• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA PEMIKIR

Menurut H.R.Otje Salman Soemadingrat (2002;173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan, sama konsepnya dengan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa..

Emile Durkheim dalam Nurdien (1999) mengatakan bahwa “ ikatan kekeluargaan (perkawinan) dengan suasana tradisi dan adat-istiadat oleh karena adanya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat akan bergeser kearah kontrak berdasarkan pengaturan oleh Negara”. Namum ada banyak tantangan yang muncul dalam kehidupan perkawinan/keluarga dewasa ini: (1) Goncangnya lembaga perkawinan akibat dari polygamy (permaduan). (2) Melunturnya cinta suami isteri. (3) Faktor penghambat luar keluarga yaitu keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, hukum perundang-undangan yang mentolerir perceraian, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis yaitu perubahan fungsi ayah dari strukstur patriakhat kepada nuclear family, pandangan tentang perceraian cenderung permisif, pandangan dan praktek seks sebagai konsumsi, komersialisasi seks ( BKKBN,2004)

Dalam Koenjaraningrat (2002) bahwa perkawinan merupakan suatu saat yang terpenting pada daur hidup(life cycle) dari semua manusia diseluruh dunia, karena merupakan

saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederatan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan status baru oleh orang lain. Perkawinan membentuk satu tali hubungan sosial yang baru dan juga jumlah anggota keluarga bertambah. Masuknya keluarga suami/isteri menimbulkan banyak sekali peran kewajiban baru , dan juga penyesuaian dan ketegangan-ketegangan baru. Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berebagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami itu sendiri.

Clayton dalam Kamanto (2000:63-65) mengatakan bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial yang didalamnya memiliki unsur-unsur sanksi, kekuasaan, fasilitas, kedudukan dan peran serta tujuan bersama keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang secara otomatis memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yang pada akhirnya membangun perilaku pada pola interaksi didalam suatu keluarga nantinya juga akan menentukan dan ikut mempengaruhi keharmonisan dan ketidakharmonisan dalam keluarga

Dari segi taraf hidup, mungkin kita temukan keluarga terdidik, keluaga yang mampu, kurang mampu atau kombinasi dari berbagai variasi-variasi. Dari segi falsafah hidup, ditemukan keluarga yang modern, rasional berencana dan menata masa depan dengan penuh perhitungan. Ada pula keluarga tradisional yang masih mendahulukan tradisi lama untuk dipertahankan dan sulit berubah, tergantung pada nasib atau sikap lain. Namun bagaimanapun dalam keanekaannya dijumpai suatu persamaan yang esensial dari keluarga yaitu mengenai fungsinya. Walaupun lama-kelamaan fungsi ini pun akan mengalami perubahan. Paling sedikit ada dua fungsi

utama yang harus dijalankan oleh keluarga. Fungsi ini amat mendasar, bila tidak dipenuhi akan membuat keluarga itu tidak berarti.

Keluarga sebagai agen sosialisasi paling awal bagi setiap individu memang mengalami perubahan seiring berubahnya masyarakat, namun tidak dalam derajat yang sama. Hal ini disebabkan Karena adanya ikatan sosial yang khusus antar anggota keluarga. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi; dan juga merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami isteri, ayah, ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaaan bersama.

Sumber kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Baik itu merupakan hubungan cinta atau kekuasaan, hubungan itu mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain, demikian halnya terhadap kepuasan-kepuasan yang tidak mementingkan diri sendiri. Pekerjaan yang dilakukan seorang diri pun menimbulkan kebahagiaan. Penderitaan dan kebahagiaan manusia itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Sama halnya pada tindakan manusia yang mendatangkan kesenangan di satu pihak, menimbulkan ketidaksenangan pada pihak lain.

Lembaga keluarga memegang peranan penting dalam setiap masyarakat. Lembaga ini memegang fungsi sebgai pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisasi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan dan ekonomi.

Pada umumnya perceraian dewasa ini terjadi karena salah satu pihak tidak lagi dapat memenuhi harapan dan kebutuhan pasangannya, hingga salah satu pihak atau kedua-duanya tidak ingin melanjutkan perkawinan. Perceraian terjadi sebagai akibat dari perkawinan yang tidak bahagia. Sebahagian orang berpendapat bahwa perceraian merupakan suatu tanda kemunduran kesusilaan dan kemerosotan moral dalam masyarakat.(Polak, 1985)

Tingginya tingkat perceraian di suatu wilayah (Negara atau kawasan) dapat digunakan sebagai indikasi untuk mempertanyakan bagaimana eksistensi keluarga di wilayah tersebut. Goode mengatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan-perubahan sosial lainnya didalam masyarakat. Namun perubahan tingkat perceraian terssebut tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat yang bersangkutan mengalami disorganisasi.

Menurut (Norton & Glick,1977;john Peters,1979) bahwa tingginya tingkat perceraian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi, modernisasi dapat memudarkan ideology, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu Negara. Modernisasi menyebabkan timbulnya saling ketergantungan yang tinggi antar Negara yang mempunyai kesamaan struktur. Konsekuensi dari ketergantungan dan kesamaan struktur tersebut tidak hanya berlaku pada distribusi energy, tingkat inflasi serta alokasi bahan-bahan mentah, tetapi juga pada perkawinan, keluarga serta pola-pola perceraian. Hal yang perlu dicatat menurut mereka adalah semakin besarnya tuntutan kaum wanita terhadap otonomi, keadilan, hak-hak dan imbalan yang mereka terima. (Erna Karim,1995:9)

Pada Masyarakat Batak memandang bahwa perkawinan sebagai hal yang sakral, suci, perpaduan hakikat kehidupan antara laki-laki dengan perempuan menjadi satu bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Perkawinan itu

sangat penting bagi masyarakat Batak sehingga ada istilah balga anak pasohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan (maksudnya bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan yang sudah beranjak dewasa sudah saatnya memikirkan jodoh/berumahtangga). Demikian saran seorang ibu kepada anaknya yang telah akil balik berkeluarga. (Rajamarpodang, 1999)

Hasil penelitian Bruner dalam Ihromi(1990) bahwa setiap perkawinan orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula dan kelompok keturunan mempelai laki-laki, kelompok penerima isteri atau boru.

Pada masyarakat Batak adalah perkawinan itu dianggap sangat sakral , kesakralan ini menjadi ciri khas masyarakat Batak terlebih setelah memeluk agama Kristen. Pengaruh masuknya agama Kristen ini jelas kelihatan dalam masyarakat Batak sebab sebelumnya orang Batak boleh mempunyai banyak isteri (poligami) tetapi setelah agama Kristen masuk keadaan ini berubah. Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu begitu teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama suami isteri (Rajamarpodang, 1999)

Dahulu perkawinan masyarakat Batak adalah sakral dan apabila di perhatikan perkembangan sekarang ini apakah perkawinan itu masih tetap dianggap sakral. Hasil penelitian Rajamarpodang (1999) bahwa sudah banyak masalah yang timbul bahwa perkawinan itu sudah makin umum sifatnya. Masalah ini dapat saja timbul karena

adanya campur tangan yang besar dari pihak keluarga kedua belah pihak pasangan suami isteri tersebut. Hal ini disebabkan sebagaimana yang telah dikatakan bahwa perkawinan orang Batak itu tidak hanya melibatkan pasangan suami-isteri saja tetapi, tetapi melibatkan keluarga kedua belah pihak, sehingga dalam perceraian pun peranan keluarga ini sangat besar. Jika sebuah perkawinan orang orang Batak tidak memiliki keturunan (atau anak laki-laki) maka pihak keluarga laki-laki akan berusaha untuk mencari isteri lain bagi anaknya sampai dapat memiliki anak laki-laki( keturunan sebagai penerus marga)

Pada masyarakat Batak perkawinan menjadi pertanda bahwa seorang individu telah mempunyai hak serta kewajiban didalam adat, baik hak untuk berbicara dalam pertemuan adat maupun hak untuk mengadakan upacara adat. Perkawinan juga merupakan sarana perluasan tali ikatan antara kelompok kekerabatan yang tercakup dalam Dalihan Na Tolu. Disamping itu perkawinan juga mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, memenuhi kebutuhan akan teman hidup, akan harta, akan gengsi dan naik kelas dalam masyarakat ( Koenjarangnirat 1998:90).

Menurut Salvicion dan Ara Celis (1989) Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga adalah :

-Terdiri atas 2 orang atau lebih

-Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah -Hidup dalam satu rumah tangga

-Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga -Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga

-Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing -Diciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan

Prinsip-prinsip teori pertukaran yang diterapkan oleh Pieter M Blaw di dalam menganalisa hubungan sosial antara orang yang saling mencintai, seperti hal nya dengan perkawinan. Hubungan sosial dapat dikelompokkan kedalam dua kategori umum didasarkan pada apakah reward yang ditukarkan itu bersifat intrinsic (termasuk kasih sayang, kehormatan atau kecantikan) atau ekstrinsik(seperti uang, barang-barang). Reward yang intrinsik berasal dari hubungan itu sendiri. Sebaliknya, hubungan ekstrinsik berfungsi sebagai alat bagi suatu reward yang lainnya, dan bukan reward untuk hubungan sendiri. Dalam kasus seperti itu, reward dapat dilepaskan dari hubungan tertentu, dan pada prinsipnya dapat diperoleh dari setiap pasangan pertukaran (Doyle Paul Johnson,1990:77)

Dengan adanya ketidakseimbangan itu disebabkan karena adanya pihak-pihak yang memiliki surplus akan sumber-sumber atau sifat-sifat yang mampu memberikan reward, yang cenderung untuk menawarkan berbagai pelayanan atau hadiah secar sipihak, sementara pihak lain tidak. Dalam hal ini pihak pertama dapat menikmati sejumlah reward yang berhubungan dengan status yang tinggi akan kekuasaan atas orang lain

Ada 2 persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial menurut Blaw dalam Margaret Poloma (1994:83) yaitu :

1. Perilaku tersebut berorientasi pada tujuan-tujuan lainnyaa yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain

2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

Pertukaran sosial yang dimaksud disini terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan yang berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan ini tidak kunjung datang (Doyle Paul Johnson 1990:77).

Blaw juga mengatakan“kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk pengurangan pemeberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh kedua hal itu ada dan memperlakukan sanksi negative”. Dengan demikian kekuasaan hanya dilihat sebagai pengendalian melalui sanksi-sanksi negative (Margaret Poloma,1994:85-86).

Pada pola keluarga konjugal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Selain itu sistem keluarga itu mengandalkan pasangan suami isteri untuk berbuat lebih banyak terhadap kehidupan keluarga masing-masing yang terdiri dari suami isteri, dan anak-anak. Kerabat luas tidak lagi penyangga kehidupan pasangan suami isteri. Akibatnya anggota keluarga konjugal menjadi kurang tergantung pada kerabatnya, sehingga kewajiban yang tua menjadi berkurang dan keluarga konjugal tidak banyak menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi logisnya adalah kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan tidak efekrif lagi, sehingga beban

emosional dan financial keluarga konjugal menjadi lebih berat. Perubahan pada tingkat perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat yang bersangkutan mengalami disorganisasi. Adanya beberapa indikasi seperti :

1. Tingkat “hidup bersama”antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin tinggi

2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan dibeberapa Negara terlihat

semakin tinggi

3. Adanya perbaikan kehidupan personal dari individu-individu yang memasuki

kehidupan berkeluarga melalui perkawinan

4. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat.

Teori pilihan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun 1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Tori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”) adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroprasi dari dasar metodelogi individualisme dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.

Dalam Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan

untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Teori pilihan rasional Coleman tanpak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditetentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ritzer (2004:394)

Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro. (Ritzer 2004:394-395).

Terjadinya perkawinan yang akan membentuk sebuah keluarga akan didasari dengan adat, dan agama. Begitu juga dengan suku batak Toba Kristen bahwa adat dan agama merupakan hal yang utama dalam perkawinan yang akan membentuk sebuah keluarga bahagia. Pada masyarakat batak Toba bahwa adat itu sangat dijunjung tinggi, dimana mulai dari seorang anak yang masih dikandungan, lahir, tumbuh besar, menikah, hingga meninggal

dunia selalu memakai adat. Maka dikatakan bahwa masyarakat batak hidupnya sebagian besar untuk adat.

Agama menawarkan suatu hubungan transendetal melalui pemujaan dan upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat ditengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.melalui ajaran-ajaran otoritatif tentang kepercayaan dan nilai, agama memberikan kerangka acuan ditengah pertikaian dan kekaburan pendapat serta sudut pandangan manusia. Fungsi agama yang bersifat kependetaan ini menyumbang stabilitas, ketertiban dan seringkali mendukung pemeliharaan status quo(Bagong suyanto;2004)

Adat adalah suatu cara pikir bangsa Indonesia, dimana mereka membentuk dunianya.(Weltanschauung)(Geertz 1983:209-210;Benda Beckham 1979:113-114). Mohammad Kusnu mengatakan adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susilanya (Koesnoe 1979:A9). Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spiritual, dimana kedamaian menyeluruh ada karena kesepakatan bersama (Geertz,1983:210)

Sebagian kebisaaan adat dijalankan sesuai dengan irama alam, yang kepadanya terikat kehidupan suku dan huta. Adat yang mengatur dengan kokoh segenap kehidupan serentak sebagai rangkuman segala hukum (Schreiber 1867:268). Bentuk-bentuk pergaulan, penggarapan ladang dan sawah, pembangunan rumah, perawatan orang sakit dan penguburan mayat, peprangan dan perdamaian, permainan dan tari-tarian, perkawinan dan upacara kurban, dipelihara dilaksanakan dan diatur menurut adat (Schreiner 1994:2). Manusia dalam keseluruhannya diwarnai oleh adat. Adat merupakan suatu kewajiban yang sudah dan

menentukan. Adat adalah kuasa penertib. Adat sumber hidup dan jalan menuju keselamatan. Maka orang yang berbuat dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut na so maradat (orang yang tidak hidup menurut tatanan sosial(Bruner 1961:510).

Pelanggaran terhadap adat, misalnya perkawinan terlarang, membawa kutukan ilahi (supernatural sanctions). Hal ini bisa mengakibatkan kerugian ekonomis, penyakit yang parah, mandul dan bahkan kematian. Besarnya hukuman tergantung kepada beratnya pelanggaran terhadap adat. Hukuman itu bisa saja hanya berlaku pada pelanggar adat tersebut tetapi bisa juga sampai kepada anak,cucu-cucu dan keturunan selanjutnya. Maka persekutuan dengan adat berarti juga persekutuan dengan nenek moyang,yang berakar dalam huta yang memberi hidup pada keturunannya memalui lading-ladang mereka. Dalam persekutuan hidup dengan nenek moyang adat itu menyatakan diri sebagai religi. Adat menghubungkan nasib individu dengan nasib nenek moyang dan nasib keturunannya. Karena itu dapat dimengerti mengapa orang Batak Toba Toba sangat kuat mempetahankan adatnya. Adat tidak hanya mengatur kehidupan sekarang (hich et nunc) tetapi juga mengatur hidup sesudah kehidupan ini. Adat yang digenapi itu menjamin keseimbangan harmonis antara kekuatan dalam mikrokosmos dengan ketertiban makrokosmos. Harmoni kekuatan-kekuatan itu membawa hasil, yaitu mempetahankan atau menaikkan kekuatan hidup manusia, dhidup ternaknya dan ladangnya sebagaimana diharapkan (Schreiner 1994 dalam Sulistyowati Irianto, 2005)

Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman serta kehidupan orang Batak Toba untuk memandang dunianya (Weltanschuung) maka adat bersifat mutlak. Biarpun orang Batak Toba menjadi Kristen atau islam atau terpelajar atau merantau, mereka tetap menghargai dan melaksanakan adatnya. Mungkin pelaksanaannya

tidak seperti dahulu lagi, tetapi isinya tetap sama (Bruner 1971 dalam Togar Nainggolan , 2006)

Timbulnya berbagai masalah yang terjadi dalam sebuah keluarga, membuat keluarga tersebut goncang dan sebagian akan mengambil keputusan yang dianggap jalan yang terbaik yaitu dengan bercerai, tetapi sebagian lagi mampu bertahan dan kembali rukun dengan keluarganya. Perkembangan zaman sekarang ini memberikan peluang kepada keluarga untuk memutuskan tali perkawinan yaitu dengan perceraian.

Bagi masyarakat Batak perceraian masih dianggap sebagai suatu penyimpangan dari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Perceraian dianggap merusak struktur kekeluargaan dan hubungan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Perceraian adalah hal yang tabu bagi mereka. Hal ini disebabkan nilai perkawinan pada masyarakat Batak itu sangat tinggi dan sakral sehingga tidak dapat dirusak. Ini diyakini oleh masyarakat Batak secara turun temurun, juga sejalan dengan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas orang Batak yaitu agama Kristen. Dimana agama Kristen tidak mengijinkan adanya perceraian. Namun pada fakta-fakta yang ada dimasyarakat Batak dapat menerima adanya isteri kedua dengan alas an: perkawinan dengan isteri pertama tidak mempunyai anak sama sekali, tidak memiliki anak laki-laki, perkawinan yang tidak bahagia sehingga untuk menghindari perceraian maka isteri harus menerima kehadiran isteri kedua.

Selain adat, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, Agama juga mendasar perhatiannya pada sesuatu yang ada diluar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan terhadap dunia di luar jangkauannya, manusia selain memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, juga memberikan atau menyediaakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan rekonsiliasi.

Manusia membutuhkan moral disaat menghadapi ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Kegagalan mengejar aspirasi, karena dihadapkan dengan kekecewaan serta kebimbangan, maka agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam menghadapi unsur-unsur kondisi manusia tersebut. Dalam memberi dukungan dalam setiap permasalahan agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral dan membantu mengurangi kebencian.(Bagong suyanto;2004)

Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu, dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Dengan demikian agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas dan ganjaran yang merupakan cirri khas suatu masyarkat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang. Agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya. Hal ini memang benar, khususnya dalam hubungannya dengan agama yang menitikberatkan transendesi Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya dan kemerdekaan masyarkat yang mapan. (Bagong suyanto;2004)

Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Dengan menerima nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting tentang

pemahaman diri dan batasan diri. Melalui perna serta manusia didalam ritual agama

Dokumen terkait