.31 Apabila terjadi perselisihan industrial, setiap pengusaha dan pekerja atau SP/SB bersama-sama harus menyelesaikan perselisihan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat. Adanya pelanggaran terhadap hak normatif pekerja/buruh, SP/SB dapat mengadukan hal tersebut kepada Disnaker guna dilaksanakannya perundingan. Namun, jika ternyata melalui perundingan yang telah

ya SP/SB ini pada hakekatnya sangat menguntungkan karena

32

elisihan

dilakukan tidak mencapai kesepakatan, pihak yang berselisih dapat menempuh jalur penyelesaian melalui pengadilan atau jalur di luar pengadilan.

Kalau ditinjau dari segi hukum terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan ketenangan kerja dalam perusahaan, baik bagi buruh maupun bagi pengusaha adanya SP/SB dalam perusahaan adalah sangat bermanfaat. Bagi pekerja/buruh adanya SP/SB ini merupakan kemanunggalan suara buruh dalam perusahaan, kemanunggalan usaha dan perbuatan yang tertib dan teratur agar perlindungan dan perbaikan dapat tercapai dengan penuh keberhasilan, sedangkan bagi pengusaha, adan

dapat membantu dalam penyusunan lembaga musyawarah untuk mencapai kesepakatan kerja.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 merupakan hukum formal atau cara penyelesaian pers

31

Thoga. M. Sitorus, Op.Cit, hal. 73.

32

G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hal. 202.

PHK di perusahaan swasta. Undang-Undang tersebut baru dicabut dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 hanya mengatur masalah PHK di

dalam Pasal 150 ditentukan bahwa ketentuan mengenai PHK yang diatur dalam Undang-Undang tersebut meliputi PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, m

perusahaan swasta, sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut

aupun usaha-usaha sosial dan

kan salah satu perwujudan riil dari pemberian mpen

dalam wilayah kekuasaan kehakiman yang usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dengan terjadi PHK terhadap pekerja/buruh, maka timbul permasalahan lain yaitu mengenai upah. Upah merupa

ko sasi. Bagi perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan kepada tenaga kerja.

Apabila terjadi perselisihan PHK, penanganannya berada di PHI. Lembaga peradilan perburuhan/hubungan industrial ini menjadi penting karena realitas menunjukkan perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha sulit dihindari. Untuk itulah kehadiran lembaga PHI yang berada

dapat m

Untuk dapat menyelesaikan suatu sengketa atau perkara, hakim harus mengetahui

ktian. Setelah suatu peristiwa dinyatakan terbukti,

hakim harus m 34

karena suatu hal tertentu yang

enyelesaikan sengketa sesuai dengan prinsip peradilan cepat, murah dan biaya ringan sangat didambakan.33

Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.

terlebih dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dapat diketahui dari proses pembu

enemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan.

2. Landasan Konsepsional

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan, maka dapat diberikan definisi operasional sebagai berikut :

a. PHK adalah pengakhiran hubungan kerja

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.35

b. Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan majikan/pengusaha dengan objeknya pekerjaan.36

33

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di

Luar Pen : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.

Bagi Pekerja Untuk

Memper g: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 67.

gadilan, (Jakarta

34

Ibid, hal. 116.

35

Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

36

Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan tahankan hak-haknya), (Bandun

c. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.37

d. Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat 1 (satu) yang berwenang untuk

balas jasa yang diberikan oleh

lah ditetapkan.39

rena tidak adanya

oleh salah satu pihak.40

41

MA yang pengangkatannya atas ususl SP/SB dan organisasi pengusaha.42

memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang berkedudukan di Kabupaten/Kota dengan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota tersebut.38

e. Kompensasi adalah imbalan jasa atau

perusahaan kepada para tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang te

f. Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul ka

kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan

g. Hakim adalah hakim karier PN yang ditugasi pada PHI.

h. Hakim Ad-Hoc adalah hakim Ad-Hoc pada PHI atau hakim Ad-Hoc pada

37

Lalu Husni, Op. Cit, hal.16.

38

Ibid, hal. 11.

39

Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.Cit, hal. 181.

40

Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

41

i. Hakim Kasasi adalah hakim agung dan hakim Ad-Hoc pada MA yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap PHI.43

j. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan

bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, m

untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang

embela serta melindungi hak dan kepentingan

k. Perundingan Bipartit adalah Forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-

kat pekerja/serikat buruh yang sudah

u warah h ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah.46

Dokumen terkait