• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian Dan Akibat Hukumnya Pada Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Protestan (Studi: Di Desa Martoba (Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perceraian Dan Akibat Hukumnya Pada Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Protestan (Studi: Di Desa Martoba (Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR)

TESIS

Oleh:

JUNJUNGAN MOSES SIALLAGAN

097011107 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

FAKULTAS HUKUM

(2)

KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JUNJUNGAN MOSES SIALLAGAN

097011107 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR)

Nama Mahasiswa : Junjungan Moses Siallagan

Nomor Pokok : 097011107

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH Anggota : 1. Prof. DR. Runtung, SH, MHum

(5)

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga

tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat

dipertahankan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain, untuk mengetahui alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dan untuk mengetahui akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen.

Kerangka teori ini memakai teori perbandingan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist, melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, yaitu penelitian deskripsi analistis. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahyuridis empiris.

(6)

mengatur tentang perceraian lebih memperketat peraturan mengenai perceraian, agar tidak dengan begitu mudahnya perceraian di Indonesia, hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan kepada keluarga muda yang bermasalah dalam rumah tangga agar tidak terjadi perceraian. Sebab alasan apapun mengenai perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak dapat dilakukan kecuali dengan kematian dan hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan mengenai hal akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen baik itu mengenai hubungan persaudaraan, anak bahkan harta kekayaan yang timbul dalam perkawinan

(7)

In its development, a divorce in a marriage cannot be avoided. There are various reasons for a divorce application such as the involvement of third party in a marriage, different point of view about the obligations of husband and wife in their family and the husband frequently leaves his wife, the changing roles of husband and wife, endless quarrel and conflict that they cannot maintain the happiness and harmony in their family.

The purpose of this study was to find out the regulation of divorce in Christianity based on Law on Marriage and other regulations, to examine the reasons for divorce in the Christian Batak Toba community, and to analyze the legal consequence of a divorce in the Christian Batak Toba community.

The theoretical framework used in this study was legal comparative theory referring to Hall’s statement,” to be sapiens is to be a comparatist”, through a long history, comparative technique has given an important contribution and had influence on all fields of natural and social sciences. In this case, legal comparative has its significance towards the systematic application of the comparative technique in the field of law.

Legal research is a scientific activity based on method, systematic and certain thought intended to study one or several certain legal symptoms by analyzing them. The success in this analytical descriptive study is very determined by the method used to describe the problems being studied and the answers to them. This study employed the empirical juridical approach.

The result of this study showed that there was no regulation regulating the divorce in Christianity, but the Law on Marriage does regulate the procedure of marriage. There is no written regulation on divorce in the Batak Toba community, and the divorce can only be implicitly done. Those who had an authority to divorce husband and wife are the adat leader, the husband and wife concerned and their family members. While the Christian Batak Toba who have become Indonesian citizens can do the divorce in accordance with Law on Marriage even though the Bible says there is no divorce but by death. The reasons for divorce in the Christian Toba Batak community can be seen from two sides; according to Batak Toba customs/adat and according to the state court lawsuit based on Article 39 paragraph (2) of Law on Marriage. The legal consequences of divorce in the Christian Batak Toba community are to the relationship of husband and wife, to their parents/children, and to their marital property.

(8)

always maintain what has been advised by our ancestors, namely, not to change the responsibility of the husband’s family and relatives to his children and divorced wife.

(9)

rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga dapat melakukan dan menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Banyak hal yang terjadi dialai saat menyelesaikan tesis ini.

Adapun tujuan dibuat penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul tesis ini adalah: “PERCERAIAN DAN AKIBAT

HUKUMNYA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA YANG BERAGAMA KRISTEN PROTESTAN (Studi: Di Desa Martoba (Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir)”.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat masukan yang membangun demi melengkapi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini terutama kepada yang terhormat :

l. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.AK) selaku

Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada program studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Univenitas Sumatera Utara;

(10)

pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Ibu DR. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Anggota Komisi Penguji yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;

6. Ibu DR. Idha Aprilyana Sembiring. SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan; 7. Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Penguji

yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

8. Bapak J. Silalahi selaku Kepala Desa Martoba (Bius Tolping) Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Bapak K. Limbong Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Amang Jobar Siallagan selaku Pengetua Adat Batak di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dan Pendeta Agama Kristen, yaitu antara lain Pdt. Balosan Rajagukguk, STh, MS, selaku Pendeta HKBP Resort P. Siantar, Pdt. Asbon Salomon Manurung, STh, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar yang telah memberikan masukan serta data-data sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan.

9. Para Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Progran Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

(11)

perkuliahan hingga penelitian tesis ini;

11. Kedua orang tua, yaitu ayahanda Drs. Cornelius Siallagan dan ibunda tercinta Tiominar Matondang, SH, SpN, yang telah memberikan DOA, dorongan dan motivasi baik secara lahiriah dan batiniah, serta didikan yang amat sangat berguna sehingga dapat menyelesaikan program studi ini dengan baik.

12. Kepada kedua keluarga Tulang saya, keluarga Benny Matondang dan keluarga Tigor matondang yang telah memberi motifasi hidup dalam langkah – langkah yang berguna untuk kedepan harinya.

13. Ketiga saudari saya serta abang ipar saya, Lisbeth Siallagan, SE dan dr. Morrison Sihite, Mamitta Siallagan, SH, MKn dan dr. Feeter Suryanto, SpOG serta Try Yanthy Siallagan, SE. Rasa terima kasih yang sungguh luar biasa atas DOA dan dorongan yang tak henti-hentinya baik secara moral dan materiil, dukungan yang ngak putus dan memberikan motivasi yang menguatkan bagi penulis. Serta kepada kekasih penulis dr. Theodora Yosevangelika Hutabarat yang memberikan arahan-arahan yang berguna bagi penulis.

14. Kepada keponakan – keponakan saya Louise Sihite, Betris Sihite, Lauren Sihite, Zita Ginting dan Zahira Ginting yang selalu memberikan senyuman dan kegembiraan terhadap penulis.

15. Para sahabat seperjuangan Kelas Reguler Khusus, Kelas Regular A, B dan C Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama Doni Kartien, Epi Sulastri, Amelia Silvany, Alnasril, Dessy Mellaroza dan Lisa Harahap yang memberikan motivasi dan dukungan baik secara moril dan spiritual dalam penyelesaian tesis ini.

(12)

penulis sendiri dan orang lain.

Medan, Agustus 2011

Penulis,

(13)

A. Data Pribadi

Nama : JUNJUNGAN MOSES SIALLAGAN

Tempat/Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 05 Febuari 1986

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Parsoburan No. 4 Pematangsiantar

Kelurahan Kampung kristen Kecamatan Siantar Selatan

Kotamadya Pematangsiantar, 21124

Email : cortio_sima@yahoo.com

Nama Ayah : Drs.Cornelius Badiaman Siallagan

Nama Ibu : Tiominar Matondang, SH, SpN

Anak ke : 4 (empat) dari 4 (empat) bersaudara

No Handphone : 08116206744, 081385733304

B. Pendidikan

1992 – 1998 : SD Swasta Budi Mulia No.02 Pematangsiantar

1998 – 2001 : SLTP Swasta Bintang Timur Pematangsiantar

2001 – 2004 : SLTA Swasta Bintang Kejora Jakarta Barat

2004 – 2008 : Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas

Satyagama Jakarta Barat

2009 – 2011 : Strata Dua (S2) Magister Kenotariatan Universitas

(14)

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... ix

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat teoritis... 11

2. Manfaat praktis ... 11

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13

1. Kerangka teori... 13

2. Konsepsi... 17

G. Metode Penelitian... 20

1. Spesifikasi penelitian... 20

2. Lokasi penelitian... 21

3. Populasi dan sampel... 22

3.1 Pupulasi... 22

3.2 Sampel... 22

4. Sumber data... 23

5. Teknik pengumpulan data... 24

6. Alat pengumpulan data... 24

7. Analisis Data... 25

(15)

Kristen... 34

C. Perceraian Dikalangan Masyarakat Batak Toba Kristen Menurut Hukum Adat Batak Toba... 41

D. Perceraian Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Menurut UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 45

BAB III ALASAN PERCERAIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN AGAMA KRISTEN... 57

A. Gambaran Umum Desa Martoba (Bius Tolping)... 57

B. Alasan dan Syarat Perceraian Secara Adat Batak Toba Yang Beragama Kristen di Desa Martoba (Siallagan Tolping)... 60

1. Alasan perceraian pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen ... 60

2. Syarat-syarat perceraian di masyarakat Batak Toba ... yang Beragama Kristen... 81

C. Tata Cara Perceraian Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen di Desa Martoba atau Siallagan Tolping... 90

D. Perkara Perceraian Masyarakat Batak Toba Beragama Kristen di Kabupaten Samosir... 101

BAB IV AKIBAT HUKUM PERCERAIAN DALAM MASYARAKAT HUKUM BATAK TOBA DAN KRISTEN... 111

A. Terhadap Hubungan Suami istri... 113

B. Terhadap Hubungan Orang Tua dan Anak... 114

C. Terhadap Harta perkawinan... 118

D. Peranan Gereja dan Lembaga Adat Batak Toba dalam Menanggulangi Perceraian... 124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 130

A. KESIMPULAN... 130

B. SARAN... 133

(16)

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga

tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat

dipertahankan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain, untuk mengetahui alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dan untuk mengetahui akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen.

Kerangka teori ini memakai teori perbandingan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist, melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, yaitu penelitian deskripsi analistis. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahyuridis empiris.

(17)

mengatur tentang perceraian lebih memperketat peraturan mengenai perceraian, agar tidak dengan begitu mudahnya perceraian di Indonesia, hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan kepada keluarga muda yang bermasalah dalam rumah tangga agar tidak terjadi perceraian. Sebab alasan apapun mengenai perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak dapat dilakukan kecuali dengan kematian dan hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan mengenai hal akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen baik itu mengenai hubungan persaudaraan, anak bahkan harta kekayaan yang timbul dalam perkawinan

(18)

In its development, a divorce in a marriage cannot be avoided. There are various reasons for a divorce application such as the involvement of third party in a marriage, different point of view about the obligations of husband and wife in their family and the husband frequently leaves his wife, the changing roles of husband and wife, endless quarrel and conflict that they cannot maintain the happiness and harmony in their family.

The purpose of this study was to find out the regulation of divorce in Christianity based on Law on Marriage and other regulations, to examine the reasons for divorce in the Christian Batak Toba community, and to analyze the legal consequence of a divorce in the Christian Batak Toba community.

The theoretical framework used in this study was legal comparative theory referring to Hall’s statement,” to be sapiens is to be a comparatist”, through a long history, comparative technique has given an important contribution and had influence on all fields of natural and social sciences. In this case, legal comparative has its significance towards the systematic application of the comparative technique in the field of law.

Legal research is a scientific activity based on method, systematic and certain thought intended to study one or several certain legal symptoms by analyzing them. The success in this analytical descriptive study is very determined by the method used to describe the problems being studied and the answers to them. This study employed the empirical juridical approach.

The result of this study showed that there was no regulation regulating the divorce in Christianity, but the Law on Marriage does regulate the procedure of marriage. There is no written regulation on divorce in the Batak Toba community, and the divorce can only be implicitly done. Those who had an authority to divorce husband and wife are the adat leader, the husband and wife concerned and their family members. While the Christian Batak Toba who have become Indonesian citizens can do the divorce in accordance with Law on Marriage even though the Bible says there is no divorce but by death. The reasons for divorce in the Christian Toba Batak community can be seen from two sides; according to Batak Toba customs/adat and according to the state court lawsuit based on Article 39 paragraph (2) of Law on Marriage. The legal consequences of divorce in the Christian Batak Toba community are to the relationship of husband and wife, to their parents/children, and to their marital property.

(19)

always maintain what has been advised by our ancestors, namely, not to change the responsibility of the husband’s family and relatives to his children and divorced wife.

(20)

1 A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup

bersama-sama dengan manusia lain atau tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari

kelompok lainnya.1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk

berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu, manusia juga

punya hasrat untuk bermasyarakat.

Manusia sebagai mahluk individu biasa saja mempunyai sifat untuk hidup

menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.

Manusia sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam

masyarakat.2

Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang

mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak

jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah

tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut

perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar

pribadi.

(21)

Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di

dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut

telah mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga

sendiri.3

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat

perkawinan untuk jangka waktu selama mungkin.4

Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang

pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan

perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga

yang bahagia dan sejahtera.

Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak

(suami-isteri), keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda,

menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui

kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah

hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan

pada saat sekarang ini.

Bagi suku bangsa yang memiliki adat dan budaya, perkawinan merupakan

suatu hal yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan yang dilaksanakan

3

(22)

dalam suatu upacara yang terhormat serta mengandung unsur sakral di dalamnya.

Upacara tersebut biasanya diselenggarakan secara khusus, menarik perhatian dan

disertai penuh kenikmatan. Selain itu, upacara ini juga menggunakan benda-benda

maupun tingkah-laku yang mempunyai kaitan makna khusus yang tidak dijumpai

dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya itu bertujuan untuk menyatakan agar kedua

pengantin senantiasa selamat dan sejahtera dalam mengarungi kehidupan bersama,

terhindar dari segala rintangan, gangguan, dan malapetaka.

Bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup mereka sejak

dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat

dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.5 Orang yang taat pada agamanya tidak

mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya.

Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang

memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.6

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan

seseorang, juga bagi orang tua anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat

mengharukan, orang tua tersebut melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu

berangkat menempuh hidup baru bersama suaminya.7 Dalam peraturan perkawinan

yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan sebuah kontrak berdasarkan

persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk

5Rusdi Malik,Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas

Trisakti, Jakarta, 1990, hal 11.

6

Chainur Arrasjid,Op Cit, hal 5.

7Retnowulan Sutanto,Wanita dan Hukum,Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi

(23)

menjadi suami-istri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi

unit keluarga, yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak dalam

pembentukan peradaban di dalam masyarakat.

Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu.8

Melangsungkan suatu perkawinan, undang-undang telah menentukan

beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di dalam undang-undang

perkawinan ditetapkan beberapa azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan,

karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Dalam suasana di mana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi

yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum

sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih

dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial.

Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.9

(24)

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.10

Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (3)

dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(selanjutnya ditulis UU Perkawinan) bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan

perempuan adalah seimbang.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa hukum dengan tegas mengatur

perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah dan hukum mempunyai sifat untuk

menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat.11

Dari kenyataan tersebut, maka pembuat UU Perkawinan menyatakan

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)). Agama yang dimaksud adalah merujuk

kepada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa: negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk, untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya

masing-masing.12

Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam ruang lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja

10

Ibid.

11Retnowulan Sutanto,Op.Cit, hal. 35.

12 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di

(25)

dan karena itu mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga.13

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi

juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan

tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.14

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak

dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya

orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban

suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan

peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga

tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat

dipertahankan.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur

hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada

kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk

undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat

proses itu benar-benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara

saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat.

Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang

mereka alami dan mengundang orang-orang yang dianggap lebih tua, perceraian

(26)

dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah mempunyai

keturunan (anak).

Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan terpaksa gugatan

tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan.

Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah mengatur

tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus

perkara tersebut. Bagi warga masyarakat yang beragama Kristen, Budha, dan Hindu

peradilan yang berhak memeriksa dan memutuskannya adalah Pengadilan Negeri.

UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya di sebut PP Nomor 9

Tahun 1975) merupakan hasil produk perundang-undangan nasional, yang telah

disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka

hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan dapat

dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional

dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang

perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat

mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern.15Di

dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat,

namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat.

Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UU Perkawinan tentang

(27)

harta benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta bersama dan

Harta Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur

menurut hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan

hukum-hukum lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan

pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian dengan talak dan cerai

gugat.

Selanjutnya dalam Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa tujuan

sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 hanyalah untuk menyaksikan perceraian

tersebut. Dalam Pasal 17 PP Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa sesaat setelah

dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian. Ketua Pengadilan

membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

Dari ketentuan tersebut diatas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah

surat permohonan, akan tetapi, surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai

(menceraikan) isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat

tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah

terjadi perceraian di muka pengadilan, maka ketua pengadilan membuat surat

keterangan tentang terjadinya perceraian (bukan surat penetapan atau putusan).

(28)

Bila dilihat dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen Protestan bahwa

perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen. Dalam agama Kristen, perceraian itu

jelas ditolak seperti yang tertulis pada: ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan

Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Markus 10 - 10:9 dan Matius 19 - 19:6).17

Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini

terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam

kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan

suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial

dalam masyarakat saat ini, salah satunya perceraian. Akibat putusnya perkawinan

karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.18

Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk mengurangi

angka perceraian. Undang-Undang perkawinan yang mengatur antara lain soal peran

suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali

setidak-tidaknya didalam penerapannya.

17

Rusdi Malik,Op. Cit., hal. 15

18

(29)

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan

hukum perkawinan dan peraturan lain?

2. Bagaimana alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama

Kristen?

3. Bagaimana akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang

beragama Kristen?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen

berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain.

2. Untuk mengetahui alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang

beragama Kristen.

3. Untuk mengetahui akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba

yang beragama Kristen.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

(30)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perceraian yang terjadi pada Batak Toba

terlebih pada Batak Toba yang beragama Kristen.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature kajian terhadap perkembangan dalam lapangan hukum keperdataan. Sekaligus

menjadi acuan bagi penelitian berikutnya khususnya kajian yang berhubungan dengan

perceraian dalam Batak Toba yang beragama Kristen.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Perceraian adat batak toba ditinjau dari hukum perkawinan,hukum adat batak dan agama Kristen protestan belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun penelitian tentang perceraian pernah dilakukan oleh:

1. Edi Sucipto, Nim 002105006, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program

Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Hadhanah Setelah Terjadi Perceraian Kompilasi Hukum Islam Dan Penerapannya Di Pengadilan Agama Medan

2. Syaifuddin, Nim 002105018, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program

(31)

Talak Sebagai Perjanjian Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam

Kaitannya Sebagai Alasan Perceraian.

3. Yusriana, Nim 047005016, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program

Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Akibat Hukum Perceraian Terhadap

Harta Bersama Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam Dan Pelaksanaannya Pada

Masyarakat (Studi Di Kecamatan Percut Sei Tuan)

4. Yakup Ginting, Nim 002111052, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan,

Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Penerapan Nilai-Nilai Hukum

Yang Hidup Dalam Masyarakat Oleh Hakim Dalam Perkara Perceraian Dari

Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Kasus Di

Pengadilan Negeri Kabanjahe)

5. Lusinda Maranatha Siahaan, Nim 027011037, Mahasiswa Program Studi

Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Pembagian

Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada

Masyarakat Batak Toba Kristen Di Kota Medan)

6. Jonson, Nim 027005015, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca

Sarjana USU, Medan, dengan Judul Dalihan Natolu Sebagai Suatu Lembaga

Hukum Dalam Sistem Kemasyarakatan Adat Batak (Suatu Studi Dalam Upacara

Perkawinan Jujur Adat Batak Toba)

7. Gideon Harunta, Nim 067011036, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan,

(32)

8. Fatma Novida Matondang, Nim 077011021, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Konsep Nusyuz

Suami Dalam Persektif Hukum Perkawinan Islam

9. Fransiska, Nim 087011007, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program

Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Persintuhan Hukum Perkawinan Adat

Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Apabila dihadapkan dengan judul penelitian sebelumnya maka judul yang

diteliti adalah berbeda oleh karenanya tesis ini dapat dipertanggung jawabkan

keasliannnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi19, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.20 Kerangka teori

adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan

19

J.J.J M. Wuisman dengan Penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Penerbit FE -UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

20

(33)

teoritis21bagi peneliti yuridis empiris tentang Perceraian dan Akibat Hukumnya Pada

Masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen Protestan. Kerangka teori bertujuan

menjadi kepastian hukum dari perbandingan yang dilakukan. Dengan demikian

dalam kerangka teori ini memakai teori perbandingan hukum, sebagaimana yang

dikemukakan olehHallmenegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist’.22Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi

yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial.

Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang

sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan

hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan

perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum,

cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum.

Perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Undang-undang tidak membolehkan

perceraian dengan pemufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang

sah.

21

M. Solly Lubis ,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju, Bandung , 1994 , hal. 80.

22

(34)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian cerai adalah pisah, talak,

putus perhubungannya sebagai laki bini, perceraian berarti perpisahan, perihal

bercerai laki bini, perpecahan, perbuatan talak.23

Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa perceraian menurut adat

merupakan peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting

dalam kebanyakan daerah.24

Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Zina (overspel)

b. Ditinggalkan dengan sengaja(kwaadwillige verlating)

c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan sesuatu

kejahatan dan,

d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 KUHPerdata)

Menurut Goode yang mengutip dari Bird dan Melville mengemukakan bahwa

alasan bercerai disebabkan oleh ketidakpuasan dan konflik dengan pasangan dan

kurangnya peran suami dalam rumah tangga.25 Sedangkan Thompson, diacu dalam

Bird dan Melville berpendapat bahwa perceraian bias terjadi dikarenakan oleh peran

serta dalam rumah tangga yang berbasis gender-laki-laki (suami) sebagai pencari

23

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1998.

24

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1983, hal. 143.

25

(35)

nafkah dan perempuan (isteri) merawat anak dan mengurus rumah, kualitas hubungan

seksual, komunikasi pasangan dan perubahan sikap pasangan.26

Menurut Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan apabila 5 (lima) tahun telah lewat waktu dan tidak juga

ada perdamaian kembali antara suami dan isteri, masing-masing pihak dapat meminta

kepada hakim supaya perkawinan diputuskan dengan perceraian.27

Kelahiran UU Perkawinan bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”.

Melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih

menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik.28

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa: ”Perkawinan adalah

ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita suami isteri dengan

26

Ibid.

27

(36)

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”29

Dalam penjelasan UU Perkawinan menegaskan bahwa:

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan

pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.30 Pernyataan tersebut

memberi arti bahwa dalam suatu perkawinan dimana perkawinan bukan hanya merupakan hubungan jasmani dan rohani antara wanita dan pria, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan mempunyai dan membesarkan keturunan mereka.

Didalam hidup bersama orang harus biasa mengindahkan sejumlah besar

peraturan-peraturan. Dari peraturan-peraturan tersebut sebagian besar sama sekali

tidak ada hubungan dengan “hukum”. Misalnya mengenai kebanyakan aturan-aturan

kesopanan dan juga mengenai berbagai kewajiban-kewajiban kepatutan. Hal-hal ini

dapat saja dilanggar tanpa memperoleh hukuman.31

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai

usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut

dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk

29

Penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

30

Sudarsono,Op. Cit, hal. 9.

31

(37)

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.32

Konsepsi juga dapat diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan

termasuk putusnya perkawinan akibat perceraian.33 Oleh karena dalam penelitian ini

harus di defenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan yaitu:

1. Perceraian adalah putusnya hubungan antara suami atau istri yang telah dibina

dalam suatu ikatan yang sah baik itu di dalam acara adat Batak Toba maupun

secara hukum Kristiani, dimana pasangan suami istri sebagai akibat dari

kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian

merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan

memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan

kewajibannya sebagai suami istri.

2. Akibat hukum perceraian adalah dapat dilihat dari orang tua atau anak dan

pembagian harta benda selama perkawinan.

a. Akibat perceraian dari segi orangtua / anak, yaitu:

1) Terhadap orang tua

a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana

32

(38)

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan

memberi keputusannya;

b) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam

kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan

dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri.

2) Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah besar dapat mengikuti

ayahnya dan apabila masih kecil mengikuti ibunya. Apabila anak-anak

sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak

mengikuti ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda

perkawinan harus memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa

akan diserahkan tentang pemeliharaan, dan pendidikan anak.

b. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. Harta

bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan

masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta bawaan

suami atau istri kembali kepada pihak masing-masing, yang membawa harta

benda tersebut ke dalam perkawinan. Mengenai harta bersama, suami atau

(39)

masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Bila perkawinan putus karena

perceraian, harta bersama diatur menurut hukum adat Batak Toba dan hukum

agama Kristen.

3. Masyarakat Suku Batak Toba merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di

Indonesia. Suku Batak berasal dari Pulau Sumatera, yang terbagi dalam enam

suku yaitu suku Batak Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku

Batak Mandailing.

4. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Dengan adanya agama Kristen Protestan yang menolak perceraian itu maka kesempatan masyarakat juga akan semakin sempit dalam melakukan perceraian. Dalam agama Kristen, bahwa sahnya suatu perkawinan harus diberkati di gereja oleh Pendeta. Setiap agama merasa perlu mengajarkan tentang kepercayaan, adat istiadat dan kebaktian agama itu. Dengan penegasan dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen Protestan tersebut bahwa perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

(40)

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.34 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, yaitu penelitian deskripsi analistis, maksudnya penelitian pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik, atau faktor-faktor tertentu.35

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

empiris yaitu penelitian dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan36 yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto bisa juga disebutkan dengan penelitian

Non doctrinal yaitu penelitian yang berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam

masyarakat.37

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Martoba (yang dulunya disebut Desa

Tolping atau Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

34

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1986, hal.43.

35

Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan I, 1997, hal. 35.

36

Ibid, hal. 41.

37

(41)

Untuk melengkapi data tersebut didukung dengan data melalui informan

yaitu: Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Ketua Adat Batak Toba, Pendeta Kristen

Protestan.

3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.1 Populasi

Dalam penelitian ilmiah dibutuhkan populasi dan sampel penelitian.

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah pejabat

Pemerintahan Desa Martoba (Bius Tolping) Kecamatan Simanindo, Kabupaten

Samosir, Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Pengetua Adat Batak di Desa

Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dan Pendeta Agama Kristen

3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Dalam penelitian ini menetapkan sampel, yaitu Bapak J. Silalahi selaku

Kepala Desa Martoba (Bius Tolping) Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir,

K. Limbong Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Amang Jobar Siallangan selaku Pengetua Adat Batak di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten

Samosir dan Pendeta Agama Kristen, yaitu antara lain Pdt. Balosan Rajagukguk,

STh, MS, selaku Pendeta HKBP Resort P. Siantar, Pdt. Asbon Salomon Manurung, STh,

(42)

4. Sumber Data

Sesuai dengan sifat penelitian sumber data terdiri dari:

- Data Primer

Karena bersifat yuridis empiris maka sumber data diambil dari hasil data

wawancara.

- Data Sekunder

Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tertier.

1) Bahan hukum primer

Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini

diantaranya adalah Undang-Undang Perkawinan, Hukum Acara Perdata dan

Hukum Adat Batak Toba.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum dan

seterusnya serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan

perceraian di kalangan Batak Toba yang beragama Kristen.

3) Bahan hukum tertier

Bahan yang bisa memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer seperti ensiklopedi, majalah, artikel-artikel, surat kabar dan

jurnal-jurnal hukum perceraian bagi masyarakat Adat Toba yang beragama

(43)

5. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

2 (dua) cara yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan membaca, mempelajari

dan menganalisa literature/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan

sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data

primer dengan wawancara, dilakukan secara langsung kepada informan, dengan

mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar lebih

mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

6. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan di dalam penelitian ini antara lain:

1) Studi Dokumen dan bahan pustaka

Studi dokumen, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan

kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tertier, yaitu peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen, teori-teori dan laporan-laporan yang bertalian dengan

(44)

2) Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara kepada responden yang telah

ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung yang terlebih dahulu

dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data

yang mendalam dan lengkap serta mempunyai kebenaran yang konkrit baik

secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan. Adapun nara sumber

yang ditentukan adalah:

a. Hakim di Pengadilan Negeri Balige

b. Kepala Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir

c. Pengetua Adat Batak di Desa Martoba

d. Pendeta Agama Kristen

7. Analisa Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu setelah data primer diperoleh dilakukan

pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu

dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan

tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh

karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya,

kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan

(45)

terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban atas

permasalahan yang diteliti. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan

(46)

A. Perkawinan Di Kalangan Masyarakat Batak Toba

Perkawinan merupakan suatu ritual yang dihadapi manusia dalam

kedewasaannya untuk dapat berhubungan dengan lawan jenis untuk waktu yang lama

dilandasi dengan suatu rasa antara kasih kepada orang lain dan disahkan oleh negara.

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya

(laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara sati

dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan

untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan menciptakan suatu

keluarga / rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.38

Perkawinan sangatlah kompleks maksudnya sulitnya menghubungkan dua

orang dengan berbeda sifat dan walak yang dimilikinya dan ikatan perkawinan

tersebut menimbulkan akibat yaitu hubungan lahiriah; spiritual; dan kewajiban

diantara mereka sendiri pribadi dan kemasyarakatan. Ada beberapa definisi

perkawinan baik yang diangkat oleh para ahli hukum; undang-undang; dan keputusan

menteri. Menurut Ali Afandi bahwa pengertian perkawinan adalah persatuan antara

laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.39

38Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina

Aksara, Jakarta, 1987, hal. 1

39 Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab

(47)

Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan

bahwa perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita,

sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.40

Perkawinan merupakan perikatan alat, perikatan kekerabatan, dan perikatan

tetanggaan sehingga terjadinya suatu perikatan perkawinan bukan semata-mata

membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan

kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua,

tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan,

kekerabatan, ketetanggaan; dan menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk

perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di

Indonesia atau perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang

berlaku dalam masyarakat bersangkutan.41

Sahnya perkawinan secara adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia

pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada masyarakat adat yang

bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum

agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat tetapi ada

daerah-daerah tertentu walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut

(48)

masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat

bersangkutan, di antarannya masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu terlebih dahulu

mereka melakukan upacara adat agar bisa masuk dalam lingkungan masyarakat adat

dan diakui menjadi salah satu warga masyarakat adat.

Dengan demikian dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui 3 (tiga)

unsur pokok yang terkandung didalamnya, yaitu:

1. Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita.

2. Perkawinan bertujuan unutk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal.

3. Perkawinan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan

selalu mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau

keibuan-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga/kerabat, untuk mnemperoleh

nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.42Oleh

karena sistim keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan

lain beda sehingga tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat

berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya atau daerah

yang satu dengan daerah yang lain berbeda, dan akibat hukum dan upacara

perkawinannya berbeda-beda.

(49)

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut

perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah

patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki-laki. Menurut hukum adat,

perkawinan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga persekutuan,

martabat, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.43

Perkawinan bagi masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci maksudnya

perpaduan hakekat kehidupan antara laki laki dan perempuan menjadi satu dan bukan

sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.44

Dimana perkawinan dalam masyarakat Batak Toba dipandang suatu alat untuk

mempersatukan dua buah keluarga atau dua buah marga yang berbeda. Demikian juga

dengan pemberian mahar (tuhor) yang dipandang sebagai suatu alat magis atau sakral

yang tidak dapat dipisahkan dari animisme Batal pada awalnya.45 Pemberian mahar ini

adalah merupakan alat magis yang bertujuan untuk melepaskan ikatan seseorang gadis

dari klan ayahnya untuk bergabung dengan klan suaminya dengan maksud agar tidak

terjadi gangguan dalam kesinambungan kosmos.

Untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat sakral dalam perkawinan hanya

dapat dilihat; dirasa dari sikap perilaku; dan budaya rasa perkawinan itu sendiri.

Budaya rasa yang demikian diwarisi secara rohani dari generasi ke generasi yang

menyebabkan perkawinan adat Batak Toba tetap hidup dan dilaksanakan oleh

masyarakat adat Batak Toba termasuk mereka yang tinggal menetap di perantauan.

(50)

Perkawinan pada masyarakat adat Batak Toba adalah tanggungjawab

keseluruhan kerabat kedua belah pihak calon mempelai yang pelaksanaannya sesuai

dengan falsafahDalihan Na Tolu sehingga perkawinan adat Batak Toba mempunyai

aturan yang lengkap mulai dari meminang, pemberian jujur sampai upacara

perkawinan.46

Salah satu ciri khas dari masyarakat adat Batak Toba adalah merantau dan

tetap memegang teguh adat istiadat dimanapun dia berada, karena umumnya

masyarakat Batak Toba mempunyai ikatan lahir dan batin yang sangat kuat terhadap

tanah leluhur. Sebagai akibat kemajuan jaman dan kemajemukan suku bangsa maka

warga Batak yang di perantauan sudah banyak yang melakukan perkawinan dengan

suku lain.

Budaya Batak tidak menjadi penghalang dalam membentuk perkawinan

antara suku di Indonesia, asalkan dalam bentuk sikap perilaku keluarga baru tidak

bertentangan dengan pandangan hidup kekerabatan suku Batak Toba itu sendiri yaitu

Dalihan Na Tolu. Agar perkawinan antarsuku berjalan dengan baik. Oleh karena itu hendaklah pandangan keluarga baru yang bukan suku Batak mampu menghayati

Dalihan Na Tolu.47

Perkawinan dalam adat Batak Toba pada asasnya bertujuan membentuk

rumah tangga yangbahagia dan kekal untuk mendapatkan anak sebagai penerus garis

keturunannya yaitu dari anak laki-laki.

(51)

Iman Sudiyat mengatakan bahwa:

Perkawinan sebagai urusan keluarga dan kelompok. Ketunggalan silsilah inilah yang berfungsi memungkinkan pertumbuhan tertib teratur dari paguyuban hidup kerompok kewangsaan ke dalam generasi-generasi baru, anak-anak yang didalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kebangsaan, seperti: bagian klan, kaum ketunggalan silsilah, kelompok tunggal poyang, dan keluarga.48

Perkawinan juga mempertahankan kehidupan persekutuan setempat/

masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku kesatuan tata susunan rakyat. Pada

umumnya pelaksanaan upacara adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistim

perkawinan adat setempat dalam kaitanya dengan susunan kekerabatan yang

mempertahankan dengan masyarakat Batak Toba dipengaruhi menikah dengan di luar

sukunya.

Dalam pengertian falsafah Dalihan Na Tolu, dimanaDalihan Na Toluartinya tungku yang tiga, yaitu tiga tungku yang terbuat dari batu yang di susun simetris satu sama lain saling menopang periuk atau kuali tempat memasak. Ini merupakan arti yang paling hakiki memberikan pengertian dan makna yang sangat dalam serta dijadikan sebagai pedoman berprilaku dalam segala aspek kehidupan masyarakat adat Batak Toba. Tiga unsur pokok dalam Dalihan Na Tolu yaitusomba marhula hula(hormat pada keluarga ibu); elek marboru (ramah pada saudara perempuan); dan manat mardongan tubu (kompak dalam hubungan semarga). Penerapan falsafah di atas dalam perkawinan adat Batak Toba mutlak.49

Untuk dapat menerapkan prinsip perilaku Dalihan Na Toludalam perkawinan

adat Batak Toba maka yang paling pokok dan penting adalah semua unsurnya harus

lengkap yaitu adaparanak/dongan tubu yakni orang tua laki-laki dan yang semarga

(52)

harus ada boru yaitu keluarga yang semarga dengan marga calon istrinya.50 Kesemuanya itu harus lengkap dan apabila tidak ada yang keluarga kandung dapat

digantikan keluarga yang paling dekat dengan itu sesuai dengan hubungan

kekerabatannya. Dongan tubu dan hula-hula serta boru tersebut diatas mempunyai

kedudukan dan tugas serta tanggung jawab masing-masing dalam pelaksanakan suatu

perkawinan. Misalnya dalam hal pemberianjujur(sinamot/mas kawin) disiapkan dan ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki penyerahannya dilakukan oleh yang

semarga dengan laki-laki dongan tubu, sedangkan yang menerimanya adalah

orangtua perempuan sebagai pihak hula-hura dan kelengkapan untuk proses

pelaksanaanya dikerjakan oleh pihakboru.

Secara garis besarnya tahapan perkawinan adat Batak Toba yang masih tetap

dilaksanakan sampai saat ini, antara lain:

l. Martandang

Pada tahap ini merupakan masa berkenalan / berpacaran biasanya pada saat

pesta naposo yang merupakan ciri khas bergaur muda-mudi adat Batak

Toba. Kemudian diranjutkan memberian janji dengan tanda jadi berupa tukar cincin, dengan demikian mereka resmi bertunangan.

2.Marhata sinamot

Laki-laki dan perempuan memberitahukan hubungannya kepada orangtua

masing-masing. Barulah dilakukan marhusip merupakan kegiatan

penjajakan akan kelanjutan kegiatan tukar cincin di atas. Pada tahap ini pertemuan keluarga dekat kedua pihak terjadi tawar menawar tentang;

tangggal dan hari meminang, bentuk dan berapa besar mahar (sinamot),

hewan adatnya apa, berapa ulos sampai mengenai jumlah undangan. Untuk menindak lanjuti hasil pertemuanmarhusipdi atas kemudian dilakukan lagi

pertemuan marhata sinamot sebagai wujud nyata dan kepastian tentang

kapan pelaksanaan perkawinan adat itu.

(53)

3. Upacara perkawinan

Upacara perkawinan adat Batak Toba dilakukan penuh hikmat karena disertai dengan acara agama yang saling melengkapi. Keterlibatan gereja

yang paling mutlak dalam perkawinan adat ini adalah saat martumpol /

marpadan(akad) dan saatpamasu masuon(peresmian).51

Upacara perkawinan adat Batak Toba dapat dilakukan dalam bentuk:

1. Upacara perkawinan adat nagok, yaitu pelaksanaannya sesuai dengan

prosedur adat yang melibatkan unsur dalihan na tolu yang terdiri dari upacara perkawinandialap jualdan perkawinan ditaruhon jual;

2. Upacara perkawinan bukan adat nagok, yaitu perlaksanaan perkawinan

adat tetapi pelaksanaannya tidak penuh sebagaimana adat yang berlaku. Artinya ada acara tahapan tertentu yang dihilangkan dengan maksud menghindarkan biaya yang besar. Namun perkawinan ini dilakukan tetap dengan pembayaran uang jujur (sinamot/mas kawin) jadi tetap sah dalam perkawinan adat Batak.52

B. Perceraian Dikalangan Masyarakat Batak Toba Beragama Kristen

Batak Toba merupakan salah satu suku berbudaya dan sebagian besar

orang-orang Batak Toba adalah beragama Kristen baik Protestan maupun Katolik. Budaya

Batak Toba lahir dari pikiran nenek moyang suku Batak Toba yang salah satunya

dari budaya tercipta tersebut adalah mengenai adat istiadat atau tata cara perkawinan

dan perceraian.

Perkawinan dikalangan Batak Toba yang masyarakatnya beragama Kristen

dilakukan berdasarkan suatu janji dihadapan Tuhan agar setia menjadi suami istri

sampai maut memisahkannya. Sedangkan adat perkawinan di dalam Batak Toba

berperan sangat banyak dalam mengikat tali perkawinan, hal ini dapat dilihat bahwa

(54)

suku Batak Toba diakui paling setia pada perkawinan yang walaupun ada suami isttri

yang telah diikat dalam perkawinan dan adat perkawinan tetapi salah satu pihak tidak

setia yang pada akhirnya “bercerai”.

Bila dilihat dari pandangan Alkitab mengenai perceraian adalah penting untuk

mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a : “Sebab aku membenci

perceraian, firman Tuhan, Allah Israel”. Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah

pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikian mereka bukan lagi dua,

melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan

manusia” (Matius 19:6).53 Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena

pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam

Perjanjian Lama, Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari

orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa

hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana

Tuhan (Matius 19:8).54

Sebagai akibat dari pengaruh agama terkait perceraian, pemutusan perkawinan

menurut hukum adat hampir selalu terjadi dengan campur-tangan aturan-aturan

keagamaan. Pengertian perceraian menurut agama Kristen merupakan putusnya

hubungan pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah

hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian ada dua pengertian yang

digunakan dalam dua keadaan yang berbeda, yaitu:

53 http://www.gotquestions.org/:Apa itu perceraian & Apa kata Alkitab tentang Perceraian,

This entry was posted on September 1, 2009, 5:11 am

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan skripsi yang berjudul “Makna Sinamot Dalam Penghargaan Keluarga Isteri Pada Sistem Perkawinan Suku Batak Toba (Studi Kasus Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Gereja HKBP

Persepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Dalihan Na Tolu Dalam Pelaksanaan Upacara Perkawinan Batak Toba Di Desa Sibarani Nasampulu Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui asal-usul cerita kesaktian tongkat Tunggal Panaluan pada masyarakat Batak Toba, (2) untuk mengetahui fakta-fakta

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap

Akibat hukum terhadap anak Akibat hukum terhadap anak dalam perkawinan antara masyarakat Batak Toba dengan masyarakat jawa di Kota Pematang Siantar tidak berpengaruh,

Sebelum ajaran agama Kristen muncul pada kebudayaan masyarakat batak toba, musik yang digunakan dalam upacara adat kematian saur matua adalah satu set ensambel Gondang sabangunan

Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan untuk bercerai diantaranya : terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak dikaruniai

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap