• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK

PADA PEKERJA WANITA

SITI AISYAH SOLECHAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Siti Aisyah Solechah

(4)

RINGKASAN

SITI AISYAH SOLECHAH. Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan LILIK KUSTIYAH

Hasil Survei Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase pekerja wanita yaitu 46.68% pada tahun 2009 menjadi 48.44% pada tahun 2011. Sebagian besar pekerja tersebut merupakan buruh industri. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi obesitas pada pekerja industri yakni 26.6% (2007) menjadi 29.1% (2012). Peningkatan prevalensi obesitas seringkali diikuti dengan peningkatan prevalensi sindrom metabolik (SM). Patogenesis sindrom ini sangat kompleks karena melibatkan banyak faktor. Berbagai penelitian telah dilakukan di Indonesia terkait sindrom ini dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tetapi penelitian mengenai faktor-faktor-faktor-faktor risikonya, khususnya pada pekerja wanita, masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi kejadian SM; 2) mengidentifikasi karakteristik pekerja; 3) menganalisis status gizi; 4) menganalisis kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada pekerja wanita; 5) menganalisis konsumsi pangan; 6) menganalisis tingkat aktvitas; 7) menganalisis faktor herediter; 8) menganalisis faktor risiko SM.

Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dari Briawan et al. (2013) “Efikasi Suplementasi Vitamin D, Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum 25(OH)D dan Sindrom Metabolik Pekerja Garmen Wanita Usia Subur”. Penelitian dilakukan di PT Citra Abadi Sejati, Kedung Halang, Kota Bogor, Jawa Barat yang dilakukan pada Juni-November 2013.

Prevalensi SM pada pekerja wanita yaitu sebesar 18.6%. Komponen SM yang paling sering ditemukan pada pekerja adalah kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) di bawah normal (42.4%), obesitas sentral (40.7%) dan hipertensi (33.9%). Seluruh penderita SM mengalami obesitas sentral dan lebih dari separuhnya (90.9%) menderita hipertensi, kadar trigliserida (TG) yang tinggi (54.5%) dan kadar kolesterol HDL yang rendah (72.7%).

Kebanyakan pekerja wanita bekerja di bagian sewing (23.7%), quality control

(18.6%) dan di bagian sample (11.9%). Sebagian besar pekerja (88.1%) telah bekerja lama di pabrik (≥ 10 tahun) tetapi masih banyak dari mereka (52.5%) yang masih menerima upah di bawah Upah Minimum Regional. Sebanyak 72.9% pekerja berusia lebih dari atau sama dengan 40 tahun dan sebanyak 81.4% yang berpendidikan rendah. Pada umumnya, pekerja memiliki keluarga kecil (86.4%) dengan pendapatan per kapita yang menyebar merata pada 5 kuintil. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa karakteristik contoh yang berhubungan dengan SM adalah besar keluarga (p<0.05).

Sebanyak lebih dari 50% pekerja termasuk dalam kategori obese (61.1%). Namun, lingkar pinggang sebagian besar pekerja (59.3%) tergolong normal yaitu kurang dari 80 cm. Namun, sebanyak 71.2% pekerja memiliki rasio lingkar pinggang-pinggul di atas 0.80.

(5)

itu, tidak terdapat hubungan antara kecukupan energi dan zat gizi (protein, karbohidrat, lemak, lemak jenuh, lemak tak jenuh, kolesterol dan natrium) dengan SM. Akan tetapi terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi pangan spesifik, yaitu ikan asin terhadap SM.

Sebagian besar pekerja memiliki tingkat aktivitas total sedang (39%) dan tinggi (49.2%). Sebanyak 74.6% pekerja berada pada kategori tingkat aktivitas sedang untuk aktivitas fisik yang berhubungan dengan pekerjaan. Selain itu, sebagian besar pekerja memiliki tingkat aktivitas fisik yang tergolong rendah untuk aktivitas yang berhubungan dengan transportasi (94.9%), pekerjaan rumah (94.9%) dan aktivitas di waktu santai (98.3%). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik dengan SM dan tidak terdapat perbedaan nilai aktivitas fisik antara penderita SM dengan yang tidak menderita SM. Selain itu, tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit tidak menular (PTM) orang tua dengan SM serta riwayat PTM ayah dan ibu (diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, kegemukan dan strok) dengan SM.

Faktor risiko SM pada pekerja wanita adalah besar keluarga (OR = 10.25, 95% CI: 1.827-57.514). Hal ini berarti bahwa pekerja dengan keluarga besar (> 4 orang) berisiko 10.25 kali lebih tinggi untuk mengalami SM daripada pekerja dengan keluarga yang kecil (≤ 4 orang).

(6)

SUMMARY

SITI AISYAH SOLECHAH. Metabolic Syndrome Risk Factors on Female Workers. Supervised by DODIK BRIAWAN and LILIK KUSTIYAH

Survey from Statistics Indonesia showed that there was an increase on the percentage of female workers in Indonesia (from 46.68% in 2009 to 48.44% in 2011). Most of the them were industrial labors. Studies in Indonesia showed that there was an increase on obesity prevalence among industrial workers (from 26.6% in 2007 to 29.1% in 2012). An increase on obesity prevalence often results an increase on metabolic syndrome (MetS) prevalence. This syndrome had a complex pathogenesis because there were many factors involved. Many studies about MetS and its associated factors had been done in Indonesia but study about its risk factors, especially on female workers, is still rare. Therefore, this study was aimed to: 1) identify prevalence of Mets; 2) identify characteristics of female workers; 3) analyze nutritional status; 4) analyze smoking habit and alcohol consumption; 5) analyze food consumption; 6) analyze physical activity level; 7) analyze parental history of non-communicable disease; 8) analyze risk factors of MetS among female workers.

This study was designed as a cross-sectional. This study was part of the research entitled “The efficacy of Vitamin D, Calsium and Milk Supplementation to Serum 25(OH)D and Metabolic Syndrome Improvement on Childbearing Age Female Textile Workers”. This study was done in PT Citra Abadi Sejati, Kedung Halang, Bogor City, West Java and conducted in June-November 2013.

MetS prevalence among female workers was 18.6%. MetS component which was often discovered on female workers is low serum level of HDL cholesterol (42.4%), central obesity (40.7%) and hypertension (33.9%). All MetS sufferer had central obesity and half of them had hypertension (90.9%), high triglyceride (TG) level (54.5%) and low HDL cholesterol (72.7%).

Most of female workers in this study worked in sewing (23.7%), quality control (18.6%) and sample division (11.9%). Most of them (88.1%) had worked for long time (≥ 10 years) in the factory but there were still many of them got below national standard wage. There were 72.9% workers who fell in more than and equal to 40 years age category and 81.4% had low education. In general, most of them had small family size with household income which was spread evenly in all five quintiles. Chi-square test shows that the only workers’ characteristic that had significant association with MetS was family size (p<0.05).

More than 50% workers were defined as obese (61.1%). Most of them (59.3%) had normal waist circumference. There were 71.2% who had waist-hip ratio more than 0.80.

(7)

fat, unsaturated fat, cholesterol and natrium) adequacy level with MetS but there was significant association between specific food consumption, which was salted fish, with MetS.

Most of female workers had moderate total physical activity level (39%) and high total phyical activity level (49.2%). Most of them were in moderate physical activity level category for work related physical activiy (74.6%) and in low phyical activity level category for transportation (94.9%), household (94.9%) and leisure time related physical activity (98.3%). There was no significant association between total physical activity level with MetS and there were no significant differences physical activity values between female workers who suffered from MetS and those who didn’t. In addition, there were no significant association between parental non -communicable disease (NCD) history with MetS. There were no significant association between father and maternal NCD (diabetes, hypertension, hypercholesterolemia, heart disease, overweight and stroke) with MetS.

Risk factor of MetS among female workers was a family size (OR = 10.25, 95% CI: 1.827-57.514). This implied that workers who had big family size (> 4 persons) had 10.25 higher risk of suffering MetS than those who had small family size (≤ 4 persons).

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

FAKTOR-FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK

PADA PEKERJA WANITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita Nama : Siti Aisyah Solechah

NIM : I151114071

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Ketua

Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah sindrom metabolik dengan judul Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN dan Ibu Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan serta saran sejak awal penyusunan proposal penelitian hingga akhir penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Rimbawan selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang membantu dalam penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti proyek penelitian yang berjudul “Efikasi Suplementasi Vitamin D, Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum 25(OH)D dan Sindrom Metabolik Pekerja Garmen Wanita Usia Subur”.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Catur Dwi SP, Rian Diana SP dan teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat 2012 yang telah memberikan motivasi dan membantu penulis dalam pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan motivasi sehingga menjadi pendorong semangat untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Masalah Kesehatan pada Pekerja Wanita 4

Sindrom Metabolik 4

Kriteria Sindrom Metabolik 5

Patogenesis Sindrom Metabolik 6

Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik 8

Sindrom Metabolik dan Produktivitas Kerja 13

KERANGKA PEMIKIRAN 13

METODE 16

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 16

Teknik Penarikan Contoh 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 17

Pengolahan dan Analisis Data 17

Pengolahan Data Karakteristik Contoh 18

Pengolahan Data Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol 19

Pengolahan Data Konsumsi Pangan 20

Pengolahan Data Status Gizi 22

Pengolahan Data Aktivitas Fisik 23

Pengkategorian Riwayat Penyakit Tidak Menular Orang Tua 25

Penentuan Contoh yang Menderita Sindrom Metabolik 26

Analisis Data 26

Definisi Operasional 28

HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Kejadian Sindrom Metabolik 29

Karakteristik Contoh 31

Status Gizi 34

Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol 36

Konsumsi Pangan 37

Kecukupan Energi, Zat Gizi dan Serat 37

(14)

Aktivitas Fisik 44

Riwayat Penyakit Tidak Menular Orangtua 49

Faktor Risiko Sindrom Metabolik Pekerja Wanita 51

SIMPULAN DAN SARAN 54

Simpulan 54

Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 61

(15)

DAFTAR TABEL

1 Kriteria sindrom metabolik WHO, EGIR dan NCEP-ATP III 6

2 Ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis 7

3 Jenis dan cara pengumpulan data 18

4 Pengkategorian karakteristik contoh 19

5 Pengkategorian kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol 20 6 Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, serat pangan dan

konsumsi pangan spesifik 22

7 Penggolongan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar

pinggang dan rasio lingkar pinggang pinggul 23

8 Pengkategorian tingkat aktivitas fisik dan riwayat penyakit tidak

menular orang tua 26

9 Sebaran contoh berdasarkan kejadian indikator sindrom metabolik 30 10 Sebaran penderita sindrom metabolik berdasarkan komponen sindrom

metabolik 31

11 Sebaran berdasarkan karakteristik contoh 32

12 Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara karakteristik contoh

dengan sindrom metabolik 34

13 Sebaran contoh berdasarkan status gizi 35

14 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol 36 15 Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara kebiasaan merokok

dengan sindrom metabolik 37

16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan serat 38 17 Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara tingkat kecukupan energi,

zat gizi dan serat dengan sindrom metabolik 40

18 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi pangan spesifik 43

19 Sebaran contoh berdasarkan hubungan tingkat aktivitas fisik dengan

sindrom metabolik 46

20 Hasil uji normalitas data aktivitas fisik 47

21 Perbedaan nilai rata-rata aktivitas fisik total dan pekerjaan rumah 47 22 Perbedaan aktivitas kerja, transportasi dan aktivitas di waktu santai 48 23 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit tidak menular orangtua 49 24 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit tidak menular ayah 50 25 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit tidak menular ibu 51

26 Faktor risiko sindrom metabolik pada pekerja wanita 52

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko sindrom metabolik 15

2 Sebaran contoh berdasarkan divisi pekerjaan 31

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Pearson antara indeks massa tubuh, lingkar pinggang, lingkar pinggul

dan rasio lingkar pinggang pinggul 61

(17)
(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan. Salah satu SDM utama saat ini adalah pekerja wanita yang persentasenya terus meningkat setiap tahun yang pada tahun 2009 sebesar 46.68% menjadi 48.44% pada tahun 2011 (BPS 2011). Mereka bekerja hampir di semua sektor (Kemenkes 2012) dan sebagian besarnya bekerja di sektor usaha nonpertanian (BAPPENAS 2010). Peningkatan ini tidak hanya memberikan hasil positif yaitu meningkatnya tenaga produktif tetapi juga menjadi sebuah tantangan dalam upaya peningkatan kualitas pekerja terutama dalam bidang kesehatan. Penelitian sebelumnya terhadap pekerja wanita di pabrik garmen menunjukkan bahwa sebanyak 26.6% pekerja mengalami obesitas (Nuraieni 2007). Penelitian lainnya di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 29.1% buruh mengalami

overweight dan obesitas (Erliyani 2012). Prevalensi obese yang meningkat cenderung diikuti dengan meningkatnya prevalensi sindrom metabolik (SM) (Cameron et al. 2004, Dwipayana et al. 2011). Masalah ini perlu menjadi perhatian karena peran fisiologis wanita seperti melahirkan dan adanya keterkaitan antara kesehatan ibu dengan kesehatan anak yang nanti akan dikandungnya (Ramos and Olden 2008, Siega-Riz 2012).

SM merupakan sekelompok faktor risiko penyakit jantung yang terdiri atas obesitas sentral, peningkatan kadar trigliserida (TG) dan glukosa darah puasa (GDP), penurunan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan hipertensi. Sebanyak 20%-25% dari populasi dewasa di dunia diperkirakan menderita SM dan berisiko 2 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian akibat serangan jantung atau strok dan 3 kali lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung atau strok dibandingkan dengan yang tidak menderita SM. Penderita SM juga berisiko 5 kali lebih tinggi untuk mengalami diabetes Tipe 2. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah penderita diabetes yang merupakan salah satu penyakit kronik yang paling umum terjadi di dunia dan penyebab ke-4 atau ke-5 kematian di negara maju. Selain itu, hiperglikemia dan perubahan kadar lipid darah (peningkatan kadar TG dan penurunan kadar HDL) meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Semakin banyak komponen SM yang ada pada diri seseorang maka semakin tinggi pula kematian akibat penyakit kardiovaskular (IDF 2006). Penderita SM juga dilaporkan mengalami keluhan artritis, radang paru dan sakit kronis (Schultz and Edington 2009).

Penelitian terkait SM di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya tergolong tinggi. Prevalensi SM pada kelompok lanjut usia di Jakarta yaitu sebesar 18.2% pada wanita dan 6.6% pada pria (Kamso 2007). Pada penelitian terhadap pegawai negeri sipil (PNS) berusia 40-60 tahun di Kota Depok didapatkan prevalensi sebesar 21.5% pada wanita (Anita 2009). Penelitian Dwipayana et al. (2011) pada subyek dengan rata-rata usia 44.1±14.4 tahun diperoleh prevalensi SM sebesar 20% pada wanita dan 16.6% pada pria.

(20)

konsumsi pangan dan tingkat sosial ekonomi. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi SM pada populasi penduduk dewasa meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi meningkat dari 6.7% pada kelompok usia 20-29 tahun menjadi 43.5% pada kelompok usia 60-69 tahun (Ford 2002). Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian di Bali yakni prevalensi SM akan terus meningkat dari usia 19 tahun (5.5%) dan mencapai puncaknya pada usia 60-69 tahun (26.0%) (Dwipayana et al. 2011). Pada penelitian lain ditemukan adanya keterkaitan antara faktor herediter dengan kejadian SM pada wanita usia subur (WUS). Wanita yang memiliki ibu penderita diabetes berisiko 1.96 kali lebih tinggi untuk mengalami SM (Ramos and Olden 2008). Gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya aktivitas fisik (Park et al. 2003, Orho-Melander 2006, Kamso 2007) serta faktor konsumsi pangan seperti asupan karbohidrat (Park et al. 2003, Dewi 2009, Sargowo dan Andarini 2011), protein (Dewi 2009), lemak (Dewi 2009, Sargowo dan Andarini 2011) dan energi yang tinggi (Sargowo dan Andarini 2011) juga berpengaruh pada peningkatan risiko SM. Sementara itu, dari hasil review Galisteo et al. (2008) diketahui bahwa konsumsi serat dalam jumlah cukup dapat menurunkan risiko SM karena terbukti mengurangi peningkatan berat badan (BB), dislipidemia dan hipertensi serta memperbaiki sensitivitas insulin. Selain itu, wanita dengan tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita yang rendah berisiko lebih tinggi untuk menderita SM (Park et al. 2003, Carnethon et al. 2004).

SM tidak hanya berdampak negatif pada bidang kesehatan tetapi juga pada bidang ekonomi. Studi yang dilakukan terhadap 3789 penduduk lanjut usia untuk mengukur total biaya berobat selama 10 tahun menunjukkan bahwa total biaya pada penderita SM 20% lebih tinggi (Curtis et al. 2007). Penelitian pada pekerja pabrik di Amerika Serikat juga menunjukkan hasil serupa dimana total biaya perawatan kesehatan dan biaya pembelian obat per tahun penderita SM lebih tinggi daripada pekerja yang tidak menderita sindrom tersebut (Schultz and Edington 2009). SM tidak hanya meningkatkan pengeluaran biaya kesehatan tetapi juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja karena penderita SM memiliki total hari absen yang lebih tinggi (Burton et al. 2008).

Berdasarkan hasil uraian di atas, maka perlu dilakukan pengidentifikasian individu yang mengalami SM agar intervensi gaya hidup maupun perawatan dapat dilakukan sedini mungkin (IDF 2006). Penelitian mengenai SM telah banyak dilakukan di Indonesia tetapi penelitian yang berfokus pada pekerja wanita masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko SM pada pekerja wanita di Kota Bogor.

Rumusan Masalah

(21)

Laporan Riskesdas (2008) menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran penyebab kematian pada semua umur, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (PTM) dimana penyebab kematian utama untuk penduduk usia 5 tahun ke atas adalah strok. Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan strok adalah SM yang prevalensinya di Indonesia mulai meningkat.

Berbagai penelitian telah dilakukan di Indonesia terkait SM dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tetapi penelitian mengenai faktor-faktor risikonya, khususnya pada pekerja wanita, masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini yaitu apa saja faktor-faktor risiko SM pada pekerja wanita.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko SM pada pekerja wanita.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kejadian SM.

2. Mengidentifikasi karakteristik pekerja wanita (divisi pekerjaan, lama kerja, besar upah, usia, tingkat pendidikan, besar keluarga dan pendapatan per kapita) 3. Menganalisis status gizi pekerja wanita.

4. Menganalisis kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada pekerja wanita 5. Menganalisis konsumsi pangan (kecukupan asupan energi, zat gizi dan serat

pangan serta frekuensi konsumsi pangan spesifik) pekerja wanita. 6. Menganalisis tingkat aktivitas fisik pekerja wanita.

7. Menganalisis riwayat PTM orang tua pekerja wanita. 8. Menganalisis faktor risiko SM pada pekerja wanita.

Manfaat Penelitian

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah Kesehatan pada Pekerja Wanita

Penelitian terhadap pekerja wanita industri tekstil menemukan bahwa yang berstatus obesitas yaitu sebesar 26.6% (Nuraieni 2007). Penelitian lainnya pada buruh pabrik rokok menunjukkan bahwa prevalensi buruh dengan status gizi

overweight dan obese yaitu sebesar 29.1% dan yang masuk dalam kategori prehipertensi adalah sebesar 7.3%, hipertensi stadium 1 sebesar 7.3% dan hipertensi stadium 2 sebesar 3.6%. Hal ini mungkin diakibatkan oleh gaya hidup buruh yang tidak sehat dimana lebih dari separuh buruh yang diteliti (65.5%) tidak pernah berolahraga, memiliki tingkat aktivitas yang ringan dan memiliki pola konsumsi yang tidak teratur (Erliyani 2012). Masalah kesehatan yaitu obesitas dan hipertensi yang ditemukan pada buruh wanita perlu menjadi perhatian karena peran fisiologis wanita untuk melahirkan dan adanya keterkaitan antara kesehatan ibu dan anak yang dikandungnya (Ramos and Olden 2008, Siega-Riz 2012). Selain itu, masalah kesehatan yang terjadi pada pekerja wanita ini akan mengakibatkan penurunan intelektualitas dan produktivitas. Hal ini akan mempengaruhi kualitas SDM dan keberhasilan pembangunan nasional (Kemenkes 2012). Prevalensi obesitas yang meningkat cenderung diikuti dengan semakin meningkatnya prevalensi SM (Cameron et al. 2004, Dwipayana et al. 2011). Selain itu, hipertensi yang ditemukan pada buruh juga merupakan salah satu komponen SM (IDF 2006).

Disamping masalah kesehatan, tingkat pendidikan pekerja wanita Indonesia juga masih rendah. Data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 50.37% dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Tingkat pendidikan yang rendah ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi para pekerja tersebut. Kebanyakan dari pekerja ini juga tinggal di pemukiman dengan sanitasi yang kurang sehingga mereka rentan mengalami penyakit infeksi kronis seperti malaria, tuberkulosis dan kecacingan (Kemenkes 2012).

Sindrom Metabolik

SM merupakan sekelompok faktor risiko penyakit jantung yang terdiri atas obesitas sentral, peningkatan kadar TG dan GDP, penurunan kadar HDL dan hipertensi (IDF 2006). SM disebut juga sebagai sindrom X atau sindrom resistensi insulin (Champe et al. 2005). SM biasanya baru disadari pada usia pertengahan (Mahan and Escott-Stump 2008). Penderita SM berisiko tinggi mengalami diabetes Tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (IDF 2006, Champe et al. 2005) serta berbagai gangguan kesehatan lainnya seperti artritis, cholesterol gallstones, fatty liver,

polycystic ovary syndrome, radang paru, gangguan tidur dan beberapa jenis kanker (Eckel et al. 2005, Schultz and Edington 2009).

(23)

al. (2011) pada subyek dengan rata-rata usia 44 tahun diperoleh prevalensi sebesar 20% pada wanita dan 16.6% pada pria.

Kriteria Sindrom Metabolik

Sejumlah ahli telah mengembangkan kriteria klinis untuk SM. Kriteria yang sering digunakan di dunia adalah kriteria World Health Organization (WHO),

European Group for the Study of Insulin Resistance (EGIR) dan the National Cholesterol Education program – Third Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III). Semua ahli dari ketiga organisasi menyepakati bahwa komponen utama SM terdiri atas intoleransi glukosa, obesitas, hipertensi dan dislipidemia tetapi berbeda mengenai detail dan kriterianya (Eckel et al. 2005). Ketiga kriteria klinis ini dapat dilihat pada Tabel 1. WHO dan EGIR memasukkan intoleransi glukosa atau resistensi insulin sebagai komponen utama SM sedangkan NCEP-ATP III tidak memasukkan kriteria tersebut. Selain itu, ambang batas (cut-off) untuk setiap komponen dan cara menggabungkan kriteria tersebut dalam diagnosa SM.

Kriteria WHO, EGIR dan NCEP-ATP III sulit digunakan atau memberikan hasil yang berbeda dalam pengidentifikasian SM dalam praktik klinis. Hal ini disebabkan oleh proses diagnosa intoleransi glukosa atau resistensi insulin yang memerlukan pemeriksaan rumit seperti hyperinsulinaemic euglycaemic clamp technique yang sulit digunakan pada penelitian epidemiologi. Selain itu, kriteria

overweight dan obese yang dikeluarkan oleh ketiga organisasi tersebut tidak cocok untuk populasi Asia. Penduduk Asia yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) antara 23-24 kg/m2 memiliki besar risiko yang sama untuk menderita diabetes Tipe 2, hipertensi dan dislipidemia dengan penduduk Eropa dan Amerika yang memiliki IMT 25-29.9 kg/m2. Perbedaan kriteria ini menyebabkan kesulitan dalam membandingkan data studi-studi terkait SM di berbagai negara (Eckel et al. 2005). Oleh karena itu, International Diabetes Federation (IDF) mengeluarkan kriteria baru yang memudahkan dalam pendiagnosaan SM (IDF 2006).

IDF mengeluarkan kriteria SM yang terdiri atas obesitas sentral, peningkatan kadar TG (≥ 150 mg/dl), penurunan kadar HDL (< 40 mg/dl untuk pria dan < 50 mg/dl untuk wanita) atau sedang dalam perawatan gangguan lipid, hipertensi (TD sistolik ≥ 130 mmHg atau TD diastolik ≥ 85 mmHg) dan hiperglikemia (kadar GDP ≥ 100 mg/dl) atau menderita diabetes Tipe 2. Perbedaan kriteria ini dengan kriteria lainnya adalah penetapan obesitas sentral sebagai komponen yang harus ada dalam diagnosa SM. Seseorang didiagnosa SM jika menderita obesitas sentral disertai 2 dari 4 komponen SM yang telah disebutkan sebelumnya. Obesitas sentral ditentukan melalui pengukuran lingkar pinggang dengan cut off yang berbeda untuk tiap jenis kelamin dan etnis (IDF 2006). IDF menetapkan jika IMT lebih dari 30 kg/m2 maka seseorang diasumsikan mengalami obesitas sentral sehingga pengukuran lingkar pinggang tidak perlu dilakukan. Pada Tabel 2 disajikan ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis atau negara. Pada tahun 2009, IDF dan

American Health Association/National Heart, Lung and Blood Institute

(24)

Tabel 1 Kriteria sindrom metabolik WHO, EGIR dan NCEP-ATP III

Trigliserida (TG) Kadar TG plasma

meningkat:

Kolesterol HDL Pria: < 0.9 mmol/l

(35 mg/dl) diperkirakan bahwa resistensi insulin dan obesitas sentral berperan penting dalam terjadinya SM (IDF 2006). Faktor-faktor lain yang terlibat dalam terjadinya SM antara lain genetik, aktivitas fisik yang rendah, penuaan, status proinflamasi dan gangguan hormon (Alberti et al. 2006).

(25)

Tabel 2 Ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis

Amerika Selatan dan Amerika Tengah Ukuran lingkar pinggang untuk Asia Selatan

Sub-Sahara Afrika Ukuran lingkar pinggang untuk Eropa

Timur Tengah dan Mediterania Timur Ukuran lingkar pinggang untuk Eropa

Obesitas berkaitan dengan resistensi insulin dan SM. Obesitas berperan dalam terjadinya hipertensi, kadar kolesterol serum yang tinggi, kadar HDL yang rendah dan hiperglikemia. Obesitas juga berhubungan dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskuler. Risiko terjadinya berbagai gangguan kesehatan seperti diabetes Tipe 2, penyakit jantung koroner (PJK) dan kanker terbukti meningkat seiring dengan meningkatnya IMT. Namun, penumpukan lemak tubuh di bagian perut, yang diketahui dengan pengukuran lingkar pinggang, menjadi indikator penting dalam SM (IDF 2006).

Patogenesis SM dengan faktor utama yaitu resistensi insulin dan obesitas sentral dapat diuraikan sebagai berikut. Asam lemak bebas dilepaskan secara berlebihan sebagai akibat jaringan adiposa berlebih di sekitar perut. Di hati, asam lemak bebas menyebabkan terjadinya peningkatan produksi glukosa, TG dan sekresi very low density lipoprotein (VLDL). Selain itu, terjadi gangguan lipid/lipoprotein yaitu penurunan kadar kolesterol HDL dan peningkatan densitas

low density lipoprotein (LDL). Asam lemak bebas akan menyebabkan penurunan sensitivitas insulin di otot dengan cara menghambat penyerapan insulin. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan sintesis glikogen dan peningkatan akumulasi TG. Peningkatan kadar glukosa dan asam lemak dalam sirkulasi darah akan meningkatkan sekresi insulin dari pankreas sehingga menyebabkan hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia akan menyebabkan peningkatan reabsorpsi sodium, peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan berperan dalam terjadinya hipertensi dengan semakin meningkatnya kadar asam lemak dalam sirkulasi darah (Eckel et al. 2005).

Resistensi insulin yang terjadi akibat pelepasan asam lemak bebas yang berlebihan berdampak langsung pada status proinflamasi. Peningkatan interleukin -6 (IL--6) dan tumor necrosis factor alfa (TNFα), yang dihasilkan oleh sel-sel di jaringan adiposa yaitu adiposit dan monosit, menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan lipolisis cadangan TG jaringan adiposa. Konsentrasi IL-6 dan berbagai jenis sitokin lainnya dalam darah juga meningkat sehingga meningkatkan produksi glukosa di hati, produksi VLDL oleh hati dan resistensi insulin di otot. Sitokin-sitokin dan asam lemak bebas menyebabkan peningkatan produksi fibrinogen dan

(26)

pro-trombotik. Penurunan jumlah adinopektin juga berkaitan dengan SM dan mungkin berkontribusi dalam patogenesisnya (Eckel et al. 2005).

Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik

SM umum terjadi pada individu yang rentan dari segi genetik (Eckel et al. 2005). Namun, beberapa faktor lain seperti usia, etnis, gaya hidup, konsumsi pangan dan tingkat sosial ekonomi juga dapat berpengaruh terhadap kejadian SM. a. Usia

Pada penelitian sebelumnya di Bali, diketahui bahwa terdapat hubungan antara usia dengan SM. Risiko SM akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Semakin tua usia seseorang maka semakin banyak pula faktor risiko koroner dan semakin besar kemungkinan mengalami resistensi insulin (Dwipayana et al. 2011).

b. Divisi pekerjaan

Penelitian yang dilakukan pada pekerja di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang yang bekerja di bidang transportasi berisiko tinggi mengalami SM. Hal ini mungkin diakibatkan oleh jadwal kerja yang tidak teratur, gangguan tidur dan stres. Meskipun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan bahwa pekerjaan administrasi berhubungan dengan SM tetapi prevalensi SM pada pekerja di divisi tersebut lebih tinggi (25.2%) daripada operator tekstil (24.2%) (Davila et al. 2010).

c. Lama kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Sudarminingsih (2007) menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara lama kerja dengan SM. Pekerja tambang dengan masa kerja yang lama (≥ 10 tahun) berisiko 3.2 kali lebih tinggi menderita SM daripada pekerja dengan lama kerja di bawah 10 tahun. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dan lokasi kerja yang sepi yang dapat memicu perubahan perilaku ke arah yang negatif seperti merokok, konsumsi alkohol dan suka mengemil. d. Herediter

Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan adanya keterkaitan faktor herediter dengan SM pada WUS. Wanita yang memiliki ibu penderita diabetes berisiko dua kali menderita SM daripada wanita yang tidak memiliki ibu dengan riwayat diabetes. Mereka cenderung mengalami obesitas sentral, memiliki kadar glukosa darah puasa yang tinggi dan kadar kolesterol HDL yang rendah (Ramos and Olden 2008).

e. Aktivitas fisik

(27)

yang lebih kecil. Prevalensi abnormalitas TG, lingkar pinggang yang lebar dan SM juga ditemukan lebih rendah pada wanita yang melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit sehari. Wanita dengan aktivitas kerja minimal 3 jam per hari juga dilaporkan memiliki risiko menderita SM yang lebih rendah. Aktivitas fisik 30 menit dengan berbagai tingkat intensitas setara dengan pengeluaran energi rata-rata sebesar 5.3 MET/hari, sama dengan melakukan lari selama 34 menit per hari dengan kecepatan 10 menit/mil. Aktivitas kerja minimal 3 jam/hari setara dengan pengeluaran energi rata-rata sebesar 10.8 MET/hari, sama dengan melakukan jalan santai dengan kecepatan 2.5 m/jam atau mengangkat barang ringan. Dari penelitian di Vietnam diketahui bahwa remaja yang menderita SM meluangkan lebih sedikit waktu untuk melakukan aktivitas fisik dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menderita SM (Nguyen et al. 2010).

Efek menguntungkan dari aktivitas fisik terhadap SM dapat dijelaskan melalui pengaruhnya terhadap komposisi tubuh. Otot-otot rangka merupakan jaringan sensitif insulin di tubuh. Aktivitas fisik meningkatkan sensitivitas insulin otot rangka dan menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan transpor glukosa di sel-sel otot dan memperbaiki mikrosirkulasi perifer (Nguyen

et al. 2010).

f. Asupan zat gizi, serat dan konsumsi pangan spesifik  Asupan energi dan zat gizi

Asupan energi dan zat gizi menjadi salah satu faktor penentu terjadinya obesitas yang selanjutnya dapat berubah menjadi SM. Dari studi sebelumnya diketahui bahwa asupan zat gizi seperti karbohidrat, lemak (Marliyati et al. 2008, Sargowo dan Andarini 2011), protein (Dewi 2009) dan natrium (Aburto

et al. 2013, Rhee et al. 2014) berhubungan dengan SM. Kelebihan asupan karbohidrat (KH) dan lemak akan disimpan di dalam sel-sel lemak. Jika kondisi ini terus berlangsung tanpa diimbangi dengan pengeluaran energi yang sesuai akan mengakibatkan terjadinya obesitas yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sargowo dan Andarini 2011).

Penelitian Marliyati et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi energi, lemak total (> 30% total energi) dan KH maka kadar kolesterol total dan TG akan semakin tinggi dan kadar HDL akan semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh konsumsi pangan sumber lemak baik nabati maupun hewani dan konsumsi pangan sumber KH dalam jumlah berlebih. Diet tinggi kalori akan merangsang VLDL di hati sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan TG dan LDL serta penurunan HDL. Selain itu, diet lemak jenuh yang tinggi (> 10% total energi) dan kolesterol yang tinggi (≥ 300 mg) akan mengaktifkan reseptor LDL sehingga meningkatkan kadar LDL dan TG dalam darah (Sargowo dan Andarini 2011). Penelitian di Denpasar pada kelompok lanjut usia menunjukkan bahwa konsumsi protein yang tinggi juga menjadi salah satu faktor risiko SM (Dewi 2009). Peningkatan konsumsi protein akan diikuti dengan penurunan kadar HDL yang diduga sebagai akibat dari konsumsi pangan hewani yang menjadi sumber protein, asam lemak jenuh dan kolesterol (Marliyati et al. 2008).

(28)

(Rhee et al. 2014). Asupan natrium yang tinggi berhubungan dengan hipertensi yang merupakan salah satu komponen SM. Hasil penelitian Aburto

et al (2013) menunjukkan bahwa pengurangan asupan natrium berkaitan dengan penurunan TD sistolik dan diastolik.

 Serat pangan

Serat pangan telah terbukti memiliki efek positif terhadap kesehatan. Konsumsi serat berhubungan terbalik dengan berat badan (BB) dan lemak tubuh karena efeknya terhadap rasa lapar dan kenyang. Makanan yang mengandung serat tinggi dapat menimbulkan rasa kenyang sehingga mengurangi asupan energi. Serat dapat menunda pengosongan lambung dan/atau absorpsi usus. Di usus halus, serat menumpulkan respon glikemik dan insulinemik yang terjadi setelah makan sehingga mengurangi laju terjadinya rasa lapar dan konsumi energi. Serat juga mempengaruhi sekresi hormon-hormon usus atau peptida seperti kolesitokinin atau glucagon-like peptide-1 (GLP-1). Kolesitokinin disekresi dari sel-sel usus halus saat makanan ditelan dan berperan dalam stimulasi sekresi pankeas, pengaturan pengosongan lambung dan perangsang utama rasa lapar sedangkan peptida GLP-1 berperan dalam pengontrolan nafsu makan, konsumsi pangan dan pengaturan BB.

Serat pangan dapat menurunkan kadar glukosa setelah makan dan memperbaiki sensitivitas insulin. Serat juga meningkatkan penyerapan glukosa di otot rangka dan memperbaiki sensitivitas insulin dengan meningkatkan viskositas kandungan perut dan menghambat pencernaan KH dan absorpsi zat gizi makro. Studi mengenai efek pemberian suplementasi psyllium pada pasien hipertensi terbukti efektif dalam mencegah resistensi insulin dengan meningkatkan kandungan insulin-responsive glucose transporter type 4 (GLUT -4). Hal ini mungkin disebabkan oleh fermentasi serat larut air di usus oleh bakteri anaerob. Fermentasi serat ini menghasilkan asam lemak rantai pendek seperti asam propionat dan butirat yang dapat meningkatkan jumlah GLUT-4 di adiposit dengan merangsang peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR) ɤ.

Serat memiliki efek hipokolesterolemik karena dapat meningkatkan bile acid loss. Serat dapat menurunkan kolesterol hati karena kolesterol dialihkan untuk sintesis asam empedu sehingga tersisa kolesterol dalam jumlah kecil untuk diangkut ke hati melalui chylomicron. Serat seperti pysllium mencegah absorpsi TG dan gula dari usus halus. Selain itu, efek serat pangan terhadap penurunan indeks glikemik (IG) berperan dalam penurunan kadar lipid plasma.

(29)

Dari hasil review yang dilakukan oleh Baxter et al (2006) diketahui bahwa konsumsi serealia yang telah diproses, daging, susu dan produk olahannya berhubungan dengan SM. Serealia yang telah diproses memiliki IG tinggi sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih dapat meningkatkan risiko SM. Konsumsi daging, terutama daging merah dan daging olahan dapat meningkatkan risiko terjadinya hiperglikemia dan obesitas sentral. Selain itu, seringnya mengonsumsi makanan yang digoreng dapat meningkatkan risiko obesitas sentral dan hipertensi (Orea et al. 2003, Lutsey et al. 2008). Sementara itu, prevalensi SM menurun pada orang yang sering mengonsumsi buah dan sayur, ikan serta susu dan produk olahannya. Kalsium serta kandungan lainnya yang belum teridentifikasi dalam susu dapat melindungi seseorang dari hipertensi dan hiperlidemia (Baxter et al. 2006)

Konsumsi minuman manis berkaitan dengan SM. Frekuensi konsumsi minuman manis seperti soft drink, jus kemasan dan minuman energi dalam jumlah tinggi dan sering merupakan faktor yang berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan BB, risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh kandungan gula yang tinggi dalam jenis minuman ini yang berkontribusi dalam asupan energi. Konsumsi minuman manis dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme fruktosa sehingga memicu terjadinya resistensi insulin, gangguan fungsi sel beta, peningkatan TD, obesitas sentral dan dislipidemia aterogenik (Malik et al. 2010).

g. Merokok

Merokok berhubungan dengan SM dikarenakan efek merokok pada resistensi insulin (Park et al. 2003). Nikotin serta bahan kimia yang ada dalam rokok menyebabkan penurunan sensitivitas insulin. Setelah dikonsumsi, nikotin akan diangkut ke dalam darah dengan cepat dan dipecah menjadi kotinin. Nikotin memiliki masa paruh yang pendek yaitu 2 jam sedangkan kotinin memiliki masa paruh hingga 20 jam. Kotinin akan berada dalam darah hingga 48 jam. Nikotin yang dihirup akan mencapai otak dalam waktu 15 detik dan konsentrasinya di jaringan otak akan tetap tinggi selama 2 jam. Nikotin akan meningkatkan aktivitas reseptor nicotinic acetylcholine dan memicu peningkatan kadar hormon katekolamin yang meliputi noradrenalin dan adrenalin. Pelepasan adrenalin akan memicu peningkatan detak jantung, TD, pernafasan serta kadar glukosa darah. Katekolamin akan menganggu kerja insulin dengan cara mengganggu produksi insulin serta aktivitas dan sintesis protein yang mengangkut glukosa menuju sel-sel. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin (Targher 2005).

Konsumsi nikotin memicu peningkatan pemecahan lemak (lipolisis) dan peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam darah. Hal ini disebabkan oleh aktivasi adrenalin di otak dan reseptor permukaan sel lipolitik di jaringan lemak. Peningkatan kadar asam lemak akan mempengaruhi sensitivitas insulin dan sekresi insulin melalui efek langsungnya di hati, pankreas dan otot (Targher 2005).

(30)

berperan penting dalam penentuan akumulasi lemak di sekitar organ perut. Selain itu, hal ini menyebabkan seseorang berisiko tinggi mengalami resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa (Targher 2005).

h. Kebiasaan konsumsi alkohol

Beberapa penelitian mengenai hubungan konsumsi alkohol dengan SM menunjukkan hasil yang kontroversial. Sejumlah studi menunjukkan bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah ringan dan sedang berkaitan dengan prevalensi SM yang rendah dalam kaitannya dengan kadar lipid darah, lingkar pinggang dan GDP sedangkan studi lainnya gagal membuktikan hubungan ini. Penelitian di Cina menunjukkan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara konsumsi alkohol dan prevalensi SM pada wanita. Namun, terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut pada pria yaitu prevalensi SM pada pria yang tidak mengonsumsi alkohol adalah sebesar 29.0%, 25.9% pada konsumsi ringan (0.1-9.9 g/hari), 24.8% pada konsumsi sedang (10.0-2(0.1-9.9 g/hari), 28.7% pada konsumsi berat (30.0-49.9 g/hari) dan 33.9% pada konsumsi parah (≥ 50 g/hari). Konsumsi alkohol parah berkaitan dengan peningkatan risiko sebesar 53%. Pada peminum bir, liquor dan campuran tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi alkohol dengan SM. Pada peminum anggur, konsumsi dalam jumlah tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi sebesar 54%. Risiko tinggi peningkatan kadar TG dan obesitas sentral hanya terdeteksi pada subyek pengonsumsi alkohol tingkat tinggi (Jin et al. 2011).

i. Tingkat sosial ekonomi

SM juga banyak ditemukan pada orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah (Park et al. 2003, Carnethon et al. 2004). Tingkat pendidikan yang rendah seringkali berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler dengan faktor risiko yaitu merokok, hipertensi, gangguan toleransi glukosa, diabetes mellitus (DM), aktivitas fisik yang rendah dan overweight yang disertai dengan gangguan metabolik lainnya. Tingkat sosial ekonomi ini juga berhubungan dengan akses terhadap fasilitas kesehatan (Park et al. 2003).

Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat seseorang. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang/masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplikasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita dan Fallah 2004). Pendidikan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Menurut Martianto dan Ariani (2004), jika seseorang memiliki pendidikan formal dan pendapatan tinggi maka makanan yang dikonsumsi akan lebih beragam dan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Peningkatan pendapatan akan memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli (Madanijah 2004).

(31)

kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004).

Sindrom Metabolik dan Produktivitas Kerja

SM tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan tetapi juga berdampak pada bidang ekonomi. Studi yang dilakukan terhadap 3789 responden untuk mengukur total biaya berobat selama 10 tahun menunjukkan bahwa total biaya penderita SM 20% lebih tinggi (Curtis et al. 2007). Penelitian pada pekerja pabrik di Amerika Serikat juga menunjukkan hasil serupa yaitu total biaya perawatan kesehatan dan biaya pembelian obat per tahun penderita SM lebih tinggi daripada pekerja yang tidak menderita SM (Schultz and Edington 2009). SM tidak hanya meningkatkan pengeluaran biaya kesehatan tetapi juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Dari penelitian Burton et al. (2008), diketahui bahwa penderita SM memiliki total hari absen kerja akibat sakit yang lebih tinggi.

KERANGKA PEMIKIRAN

SM, yang disebut juga sebagai sindrom X atau sindrom resistensi insulin, merupakan sekelompok faktor risiko serangan jantung yang terdiri atas 5 komponen utama yaitu obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (peningkatan kadar TG dan penurunan kadar HDL), hipertensi dan hiperglikemia. Patogenesis SM masih belum diketahui pasti. Sindrom ini sangat kompleks dan melibatkan banyak faktor.

Karakteristik contoh, salah satunya usia, dapat berhubungan langsung dengan SM. Prevalensi SM akan makin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penuaan akan diikuti oleh penurunan massa otot dan penumpukan lemak terutama di bagian perut. Hal ini akan meningkatkan risiko resistensi insulin yang dianggap sebagai penyebab SM. Divisi pekerjaan mungkin berkaitan dengan SM. Selain itu, lama kerja dihubungkan pula dengan SM. Hal ini terkait dengan lingkungan dan lokasi kerja yang dapat merubah perilaku seseorang yaitu perubahan pola konsumsi dan aktivitas fisik. Besar upah dan tingkat pendidikan juga dapat berpengaruh terhadap SM karena keduanya terkait dengan pemilihan konsumsi pangan yang berhubungan langsung dengan SM. Sementara itu, besar keluarga dan pendapatan per kapita juga memiliki keterkaitan dengan SM. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan sedangkan pendapatan per kapita akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.

(32)

LDL sehingga meningkatkan kadar LDL dan TG dalam darah. Konsumsi protein khususnya protein hewani yang berlebihan juga tidak baik untuk tubuh. Peningkatan konsumsi protein akan diikuti dengan penurunan kadar HDL yang diduga sebagai akibat dari konsumsi pangan hewani yang menjadi sumber protein, asam lemak jenuh dan kolesterol. Asupan natrium juga dapat berhubungan dengan SM karena asupan natrium dalam jumlah berlebih dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi.

Konsumsi serat pangan juga berpengaruh terhadap SM. Serat dapat menunda pengosongan lambung dan/atau absorpsi usus sehingga menekan rasa lapar. Hal ini dapat menyebabkan penurunan BB sehingga dapat mencegah terjadinya obesitas. Serat juga berperan dalam penurunan kadar glukosa yang meningkat segera setelah makan dan perbaikan resistensi insulin. Serat mencegah absorbpsi TG dan gula di usus halus sehingga mencegah terjadinya hipertrigliseridemia. Efek serat dalam penurunan BB dan perbaikan resistensi insulin ini berkaitan erat dengan pencegahan hipertensi..

Konsumsi bahan pangan spesifik seperti konsumsi serealia, konsumsi daging merah dan daging olahan dalam jumlah berlebih berhubungan dengan SM karena dapat meningkatkan risiko gangguan toleransi glukosa. Konsumsi daging, baik daging merah maupun daging olahan, juga berkaitan dengan peningkatan BB khususnya penumpukan lemak di bagian pinggang (obesitas sentral). Konsumsi pangan hewani lainnya seperti unggas dan telur dapat pula meningkatkan risiko terjadinya SM. Konsumsi seafood dan jeroan yang mengandung lemak tinggi juga dapat berhubungan dengan SM karena asupan lemak yang berlebih akan disimpan dalam sel-sel lemak sehingga meningkatkan risiko obesitas sedangkan ikan asin mengandung natrium yang tinggi yang berpotensi mengakibatkan terjadinya hipertensi. Konsumsi gorengan berhubungan dengan SM karena dapat meningkatkan risiko obesitas sentral dan hipertensi. Sementara itu, konsumsi buah dan sayur, ikan serta susu dan produk olahannya dalam jumlah yang tinggi berhubungan dengan prevalensi SM yang rendah dan merupakan faktor protektif SM. Kandungan kalsium yang tinggi pada susu dapat menjadi faktor protektif terhadap hipertensi, hiperlipidemia dan obesitas. Konsumsi minuman manis mungkin berhubungan dengan SM. Kandungan gula yang tinggi dalam jenis minuman ini berkontribusi terhadap asupan energi. Oleh karena itu, jika sering mengonsumsi jenis minuman tersebut dapat menyebabkan peningkatan BB serta berisiko mengalami diabetes Tipe 2 dan penyakit jantung.

Aktivitas fisik terhadap SM dapat dijelaskan melalui pengaruhnya terhadap komposisi tubuh. Otot-otot rangka merupakan jaringan sensitif insulin di tubuh. Aktivitas fisik meningkatkan sensitivitas insulin otot rangka dan menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan transpor glukosa di sel-sel otot dan memperbaiki mikrosirkulasi perifer.

(33)

kerja insulin dan memicu terjadinya ketidaksensitifan insulin. Katekolamin mengganggu jalur yang berkaitan dengan produksi insulin serta aktivitas dan sintesis protein yang mengangkut glukosa menuju sel-sel. Konsumsi nikotin juga memicu peningkatan pemecahan lemak (lipolisis) dan peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam darah. Hal ini diakibatkan oleh aktivasi adrenalin di otak dan reseptor permukaan sel lipolitik di jaringan lemak. Peningkatan kadar asam lemak ini akan mempengaruhi sensitifitas insulin dan sekresi insulin melalui efek langsungnya di hati, pankreas dan otot. Konsumsi rokok dalam jangka waktu lama akan berakibat langsung terhadap distribusi lemak tubuh. Perokok berat akan menderita gangguan fungsi di otak (hipotalamus) yang berkaitan dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Hal ini berperan penting dalam penentuan akumulasi lemak di sekitar organ perut. Selain itu, hal ini menyebabkan seseorang berisiko tinggi mengalami ketidaksensitifan insulin dan gangguan toleransi glukosa.

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko sindrom metabolik Konsumsi pangan:

(34)

Konsumsi alkohol juga berhubungan langsung dengan SM. Konsumsi alkohol tingkat berat (≥ 30.0 g/hari) berkaitan dengan peningkatan risiko hipertensi, kadar TG yang tinggi, hiperglikemia dan obesitas sentral. Namun, mekanisme yang mendasari hubungan ini masih belum jelas.

Faktor herediter (keturunan) berhubungan pula dengan SM. Individu dengan riwayat ibu penderita diabetes berisiko lebih tinggi menderita obesitas sentral, dislipidemia dan hiperglikemia yang merupakan komponen SM ini.

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di PT Citra Abadi Sejati, Kedung Halang, Kota Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Efikasi Suplementasi Vitamin D, Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum 25(OH)D dan SM Pekerja Garmen Wanita Usia Subur”. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga November 2013.

Teknik Penarikan Contoh

Contoh dipilih secara acak dari populasi pekerja wanita yang bekerja di pabrik garmen di Bogor dengan kriteria inklusi sebagai berikut: 1) berusia 25-49 tahun, 2) tidak sedang hamil atau menyusui; 3) tidak menopause; dan 4) bersedia menandatangani formulir persetujuan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian.

Penentuan jumlah contoh minimal pada penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut (Sujarweni 2012):

� = �2

2 � 1 − �

�2 dimana

n = jumlah contoh minimal yang diperlukan α = derajat kepercayaan

p = proporsi SM pada wanita=20.0% (Dwipayana et al 2011) 1-p = proporsi wanita yang tidak menderita SM = 80%

d = limit dari error atau presisi absolut = 10%

(35)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder (Tabel 3). Data primer mencakup karakteristik contoh, asupan energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, asam lemak tak jenuh, asam lemak jenuh, kolesterol dan natrium), kecukupan serat, frekuensi konsumsi pangan spesifik, status gizi (IMT, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang pinggul/RLPP), data aktivitas fisik, riwayat penyakit tidak menular (PTM) orang tua, tekanan darah, dan sampel darah. Sementara itu, data sekunder berupa divisi pekerjaan didapatkan dari daftar pekerja yang menjadi contoh penelitian yang diberikan oleh pihak perusahaan.

Pengumpulan data karakteristik serta riwayat penyakit keluarga contoh diperoleh dari kuesioner. Data asupan energi, KH, protein, lemak, lemak jenuh, lemak tak jenuh, kolesterol, natrium dan serat dikumpulkan dengan recall 2x24 jam sedangkan frekuensi konsumsi pangan dikumpulkan melalui semi-quantitativefood frequency questionnaire (kuesioner frekuensi makan semi-kuantitatif). Data aktivitas fisik contoh, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.

Data status gizi dikumpulkan dengan pengukuran BB, tinggi badan (TB) dan lingkar pinggang. BB contoh diukur dengan menggunakan timbangan digital. Contoh diukur dalam posisi berdiri dan berpakaian seminimal mungkin tanpa isi kantong maupun alas kaki. Pengukuran TB dilakukan dengan menggunakan

microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. Microtoise digantungkan pada dinding yang rata dengan ketinggian 2 meter dari dasar lantai. Contoh berdiri tegak tanpa alas kaki dan tutup kepala, pandangan lurus ke depan dengan tumit, bokong, punggung, dan kepala bagian belakang menempel pada dinding. Microtoise kemudian diturunkan hingga menyentuh kepala. Lingkar pinggang diukur dengan menggunakan pita pengukur dengan ketelitian 0.1 cm. Pengukuran dilakukan dengan posisi berdiri nyaman dengan BB tersebar merata dan jarak antara kedua kaki 25-30 cm. Pita ditarik secukupnya agar tidak menekan jaringan lunak dengan posisi pita berada di antara ujung bawah tulang rusuk dan puncak tulang iliac

(panggul).

TD diukur dengan alat pengukur TD digital merk OMRON sedangkan pengumpulan sampel darah dilakukan oleh paramedis. Contoh sebelumnya diminta untuk berpuasa selama 12 jam sebelum dilakukan pengambilan darah. Sampel darah selanjutnya dikirimkan ke laboratorium terakreditasi untuk dilakukan analisa kadar trigliserida (TG), high density lipoprotein (HDL) dan glukosa darah puasa (GDP).

Pengolahan dan Analisis Data

(36)

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data

No. Variabel Jenis data Cara pengumpulan data

1. Karakteristik contoh  Divisi pekerjaan

 Lama kerja

3. Kebiasaan merokok  Jumlah konsumsi rokok

per hari

5. Konsumsi pangan  Tingkat kecukupan

energi dan zat gizi

6. Aktivitas fisik  Jenis dan lama kegiatan Kuesioner aktivitas fisik

7. Herediter  Riwayat penyakit orang

tua

Wawancara menggunakan kuesioner

8. Tekanan darah  Sistolik dan diastolik Pengukuran tekanan darah

dengan alat pengukur

(37)

dikategorikan menjadi lebih kecil dari 40 tahun dan lebih besar dari atau sama dengan 40 tahun. Pengkategorian usia ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa SM lebih banyak terjadi pada inidividu yang berusia lebih dari 40 tahun (Schultz and Edington 2009). Tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi tinggi (> Sekolah Menengah Atas/SMA) dan rendah (≤ SMA) berdasarkan hasil penelitian Carnethon et al. (2010) yang menyatakan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah (≤ SMA) berisiko 1.82 kali (untuk wanita kulit hitam hitam) dan 1.63 kali (untuk wanita kulit putih) lebih tinggi untuk mengalami SM. Besar keluarga di kelompokkan menjadi tiga, yaitu kecil (≤ 4 orang); sedang (5 – 6 orang); dan besar (≥ 7 orang) (Hurlock 1998). Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari pembagian pendapatan total seluruh anggota keluarga selama sebulan dengan jumlah total anggota keluarga tersebut. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi 5 kuintil untuk analisis deksriptif. Untuk keperluan analisis hubungan, maka besar keluarga dikategorikan menjadi kecil (≤ 4 orang) dan besar (> 4 orang) sedangkan pendapatan per kapita dikategorikan menjadi tinggi (kuintil 3-5) dan rendah (kuintil 1-2).

Tabel 4 Pengkategorian karakteristik contoh

Variabel Kategori Sumber pustaka

Divisi pekerjaan  Produksi

 Administrasi

Lama kerja  < 10 tahun

 ≥ 10 tahun Sudarminingsih (2007)

Besar upah  Tinggi (≥ UMR)

 Rendah (< UMR)

Usia  < 40 tahun

 ≥ 40 tahun Schultz and Edington (2009)

Tingkat pendidikan  Tinggi (> SMA)

 Rendah (≤ SMA) Carnethon et al. (2010)

Besar keluarga  Kecil (≤ 4 orang)

 Besar (> 4 orang)

Modifikasi Hurlock (1998)

Pendapatan per kapita  Tinggi (kuintil 3-5)

 Rendah (kuintil 1-2)

Pengolahan Data Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol

(38)

Tabel 5 Pengkategorian kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol

Variabel Kategori Sumber pustaka

Kebiasaan merokok  Bukan perokok

 Mantan perokok

 Perokok

Jumlah rokok yang dihisap per hari  Sedikit (< 20 batang)

 Banyak (≥ 20 batang) Chiolero (2007) et al.

Lama merokok  < 5 tahun

 ≥ 5 tahun

Kebiasaan konsumsi alkohol  Ya

 Tidak

Jumlah alkohol yang dikonsumsi  Konsumsi tingkat ringan

(< 30 g/hari)

 Konsumsi tingkat tinggi

(≥ 30 g/hari)

Data jumlah pangan yang dikonsumsi yang didapatkan dengan metode recall

dikonversikan ke dalam satuan energi (Kkal), KH (g), protein (g), lemak total (g), lemak jenuh (g), lemak tak jenuh (g), kolesterol (mg), natrium (mg) dan serat (g) dengan menggunakan tabel komposisi pangan Indonesia (TKPI) 2010 dan daftar komposisi bahan makanan (DKBM) Singapura serta DKBM United States Department of Agricultural (USDA). Untuk makanan kemasan, kandungan zat gizi didapatkan dengan melihat label kemasan. Kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi dihitung menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

dimana

KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi Bj = Berat bahan makanan j (g)

Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapt dimakan

Untuk menghitung kecukupan energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok usia) digunakan rumus sebagai berikut:

AKG = (Ba/Bs) x AKGi

dimana:

AKG = Angka kecukupan energi atau protein Ba = berat badan aktual sehat (kg)

Bs = berat badan rata-rata yang tercantum dalam AKG

(39)

BBideal = IMT x TB2

dimana:

BBideal = BB ideal untuk orang yang kurus/obese (kg) IMT = indeks massa tubuh (kg/m2)

TB = TB aktual (m2)

IMT yang digunakan pada rumus tersebut adalah sebagai berikut: untuk status gizi kurus (<18.5 kg/m2) digunakan IMT 18.5 kg/m2 sedangkan untuk yang obese

digunakan IMT 24.9 kg/m2.

Perhitungan tingkat kecukupan energi (TKE) atau tingkat kecukupan protein (TKP) dilakukan dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dikonsumsi oleh pekerja wanita selama 2x24 jam dengan Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014 dalam persen. Tingkat kecukupan energi atau protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

TKGi = (Ki/AKG) x 100%

dimana

TKGi = TKE atau TKP (%)

Ki = Asupan energi atau protein per hari (gram)

AKG = Angka kecukupan energi atau protein tiap individu

Selain dinilai melalui TKP, asupan protein contoh juga dikategorikan berdasarkan distribusi protein terhadap total energi. Asupan KH, lemak, lemak jenuh dan lemak tak jenuh juga dikategorikan berdasarkan distribusi masing-masing zat gizi tersebut terhadap total energi yang dihitung melalui tahapan berikut: 1. Mengonversikan asupan protein, KH, lemak, lemak jenuh dan lemak tak jenuh dalam satuan gram menjadi kilo kalori dengan cara mengalikan asupan protein atau KH dengan 4 dan mengalikan asupan lemak, lemak jenuh atau lemak tak jenuh masing-masing dengan 9.

2. Menghitung distribusi energi dari masing-masing zat gizi tersebut dengan rumus berikut:

% E dari zat gizi i = (asupan zat gizi i/AKEind) x 100% dimana

% E dari zat gizi i = persen energi dari zat gizi (%)

Asupan zat gizi i = asupan zat gizi i per individu per hari (Kkal) AKEind = angka kecukupan energi per individu (Kkal)

(40)

Perkumpulan Endokrin Indonesia (Perkeni) untuk pengaturan makan bagi penderita diabetes Tipe 2 (Perkeni 2011). Asupan lemak tak jenuh dikategorikan berdasarkan anjuran American Heart Association untuk pencegahan penyakit jantung (AHA 2009). Perbedaan dasar pengkategorian ini disebabkan oleh tidak adanya penetapan anjuran asupan protein, KH, lemak dan natrium untuk tiap jenis kelamin dan tiap kelompok umur oleh Perkeni sehingga digunakan AKG 2014. Selain itu, Perkeni hanya menetapkan anjuran asupan lemak tak jenuh tunggal sehingga pengkategorian asupan zat gizi ini memakai panduan AHA yang memberikan penetapan anjuran asupan lemak tak jenuh total.

Data konsumsi pangan spesifik didapatkan melalui metode kuesioner frekuensi makan semi-kuantitatif. Jenis pangan spesifik pada kuesioner tersebut ditetapkan berdasarkan hasil review dan penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara pangan tersebut terhadap SM maupun komponen-komponen SM (Orea et al. 2003, Baxter et al. 2006, Lutsey et al. 2008, Malik et al. 2010). Konsumsi pangan spesifik dikategorikan menjadi sering dan tidak sering berdasarkan frekuensi konsumsi tiap pangan tersebut per minggu (Tabel 6).

Tabel 6 Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, serat pangan dan konsumsi pangan spesifik

Variabel Kategori Sumber pustaka

Tingkat kecukupan energi  Cukup (< 90% AKG)

 Lebih (≥ 90% AKG)

Tingkat kecukupan protein  Cukup (< 90% AKG)

 Lebih (≥ 90% AKG)

Asupan kolesterol  Cukup (< 200 mg/hari)

 Lebih (≥ 200 mg/hari)

Frekuensi konsumsi pangan  Tidak sering (< 5 kali

seminggu)

 Sering (≥ 5 kali seminggu)

Pengolahan Data Status Gizi

(41)

berdasarkan cut-off untuk populasi Asia yang ditentukan oleh WHO, International Association for The Study of Obesity (IASO) dan International Obesity Task Force

(IOTF) pada tahun 2000 (Tabel 7). Lingkar pinggang digunakan untuk menentukan apakah seseorang mengalami obesitas sentral atau tidak. Contoh dikatakan mengalami obesitas sentral jika memiliki lingkar pinggang lebih dari atau sama dengan 80 cm atau IMT lebih dari 30 kg/m2 (IDF 2006). Selanjutnya, dilakukan penghitungan rasio lingkar pinggang pinggul dengan cara membagi nilai lingkar pinggang (cm) dengan lingkar pinggung (cm). Contoh dikatakan berisiko mengalami PTM jika memiliki rasio lingkar pinggang pinggul (RLPP) lebih dari 0.8 (WHO 2011).

Tabel 7 Penggolongan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang pinggul

Indikator status gizi Kategori status gizi Sumber pustaka

Indeks massa tubuh

Lingkar pinggang (cm)  Tidak obesitas sentral (< 80 cm)

 Obesitas sentral (≥ 80 cm)

Data aktivitas fisik dikumpulkan dengan menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Hasil analisis data IPAQ dapat menyajikan tidak hanya tingkat aktivitas total tetapi juga tingkat aktivitas setiap domain (pekerjaan, transportasi, pekerjaan rumah dan waktu santai) sehingga metode ini dipilih untuk digunakan. Pengukuran volume aktivitas dilakukan dengan mengukur tiap aktivitas berdasarkan kebutuhan energi yang disebut sebagai Metabolic Equivalent (MET) sehingga didapatkan skor MET-menit. MET merupakan perkalian dari angka metabolik basal sedangkan MET-menit didapatkan dari perkalian skor MET aktivitas dengan waktu (dalam menit) yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut (IPAQCG 2005).

Nilai MET dan rumus untuk menghitung MET-menit a. Aktivitas fisik terkait pekerjaan

MET-menit/minggu untuk berjalan saat kerja = 3.3 x waktu untuk berjalan (dalam menit) x hari dalam seminggu.

(42)

Total MET-menit untuk aktivitas terkait pekerjaan = Berjalan (MET x menit x hari) + Aktivitas sedang (MET x menit x hari) + Aktivitas berat (METx menit x hari).

b. Aktivitas fisik terkait transportasi atau perjalanan

MET-menit/minggu untuk berjalan terkait transportasi = 3.3 x waktu untuk berjalan (dalam menit) x hari dalam seminggu.

MET-menit/minggu untuk bersepeda terkait transportasi = 6.0 x waktu untuk bersepeda (dalam menit) x hari dalam seminggu.

Total MET-menit untuk aktivitas terkait transportasi = Berjalan (MET x menit x hari) + Bersepeda (MET x menit x hari).

c. Aktivitas fisik terkait pekerjaan rumah

MET-menit aktivitas berat untuk pekerjaan yang dilakukan di kebun atau halaman rumah = 5.5 x waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas (dalam menit) x jumlah hari dalam seminggu untuk melakukan aktivitas.

MET-menit aktivitas sedang untuk pekerjaan yang dilakukan di kebun atau halaman rumah = 4.0 x waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas (dalam menit) x jumlah hari dalam seminggu untuk melakukan aktivitas.

MET-menit aktivitas sedang untuk pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah = 3.0 x waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas (dalam menit) x jumlah hari dalam seminggu untuk melakukan aktivitas,

Total MET-menit untuk aktivitas fisik yang terkait pekerjaan rumah = Aktivitas berat di kebun + aktivitas sedang di kebun + aktivitas sedang di dalam rumah. d. Aktivitas fisik yang dilakukan pada waktu santai

MET-menit untuk berjalan = 3.3 x waktu untuk berjalan (dalam menit) x hari dalam seminggu.

MET-menit/minggu untuk aktivitas sedang = 4.0 x waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas (dalam menit) x jumlah hari dalam seminggu untuk melakukan aktivitas.

MET-menit/minggu untuk aktivitas berat = 8.0 x waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas (dalam menit) x jumlah hari dalam seminggu untuk melakukan aktivitas.

Total MET-menit untuk aktivitas pada waktu santai = Berjalan (MET x menit x hari) + Aktivitas sedang (MET x menit x hari) + Aktivitas berat (METx menit x hari)

Total MET-menit/minggu untuk berjalan = MET-menit/minggu untuk berjalan (pada saat bekerja + untuk transportasi + waktu santai).

Total MET-menit/minggu untuk aktivitas fisik sedang = MET-menit/minggu untuk bersepeda + MET-menit untuk aktivitas fisik sedang (saat kerja + bekerja di kebun + pekerjaan rumah + saat santai).

Total MET-menit/minggu untuk aktivitas fisik berat = MET-menit/minggu untuk aktivitas fisik berat (saat kerja + saat santai).

Total skor aktivitas fisik = Total menit/minggu untuk berjalan + Total MET-menit/minggu untuk aktivitas fisik sedang + Total MET-MET-menit/minggu untuk aktivitas fisik berat.

Total aktivitas fisik MET-menit/minggu = Total MET-menit/minggu (saat kerja + untuk transportasi + melakukan pekerjaan rumah + saat santai).

Gambar

Tabel 1  Kriteria sindrom metabolik WHO, EGIR dan NCEP-ATP III
Tabel 2  Ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis
Gambar 1  Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko sindrom metabolik
Tabel 3  Jenis dan cara pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa obesitas berisiko 7,5 kali untuk terjadinya sindrom metabolik dibandingkan dengan partisipan yang tidak obes.. Hasil penelitian

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa obesitas berisiko 7,5 kali untuk terjadinya sindrom metabolik dibandingkan dengan partisipan yang tidak obes.. Hasil penelitian

Pendahuluan : Gagal jantung kongestif (CHF) dan sindrom metabolik (MetS) merupakan masalah kardiovaskular utama di berbagai negara maju maupun berkembang. Sampai sekarang,

Terdapat hubungan antara asupan energi, persentase lemak tubuh, IMT dan kadar hemoglobin dengan produktivitas kerja (p= 0,016; p= 0,013; p= 0,043; p= 0,000).Variabel yang

Hasil yang didapat menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna (p&lt;0,05) antara tingkat asupan energi dengan kejadian sindrom metabolik dan hasil ini juga

Karakteristik sebagian besar pekerja berjenis kelamin perempuan, berada pada kelompok usia lebih dari sama dengan 40 tahun, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, bekerja

Berdasarkan hasil penelitian ada hubungan yang signifikan antara olahraga wanita menopause dengan kejadian osteoporosis di Kelurahan Langgini Wilayah Kerja Puskesmas

Hubungan Indeks Masa Tubuh dan Anemia Pada penelitian menunjukkan bahwa variabel indeks masa tubuh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan anemia.. Hal ini tidak sejalan