• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fenomena Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FENOMENA PERCERAIAN DIKALANGAN BATAK TOBA KRISTEN

(STUDI DESKRIPTIF PADA KELUARGA ETNIS BATAK TOBA KRISTEN

DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Oleh

OKTO.J.O.SILABAN

060901017

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH

GELAR SARJANA (S-1) PADA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNUVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segaa kerendahan hati saya mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab kasihNya yang begitu besar pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “ FENOMENA PERCERAIAN DIKALANGAN BATAK TOBA KRISTEN”

Dalam penulisan skrispsi ini banyak hikmad yang penulis terima, terutama dalam hal ketekunan, kesabaran dan penyerahan diri terhadap Tuhan. Disiplin dan kesabaran untuk memahami orang lain, kemampuan berpikir dan daya nalar khususnya dalam penyelesaian skrispsi ini,ini semua merupakan pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan.

Selama penulis menulis skripsi ini dan melaksanakan penelitian yang mendukung dalam penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. M.Arif Nasution, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik USU Medan.

2. Bapak Prof.DR.Baddarudin,M.Si selaku ketua departemen Sosiologi FISIP USU

(3)

pemikiran dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

4. Bapak, ibu dosen yang ada di FISIP USU khususnya dosen saya yang mengajarkan mata kuliah di departemen sosiologi, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

5. Bapak ketua Pengadilan Agama Medan yang telah bersedia memberikan data

6. Bapak ketua pengadilan Negeri Medan yang telah bersedia memberikan data keluarga bercerai Batak Toba Kristen di Kota Medan

7. Kepada Ayahanda J.Silaban dan Ibunda tercinta R.Simamora yang telah memberikan cinta kasih pengertian,dorongan yang tak henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan pengorbanan yang tidak ternilai selama ini kepada penulis. Semoga Tuhan memberikan limpahan RahmatNya dan berkatNya kepada orang tua penulis

8. Kepada kakak saya Mariani Silaban & Natanael Sinaga, dan Antonetta Silaban & Latief Manullang, yang memberikan banyak dorongan kepada penulis. Dan kepada kakak saya Mesra Silaban dan adek saya Jonrido Silaban terimakasih atas doa-doanya dan dukungannya .

(4)

sebutkan satu persatu semoga sukses dan selamat berjuang terimakasih atas dukungan nya dan juga kepada abang dan kakak kami mulai dari stambuk 2005, 2004, 2003,dan adek-adek kami stambuk 2007, 2008, 2009.

10. Buat teman-teman di kos 71a. ada pak Syahlan dan ibu, bang Binner, bang Benny, Donny, Mory, Arif, Boy, Jepri. Nikson, Melki, Dede, Rizal, Ihsan, Zenry, Hendra terimaksih untuk setiap dukungan dan bantuannya. 11. Pada UKM KMK USU UP PEMA FISIP terimakasih telah hadir untuk

mahasiswa. Semoga segala visi dan misi dapat berjalan sesuai dengan yang Tuhan harapkan. Terimakasih buat TPP, AKK, PKK, ALUMNI yang memberikan dukungan lewat doa-doa.

12. Untuk KK ku, ada kak Nelli, Nalon, Mutiara, Evi. Terimakasih untuk setiap doa-doanya, dukungannya, motivasinya, nasehat-nasehatnya. Semoga klompok kita tetap bertumbuh.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu masukan dan kritik yang membangun sangat penulis hargai. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih.

Medan, Mei 2010

(5)

ABSTRAKSI

Perkawinan yang ideal menjadi harapan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan tidak selamanya seperti yang diharapkan. Kegagalan dalam perkawinan akibat konflik rumah tangga sering diakhiri dengan perceraian. Perceraian yang merupakan pemutusan terhadap hubungan perkawinan antara suami dan isteri, yang dimana si isteri mengambil keputusan untuk menceraikan suaminya. Stereotip yang kurang baik terhadap janda atau orang yang melakukan cerai sekarang ini kurang berlaku, yang dulunya cerai itu dianggap aib, sekarang lambat laun itu sudah mengalami perubahan. Banyak dalam masyarakat yang telah melakukan perceraian, memutuskan tali perkawinan dengan perceraian. Perceraian dianggap solusi yang dapat mengakhiri penderitaan, mengakhiri permasalahan, tekanan, dan lain-lain.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

ABSTRAKSI………. . iv

DAFTAR ISI………v

BAB I PENDAHULUAN……….. ………….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……….... 1

1.2. Perumusan Masalah………...11

1.3. Tujuan Penelitian ………..11

1.4. Manfaat Penelitian……….11

1.5. Defenisi Konsep………. …………...12

BAB II KERANGKA PEMIKIR……….. …………...14

BAB III METODE PENELITIAN……… …………...30

3.1. Jenis Penelitian………..30

3.2. Lokasi Penelitian………30

3.3. Unit Analsis dan Informan………...30

3.4. Teknik Sampling……….31

3.5. Teknik Pengumpulan Data………..………...31

3.6.Teknik Analisa Data………... 32

3.7. Keterbatasan Penelitian……….……….33

BAB IV INTEPRETASI DATA………..35

4.1. Setting Lokasi………...35

4.1.1. Sejarah Asal-usul Kota Medan……….……….35

4.1.2. Gambaran Masyarakat Kota Medan ………...………..41

4.1.3. Gambaran Etnies Batak Toba Di Kota Medan ……….... 46

4.2. Profil Informan……….…………....53

(7)

4.2.2. Profil Informan Biasa (Penatua Gereja , Adat Dan Masyarakat)…….…59

4.3. Hasil Interpretasi Data …...………...………….………….67

4.3.1. Makna Lembaga Perkawinan Masyarakat Batak Toba………...67

4.3.2. Makna Perkawinan Menurut Agama Kristen………...………72

4.4. Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Sebuah Keluarga Memutuskan Untuk Bercerai……….………75

4.5. Pandangan Kristen Terhadap Keluarga Bercerai………..….96

4.6. Pandangan Masyarakat Batak Toba Terhadap Keluarga Yang Bercerai………...101

4.7. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen……….…….104

BAB V PENUTUP……….108

5.1. Kesimpulan………...………108

(8)

ABSTRAKSI

Perkawinan yang ideal menjadi harapan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan tidak selamanya seperti yang diharapkan. Kegagalan dalam perkawinan akibat konflik rumah tangga sering diakhiri dengan perceraian. Perceraian yang merupakan pemutusan terhadap hubungan perkawinan antara suami dan isteri, yang dimana si isteri mengambil keputusan untuk menceraikan suaminya. Stereotip yang kurang baik terhadap janda atau orang yang melakukan cerai sekarang ini kurang berlaku, yang dulunya cerai itu dianggap aib, sekarang lambat laun itu sudah mengalami perubahan. Banyak dalam masyarakat yang telah melakukan perceraian, memutuskan tali perkawinan dengan perceraian. Perceraian dianggap solusi yang dapat mengakhiri penderitaan, mengakhiri permasalahan, tekanan, dan lain-lain.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan bukanlah sekedar ritus untuk mengabsahkan hubungan seksual antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan penting untuk menjaga keutuhan lembaga tersebut. Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal selama-lamanya . Kebahagian lahir dan bathin menjadi dambaan setiap manusia.

Sebelum tahun 1974 Hukum Perkawinan di Indonesia bersifat pluralisme. Perkawinan adalah gabungan antara dua manusia yang awalnya mungkin mempunyai tujuan dan mimpi yang sama, atau yang merasa dapat menjalankan walau dengan perbedaan yang ada dan pemahaman yang tak sama; dan untuk keberhasilan perkawinan itu diperlukan keinginan, tekat dan usaha dari keduanya, tidak dapat hanya dilakukan sendiri. Bukanlah suatu aib jika keutuhan itu memang tidak dapat lagi dipertahankan

(10)

telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat. Undang-Undang Perkawinan ini pada intinya mengandung isi tentang Perkawinan dan Perceraian

Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah satu peraturan khusus dan hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut betujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangakan wanita bertindak sebagai istri.

Keluarga sebagai unit terkecil, memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga, terutama peran dan fungsi suami dan isteri dan juga anggota keluarga lainnya. Keluarga terdiri dari bebrapa orang, secara otomatis akan terjadi interaksi antar anggotanya. Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau sebaliknya tidak bahagia (disharmonis).

(11)

Sistem keluarga ideal menurut Sanderson (1995:481), yaitu menyangkut hubungan suami dan isteri, orang tua dan anak-anaknya, serta keluarga dan semua kerabat, dan hubungan ini telah banyak mengalami perubahan saat ini, karena pada awalnya hubungan-hubungan tersebut lebih di warnai oleh kepentingan ekonomis belaka(walau tidak semua). Keluarga ideal juga tidak terlepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal. Adapun fungsi keluarga itu adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi.

Keluarga merupakan suatu kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-ananknya yang belum menikah yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup dan memiliki unsur-unsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan sanksi, kekuasaan dan fasilitas. Lembaga keluarga memegang peran amat penting dalam setiap masyarakat. Lembaga ini memegang fungsi sebagai pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan dan ekonomi.

(12)

Kekacauan keluarga ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka. Perceraian menunjukkan adanya derajat pertentangan yang tinggi antara suami isteri dan memutuskan ikatan perkawinan. Tentu saja sebagai akibat dari perceraian ini akan mempunyai pengaruh terhadap janda bekas istri dan terhadap anak-anak yang mungkin telah dilahirkan dalam perkawinan itu. Banyak tekanan pada keluarga yang dapat melemahkan, dan di beberapa kejadian meruntuhkan kehidupan keluarga. Akan tetapi dalam suatu keluarga terutama suami dan isteri sebagai orang tua tidak selamanya mampu menjalankan peran fungsi-fungsi keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pemicu konflik yang mempengaruhi keharmonisan keluarga tersebut diantaranya :

1. Tidak adanya tanggung jawab suami, dalam hal kebutuhan ekonomi

2. Adanya perselingkuhan baik yang dilakukan oleh pihak suami maupun pihak isteri.

3. Berbeda prinsip dalam mengurangi bahtera rumah tangga seperti masalah anak, masalah pekerjaan dll.

4. Biologis adalah keadaan suami atau isteri yang tidak mempunyai kemampuan jasmani untuk membina perkawinan yang bahagia, seperti sakit, impoten, atau mandul.

(13)
[image:13.612.108.536.168.334.2]

Berikut adalah data tingkat perceraian yang terjadi di Kota Medan Tabel 1.1

DATA TINGKAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN Tahun Sisa

tahun lalu

diterima Jumlah Batal dicabut Ijin poligami Kelalaian atas kewajiban suami Cerai talak Cerai gugat

2005 105 1028 1133 63/39 2 1 241 530

2006 105 1015 1130 59/33 2 2 167 438

2007 163 1051 1214 66/33 1 3 265 490

2008 141 1351 1492 95/49 1 6 335 731

Sumber Data Pengadilan Agama Medan 2009

Namun demikian, kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri bersangkutan. Artinya, apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap keterbukaan, saling perhatian, saling menyayangi dan sikap serta saling berfikir positif, hal ini dapat menimbulkan konflik dan masa suram yang dihadapi sebuah rumah tangga. Konflik dan masa suram dimaksud dapat disebabkan oleh beberapa faktor permasalahan. Faktor permasalahan ini dapat mengganggu azas kekalnya perkawinan sehingga dapat rnengakibatkan terjadinya perceraian.

(14)

yang lincah’ akan tetapi menurut H.N. Van der Tuuk, Batak berarti ‘kafir’, sehingga sampai detik ini pengertian Batak sampai sekarang belum dapat di jelaskan secara pasti dan memuaskan. Suku Batak memiliki Adat istiadat, Bahasa, nyanyian dan Filsafat. Ada satu kutipan yang bertuliskan, “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, Suku yang besar adalah suku yang menghargai adat dan budayanya.

Dalam suku Batak Toba agama yang dianut adalah pada umumnya Kristen. Agama dan budaya itu dalam Batak Toba hampir tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya dengan adat perkawinan, setelah adanya pemberkatan dari gereja ada lagi acara yang meriah berupa pesta adat. Dalam perkawinan ini semua ikatan keluarga baik dari pihak laki-laki, perempuan, tulang ,semua keluarga memberikan berupa nasihat agar kelak nantinya keluarga itu keluarga yang rukun dan keluarga yang “gabe” lahir anak laki-laki dan anak perempuan.

Dalam suku Batak Toba khususnya Kristen ikatan adat atau budaya itu masih melekat dan agama itu masih dijunjung tinggi. Dalam adat Batak Toba perceraian itu jarang terjadi, dimana dalam adat Batak Toba ada istilah “apapun akan dilakukan agar perceraian itu tidak terjadi” ikatan budaya itu masih kuat. Banyak ditemukan sekarang ini keluarga Batak Toba yang beragama Kristen sudah melakukan cerai secara hukum dipengadilan. Tiap tahun semakin bertambah orang Batak Toba yang melakukan cerai di pengadilan.

(15)

Tabel 1.2

DATA TINGKAT PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

Tahun Jumlah orang yang bercerai

2008 181

2009 57

Sumber Pengadilan Negeri Medan 2009

Dari jumlah perceraian tahun 2008 bahwa untuk Batak Toba Kristen yang

melakukan cerai adalah sebanyak 181 orang. Dan pada tahun 2009 perceraian itu semakin

meningkat hingga 57 orang Batak Toba Kristen yang melakukan perceraian di pengadilan

negeri Medan. (sumber data dari Pengadilan Negeri Medan).

Dengan adanya adat yang mengikat akan mempersempit kesempatan orang untuk

bercerai. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat

rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Dengan

adanya agama Kristen protestan yang menolak perceraian itu maka kesempatan masyarakat

juga akan semakin sempit dalam melakukan perceraian.

[image:15.612.102.535.157.232.2]
(16)

telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."(Markus 10 - 10:9 &

Matius 19 - 19:6).

Pernikahan Kristen dipandang sebagai kontrak publik dihadapan para saksi dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dengan saling setuju dan dilakukan secara bebas membuat janji-janji tak bersyarat untuk setia seumur hidup satu kepada yang lain dengan pertolongan Tuhan. Setelah adanya pemberkatan nikah di gereja maka perkawinan tersebut harus disahkan lagi dalam administrasi negara yaitu dihadapan Pegawai Catatan Sipil yang biasanya dilaksanakan disalah satu ruangan gereja yang bisaa disebut “ruang biduk perhobasan”. Kedua mempelai dan orang tuanya sebagai saksi dalam pencatatan perkawinan tersebut.

Dengan penegasan dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen protestan tersebut bahwa perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen. Dalam agama Kristen, perceraian itu jelas ditolak seperti yang tertulis pada : ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."(Markus 10 - 10:9 &

Matius 19 - 19:6).

(17)

Dalam hal ini peran dari Dalihan Na Tolu sangat di butuhkan. Perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil. Artinya segala perkawinan yang telah dilaksanakan, selanjutnya dilakukan pencatatan di kantor catatan sipil untuk mendapat kelengkapan Administrasi Negara.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekarabatan patrilineal atau garis kebapakan atau mempertahankan garis keturunan laki-laki yang melakukan perkawinan dalam bentuk perkawinan jujur (sinamot), dimana isteri setelah kawin masuk dalam kekerabatan suami dan termasuk anak-anak berada dibawah kekuasaan suami/bapak. Setiap perkawinan yang dilaksanakan seperti yang telah dijelaskan diatas, mengharapkan hubungan perkawinan itu kekal sampai selama-lamanya. Akan tetapi tidak lah mudah untuk menjalaninya. Diperlukan usaha dan kerja sama yang baik antara pihak suami dan pihak isteri. Setiap orang pasti menginginkan keluarganya tetap harmonis sampai beranak cucu, tidak jarang dalam kehidupan nyata banyak keluarga yang gagal di tengah jalan. Dengan berbagai alasan yang diyakini bisa menjadi syarat untuk melakukan perceraian.

(18)

untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan isteri tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri .

Dalam masyarakat Batak Toba terjadinya perceraian sama halnya dengan perkawinan. Dimana dalam upacara perkawinan agar kedua mempelai tersebut sah menjadi keluarga dan kekerabatan dalam adat Batak Toba maka disyahkan dengan cara adat yang berlaku dalam Batak Toba. Begitu juga halnya dengan perceraian yang terjadi pada masyarakat Bataka Toba, apabila terjadi perceraian, maka akan diselesaikan terlebih dahulu secara adat. Maka terlebih dahulu dikumpulkan pengetua-pengetua adat dan juga kekerabatan dari Dalihan Na Tolu untuk membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak. Disini Dalihan Na Tolu menanyakan kedua belah pihak yang berperkara dan berusaha untuk

mendamaikannya, akan tetapi apabila tidak dapat lagi didamaikan dan kedua belah pihak berkeras untuk bercerai, maka para penetua adat tersebut memutuskan untuk bercerai. Perceraian secara hukum adat tetap dianggap sah sepanjang hukum adat tersebut masih berlaku pada masyarakat setempat.

Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba Kristen yaitu perceraian pada

Batak Toba Kristen itu sekarang ini yang telah banyak di temui. Dapat dilihat dari data yang

diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan yang melakukan perceraian secara hukum, Baik itu

yang melakukan perceraian secara adat maupun perceraian secara hukum di pengadilan telah

banyak ditemui. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti “Fenomena

Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen” adat yang di junjung tinggi masyarakat

mengurangi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan perceraian dan juga

(19)

sulit bercerai. Dan sekarang ini perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen sudah ada

ditemukan.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian diatas yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pandangan masyarakat Batak Toba terhadap adanya perceraian dalam sebuah keluarga?

2. Apa yang menjadi latar belakang terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen ?

3. Bagaimana pandangan agama Kristen terhadap perceraian dalam sebuah keluarga?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian saya adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana sikap etnis Batak Toba yang beragama Kristen terhadap adanya perceraian dalam sebuah keluarga.

2. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perceraian di kalangan Batak Toba Kristen.

(20)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perceraian yang terjadi pada Batak Toba terlebih pada Batak Toba Kristen.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature kajian terhadap perkembangan ilmu sosiologi. Sekaligus menjadi acuan bagi penelitian berikutnya khususnya kajian yang berhubungan dengan perceraian dalam Batak Toba Kristen.

1.5. Defenisi Konsep

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa defenisi konsep untuk mempermudah melakukan suatu penelitian. Konsep adalah suatu istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau yang menyatakan suatu ide gagasan untuk memperjelas suatu keadaan suatu penelitian (Iqbal Hasan 2002;17). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1. Perceraian

(21)

Hoult). Perceraian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cerai hidup antara pasangan suami isteri yang diakui secara resmi secara formal resmi menurut hukum dan secara adat.

2. Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.

3. Batak Toba

Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara.

4. Agama Kristen

(22)

BAB II

KERANGKA PEMIKIR

Menurut H.R.Otje Salman Soemadingrat (2002;173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan, sama konsepnya dengan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa..

Emile Durkheim dalam Nurdien (1999) mengatakan bahwa “ ikatan kekeluargaan (perkawinan) dengan suasana tradisi dan adat-istiadat oleh karena adanya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat akan bergeser kearah kontrak berdasarkan pengaturan oleh Negara”. Namum ada banyak tantangan yang muncul dalam kehidupan perkawinan/keluarga dewasa ini: (1) Goncangnya lembaga perkawinan akibat dari polygamy (permaduan). (2) Melunturnya cinta suami isteri. (3) Faktor penghambat luar keluarga yaitu keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, hukum perundang-undangan yang mentolerir perceraian, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis yaitu perubahan fungsi ayah dari strukstur patriakhat kepada nuclear family, pandangan tentang perceraian cenderung permisif, pandangan dan praktek seks sebagai konsumsi, komersialisasi seks ( BKKBN,2004)

Dalam Koenjaraningrat (2002) bahwa perkawinan merupakan suatu saat yang

(23)

saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Perkawinan adalah

penerimaan status baru dengan sederatan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan

status baru oleh orang lain. Perkawinan membentuk satu tali hubungan sosial yang baru dan

juga jumlah anggota keluarga bertambah. Masuknya keluarga suami/isteri menimbulkan

banyak sekali peran kewajiban baru , dan juga penyesuaian dan ketegangan-ketegangan

baru. Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berebagai macam akibat, yang juga

melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami itu sendiri.

Clayton dalam Kamanto (2000:63-65) mengatakan bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial yang didalamnya memiliki unsur-unsur sanksi, kekuasaan, fasilitas, kedudukan dan peran serta tujuan bersama keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang secara otomatis memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yang pada akhirnya membangun perilaku pada pola interaksi didalam suatu keluarga nantinya juga akan menentukan dan ikut mempengaruhi keharmonisan dan ketidakharmonisan dalam keluarga

(24)

utama yang harus dijalankan oleh keluarga. Fungsi ini amat mendasar, bila tidak dipenuhi akan membuat keluarga itu tidak berarti.

Keluarga sebagai agen sosialisasi paling awal bagi setiap individu memang mengalami perubahan seiring berubahnya masyarakat, namun tidak dalam derajat yang sama. Hal ini disebabkan Karena adanya ikatan sosial yang khusus antar anggota keluarga. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi; dan juga merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami isteri, ayah, ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaaan bersama.

Sumber kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Baik itu merupakan hubungan cinta atau kekuasaan, hubungan itu mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain, demikian halnya terhadap kepuasan-kepuasan yang tidak mementingkan diri sendiri. Pekerjaan yang dilakukan seorang diri pun menimbulkan kebahagiaan. Penderitaan dan kebahagiaan manusia itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Sama halnya pada tindakan manusia yang mendatangkan kesenangan di satu pihak, menimbulkan ketidaksenangan pada pihak lain.

(25)

Pada umumnya perceraian dewasa ini terjadi karena salah satu pihak tidak lagi

dapat memenuhi harapan dan kebutuhan pasangannya, hingga salah satu pihak atau

kedua-duanya tidak ingin melanjutkan perkawinan. Perceraian terjadi sebagai akibat dari

perkawinan yang tidak bahagia. Sebahagian orang berpendapat bahwa perceraian merupakan

suatu tanda kemunduran kesusilaan dan kemerosotan moral dalam masyarakat.(Polak, 1985)

Tingginya tingkat perceraian di suatu wilayah (Negara atau kawasan) dapat

digunakan sebagai indikasi untuk mempertanyakan bagaimana eksistensi keluarga di wilayah

tersebut. Goode mengatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi

terjadinya perubahan-perubahan sosial lainnya didalam masyarakat. Namun perubahan

tingkat perceraian terssebut tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat yang

bersangkutan mengalami disorganisasi.

Menurut (Norton & Glick,1977;john Peters,1979) bahwa tingginya tingkat

perceraian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi, modernisasi dapat

memudarkan ideology, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu Negara. Modernisasi

menyebabkan timbulnya saling ketergantungan yang tinggi antar Negara yang mempunyai

kesamaan struktur. Konsekuensi dari ketergantungan dan kesamaan struktur tersebut tidak

hanya berlaku pada distribusi energy, tingkat inflasi serta alokasi bahan-bahan mentah,

tetapi juga pada perkawinan, keluarga serta pola-pola perceraian. Hal yang perlu dicatat

menurut mereka adalah semakin besarnya tuntutan kaum wanita terhadap otonomi, keadilan,

hak-hak dan imbalan yang mereka terima. (Erna Karim,1995:9)

(26)

sangat penting bagi masyarakat Batak sehingga ada istilah balga anak pasohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan (maksudnya bahwa setiap anak laki-laki

dan perempuan yang sudah beranjak dewasa sudah saatnya memikirkan jodoh/berumahtangga). Demikian saran seorang ibu kepada anaknya yang telah akil balik berkeluarga. (Rajamarpodang, 1999)

Hasil penelitian Bruner dalam Ihromi(1990) bahwa setiap perkawinan orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula dan kelompok keturunan mempelai laki-laki, kelompok penerima isteri atau boru.

Pada masyarakat Batak adalah perkawinan itu dianggap sangat sakral , kesakralan ini menjadi ciri khas masyarakat Batak terlebih setelah memeluk agama Kristen. Pengaruh masuknya agama Kristen ini jelas kelihatan dalam masyarakat Batak sebab sebelumnya orang Batak boleh mempunyai banyak isteri (poligami) tetapi setelah agama Kristen masuk keadaan ini berubah. Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu begitu teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama suami isteri (Rajamarpodang, 1999)

(27)

adanya campur tangan yang besar dari pihak keluarga kedua belah pihak pasangan suami isteri tersebut. Hal ini disebabkan sebagaimana yang telah dikatakan bahwa perkawinan orang Batak itu tidak hanya melibatkan pasangan suami-isteri saja tetapi, tetapi melibatkan keluarga kedua belah pihak, sehingga dalam perceraian pun peranan keluarga ini sangat besar. Jika sebuah perkawinan orang orang Batak tidak memiliki keturunan (atau anak laki-laki) maka pihak keluarga laki-laki akan berusaha untuk mencari isteri lain bagi anaknya sampai dapat memiliki anak laki-laki( keturunan sebagai penerus marga)

Pada masyarakat Batak perkawinan menjadi pertanda bahwa seorang individu telah mempunyai hak serta kewajiban didalam adat, baik hak untuk berbicara dalam pertemuan adat maupun hak untuk mengadakan upacara adat. Perkawinan juga merupakan sarana perluasan tali ikatan antara kelompok kekerabatan yang tercakup dalam Dalihan Na Tolu. Disamping itu perkawinan juga mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, memenuhi kebutuhan akan teman hidup, akan harta, akan gengsi dan naik kelas dalam masyarakat ( Koenjarangnirat 1998:90).

Menurut Salvicion dan Ara Celis (1989) Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga adalah :

(28)

-Terdiri atas 2 orang atau lebih

-Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah

-Hidup dalam satu rumah tangga

-Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga

-Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga

-Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing

-Diciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan

Prinsip-prinsip teori pertukaran yang diterapkan oleh Pieter M Blaw di dalam

menganalisa hubungan sosial antara orang yang saling mencintai, seperti hal nya dengan

perkawinan. Hubungan sosial dapat dikelompokkan kedalam dua kategori umum didasarkan

pada apakah reward yang ditukarkan itu bersifat intrinsic (termasuk kasih sayang,

kehormatan atau kecantikan) atau ekstrinsik(seperti uang, barang-barang). Reward yang

intrinsik berasal dari hubungan itu sendiri. Sebaliknya, hubungan ekstrinsik berfungsi

sebagai alat bagi suatu reward yang lainnya, dan bukan reward untuk hubungan sendiri.

Dalam kasus seperti itu, reward dapat dilepaskan dari hubungan tertentu, dan pada prinsipnya

dapat diperoleh dari setiap pasangan pertukaran (Doyle Paul Johnson,1990:77)

Dengan adanya ketidakseimbangan itu disebabkan karena adanya pihak-pihak yang

memiliki surplus akan sumber-sumber atau sifat-sifat yang mampu memberikan reward, yang

cenderung untuk menawarkan berbagai pelayanan atau hadiah secar sipihak, sementara pihak

lain tidak. Dalam hal ini pihak pertama dapat menikmati sejumlah reward yang berhubungan

(29)

Ada 2 persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial menurut Blaw dalam Margaret Poloma (1994:83) yaitu :

1. Perilaku tersebut berorientasi pada tujuan-tujuan lainnyaa yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain

2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

Pertukaran sosial yang dimaksud disini terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan yang berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan ini tidak kunjung datang (Doyle Paul Johnson 1990:77).

Blaw juga mengatakan“kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya

pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk

pengurangan pemeberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh

kedua hal itu ada dan memperlakukan sanksi negative”. Dengan demikian kekuasaan hanya

dilihat sebagai pengendalian melalui sanksi-sanksi negative (Margaret Poloma,1994:85-86).

Pada pola keluarga konjugal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan

menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Selain itu sistem keluarga itu mengandalkan

pasangan suami isteri untuk berbuat lebih banyak terhadap kehidupan keluarga

masing-masing yang terdiri dari suami isteri, dan anak-anak. Kerabat luas tidak lagi penyangga

kehidupan pasangan suami isteri. Akibatnya anggota keluarga konjugal menjadi kurang

tergantung pada kerabatnya, sehingga kewajiban yang tua menjadi berkurang dan keluarga

konjugal tidak banyak menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi logisnya adalah kontrol

(30)

emosional dan financial keluarga konjugal menjadi lebih berat. Perubahan pada tingkat

perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat yang bersangkutan

mengalami disorganisasi. Adanya beberapa indikasi seperti :

1. Tingkat “hidup bersama”antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin

tinggi

2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan dibeberapa Negara terlihat

semakin tinggi

3. Adanya perbaikan kehidupan personal dari individu-individu yang memasuki

kehidupan berkeluarga melalui perkawinan

4. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat.

Teori pilihan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun

1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal

Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Tori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”)

adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan

yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroprasi dari dasar metodelogi individualisme

dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk

menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada

aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai

maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai

tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.

Dalam Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa

(31)

untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Teori pilihan rasional

Coleman tanpak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada

suatu tujuan dan tujuan itu ditetentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman

menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih

tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi dimana memilih tindakan yang

dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan

mereka. Ritzer (2004:394)

Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber

daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman

mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia

merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada

tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah

hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan

prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan

Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah

hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap

hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan

sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan

dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro. (Ritzer 2004:394-395).

Terjadinya perkawinan yang akan membentuk sebuah keluarga akan didasari dengan

adat, dan agama. Begitu juga dengan suku batak Toba Kristen bahwa adat dan agama

merupakan hal yang utama dalam perkawinan yang akan membentuk sebuah keluarga

bahagia. Pada masyarakat batak Toba bahwa adat itu sangat dijunjung tinggi, dimana mulai

(32)

dunia selalu memakai adat. Maka dikatakan bahwa masyarakat batak hidupnya sebagian

besar untuk adat.

Agama menawarkan suatu hubungan transendetal melalui pemujaan dan upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat ditengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.melalui ajaran-ajaran otoritatif tentang kepercayaan dan nilai, agama memberikan kerangka acuan ditengah pertikaian dan kekaburan pendapat serta sudut pandangan manusia. Fungsi agama yang bersifat kependetaan ini menyumbang stabilitas, ketertiban dan seringkali mendukung pemeliharaan status quo(Bagong suyanto;2004)

Adat adalah suatu cara pikir bangsa Indonesia, dimana mereka membentuk

dunianya.(Weltanschauung)(Geertz 1983:209-210;Benda Beckham 1979:113-114).

Mohammad Kusnu mengatakan adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber

pada rasa susilanya (Koesnoe 1979:A9). Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni

spiritual, dimana kedamaian menyeluruh ada karena kesepakatan bersama (Geertz,1983:210)

Sebagian kebisaaan adat dijalankan sesuai dengan irama alam, yang kepadanya

terikat kehidupan suku dan huta. Adat yang mengatur dengan kokoh segenap kehidupan

serentak sebagai rangkuman segala hukum (Schreiber 1867:268). Bentuk-bentuk pergaulan,

penggarapan ladang dan sawah, pembangunan rumah, perawatan orang sakit dan penguburan

mayat, peprangan dan perdamaian, permainan dan tari-tarian, perkawinan dan upacara

kurban, dipelihara dilaksanakan dan diatur menurut adat (Schreiner 1994:2). Manusia dalam

(33)

menentukan. Adat adalah kuasa penertib. Adat sumber hidup dan jalan menuju keselamatan.

Maka orang yang berbuat dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut na so

maradat (orang yang tidak hidup menurut tatanan sosial(Bruner 1961:510).

Pelanggaran terhadap adat, misalnya perkawinan terlarang, membawa kutukan ilahi

(supernatural sanctions). Hal ini bisa mengakibatkan kerugian ekonomis, penyakit yang

parah, mandul dan bahkan kematian. Besarnya hukuman tergantung kepada beratnya

pelanggaran terhadap adat. Hukuman itu bisa saja hanya berlaku pada pelanggar adat tersebut

tetapi bisa juga sampai kepada anak,cucu-cucu dan keturunan selanjutnya. Maka persekutuan

dengan adat berarti juga persekutuan dengan nenek moyang,yang berakar dalam huta yang

memberi hidup pada keturunannya memalui lading-ladang mereka. Dalam persekutuan hidup

dengan nenek moyang adat itu menyatakan diri sebagai religi. Adat menghubungkan nasib

individu dengan nasib nenek moyang dan nasib keturunannya. Karena itu dapat dimengerti

mengapa orang Batak Toba Toba sangat kuat mempetahankan adatnya. Adat tidak hanya

mengatur kehidupan sekarang (hich et nunc) tetapi juga mengatur hidup sesudah kehidupan

ini. Adat yang digenapi itu menjamin keseimbangan harmonis antara kekuatan dalam

mikrokosmos dengan ketertiban makrokosmos. Harmoni kekuatan-kekuatan itu membawa

hasil, yaitu mempetahankan atau menaikkan kekuatan hidup manusia, dhidup ternaknya dan

ladangnya sebagaimana diharapkan (Schreiner 1994 dalam Sulistyowati Irianto, 2005)

Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman serta

kehidupan orang Batak Toba untuk memandang dunianya (Weltanschuung) maka adat

bersifat mutlak. Biarpun orang Batak Toba menjadi Kristen atau islam atau terpelajar atau

(34)

tidak seperti dahulu lagi, tetapi isinya tetap sama (Bruner 1971 dalam Togar Nainggolan ,

2006)

Timbulnya berbagai masalah yang terjadi dalam sebuah keluarga, membuat keluarga

tersebut goncang dan sebagian akan mengambil keputusan yang dianggap jalan yang terbaik

yaitu dengan bercerai, tetapi sebagian lagi mampu bertahan dan kembali rukun dengan

keluarganya. Perkembangan zaman sekarang ini memberikan peluang kepada keluarga untuk

memutuskan tali perkawinan yaitu dengan perceraian.

Bagi masyarakat Batak perceraian masih dianggap sebagai suatu penyimpangan dari

norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Perceraian dianggap merusak struktur kekeluargaan

dan hubungan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Perceraian adalah hal yang tabu bagi mereka.

Hal ini disebabkan nilai perkawinan pada masyarakat Batak itu sangat tinggi dan sakral

sehingga tidak dapat dirusak. Ini diyakini oleh masyarakat Batak secara turun temurun, juga

sejalan dengan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas orang Batak yaitu agama Kristen.

Dimana agama Kristen tidak mengijinkan adanya perceraian. Namun pada fakta-fakta yang

ada dimasyarakat Batak dapat menerima adanya isteri kedua dengan alas an: perkawinan

dengan isteri pertama tidak mempunyai anak sama sekali, tidak memiliki anak laki-laki,

perkawinan yang tidak bahagia sehingga untuk menghindari perceraian maka isteri harus

menerima kehadiran isteri kedua.

(35)

Manusia membutuhkan moral disaat menghadapi ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Kegagalan mengejar aspirasi, karena dihadapkan dengan kekecewaan serta kebimbangan, maka agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam menghadapi unsur-unsur kondisi manusia tersebut. Dalam memberi dukungan dalam setiap permasalahan agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral dan membantu mengurangi kebencian.(Bagong suyanto;2004)

Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu, dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Dengan demikian agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas dan ganjaran yang merupakan cirri khas suatu masyarkat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang. Agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya. Hal ini memang benar, khususnya dalam hubungannya dengan agama yang menitikberatkan transendesi Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya dan kemerdekaan masyarkat yang mapan. (Bagong suyanto;2004)

(36)

pemahaman diri dan batasan diri. Melalui perna serta manusia didalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsure-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang “siapa ia” dan “apa ia” (Bagong suyanto;2004)

Agama dan adat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam budaya batak toba bahwa agama dan adat itu saling melengkapi. Seperti halnya dengan perkawinan, perkawinan yang dilakukan secara agama maka dalam adat batak toba setelah selesai pemberkatan maka akan dilanjutkan dengan acara adat.

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualiatatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring data /informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Alasannya adalah karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasaan dan kesempatan peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensistif

3.2 .Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Medan.lokasi penelitian diambil dengan alasan, dimana tingkat perceraian dikalangan Batak Toba itu masih tergolng sangat rendah ,dan juga tingkat perceraian pada masyarakat kota lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat tradisional, dan di perkotaaan masyarakat melakukan perceraian di Pengadilan Negeri. Maka untuk memudahkan penelitian saya mengambil data dari pengadilan Negeri Medan.

3.3. Unit Analisis dan Informan.

(38)

keseluruhan unit analisis ini akan diambil informan yang dianggap dapat menjawab permasalahan penelitian ini. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriteria informan kunci sebagai berikut.

- Keluarga dari perempuan atau laki-laki yang bercerai - Berasal dari suku Batak Toba dan beragama Kristen

- Keluarga yang bercerai baik perceraian secara adat ,maupun secara hukum Sedangkan yang menjadi informan bisa adalah para penatua gereja baik pendeta, raja adat penatua yang tahu tentang adat Batak Toba .

3.4 Teknik Sampling

Teknik yang digunakan untuk menarik sampel adalah accidental sampling dan purposive sampling. Accidental sampling yaitu sampel dengan pertimbangan tertentu yang tidak dirancang pertemuannya terlebih dahulu. Dan purposive sampling yaitu menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai sumber data guna menunjang penelitian ini maka peneliti akan mengumpulkan data melalui :

- Observasi yaitu pengamatan pencatatan statistik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pada penelitian ini penulis mengobservasi data-data statistic tingkat perceraian yang terjadi pada Batak Toba Kristen di kota Medan.

(39)

mendalam yang dilakukan peneliti dalam hal ini karena permasalahannya yang sangat sensitive

- Studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang dipergunakan untuk mencari dokumentasi data yang dinginkan dan berkenan dengan objek penelitian

3.6 Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema.(Maleong,1993:103). Data yang sudah terkumpul melalui pengamatan, hasil wawancara , maupun data penunjang dari studi kepustakaan akan diolah/dianalisis untuk menemukan makna setiap data/informasi, hubungan antara satu dengan yang lain dan memberikan tafsiran yang dapat diterima akal sehat dalam konteks masalahnya secara keseluruhan.

(40)

3.6Jadwal kegiatan

3.7. Keterbatasan Penelitian

Selama dalam penelitian penulis mempunyai banyak kendala dan keterbatasan penulis dalam mendapatkan data yaitu:

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √ √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √ √

8 Bimbingan √ √

9 PenuL.Sn Laporan Akhir √ √

(41)

1. Dalam mendapatkan data sender dari pengadilan sangat sulit, dimana dalam pengambilan data sekunder itu mempunyai waktu yang lumayan lama sehingga penulis tidak bisa tidak dapat melanjutkan penuL.Sn karena data sekunder dari pengadilan belum lengkap. Tapi ahirnya data tersebut saya dapatkan juga dengan waktu yang begitu lama.

2. Dalam pencarian alamat informan peneliti sangat kewalahan, karena peneliti merupakan penduduk pendatang di kota Medan jadi dalam mencari alamat sangat sulit.

3. Dalam wawancara informan sebagian kurang terbuka, peneliti berusaha agar informan saya itu mau terbuka.

(42)

BAB IV

INTEPRETASI DATA 4.1 Setting Lokasi

4.1.1 Sejarah Asal-Usul Kota Medan

Kota Medan dahulu merupakan kampung kecil yang berada disalah satu tanah datar atau Medan yang pada waktu itu kita kenal sebagai “Kampung Medan Putri”, letaknya tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Selama kurang lebih 80 tahun, Medan telah berkembang menjadi kota Medan seperti saat ini. Menurut Tengku Lukman Sinar, SH dalam bukunya yang berjul “Riwayat Hamparan Perak” tahun 1971, Medan didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang Encik Pulo Brayan. Guru Patimpus juga merupakan nenek moyang Datuk Hamparan Perak(Dua Belas Duta) dan Datuk Suka Piring, yaitu dua dari tempat Kepala suku Kesultanan Deli. Dalam bahasa Karo, kata “Guru” berarti “Dukun” ataupun “orang pintar” kemudian kata”Pa” merupakan sebutan untuk seorang bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang. Sedangkan kata “Timpus” berarti “Bundelan, bungkus atau balut”. Dengan demikian Guru Patimpus dapat diartikan sebagai seorang dukun yang memiliki kebiasaan memungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan dibadan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan disekitar Balai Kota Medan.

(43)

asal-usul kata “Medan” itu sendiri. Dari catatan penulis-penulis portugis yang berasal dari awal abad ke-16 disebutkan bahwa Kota Medan berasal dari nama “Medina”, sedangkan dari sumber lainnya menyatakan bahwa Medan berasal dari bahasa India”Meiden”, yang lebih kacau lagi bahwa ada sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata”Medan” karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai Medan pertemuan.

Bila kita menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku Karo, tentunya kata Medan itu haruslah berasal dari bahasa Karo. Dalam salah satu kamus Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwira Prinst, 2002: kata Medan berarti ‘menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah “orang pintar” yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional karo pada masa tersebut.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang suku Karo, hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan beregelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil KerajaanAceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berekembang. Perekembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Dimasa pemerintahan Sultan Deli kedua Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi sebuah perang Kavaleri di Medan. Sejak saat itu Medan menjadi membayar upeti kepada Sultan Deli.

(44)

dan sungan Babura. Guru Patimpus, seorang Karo mulai merintis pemukiman Medan pada tahun 1590. Tembakau kemudian mengubah kampong Medan menjadi pusat perdagangan sejak 1642. John Anderson, seorang pegawai kerajaan Inggris dari Penang, dalam kunjungannya ke Medan pada tahun 1823 menemukan bahwa Medan saat itu masih merupakan sebuah kampong kecil berpenduduk sekitar 200 orang. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1858 , setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa bekas tanah kekuasaannnya, Deli, Langkat dan Serdang.

(45)

yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari labuhan ke kampung Medan.

Kantor baru itu dibangun di penggir sunga Deli, tepatnya di kantor PTPN II(eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktifitas pemerintahan Propinsi Sumatera Timur dan Kerajaan Deli serta pusat perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru didaerah

Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta Sunga Beras dan Klumpang pada tahun 1875.

Tahun 1918, Medan dijadikan Kota Praja, tetapi tidak termasuk didalamnya daerah kota Maksum dan daerah Sungai kera yang tetap berada di bawah Kesultanan Deli. Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa dan terdiri dari 409 orang bangsa Eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia,8269 orang bangsa Cina, dan 130 orang bangsa Asia lainnya.

Berdasarkan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU, terhitung mulai tanggal 21 september 1951, daerah kota Medan diperluas tiga kali lipat. Keputusan tersebut disusul oleh Maklumat Walikota Nomor 21 tanggal 29 september 1951 yang merupakan luas kota Medan menjadi 5.130 Ha dan meliputi 4 kecamatan, yaitu:

(46)

3. Kecamatan Medan Barat

4. Kecamatan Medan Baru dengan keseluruhan 59 kepenghuluan.

Melalui UU Darurat No.7 dan 8 tahun 1056 dibentuk propinsi Sumatera Utara Daerah Tingkat II antara lain, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan khususnya memerlukan perluasan daerah untuk mampu menampung laju perkembangan penduduk. Oleh karena itu, dikeluarkan Perintah No.22 tahun 1973, dengan masuknya beberapa Kabupaten Deli Sedang kedalam kota Medan, sehingga belakangan ini wilayah kota Medan menjadi 116 kelurahan. Kemudian dengan surat persetujuan Mendagri No.140/22/1/PVOP tanggal 30 Mei 1986, jumlah kelurahan di Kota Medan menjadi 144 kelurahan yang kemudian pada tahun 1997 menjadi 151 kelurahan.

Kemudian melalui Peraturan Pemerintah RI No.35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan termasuk kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di Kota Daerah Tingkat II Medan, sehingga sebelumnya terdiri dari 19 kecamatan di mekarkan menjadi 21 kecamatan. (Kota Medan Dalam Angka 2009,BPS kota Medan,hal 26)

(47)

Pemerintah No.22 Tahun 1973 yang memperluas wilayah kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang.

Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat I propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sekitar 2.083.156 jiwa. Secara geografis Kota Medan berbatasan dengan

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung

Morawa Kabupaten Deli Serdang (....Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, bps Kota Medan , hal 11)

(48)

perempuan dengan total keseluruhan 1.048.460 jiwa sedangkan laki-laki hanya 1.034.696 jiwa.

4.1.1.Gambaran masyarakat kota Medan

Penduduk asli Sumatera Utara adalah suku bangsa Melayu yang berdiam di Pesisir Timur Sunatera Utara. Penduduk pada daerah ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Penduduk lainnya yang berada didaerah pedalaman sumatera utara , seperti suku bangsa batak umumnya adalah bermata pencaharian sebagai petani dan mengusahakan hasil hutan, sedangkan pola mata pencaharian suku lainnya yang merupakan pendatang berkembang sesuai dengan perkembangan perkebunan-perkebunan yang dibuka pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk menopang perkembangan perkebunan pada masa dibuka oleh pemerintah Belanda , mereka menjalankan politik “pintu Terbuka” bagi pendatang atau perantau dari berbagai daerah didalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan ini merangsang berbagai suku bangsa yang ada disekitar Sumatera Timur seperti Aceh, Batak dan Minangkabau untuk dating merantau ke Sumatera Utara dan kota yang menjadi sarana utama dari perantau itu adalah Kota Medan.

(49)

Cina laki-laki sebanyak 10,65%, dan perempuan 10,66% sehingga jumlah penduduk etnis Cina sekitar 10,65%. Etnies Mandailing dan Angkola laki-laki sebanyak 9,37% dan perempuan sebanyak 9,38% sehingga jumlah penduduknya sekitar 9,38%. Etnies Minang laki-laki sebanyak 8,72 dan perempuan sebanyak 8,48% sehingga jumlah penduduknya sekitar 8,60%. Penduduk Suku Melayu sekitar 6,59%. Suku Karo berjumlah 4,20%, Aceh memiliki persentase jumlah penduduk sekitar 2,78%, Simalungun berjumlah 0,69%, Nias berjumlah 0,69%, Pakpak berjumlah 0,34% dan suku lainnya terdapat persentasenya sekitar 3,95%.(Badan Pusat Statisitik Kota Medan 2007)

Dari data diatas menunjukan bahwa jumlah penduduk yang lebih mayoritas adalah suku Jawa, sedangkan yang paling rendah persentasenya adalah suku Pakpak. Dalam penelitian yang dilakukan bahwa yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah Suku Batak Toba yang jumlah persentase penduduknya di Kota Medan adalah sekitar 19,21%. Persentase laki-laki etnis batak toba sekitar 19,06% dan perempuan sekitar 19,35%. Selisih anatara jumlah persentase laki-laki dan perempuan Etnies Batak Toba yang ada di Kota Medan adalah 0,19%.

(50)

disebut PDRB atas dasar harga konstan setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDRB atas dasar harga konstan. Sejalan dengan peningkatan PDRB ADH konstan tahun 2000 kota Medan selama periode 2005-2007, pertumbuhan ekonomi kota Medan selama periode yang sama, meningkat rata-rata di atas 7,77 persen

Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam perkembangannya kota Medan tidak lepas dari peran suku bangsa pendatang misalnya etnis Cina, Batak, Jawa, Minang yang membaur dengan suku asli yaitu suku melayu. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang sering dijadikan tempat dimana masyarakat lain datang untuk memulai hidup barunya untuk bekerja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat kota Medan dapat digolongkan ekonomi yang memiliki perkembangan yang yang sangat maju, karena di daerah kota Medan merupakan daerah yang sangat strategis dan sangat banyak usaha-usaha yang ada. Sehingga di Medan sangat banyak lowongan kerja yang mampu menampung pekerja-pekerja, baik itu yang telah tamat dari perguruan tinggi yang ada di Kota Medan maupun yang berasal dari luar dating ke Medan hanya untuk mencari kerja. Ini menggambarkan bahwa kota Medan itu memiliki potensi ekonomi yang tinggi, yang tidak kalah dari daerah-daerah lain yang juga memiliki sosial ekonomi yang tinggi. 13-2-2010).

(51)

sektor perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di kota Medan mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim usaha dan perdagangan yang dapat memberikan citra yang positif bagi kota Medan, meskipun terdapat berbagai konflik yang terjadi, tetapi masing-masing kelompok atau masyarakat masih mampu mengendalikan atau meredam konflik tersebut, sehingga kota Medan yang dikenal dengan kota yang masyarakatnya majemuk dikatakan sebagai salah satu kota yang paling aman dan rukun. Dengan keadaan tersebut kota Medan sering dijadikan salah satu wilayah tujuan urbanisasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini dilihat dari permukiman yang ada di kota Medan yang saling berdekatan dan mempunyai tingkat solidaritas yang cukup baik. Dilihat juga dari berbagai suku / etnis dan agama yang saling berdekatan dan dapat menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat setempat membentuk kelompok-kelompok seperti STM (serikat tolong-menolong) baik sesama etnis dan lain etnis, kumpulan marga dan sebagainya (http://www.binawargahki.blogspot.com/2010/02/html, pkl. 18.30).

(52)

kota Medan. Kebanyakan yang memiliki usaha-usaha yang ada di kota Medan adalah orang asing. Ini menggambarkan bahwa masyarakat kota Medan Wellcome dengan pendatang baru.

Penduduk kota Medan yang memiliki masyarakat yang majemuk yang dimana masyarakat terdiri dari berbagai suku. Interaksi yang terjadi dengan masyarakat pribumi sumatera utara sangat terjalin dengan baik, ini terlihat dari konflik-konflik yang terjadi dapat di kendalikan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan dan juga budaya kerjasama yang ada di Kota Medan yang dapat digolongkan dengan baik. Dalam bidang politik juga bahwa masyarakat tidak terlalu memandang SARA, terbukti dengan suku yang dapat digolongkan Minoritas dikota Medan dapat memimpin sebuah provinsi, itu merupakan wujud nyata yang dapat dilihat bahwa masyarakat tidak mempersoalkan yang namanya SARA.

Persentase jumlah penduduk agama Islam di kota Medan sebanyak 67,83%, persentase agama katolik sebanyak 2,89%, Agama Kristen Protestan sebanyak 18,13%, Agama Budha sebanyak 10,4% dan agama Hindu sebanyak 0,68% dan lainnya sekitar 0,07 %. Dari data tersebut bahwa yang persentase jumlah penduduk yang tertinggi di Kota Medan adalah Agama Islam, sedangkan untuk Agama Kristen hanya 18,13%. Dan yang menjadi sasaran dari penelitian adalah agama Kristen Protestan.

4.1.3. Gambaran Etnies Batak Toba Di Kota Medan

(53)

mempunyai berupa persekutuan atau perkumpulan yang dapat meningkatkan kekerabatan keluarga tersebut. Perkumpulan marga juga dapat mendorong meningkatkan kekerabatan dan juga dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Seperti halnya dengan Dalihan Na Tolu bagi suku Batak Toba yang berfungsi memberi keseimbangan dalam kekerabatan. Dalihan Na Tolu ini dapat menumbuhkan sistem kekerabatan yang baik yang dimanapun dan kapanpun akan selalu berfungsi, meskipun tidak berada dikampung halamannya atau telah merantau, maka falsafah Dalihan Na Tolu akan selalu tetap ada. Adat-istiadat juga sangat dijunjung tinggi

membuat sistem kekerabatan itu semakin baik. Karena bagi suku Batak Toba bahwa yang paling dikenal adalah adatnya yang dikenal begitu dijunjung tinggi, orang tidak mempunyai adat dalam suku batak Toba dianggap hal yang tidak baik. Orang yang diangkat menjadi orang batak Toba saja di buat adatnya, apalagi orang yang asli batak toba, maka seharusnya akan ber adat.

Aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Etnies batak Toba di kota Medan mulai aktif mulai dari subuh. Banyak kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat kota Medan demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Seperti halnya para inang-ingang parengge-rengge, para inang-inang parrengge-rengge ini sudah mulai

bekerja mulai jam 3 pagi,mereka sudah ke berangkat ke pajak untuk berjualan. Para ibu-ibu ini berjualan sampai sekitar jam 10 pagi sebagian. Sebagian mereka sampai sore bekerja sebagai parengge-rengge.

(54)

mereka adalah para inang-inang parengge-rengge. Para bapak-bapak ini selain mencari sewa kearah pajak-pajak, mereka juga mencari sewa kearah terminal amplas, karena sebagian bus yang berasal dari luar kota menuju Medan sampai dikota Medan adalah pagi, para bapak-bapak supir angkot ini sudah standby di terminal amplas menunggu bus dari luar kota datang. Tidak kalah juga dengan para bapak-bapak tukang becak, sebagian bapak-bapak ini hampir 24 jam stanby menunggu sewa. Mereka siap sedia mengantarkan sewa kapan dan kemanapun.

Berbeda dengan mayarakat yang bekerja di kantor, baik PNS, pegawai swasta, dan pekerja-pekerja di supermarket atau Mall/plaza. Mereka yang bekerja di sector ini sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh inang-inang parengge-rengge dan bapak-bapak tukang becak dan super angkut tersebut. Mereka mulai bekerja jam 8 pagi dan kalau mereka bekerja di PNS atau pegawai swasta mereka hanya bekerja sampai jam 4 atau 5 sore. Berbeda juga dengan swalayan atau Mall yang mulai jam 8 sampai jam 10 malam buka.

(55)

Interaksi pada keluarga Batak khususnya Batak Toba dilihat dari nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat itu sendiri. Ini dilihat pada istilah yang dikenal dengan sebutan Dalihan Natolu. Pada umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai lembaga kekerabatan yang didasarkan pada Dalihan Natolu. Dalihan Natolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejarangan. Di dalam sistem sosial tersebut terdapat tiga kelompok kekerabatan yang menjadi unit-unit fungsionalnya.

Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal artinya Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo

sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat identik dengan falsafah dalihan

natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak. Apakah yang disebut dengan Dalihan Na Tolu Paopat Sihal-Sihal itu. Dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut : Somba Marhula-Hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru. “Angka na so somba marhula-hula

siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala

(56)

Somba marhula-hula. Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki

dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula. Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu

(57)

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru)

Dalam budaya Batak, ada umpasa Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan. Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.

Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.

Manat Mardongan Tubu. Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok

(58)

perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Si Raja GURU MANGALOKSA menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.

Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna. Ungkapan itu

mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik .

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

(59)

abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab, namun harus diingat dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang

Gambar

Tabel 1.1
    Tabel 1.2     DATA TINGKAT PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat berbagai makna simbolik (tanda) pada “Parjambaron” Upacara Adat Kematian “Saur Matua” Batak Toba diantaranya

Terbentuknya Konflik dan Integrasi Anggota Lima kEluarga Luas Batak Toba yang Menganut Agama Berbeda di Jalan Galang Kecamatan Lubuk Pakam dalam Kehidupan Sehar-hari ....

Sebab alasan apapun mengenai perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak dapat dilakukan kecuali dengan kematian dan hendaknya Pengetua Adat, Pendeta,

Budaya Batak Toba yang sangat dekat dengan budaya keras memang sesuatu yang harus dihadapi oleh anak-anak keluarga Batak Toba Muslim, walaupun itu menyuruh

Budaya Batak Toba yang sangat dekat dengan budaya keras memang sesuatu yang harus dihadapi oleh anak-anak keluarga Batak Toba Muslim, walaupun itu menyuruh mereka untuk melakukan

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap

terjadi konflik runtuhnya sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba yang. terletak di Ajibata Kabupaten

Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Struktur Sosial dan sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik.. Jakarta: Yayasan