• Tidak ada hasil yang ditemukan

SM, yang disebut juga sebagai sindrom X atau sindrom resistensi insulin, merupakan sekelompok faktor risiko serangan jantung yang terdiri atas 5 komponen utama yaitu obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (peningkatan kadar TG dan penurunan kadar HDL), hipertensi dan hiperglikemia. Patogenesis SM masih belum diketahui pasti. Sindrom ini sangat kompleks dan melibatkan banyak faktor.

Karakteristik contoh, salah satunya usia, dapat berhubungan langsung dengan SM. Prevalensi SM akan makin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penuaan akan diikuti oleh penurunan massa otot dan penumpukan lemak terutama di bagian perut. Hal ini akan meningkatkan risiko resistensi insulin yang dianggap sebagai penyebab SM. Divisi pekerjaan mungkin berkaitan dengan SM. Selain itu, lama kerja dihubungkan pula dengan SM. Hal ini terkait dengan lingkungan dan lokasi kerja yang dapat merubah perilaku seseorang yaitu perubahan pola konsumsi dan aktivitas fisik. Besar upah dan tingkat pendidikan juga dapat berpengaruh terhadap SM karena keduanya terkait dengan pemilihan konsumsi pangan yang berhubungan langsung dengan SM. Sementara itu, besar keluarga dan pendapatan per kapita juga memiliki keterkaitan dengan SM. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan sedangkan pendapatan per kapita akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.

Konsumsi pangan menjadi salah satu faktor penentu terjadinya obesitas yang selanjutnya dapat berubah menjadi SM. Kelebihan asupan lemak dan KH akan disimpan di dalam tubuh dalam sel-sel lemak. Jika hal ini terus berlangsung tanpa diimbangi pengeluaran energi yang sesuai akan mengakibatkan terjadinya obesitas yang merupakan salah satu komponen SM. Diet tinggi kalori akan merangsang VLDL di hati sehingga terjadi peningkatan TG dan LDL serta penurunan HDL dalam darah. Selain itu, diet lemak jenuh dan kolesterol akan mengaktifkan reseptor

LDL sehingga meningkatkan kadar LDL dan TG dalam darah. Konsumsi protein khususnya protein hewani yang berlebihan juga tidak baik untuk tubuh. Peningkatan konsumsi protein akan diikuti dengan penurunan kadar HDL yang diduga sebagai akibat dari konsumsi pangan hewani yang menjadi sumber protein, asam lemak jenuh dan kolesterol. Asupan natrium juga dapat berhubungan dengan SM karena asupan natrium dalam jumlah berlebih dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi.

Konsumsi serat pangan juga berpengaruh terhadap SM. Serat dapat menunda pengosongan lambung dan/atau absorpsi usus sehingga menekan rasa lapar. Hal ini dapat menyebabkan penurunan BB sehingga dapat mencegah terjadinya obesitas. Serat juga berperan dalam penurunan kadar glukosa yang meningkat segera setelah makan dan perbaikan resistensi insulin. Serat mencegah absorbpsi TG dan gula di usus halus sehingga mencegah terjadinya hipertrigliseridemia. Efek serat dalam penurunan BB dan perbaikan resistensi insulin ini berkaitan erat dengan pencegahan hipertensi..

Konsumsi bahan pangan spesifik seperti konsumsi serealia, konsumsi daging merah dan daging olahan dalam jumlah berlebih berhubungan dengan SM karena dapat meningkatkan risiko gangguan toleransi glukosa. Konsumsi daging, baik daging merah maupun daging olahan, juga berkaitan dengan peningkatan BB khususnya penumpukan lemak di bagian pinggang (obesitas sentral). Konsumsi pangan hewani lainnya seperti unggas dan telur dapat pula meningkatkan risiko terjadinya SM. Konsumsi seafood dan jeroan yang mengandung lemak tinggi juga dapat berhubungan dengan SM karena asupan lemak yang berlebih akan disimpan dalam sel-sel lemak sehingga meningkatkan risiko obesitas sedangkan ikan asin mengandung natrium yang tinggi yang berpotensi mengakibatkan terjadinya hipertensi. Konsumsi gorengan berhubungan dengan SM karena dapat meningkatkan risiko obesitas sentral dan hipertensi. Sementara itu, konsumsi buah dan sayur, ikan serta susu dan produk olahannya dalam jumlah yang tinggi berhubungan dengan prevalensi SM yang rendah dan merupakan faktor protektif SM. Kandungan kalsium yang tinggi pada susu dapat menjadi faktor protektif terhadap hipertensi, hiperlipidemia dan obesitas. Konsumsi minuman manis mungkin berhubungan dengan SM. Kandungan gula yang tinggi dalam jenis minuman ini berkontribusi terhadap asupan energi. Oleh karena itu, jika sering mengonsumsi jenis minuman tersebut dapat menyebabkan peningkatan BB serta berisiko mengalami diabetes Tipe 2 dan penyakit jantung.

Aktivitas fisik terhadap SM dapat dijelaskan melalui pengaruhnya terhadap komposisi tubuh. Otot-otot rangka merupakan jaringan sensitif insulin di tubuh. Aktivitas fisik meningkatkan sensitivitas insulin otot rangka dan menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan transpor glukosa di sel-sel otot dan memperbaiki mikrosirkulasi perifer.

Merokok berhubungan dengan SM dikarenakan efek merokok pada resistensi insulin. Nikotin akan meningkatkan aktivitas reseptor nicotinic acetylcholine dan memicu peningkatan kadar hormon katekolamin yang meliputi noradrenalin dan adrenalin. Pelepasan adrenalin akan memicu peningkatan detak jantung, tekanan darah dan pernafasan serta kadar glukosa darah. Katekolamin akan menganggu

kerja insulin dan memicu terjadinya ketidaksensitifan insulin. Katekolamin mengganggu jalur yang berkaitan dengan produksi insulin serta aktivitas dan sintesis protein yang mengangkut glukosa menuju sel-sel. Konsumsi nikotin juga memicu peningkatan pemecahan lemak (lipolisis) dan peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam darah. Hal ini diakibatkan oleh aktivasi adrenalin di otak dan reseptor permukaan sel lipolitik di jaringan lemak. Peningkatan kadar asam lemak ini akan mempengaruhi sensitifitas insulin dan sekresi insulin melalui efek langsungnya di hati, pankreas dan otot. Konsumsi rokok dalam jangka waktu lama akan berakibat langsung terhadap distribusi lemak tubuh. Perokok berat akan menderita gangguan fungsi di otak (hipotalamus) yang berkaitan dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Hal ini berperan penting dalam penentuan akumulasi lemak di sekitar organ perut. Selain itu, hal ini menyebabkan seseorang berisiko tinggi mengalami ketidaksensitifan insulin dan gangguan toleransi glukosa.

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko sindrom metabolik Konsumsi pangan:

- Asupan energi dan zat gizi (protein, KH, lemak, asam lemak jenuh dan tak jenuh, kolesterol, natrium) - Serat pangan - Konsumsi pangan spesifik Karakteristik contoh: - Usia - Divisi pekerjaan - Lama kerja - Besar upah - Tingkat pendidikan - Besar keluarga - Pendapatan per kapita Merokok dan ‘konsumsi alkohol Sindrom metabolik: - Obesitas sentral - Hipertrigliseridemia - Penurunan kadar HDL - Tekanan darah tinggi - Hiperglikemia

Herediter

Aktivitas Fisik

Keterangan:

 : hubungan yang diteliti

Konsumsi alkohol juga berhubungan langsung dengan SM. Konsumsi alkohol tingkat berat (≥ 30.0 g/hari) berkaitan dengan peningkatan risiko hipertensi, kadar TG yang tinggi, hiperglikemia dan obesitas sentral. Namun, mekanisme yang mendasari hubungan ini masih belum jelas.

Faktor herediter (keturunan) berhubungan pula dengan SM. Individu dengan riwayat ibu penderita diabetes berisiko lebih tinggi menderita obesitas sentral, dislipidemia dan hiperglikemia yang merupakan komponen SM ini.

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di PT Citra Abadi Sejati, Kedung Halang, Kota Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Efikasi Suplementasi Vitamin D, Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum 25(OH)D dan SM Pekerja Garmen Wanita Usia Subur”. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga November 2013.

Teknik Penarikan Contoh

Contoh dipilih secara acak dari populasi pekerja wanita yang bekerja di pabrik garmen di Bogor dengan kriteria inklusi sebagai berikut: 1) berusia 25-49 tahun, 2) tidak sedang hamil atau menyusui; 3) tidak menopause; dan 4) bersedia menandatangani formulir persetujuan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian.

Penentuan jumlah contoh minimal pada penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut (Sujarweni 2012):

� = �2

2 � 1 − � �2 dimana

n = jumlah contoh minimal yang diperlukan α = derajat kepercayaan

p = proporsi SM pada wanita=20.0% (Dwipayana et al 2011) 1-p = proporsi wanita yang tidak menderita SM = 80%

d = limit dari error atau presisi absolut = 10%

Dari rumus tersebut didapatkan n (jumlah contoh) sebesar 61.46 ~ 62 orang. Pada saat penelitian, terdapat tiga contoh yang drop-out (DO). Satu contoh DO karena tidak memenuhi kriteria inklusi yaitu tidak menopause dan dua orang DO karena tidak dapat mengikuti pengambilan sampel darah pada pengambilan data hari kedua dikarenakan kewajiban kerja yang tidak dapat ditinggalkan sehingga contoh akhir yang dapat dianalisis berjumlah 59 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder (Tabel 3). Data primer mencakup karakteristik contoh, asupan energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, asam lemak tak jenuh, asam lemak jenuh, kolesterol dan natrium), kecukupan serat, frekuensi konsumsi pangan spesifik, status gizi (IMT, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang pinggul/RLPP), data aktivitas fisik, riwayat penyakit tidak menular (PTM) orang tua, tekanan darah, dan sampel darah. Sementara itu, data sekunder berupa divisi pekerjaan didapatkan dari daftar pekerja yang menjadi contoh penelitian yang diberikan oleh pihak perusahaan.

Pengumpulan data karakteristik serta riwayat penyakit keluarga contoh diperoleh dari kuesioner. Data asupan energi, KH, protein, lemak, lemak jenuh, lemak tak jenuh, kolesterol, natrium dan serat dikumpulkan dengan recall 2x24 jam sedangkan frekuensi konsumsi pangan dikumpulkan melalui semi-quantitativefood frequency questionnaire (kuesioner frekuensi makan semi-kuantitatif). Data aktivitas fisik contoh, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.

Data status gizi dikumpulkan dengan pengukuran BB, tinggi badan (TB) dan lingkar pinggang. BB contoh diukur dengan menggunakan timbangan digital. Contoh diukur dalam posisi berdiri dan berpakaian seminimal mungkin tanpa isi kantong maupun alas kaki. Pengukuran TB dilakukan dengan menggunakan

microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. Microtoise digantungkan pada dinding yang rata dengan ketinggian 2 meter dari dasar lantai. Contoh berdiri tegak tanpa alas kaki dan tutup kepala, pandangan lurus ke depan dengan tumit, bokong, punggung, dan kepala bagian belakang menempel pada dinding. Microtoise kemudian diturunkan hingga menyentuh kepala. Lingkar pinggang diukur dengan menggunakan pita pengukur dengan ketelitian 0.1 cm. Pengukuran dilakukan dengan posisi berdiri nyaman dengan BB tersebar merata dan jarak antara kedua kaki 25-30 cm. Pita ditarik secukupnya agar tidak menekan jaringan lunak dengan posisi pita berada di antara ujung bawah tulang rusuk dan puncak tulang iliac

(panggul).

TD diukur dengan alat pengukur TD digital merk OMRON sedangkan pengumpulan sampel darah dilakukan oleh paramedis. Contoh sebelumnya diminta untuk berpuasa selama 12 jam sebelum dilakukan pengambilan darah. Sampel darah selanjutnya dikirimkan ke laboratorium terakreditasi untuk dilakukan analisa kadar trigliserida (TG), high density lipoprotein (HDL) dan glukosa darah puasa (GDP).

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, penyusunan file, pemasukan data, pengeditan, penyusunan variabel, pengombinasian dan pemisahan file. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan program komputer Microsoft Excel 2013 dan Statistical Programme for Social Science (SPSS) versi 16.

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data

No. Variabel Jenis data Cara pengumpulan data

1. Karakteristik contoh  Divisi pekerjaan

 Lama kerja

 Besar upah

 Usia

 Tingkat pendidikan

 Besar keluarga

 Pendapatan per kapita

Wawancara menggunakan kuesioner

2. Status gizi  Berat badan

 Tinggi badan

 Lingkar pinggang

Pemeriksaan fisik

3. Kebiasaan merokok  Jumlah konsumsi rokok

per hari  Lama merokok Wawancara menggunakan kuesioner 4. Kebiasaan minum alkohol  Jumlah konsumsi

alkohol per minggu dan jenis alkohol

Wawancara menggunakan kuesioner

5. Konsumsi pangan  Tingkat kecukupan

energi dan zat gizi (protein, lemak total, lemak jenuh, lemak tak jenuh, kolesterol dan natrium)

 Kecukupan serat

 Frekuensi konsumsi

pangan spesifik

Metode recall 2x24 jam

dan Food Frequency

Questionnaire

6. Aktivitas fisik  Jenis dan lama kegiatan Kuesioner aktivitas fisik

7. Herediter  Riwayat penyakit orang

tua

Wawancara menggunakan kuesioner

8. Tekanan darah  Sistolik dan diastolik Pengukuran tekanan darah

dengan alat pengukur

tekanan darah digital

9. Biokimia darah  Kadar glukosa darah

puasa

 Kadar trigliserida

 Kadar kolesterol high

density lipoprotein

Subyek dipuasakan selama

minimal 12 jam.

Pengambilan darah pada

vena mediana cubiti

dilakukan oleh tenaga

profesional dan sampel darah tersebut diperiksa pada laboratorium yang telah terakreditasi.

Pengolahan Data Karakteristik Contoh

Data karakteristik contoh yang dikumpulkan meliputi divisi pekerjaan, lama kerja, besar upah, usia, tingkat pendidikan, besar keluarga dan pendapatan per kapita (Tabel 4). Divisi pekerjaan dikelompokkan menjadi produksi dan administrasi, lama kerja dikategorikan menjadi kurang dari 10 tahun dan lebih dari atau sama dengan 10 tahun (Sudarminingsih 2007) dan besar upah dikategorikan menjadi tinggi (≥ Upah Minimum Regional/UMR) dan rendah (< UMR). Usia

dikategorikan menjadi lebih kecil dari 40 tahun dan lebih besar dari atau sama dengan 40 tahun. Pengkategorian usia ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa SM lebih banyak terjadi pada inidividu yang berusia lebih dari 40 tahun (Schultz and Edington 2009). Tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi tinggi (> Sekolah Menengah Atas/SMA) dan rendah (≤ SMA) berdasarkan hasil penelitian Carnethon et al. (2010) yang menyatakan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah (≤ SMA) berisiko 1.82 kali (untuk wanita kulit hitam hitam) dan 1.63 kali (untuk wanita kulit putih) lebih tinggi untuk mengalami SM. Besar keluarga di kelompokkan menjadi tiga, yaitu kecil (≤ 4 orang); sedang (5 – 6 orang); dan besar (≥ 7 orang) (Hurlock 1998). Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari pembagian pendapatan total seluruh anggota keluarga selama sebulan dengan jumlah total anggota keluarga tersebut. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi 5 kuintil untuk analisis deksriptif. Untuk keperluan analisis hubungan, maka besar keluarga dikategorikan menjadi kecil (≤ 4 orang) dan besar (> 4 orang) sedangkan pendapatan per kapita dikategorikan menjadi tinggi (kuintil 3-5) dan rendah (kuintil 1-2).

Tabel 4 Pengkategorian karakteristik contoh

Variabel Kategori Sumber pustaka

Divisi pekerjaan  Produksi

 Administrasi

Lama kerja  < 10 tahun

 ≥ 10 tahun Sudarminingsih (2007)

Besar upah  Tinggi (≥ UMR)

 Rendah (< UMR)

Usia  < 40 tahun

 ≥ 40 tahun Schultz and Edington (2009)

Tingkat pendidikan  Tinggi (> SMA)

 Rendah (≤ SMA) Carnethon et al. (2010)

Besar keluarga  Kecil (≤ 4 orang)

 Besar (> 4 orang)

Modifikasi Hurlock (1998)

Pendapatan per kapita  Tinggi (kuintil 3-5)

 Rendah (kuintil 1-2)

Pengolahan Data Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol

Kebiasaan merokok dinilai dengan menanyakan jumlah rokok yang dihisap per hari dan lama merokok. Jumlah rokok yang dihisap per hari dikategorikan menjadi sedikit (< 20 batang) dan banyak (≥ 20 batang). Pengkategorian ini didasarkan pada penelitian Chiolero et al. (2007) yang menunjukkan bahwa wanita yang tergolong perokok berat (≥ 20 batang sehari) berisiko 1.7 kali lebih tinggi untuk mengalami obesitas. Lama merokok dikategorikan menjadi kurang dari 5 tahun dan lebih dari atau sama dengan 5 tahun. Kebiasaan mengonsumsi alkohol dinilai dengan menanyakan jumlah konsumsi dan jenis alkohol yang dikonsumsi dan dikategorikan berdasarkan penelitian Jin et al. (2011) yang menyatakan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol jenis anggur dalam kategori tinggi (≥ 30 g/hari) berisiko 1.54 kali lebih tinggi untuk menderita hipertensi (95% CI: 1.21-1.98).

Tabel 5 Pengkategorian kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol

Variabel Kategori Sumber pustaka

Kebiasaan merokok  Bukan perokok

 Mantan perokok

 Perokok

Jumlah rokok yang dihisap per hari  Sedikit (< 20 batang)

 Banyak (≥ 20 batang) Chiolero (2007) et al.

Lama merokok  < 5 tahun

 ≥ 5 tahun

Kebiasaan konsumsi alkohol  Ya

 Tidak

Jumlah alkohol yang dikonsumsi  Konsumsi tingkat ringan

(< 30 g/hari)

 Konsumsi tingkat tinggi

(≥ 30 g/hari)

Jin et al. (2011)

Jenis minuman alkohol yang dikonsumsi

 Bir

 Anggur

Jin et al. (2011)

Pengolahan Data Konsumsi Pangan

Data jumlah pangan yang dikonsumsi yang didapatkan dengan metode recall

dikonversikan ke dalam satuan energi (Kkal), KH (g), protein (g), lemak total (g), lemak jenuh (g), lemak tak jenuh (g), kolesterol (mg), natrium (mg) dan serat (g) dengan menggunakan tabel komposisi pangan Indonesia (TKPI) 2010 dan daftar komposisi bahan makanan (DKBM) Singapura serta DKBM United States Department of Agricultural (USDA). Untuk makanan kemasan, kandungan zat gizi didapatkan dengan melihat label kemasan. Kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi dihitung menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) dimana

KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi Bj = Berat bahan makanan j (g)

Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapt dimakan

Untuk menghitung kecukupan energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok usia) digunakan rumus sebagai berikut:

AKG = (Ba/Bs) x AKGi dimana:

AKG = Angka kecukupan energi atau protein Ba = berat badan aktual sehat (kg)

Bs = berat badan rata-rata yang tercantum dalam AKG

AKGi = Angka kecukupan energi atau protein yang tercantum dalam AKG Rumus di atas hanya diberlakukan pada contoh dengan status gizi normal sedangkan untuk contoh dengan status gizi kurus dan obese digunakan rumus sebagai berikut:

BBideal = IMT x TB2 dimana:

BBideal = BB ideal untuk orang yang kurus/obese (kg) IMT = indeks massa tubuh (kg/m2)

TB = TB aktual (m2)

IMT yang digunakan pada rumus tersebut adalah sebagai berikut: untuk status gizi kurus (<18.5 kg/m2) digunakan IMT 18.5 kg/m2 sedangkan untuk yang obese

digunakan IMT 24.9 kg/m2.

Perhitungan tingkat kecukupan energi (TKE) atau tingkat kecukupan protein (TKP) dilakukan dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dikonsumsi oleh pekerja wanita selama 2x24 jam dengan Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014 dalam persen. Tingkat kecukupan energi atau protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

TKGi = (Ki/AKG) x 100% dimana

TKGi = TKE atau TKP (%)

Ki = Asupan energi atau protein per hari (gram)

AKG = Angka kecukupan energi atau protein tiap individu

Selain dinilai melalui TKP, asupan protein contoh juga dikategorikan berdasarkan distribusi protein terhadap total energi. Asupan KH, lemak, lemak jenuh dan lemak tak jenuh juga dikategorikan berdasarkan distribusi masing- masing zat gizi tersebut terhadap total energi yang dihitung melalui tahapan berikut: 1. Mengonversikan asupan protein, KH, lemak, lemak jenuh dan lemak tak jenuh dalam satuan gram menjadi kilo kalori dengan cara mengalikan asupan protein atau KH dengan 4 dan mengalikan asupan lemak, lemak jenuh atau lemak tak jenuh masing-masing dengan 9.

2. Menghitung distribusi energi dari masing-masing zat gizi tersebut dengan rumus berikut:

% E dari zat gizi i = (asupan zat gizi i/AKEind) x 100% dimana

% E dari zat gizi i = persen energi dari zat gizi (%)

Asupan zat gizi i = asupan zat gizi i per individu per hari (Kkal) AKEind = angka kecukupan energi per individu (Kkal)

Pengkategorian data asupan energi, zat gizi dan serat pangan disajikan pada Tabel 6. Data TKE dan TKP dikategorikan menjadi cukup (< 90% AKG) dan lebih (≥ 90% AKG). Asupan protein, KH, dan lemak dikategorikan berdasarkan anjuran proporsi energi dari masing-masing zat gizi tersebut untuk wanita usia 29-49 tahun pada AKG 2014 (Hardinsyah et al. 2014, Soekatri dan Kartono 2014). Asupan natrium dikategorikan berdasarkan anjuran asupan zat gizi tersebut pada AKG 2014 berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur (Soekatri dan Kartono 2014). Asupan lemak jenuh, kolesterol dan serat dikategorikan berdasarkan anjuran

Perkumpulan Endokrin Indonesia (Perkeni) untuk pengaturan makan bagi penderita diabetes Tipe 2 (Perkeni 2011). Asupan lemak tak jenuh dikategorikan berdasarkan anjuran American Heart Association untuk pencegahan penyakit jantung (AHA 2009). Perbedaan dasar pengkategorian ini disebabkan oleh tidak adanya penetapan anjuran asupan protein, KH, lemak dan natrium untuk tiap jenis kelamin dan tiap kelompok umur oleh Perkeni sehingga digunakan AKG 2014. Selain itu, Perkeni hanya menetapkan anjuran asupan lemak tak jenuh tunggal sehingga pengkategorian asupan zat gizi ini memakai panduan AHA yang memberikan penetapan anjuran asupan lemak tak jenuh total.

Data konsumsi pangan spesifik didapatkan melalui metode kuesioner frekuensi makan semi-kuantitatif. Jenis pangan spesifik pada kuesioner tersebut ditetapkan berdasarkan hasil review dan penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara pangan tersebut terhadap SM maupun komponen-komponen SM (Orea et al. 2003, Baxter et al. 2006, Lutsey et al. 2008, Malik et al. 2010). Konsumsi pangan spesifik dikategorikan menjadi sering dan tidak sering berdasarkan frekuensi konsumsi tiap pangan tersebut per minggu (Tabel 6).

Tabel 6 Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, serat pangan dan konsumsi pangan spesifik

Variabel Kategori Sumber pustaka

Tingkat kecukupan energi  Cukup (< 90% AKG)

 Lebih (≥ 90% AKG)

Tingkat kecukupan protein  Cukup (< 90% AKG)

 Lebih (≥ 90% AKG)

Asupan protein  Cukup (≤ 15% AKE)

 Lebih (> 15% AKE)

Hardinsyah et al. (2014)

Asupan karbohidrat  Cukup

 Lebih (> 55% AKE untuk usia 29 tahun dan > 60% AKE untuk usia 30-49 tahun)

Hardinsyah et al. (2014)

Asupan lemak  Cukup (≤ 25% AKE)

 Lebih (> 25% AKE)

Hardinsyah et al. (2014)

Asupan lemak jenuh  Cukup (≤ 7% AKE)

 Lebih (> 7% AKE)

Perkeni (2011)

Asupan lemak tak jenuh  Cukup (≤ 20% AKE)

 Lebih (> 20% AKE)

AHA (2009)

Asupan kolesterol  Cukup (< 200 mg/hari)

 Lebih (≥ 200 mg/hari)

Perkeni (2011)

Asupan serat  Cukup (≥ 25 g)

 Kurang (< 25 g)

Perkeni (2011)

Asupan natrium  Cukup (≤ 1500 mg)

 Lebih (> 1500 mg)

Soekatri dan Kartono (2014)

Frekuensi konsumsi pangan  Tidak sering (< 5 kali

seminggu)

 Sering (≥ 5 kali seminggu)

Pengolahan Data Status Gizi

Data status gizi diperoleh dengan mengukur BB, TB, lingkar pinggang dan lingkar pinggul. Selanjutnya, dilakukan penghitungan IMT dan pengkategorian

berdasarkan cut-off untuk populasi Asia yang ditentukan oleh WHO, International Association for The Study of Obesity (IASO) dan International Obesity Task Force

(IOTF) pada tahun 2000 (Tabel 7). Lingkar pinggang digunakan untuk menentukan apakah seseorang mengalami obesitas sentral atau tidak. Contoh dikatakan mengalami obesitas sentral jika memiliki lingkar pinggang lebih dari atau sama dengan 80 cm atau IMT lebih dari 30 kg/m2 (IDF 2006). Selanjutnya, dilakukan penghitungan rasio lingkar pinggang pinggul dengan cara membagi nilai lingkar pinggang (cm) dengan lingkar pinggung (cm). Contoh dikatakan berisiko mengalami PTM jika memiliki rasio lingkar pinggang pinggul (RLPP) lebih dari 0.8 (WHO 2011).

Tabel 7 Penggolongan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang pinggul

Indikator status gizi Kategori status gizi Sumber pustaka

Indeks massa tubuh (kg/m2)  Kurus (< 18.5)  Normal (18.5-22.9)  Berisiko (23.0-24.9)  Obesitas I (25.0-29.9)  Obesitas II (≥ 30)

WHO, IASO, IOTF (2000)

Lingkar pinggang (cm)  Tidak obesitas sentral (< 80 cm)

 Obesitas sentral (≥ 80 cm)

IDF (2006) Rasio lingkar pinggang

pinggul

 Tidak berisiko (≤ 0.8)

 Berisiko (0.8)

WHO (2011)

Pengolahan Data Aktivitas Fisik

Data aktivitas fisik dikumpulkan dengan menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Hasil analisis data IPAQ dapat menyajikan tidak hanya tingkat aktivitas total tetapi juga tingkat aktivitas setiap domain (pekerjaan, transportasi, pekerjaan rumah dan waktu santai) sehingga metode ini dipilih untuk digunakan. Pengukuran volume aktivitas dilakukan dengan mengukur tiap aktivitas berdasarkan kebutuhan energi yang disebut sebagai Metabolic Equivalent (MET) sehingga didapatkan skor MET-menit. MET merupakan perkalian dari angka metabolik basal sedangkan MET-menit didapatkan dari perkalian skor MET aktivitas dengan waktu (dalam menit) yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut (IPAQCG 2005).

Dokumen terkait