• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejadian Sindrom Metabolik

Pekerja wanita yang menjadi contoh dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu tidak mengalami SM dan mengalami SM. Pengkategorian ini didasarkan pada kriteria yang disepakati oleh IDF dan AHA/NHLBI (2009) dimana seseorang didiagnosa menderita SM jika memiliki 3 dari 5 komponen berikut yaitu obesitas sentral (lingkar pinggang ≥ 80 cm), kadar TG tinggi (≥ 150 mg/dl), kadar HDL rendah (< 50 mg/dl), hipertensi (TD sistolik ≥ 130 atau diastolik ≥ 85 mmHg, dan hiperglikemia (kadar GDP ≥ 100 mg/dl). Sebanyak 18.6% pekerja menderita SM (Tabel 9). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian terkait SM sebelumnya di Indonesia yakni berkisar antara 18-22% (Kamso 2007, Anita 2009, Dwipayana et al. 2011).

Tabel 9 memperlihatkan bahwa kadar kolesterol HDL yang rendah, obesitas sentral dan hipertensi merupakan komponen SM yang banyak ditemui pada pekerja wanita. Sebanyak 40.7% pekerja mengalami obesitas sentral. Hasil ini lebih rendah dari angka nasional untuk wanita usia ≥ 15 tahun (42,1%) tetapi lebih tinggi dari prevalensi untuk wilayah Jawa Barat yakni 26.4% (Kemenkes 2013). Hal ini perlu mendapat perhatian karena peningkatan prevalensi obesitas sentral cenderung diikuti dengan peningkatan prevalensi SM (Cameron et al. 2004, Dwipayana et al. 2011). Obesitas juga berperan dalam terjadinya hipertensi, kadar HDL yang rendah dan hiperglikemia (IDF 2006). Sebanyak 42.4% pekerja memiliki kadar kolesterol HDL yang rendah. Hasil ini lebih tinggi daripada prevalensi nasional untuk wanita usia 15 tahun ke atas yaitu 27.8% (Kemenkes 2013). Sementara itu, prevalensi hipertensi pada pekerja wanita yakni 33.9% masih berada dalam kisaran angka

nasional untuk penduduk usia 25-54 tahun (14.7-35.6%). Akan tetapi, prevalensi ini lebih tinggi daripada angka nasional untuk wanita yaitu 28.8% (Kemenkes 2013). Prevalensi ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya di Bali dengan rata-rata usia subyek 44.1 ± 14.4 tahun yaitu sebesar 32.7% pada wanita (Dwipayana et al. 2011).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kejadian indikator sindrom metabolik

Indikator sindrom metabolik Jumlah contoh (n) Persen (%)

Sindrom metabolik - Tidak 48 81.4 - Ya (lingkar pinggang ≥ 80 cm) 11 18.6 Obesitas sentral - Tidak 35 59.3 - Ya 24 40.7 Kadar trigliserida - Normal 50 84.7 - Tinggi (≥ 150 mg/dl) 9 15.3 Kadar kolesterol HDL - Normal 34 57.6 - Rendah (< 50 mg/dl) 25 42.4 Tekanan darah - Normal 39 66.1 - Hipertensi (TD sistolik ≥ 130 mmHg atau TD diastolik ≥ 85 mmHg) 20 33.9

Glukosa darah puasa

- Normal 56 94.9

- Hiperglikemia (≥ 100 mg/dl) 3 5.1

Hasil analisis deskriptif yang dilakukan hanya pada penderita SM (Tabel 10) menunjukkan bahwa komponen SM yang paling sering dijumpai yaitu obesitas sentral (100%), hipertensi (90.9%), kadar TG yang tinggi (54.5%) dan kadar kolesterol HDL yang rendah (72.7%). Hasil ini serupa dengan hasil penelitian di Jakarta dimana komponen SM yang paling sering terjadi pada wanita penderita SM yaitu obesitas sentral dan hipertensi dengan prevalensi masing-masing komponen yaitu sebesar 84.1% diikuti oleh kadar TG yang tinggi (66.1%) (Soewondo et al. 2010). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian SM lainnya di Depok pada PNS berusia 40-60 tahun yang menyatakan bahwa sebanyak 89.7% penderita SM memiliki kadar HDL yang rendah dan 84.6% mengalami hipertrigliseridemia (Anita 2009). Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan perbedaan dalam contoh penelitian. Penelitian Anita (2009) dilakukan pada pekerja pria dan wanita sedangkan penelitian ini dilakukan hanya pada pekerja wanita.

Tabel 10 Sebaran penderita sindrom metabolik berdasarkan komponen sindrom metabolik

Indikator sindrom metabolik Jumlah contoh (n) Persen (%)

Obesitas sentral - Tidak 0 0.0 - Ya (lingkar pinggang ≥ 80 cm) 11 100.0 Kadar trigliserida - Normal 5 45.5 - Tinggi (≥ 150 mg/dl) 6 54.5 Kadar kolesterol HDL - Normal 3 27.3 - Rendah (< 50 mg/dl) 8 72.7 Tekanan darah - Normal 1 9.1

- Hipertensi (TD sistolik ≥ 130 mmHg atau

TD diastolik ≥ 85 mmHg) 10 90.9

Glukosa darah puasa

- Normal 9 81.8

- Hiperglikemia (≥ 100 mg/dl) 2 18.2

Karakteristik Contoh

Pada penelitian ini, contoh merupakan pekerja wanita di pabrik garmen yang berasal dari berbagai divisi pekerjaan (Gambar 2). Proporsi terbesar contoh (23.7%) bekerja di bagian sewing (SW), diikuti oleh 18.6% di bagian quality control (QC) dan 11.9% di bagian sample. Dalam proporsi yang lebih sedikit (< 7%), contoh bekerja di bagian cutting, accounting, industrial engineering (IE), purchasing,

shipping, finishing, human resources and consulting (HRC), cutting press, lectra

dan pajak. Divisi pekerjaan yang berbeda ini dapat mempengaruhi besar beban kerja yang diterima oleh pekerja.

Gambar 2 Sebaran contoh berdasarkan divisi pekerjaan 23.7 18.6 11.9 6.8 6.8 6.8 5.1 5.1 3.4 3.4 3.4 1.7 1.7 1.7 0 5 10 15 20 25 P er senta se Divisi Pekerjaan

Pada umumnya, contoh pada penelitian ini telah bekerja relatif lama (≥ 10 tahun) di pabrik yakni 88.1% (Tabel 11). Namun, masa kerja yang lama ini belum menjadi jaminan mereka akan mendapat gaji sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Berdasarkan UMR Kota Bogor (Rp 2 352 350,), diketahui bahwa sebagian dari contoh (52.5%) masih menerima gaji di bawah UMR. Masalah ini perlu menjadi perhatian karena pendapatan menjadi salah satu faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Pendapatan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik (Madanijah 2004). Sebagian besar pekerja (72.9%) berada dalam kategori usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun dan hanya 18.6% yang berpendidikan tinggi.

Menurut Hurlock (1998), besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang) dan besar (≥ 7 orang). Tabel 11 memperlihatkan bahwa pada umumnya pekerja memiliki keluarga yang kecil. Jumlah anggota keluarga yang kecil menjadi pilihan bagi sebagian besar pekerja dikarenakan kehidupan ekonomi yang semakin berat. Besar keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga pekerja dan pengeluaran untuk konsumsi pangan (Martianto dan Ariani 2004).

Tabel 11 Sebaran berdasarkan karakteristik contoh

Karakteristik contoh Jumlah contoh (n) Persen (%)

Lama kerja - < 10 tahun 7 11.9 - ≥ 10 tahun 52 88.1 Besar upah - ≥ UMR 28 47.5 - < UMR 31 52.5 Usia - < 40 tahun 16 27.1 - ≥ 40 tahun 43 72.9 Tingkat pendidikan - Tinggi (> SMA) 11 18.6 - Rendah (≤ SMA) 48 81.4 Besar keluarga - Kecil (≤ 4 org) 51 86.4 - Sedang (5-6 org) 7 11.9 - Besar (≥ 7 org) 1 1.7

Pendapatan per kapita (Rp/kapita/bulan)

- Kuintil 1 (Rp 667 000 ± Rp 150 957) 11 18.6

- Kuintil 2 (Rp 967 000 ± Rp 71 275) 12 20.3

- Kuintil 3 (Rp 1 380 000 ± Rp 208 879) 12 20.3

- Kuintil 4 (Rp 2 110 000 ± 323 907) 12 20.3

Pendapatan per kapita (Rp/kapita/bulan) merupakan total pendapatan dari seluruh anggota keluarga dibagi dengan besar keluarga. Pendapatan per kapita menyebar merata yaitu kuintil 1 (Rp 342 857 - Rp 852 000) sebanyak 18.6% dan kuintil 2 (> Rp 852 000 - Rp 1 110 000), kuintil 3 (> Rp 1 100 000 - Rp 1 707 000), kuintil 4 (> Rp 1 707 000 - Rp 2 550 000) dan kuintil 5 (> Rp 2 550 000) masing- masing sebesar 20.3%. Oleh karena itu, contoh termasuk kategori tingkat pendapatan tinggi (kuintil 3 sampai kuintil 5).

Tabel 12 memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara divisi pekerjaan dengan SM. Akan tetapi, prevalensi SM lebih tinggi pada pekerja yang bekerja di bagian administrasi (21.1%) daripada yang bekerja di bagian produksi (17.5%). Selain itu, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan SM. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut, yaitu pekerja yang bekerja selama lebih dari atau sama dengan 10 tahun berisiko 3.2 kali lebih tinggi mengalami SM dibandingkan dengan pekerja dengan lama kerja kurang dari 10 tahun (Sudarminingsih 2007). Meskipun demikian, prevalensi SM lebih tinggi (19.2%) pada pekerja yang telah bekerja relatif lama di pabrik (≥ 10 tahun) daripada pekerja dengan masa kerja kurang dari 10 tahun (14.3%). Hal ini mungkin disebabkan oleh lingkungan dan lokasi kerja yang dapat merubah perilaku seseorang ke arah yang negatif. Jam kerja pabrik per hari, dari pagi hingga menjelang malam, mungkin menjadi penyebab pola makan yang tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik pada pekerja.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan SM (p > 0.05). Namun, kejadian SM lebih banyak terjadi pada pekerja dengan besar upah yang tinggi (30.8%). Upah yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk dapat memilih dan mengonsumsi pangan yang berkualitas karena selain upah, pemilihan pangan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat menerima informasi, khususnya yang terkait gizi dan kesehatan, dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari (Atmarita dan Fallah 2004). Hal ini terlihat pada Tabel 12 dimana prevalensi SM pada pekerja dengan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi (18.8%) daripada pekerja dengan tingkat pendidikan yang tinggi (18.2%).

Hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara SM dengan usia tetapi SM lebih banyak terjadi pada pekerja dengan kelompok usia 40 tahun ke atas (23.3%). Makin tua usia maka makin banyak faktor risiko penyakit jantung koroner dan makin besar pula kemungkinan untuk mengalami resistensi insulin yang diduga merupakan penyebab SM.

Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan SM (p < 0.05). Hasil analisis menunjukkan bahwa OR untuk variabel ini adalah sebesar 6.286 yang berarti bahwa pekerja yang memiliki keluarga besar berisiko 6.286 kali lebih tinggi untuk menderita SM. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh besar keluarga terhadap pengeluaran untuk pangan. Semakin besar keluarga maka semakin besar pula pengeluaran untuk pangan sehingga hal ini akan berdampak pada kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara pendapatan per kapita dengan SM. Akan tetapi, prevalensi SM lebih tinggi pada kelompok pekerja dengan pendapatan rendah (26.1%) yaitu pekerja dengan pendapatan yang tergolong dalam kuintil 1 hingga 2 (Rp 823 000 ± Rp 190 630) daripada pekerja dengan pendapatan tinggi (13.9%) yang termasuk dalam kuintil 3 hingga 5 (Rp 2 480 000 ± Rp 1 445 664).

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara karakteristik contoh dengan sindrom metabolik

Karakteristik contoh Sindrom metabolik OR (95% CI) pa

Tidak Ya n % n % Divisi pekerjaan - Produksi 33 82.5 7 17.5 1.257 0.743 - Administrasi 15 78.9 4 21.1 (0.319 -4.956) Lama kerja - < 10 tahun 6 85.7 1 14.3 1.429 0.752 - ≥ 10 tahun 42 80.8 10 19.2 (0.154 – 13.239) Besar upah

- Tinggi (≥ 2 kali UMR) 9 69.2 4 30.8 0.404 0.204

- Rendah (< 2 kali UMR) 39 84.8 7 15.2 (0.097 – 1.681)

Usia - < 40 tahun 15 93.8 1 6.2 4.545 0.136 - ≥ 40 tahun 33 76.7 10 23.3 (0.532 – 38.801) Tingkat pendidikan - Tinggi (> SMA) 9 81.8 2 18.2 1.038 0.985 - Rendah (≤ SMA) 39 81.2 9 18.8 (0.191 – 5.656) Besar keluarga - Kecil (≤ 4 orang) 44 86.3 7 13.7 6.286 0.014 - Besar (> 4 orang) 4 50.0 4 50.0 (1.270-31.102)

Pendapatan per kapita (Rp/kapita/bulan)

- Tinggi (kuintil 3-5) 31 86.1 5 13.9 2.188 0.241

- Rendah (kuintil 1-2) 17 73.9 6 26.1 (0.581-8.241)

auji chi-square, signifikan jika p<0.05

Status Gizi

Status gizi contoh pada penelitian ini dinilai dengan melakukan pengukuran antropometri yang terdiri dari pengukuran BB, TB, lingkar pinggang dan pinggul. Selanjutnya, dilakukan penghitungan dan pengkategorian IMT, lingkar pinggang dan RLPP. Tabel 13 menyajikan sebaran contoh berdasarkan indikator status gizi. IMT rata-rata contoh penelitian adalah 26.11 kg/m2 yang berarti bahwa sebagian besar contoh termasuk dalam kategori obesitas I untuk penduduk Asia (WHO, IASO and IOTF 2000). Berdasarkan IMT, sebanyak 1.7% tergolong kurus, 16.9% tergolong normal, 12% berisiko, 61.1% mengalami obesitas (49.2% obesitas I dan 11.9% obesitas II). Prevalensi obesitas pada penelitian ini lebih tinggi daripada hasil Riskesdas tahun 2013 untuk wanita usia 25-49 tahun yang berkisar

antara 15.7-27.6% (Kemenkes 2013). Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan

cut-off yang berbeda.

Lingkar pinggang merupakan dasar penentuan obesitas sentral yang menjadi salah satu komponen SM (Dwipayana et al. 2011, IDF 2006). Rata-rata lingkar pinggang contoh adalah 79.09 cm yang menunjukkan bahwa sebagian besar contoh tergolong dalam status gizi normal. Sementara itu, prevalensi obesitas sentral (lingkar pinggang ≥ 80 cm) yaitu sebesar 40.7%. Hal ini perlu menjadi perhatian karena prevalensi SM akan meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas sentral.

Rata-rata RLPP pada penelitian ini yaitu sebesar 0.82 dengan 71.2% contoh memiliki rasio kurang dari 0.8. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja wanita di pabrik garmen berisiko mengalami gangguan metabolik. Asumsi ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara RLPP dengan gangguan metabolik seperti penyakit jantung koroner, diabetes dan hipertensi (WHO 2011, Tanchoco et al. 2003).

Hasil uji Pearson (Lampiran 1) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara IMT dengan lingkar pinggang (p < 0.01, r = 0.888), lingkar pinggul (p < 0.01, r = 0.878) dan RLPP (p < 0.01, r = 0.526). Nilai IMT berbanding lurus dengan lingkar pinggang, lingkar pinggul dan nilai RLPP. Semakin tinggi nilai IMT maka semakin besar pula lingkar pinggang, lingkar pinggul dan RLPP seseorang. Oleh karena itu, jika contoh tergolong obese berdasarkan hasil pengukuran IMT maka tidak perlu lagi dilakukan pengukuran lingkar pinggang untuk menentukan apakah contoh mengalami obesitas sentral maupun pengukuran RLPP untuk mengetahui apakah contoh berisiko menderita PTM. Hasil ini sesuai dengan anjuran IDF yaitu pengukuran lingkar pinggang tidak perlu dilakukan jika IMT melebihi 30 kg/m2 karena diasumsikan bahwa individu tersebut mengalami obesitas sentral (IDF 2006).

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan status gizi

Indikator status gizi Rata-rata ±

simpangan baku

Jumlah contoh (n) Persen

(%) IMT (kg/m2) 26.11 ± 4.12 - Kurus (< 18.5) 1 1.7 - Normal (18.5-22.9) 10 16.9 - Berisiko (23.0-24.9) 12 20.3 - Obesitas I (25.0-29.9) 29 49.2 - Obesitas II (≥ 30) 7 11.9 Lingkar pinggang 79.09 ± 8.68 - < 80 cm 35 59.3 - ≥ 80 cm 24 40.7

Rasio lingkar pinggang pinggul 0.82 ± 0.04

- Tidak berisiko (≤ 0.80) 17 28.8

Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol

Kebiasaan merokok pekerja wanita dibagi dalam tiga kategori yaitu bukan perokok, mantan perokok dan perokok. Tabel 14 memperlihatkan bahwa hanya 1.7% contoh yang termasuk dalam kategori perokok, tidak jauh berbeda dari prevalensi nasional untuk kategori perokok wanita usia 10 tahun ke atas yakni sebesar 1.1% (Kemenkes 2013). Contoh yang termasuk dalam kategori ini telah merokok selama 7 tahun dan biasa merokok sebanyak 15 batang per harinya. Sementara itu, diketahui bahwa semua contoh penelitian tidak memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol. Angka ini lebih kecil dari prevalensi nasional untuk wanita usia 10 tahun ke atas yang berkisar antara 0.4-0.7% (Depkes 2008). Rendahnya prevalensi kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol pada pekerja wanita ini mungkin disebabkan oleh kesan masyarakat yang buruk terhadap wanita dengan kebiasaan tersebut. Seluruh contoh penelitian tidak memiliki kebiasaan konsumsi alkohol sehingga tidak dilakukan analisis bivariat antara variabel ini dengan kejadian SM.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol

Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol Jumlah contoh (n) Persen (%)

Status merokok

- Bukan perokok 57 96.6

- Mantan perokok 1 1.7

- Perokok 1 1.7

Kebiasaan konsumsi alkohol

- Tidak 59 100

- Ya 0 0

Dari Tabel 15, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan SM. Hasil ini sama dengan hasil yang didapatkan pada penelitian sebelumnya di Indonesia (Anita 2009). Namun, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Korea Selatan juga menunjukkan bahwa wanita yang termasuk dalam kategori perokok berisiko 1.6 kali lebih tinggi untuk mengalami sindrom ini (Park et al. 2004). di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko SM. Perokok berisiko lebih tinggi untuk menderita SM (OR=1.4, 95% CI: 1.1-1.7), mengalami obesitas sentral (OR=1.9, 95% CI: 1.2-2.1), memiliki kadar kolesterol HDL yang lebih rendah (OR=1.5, 95% CI: 1.3-1.8), kadar TG yang tinggi (OR=1.4, 95% CI: 1.2-1.7). Akan tetapi, hal ini hubungan yang signifikan antara merokok dan SM hanya ditemukan pada pria, tidak pada wanita (Berlin et al. 2012). Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya disebabkan oleh tingginya proporsi contoh yang tidak merokok dimana seluruh contoh yang menderita SM tidak memiliki kebiasaan merokok. Tingginya proporsi ini mungkin dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa praktik merokok di kalangan wanita bertentangan dengan budaya (Barraclough 1999).

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan sindrom metabolik

Kebiasaan merokok Sindrom metabolik OR (95% CI) pa

Tidak Ya

n % n %

Status merokok

- Bukan perokok 47 81.0 11 19.0 - 0.629

- Perokok 1 100.0 0 0.0

auji chi-square, signifikan jika p<0.05

Konsumsi Pangan Kecukupan Energi, Zat Gizi dan Serat

Kecukupan energi dan protein dinilai melalui tingkat kecukupan yang dikategorikan menjadi cukup (< 90% AKG) dan lebih (≥ 90% AKG). Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 16 dimana sebagian besar pekerja (91.5%) termasuk dalam kategori cukup untuk tingkat kecukupan energi (TKE) dengan rata-rata TKE sebesar 60.88%±21.26%. Hasil perhitungan tingkat kecukupan protein (TKP) juga menunjukkan hasil serupa yakni sebesar 66.1% contoh termasuk dalam kategori cukup dengan rata-rata TKP sebesar 82.90%±45.14%.

Asupan protein rata-rata pekerja wanita, yang ditampilkan dalam bentuk proporsi energi dari protein, adalah sebesar 8.79%. Nilai rata-rata ini lebih rendah daripada angka nasional untuk wanita (13.7%). Asupan lemak dan KH juga menunjukkan hasil serupa yakni lebih rendah daripada angka nasional (Depkes 2011). Proporsi contoh yang berada dalam kategori cukup untuk asupan protein (89.8%) lebih tinggi daripada contoh yang berada dalam kategori cukup untuk TKP (66.1%). Perbedaan ini disebabkan oleh metode perhitungan yang berbeda. Asupan protein merupakan proporsi energi dari protein yang didapat melalui perbandingan antara asupan protein (g) dengan angka kecukupan energi (AKE) per individu sedangkan TKP merupakan persentase perbandingan antara asupan protein (g) dengan angka kecukupan protein (AKP) per individu.

Sebagian besar contoh mengonsumsi lemak tak jenuh dan kolesterol masih dalam batas yang dianjurkan. Namun, sebanyak 49.2% contoh termasuk dalam kategori lebih untuk konsumsi lemak jenuh. Hal ini perlu menjadi perhatian karena konsumsi lemak jenuh dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan gangguan metabolik yaitu peningkatan kadar kolesterol LDL dan TG (Sargowo dan Andarini 2011).

Asupan natrium sebagian besar contoh (74.6%) masih berada dalam batas normal sesuai dengan rekomendasi kecukupan natrium untuk wanita usia 19-49 tahun pada AKG. Akan tetapi, seluruh contoh berada dalam kategori kurang untuk asupan serat. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Anita (2009) dimana sebanyak 91.5% pekerja usia 40-60 tahun berada dalam kategori kurang untuk asupan serat.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan serat Tingkat kecukupan energi,

zat gizi dan serat

Rata-rata ± simpangan baku Jumlah contoh (n) Persen (%)

Tingkat kecukupan energi (%) 60.88 ± 21.26

- Cukup 54 91.5

- Lebih (≥ 90% AKG) 5 8.5

Tingkat kecukupan protein (%) 82.90 ± 45.14

- Cukup 39 66.1 - Lebih (≥ 90% AKG) 20 33.9 Asupan protein (%) 8.79 ± 4.79 - Cukup 53 89.8 - Lebih (> 15% AKE) 6 10.2 Asupan lemak (%) 17.96 ± 9.28 - Cukup 45 76.3 - Lebih (> 25% AKE) 14 23.7 Asupan karbohidrat (%) 37.96 ± 16.89 - Cukup 50 84.7

- Lebih (> 55% AKE untuk usia 29

tahun dan > 60% AKE untuk usia 30-49 tahun)

9 15.3

Asupan lemak jenuh (%) 7.49 ± 3.69

- Cukup 30 50.8

- Lebih (> 7% AKE) 29 49.2

Asupan lemak tak jenuh (%) 8.96 ± 4.15

- Cukup 58 98.3 - Lebih (> 20% AKE) 1 1.7 Asupan kolesterol (mg) 181.60 ± 118.52 - Cukup 37 62.7 - Lebih (≥ 200 mg/hari) 22 37.3 Asupan natrium (mg) 1174.20 ± 2789.92 - Cukup 44 74.6 - Lebih (< 1500 mg/hari) 15 25.4 Asupan serat (g) 6.91 ± 3.46 - Cukup 0 0.0 - Kurang (> 25 g/hari) 59 100.0

Tabel 17 menyajikan hasil uji bivariat antara kecukupan energi dan zat gizi dengan SM. TKE tidak berhubungan signifikan dengan SM tetapi prevalensi SM lebih tinggi pada contoh dengan TKE lebih (20%) daripada contoh dengan TKE cukup (18.5%). Hasil yang didapatkan ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya di Indonesia yang menunjukkan bahwa meskipun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut tetapi asupan total energi dari penderita SM lebih tinggi daripada yang tidak menderita SM. Asupan energi yang berlebih dapat merangsang VLDL di hati sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar TG dan LDL dalam darah serta penurunan kadar HDL (Marliyati et al. 2008).

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara TKP dan asupan protein dengan SM. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian SM yang dilakukan di Depok

pada pekerja berusia 40-60 tahun (Anita 2009). Namun, hasil ini berbeda dengan temuan studi lainnya di Indonesia yang dilakukan pada kelompok usia lanjut di Denpasar (Dewi 2009) yang menyatakan bahwa asupan protein yang berlebih merupakan salah satu faktor risiko terjadinya SM. Asupan protein berlebih berhubungan dengan penurunan kadar HDL yang termasuk dalam salah satu komponen SM (Marliyati et al. 2008). Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya mungkin disebabkan oleh tidak adanya perbedaan asupan protein antara contoh yang menderita SM dengan yang tidak menderita SM. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan oleh masih rendahnya asupan protein penduduk Indonesia (Hardinsyah et al. 2012).

Tidak terdapat hubungan antara asupan KH dengan SM. Hasil ini berbeda dengan temuan Sargowo dan Andarini (2011) yang menyatakan bahwa asupan KH dari penderita SM lebih tinggi daripada yang bukan penderita. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di negara lain dimana wanita dengan asupan KH yang tinggi (≥ 48% AKE) berisiko lebih tinggi mengalami SM (Carnethon et al. 2004). Akan tetapi, hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian di Indonesia lainnya (Anita 2009) dan penelitian di negara lain (Park et al. 2003). Meskipun pada penelitian Park et al. (2003) ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara asupan KH tinggi (≥ 48% AKE) dengan SM tetapi hubungan signifikan hanya ditemukan pada pria, tidak pada wanita karena wanita cenderung mengonsumsi KH dalam kategori sedang. Kecenderungan tersebut juga dijumpai pada penelitian ini.

Uji bivariat antara asupan lemak dengan SM menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya di Indonesia (Sargowo dan Andarini 2011) maupun penelitian di negara lain (Sonnenberg et al. 2005, Millen et al. 2006) yang menunjukkan bahwa asupan lemak yang berlebih merupakan salah satu faktor risiko SM. Meskipun demikian prevalensi SM lebih tinggi pada contoh dengan asupan lemak berlebih (21.4%) daripada contoh dengan dengan asupan lemak yang cukup (17.8%). Asupan lemak yang berlebih dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin di otot dan jaringan lemak. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan metabolisme glukosa di dalam tubuh. Jika hal ini terus berlanjut maka akan terjadi resistensi insulin yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya SM. Selain itu, asupan lemak yang berlebih juga dapat menyebabkan terjadinya obesitas sentral yang termasuk dalam salah satu komponen SM (Freire et al. 2005).

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan lemak jenuh dan tak jenuh dengan SM. Temuan ini berbeda dengan hasil studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa seseorang dengan asupan lemak jenuh dan tak jenuh yang berlebih berisiko 3 kali lebih tinggi menderita SM (Sonnenberg et al. 2005, Millen

et al. 2006). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya perbedaan pola konsumsi sumber lemak jenuh dan tak jenuh pada penderita SM dengan yang tidak menderita SM.

Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara asupan kolesterol dengan SM. Hasil ini berbeda dengan temuan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa asupan kolesterol yang tinggi (≥ 300 mg) dapat meningkatkan kadar LDL

dan TG yang termasuk dalam komponen SM (Sargowo dan Andarini 2011). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya perbedaan pola konsumsi sumber kolesterol pada seluruh contoh penelitian dan perbedaan cut off yang digunakan dalam pengkategorian asupan kolesterol.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara tingkat kecukupan energi, zat gizi dan serat dengan sindrom metabolik

Tingkat kecukupan energi, zat gizi dan serat

Sindrom metabolik OR (95% CI) pa

Tidak Ya

n % n %

Tingkat kecukupan energi (%)

- Cukup 44 81.5 10 18.5 1.100 0.935

- Lebih (≥ 90% AKG) 4 80.0 1 20.0 (0.111-10.392) Tingkat kecukupan protein (%)

- Cukup 31 79.5 8 20.5 0.684 0.607 - Lebih (≥ 90% AKG) 17 85.0 3 15.0 (0.160-2.923) Asupan protein (%) - Cukup 43 81.1 10 18.9 0.860 0.896 - Lebih (> 15% AKE) 5 83.3 1 16.7 (0.090-8.197) Asupan karbohidrat (%) - Cukup 40 80.0 10 20.0 0.500 0.528

- Lebih (> 55% AKE untuk

usia 29 tahun dan > 60% AKE untuk usia 30-49 tahun)

8 88.9 1 11.1 (0.056-4.473)

Asupan lemak (%)

- Cukup 37 82.2 8 17.8 1.261 0.759

- Lebih (> 25% AKE) 11 78.6 3 21.4 (0.285-5.585)

Asupan lemak jenuh (%)

- Cukup 24 80.0 6 20.0 0.833 0.786

- Lebih (> 7% AKE) 24 82.8 5 17.2 (0.224-3.103)

Asupan lemak tak jenuh (%)

- Cukup 47 81.0 11 19.0 - 0.629 - Lebih (> 20% AKE) 1 100.0 0 0.0 Asupan kolesterol (mg) - Cukup 28 75.7 9 24.3 0.311 0.146 - Lebih (≥ 200 mg) 20 90.9 2 9.1 (0.061-1.598) Asupan natrium (mg) - Cukup 36 81.8 8 18.2 1.125 0.876 - Lebih (>1500 mg/hari) 12 80.0 3 20.0 (0.256-4.937) Asupan serat (g) - Cukup - - - - - Kurang (> 25 g/hari) 48 81.4 11 18.6

auji chi-square, signifikan jika p<0.05

Uji bivariat antara asupan natrium dengan SM menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa asupan natrium dari penderita SM secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak menderita SM (Rhee et al. 2014). Perbedaan hasil ini dengan hasil penelitian sebelumnya mungkin disebabkan oleh perbedaan penggunaan metode dalam penentuan asupan natrium. Pada penelitian ini, digunakan metode recall 2x24 jam sedangkan asupan natrium pada penelitian sebelumnya diperkirakan melalui natrium yang diekskresikan melalui urin. Meskipun demikian, prevalensi SM pada penelitian ini terlihat lebih tinggi pada

Dokumen terkait