• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Dasar Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh dari perdagangan tersebut (Salvatore, 1996). Teori ini membantu menjelaskan arah serta komposisi perdagangan antar Negara, serta bagaimana efeknya terhadap struktur perekonomian suatu Negara.

Dalam teori terjadinya perdagangan internasional, Heckser-Ohlin menyatakan bahwa sebuah Negara akan mengekspor suatu komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah serta akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang langka dan mahal di Negara tersebut.

Menurut Gonarsyah (1987) ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor-impor) dari suatu Negara ke Negara lain yaitu bersumber dari keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, menambah penerimaan devisa Negara bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu serta adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar Negara karena tidak semua Negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya.

Dalam kegiatan ekspor suatu komoditi, Kindleberger dan Linder (1991)

dalam Pramono (2004) menyatakan bahwa secara teoritis volume ekspor suatu

komoditi tertentu dari suatu Negara ke Negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di sisi lain kelebihan penawaran dari suatu Negara tersebut merupakan permintaan impor bagi Negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand).

Keterangan tentang terjadinya proses perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 4. Dengan menggunakan konsep dasar fungsi permintaan dan penawaran domestik. Suatu Negara misalnya Negara A dan B memiliki fungsi permintaan dan penawaran domestik masing-masing adalah DA dan SA di Negara

A serta DB dan SB di Negara B. Sebelum terjadinya perdagangan internasional, keseimbangan di Negara A dicapai pada kondisi EA dengan jumlah QA dan harga PA, sedangkan di Negara B keseimbangan dicapai pada kondisi EB dengan jumlah QB dan harga PB, dengan asumsi bahwa harga domestik di Negara A relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik di Negara B.

Jika harga internasional di atas PA, maka Negara A akan memproduksi lebih banyak daripada kebutuhan konsumsinya sehingga di Negara A telah terjadi kelebihan produksi (excess supply). Dengan demikian di Negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke Negara lain. Sementara itu, jika harga internasional di bawah PB maka Negara B akan meminta lebih banyak dibandingkan yang diproduksinya sehingga di Negara B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess

demand). Dalam hal ini Negara B berkeinginan untuk membeli komoditi dari

Negara lain yang harganya relatif lebih murah.

Gambar 4. Kurva Perdagangan Internasional

Sumber: Salvatore (1996)

PA = harga domestik di Negara A tanpa perdagangan internasional

0QA = jumlah yang diperdagangkan di Negara A tanpa perdagangan internasional

X = jumlah yang diekspor oleh Negara A

PB = harga domestik di Negara B tanpa perdagangan internasional Negara A = pengekspor Perdagangan

Internasional

0QB = Jumlah yang diperdagangkan di Negara B tanpa perdagangan internasional

P* = Harga di pasar internasional setelah perdagangan internasional Q* = Jumlah yang diperdagangkan di pasar internasional

Selanjutnya jika terjadi perdagangan diantara kedua Negara. Penawaran ekspor pada pasar internasional digambarkan oleh ES dan permintaan impor digambarkan oleh ED. Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada kondisi E* yang menghasilkan harga dunia sebesar P*, dimana Negara A akan mengekspor sebesar X yang merupakan jumlah yang sama dengan yang diimpor Negara B sebesar M. Jumlah ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh jumlah perdagangan sebesar Q* pada pasar dunia.

Harga yang terjadi pada pasar internasional merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia (Q*). Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia.

3.1.2 Teori Tentang Harga

Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran suatu produk karena harga adalah salah satu dari empat bauran pemasaran/marketing mix (4P = product, price, place, promotion / produk, harga, distribusi, promosi). Harga adalah suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter.

Harga merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa.

Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan akan menurun, namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh organisasi perusahaan. Tujuan penetapan harga diantaranya adalah: 1. Mendapatkan Keuntungan Sebesar-besarnya

Dengan menetapkan harga yang kompetitif maka perusahaan akan mendulang untung yang optimal

2. Mempertahankan Perusahaan

Dari marjin keuntungan yang didapat perusahaan akan digunakan untuk biaya operasional perusahaan. Contoh: untuk gaji/upah karyawan, untuk membayar tagihan listrik, tagihan air bawah tanah, pembelian bahan baku, biaya transportasi, dan lain sebagainya.

3. Menggapai ROI (return on investment)

Perusahaan pasti menginginkan balik modal dari investasi yang ditanam pada perusahaan sehingga penetapan harga yang tepat akan mempercepat tercapainya modal kembali/ROI.

4. Menguasai Pangsa Pasar

Dengan menetapkan harga rendah dibandingkan produk pesaing, dapat mengalihkan perhatian konsumen dari produk kompetitor yang ada di pasaran.

5. Mempertahankan Status Quo

Ketika perusahaan memiliki pasar tersendiri, maka perlu adanya pengaturan harga yang tepat agar dapat tetap mempertahankan pangsa pasar yang ada.

Cara atau metode dalam penentuan harga produk antara lain: 1. Pendekatan Permintaan dan Penawaran (supply demand approach)

Dari tingkat permintaan dan penawaran yang ada ditentukan harga keseimbangan (equilibrium price) dengan cara mencari harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.

2. Pendekatan Biaya (cost oriented approach)

Menentukan harga dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan baik dengan markup pricing dan

break even analysis.

3. Pendekatan Pasar (market approach)

Merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain.

3.1.3 Permintaan (demand)

Konsep dasar dari permintaan konsumen adalah kuantitas suatu komoditas yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga, faktor lain tidak berubah. Permintaan pasar adalah agregat dari permintaan individu-individu konsumen (Tomek and Robinson, 1981). Permintaan dapat diekspresikan dalam bentuk kurva yang menunjukkan hubungan negatif antara jumlah barang yang diminta pada berbagai tingkat harga. Seperti halnya penawaran, permintaan juga dapat diekspresikan dalam bentuk fungsi matematis, dimana permintaan merupakan fungsi dari berbagai faktor seperti; permintaan tahun sebelumnya, harga barang tersebut, harga barang lain, pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan lain-lain. Permintaan tahun sebelumnya mempengaruhi permintaan tahun ini sebagai akibat dari pembentukan kebisaaan atau habits formation (Wohlgenant and Hahn, 1982).

Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan kuantitas yang diminta, jika hal-hal lainnya konstan/ceteris paribus. Permintaan berslope negatif terhadap harga. Dengan kata lain, ketika harga naik permintaan akan turun, dan ketika harga turun maka permintaan akan naik.

3.1.4 Penawaran (supply)

Dalam teori ekonomi, penawaran (supply) didefinisikan sebagai hubungan statis yang menunjukkan berapa banyak suatu komoditas akan ditawarkan (untuk dijual pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga, faktor lain tidak berubah (Tomek and Robinson, 1981). Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut (Lantican, 1990). Kenaikan harga dari suatu komoditas, dengan asumsi faktor lain tidak berubah akan mendorong produsen untuk mengurangi jumlah komoditas yang ditawarkan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurva penawaran yaitu: 1. Teknologi

Teknologi berkaitan erat dengan biaya produksi. Perkembangan teknologi cenderung menurunkan biaya produksi. Semakin rendah biaya produksi atas suatu produk, semakin banyak jumlah yang diproduksi atau dijual.

2. Harga Input

Harga input seperti tenaga kerja, mesin, dan material juga sangat mempengaruhi biaya produksi. Semakin rendah harganya, semakin banyak kuantitas yang bersedia diproduksi.

3. Harga produk-produk yang Berkaitan

Berlaku untuk output substitusi yang diproduksi oleh satu perusahaan. Misalnya perusahaan motor memproduksi model A dan B. Jika model A lebih laku dan/atau harganya naik, maka kapasitas untuk memproduksi model B akan dialihkan untuk menambah produksi model A.

4. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan seperti pajak, teknologi yang boleh atau tidak boleh digunakan, lingkungan hidup, harga listrik, upah minimum, dan lain-lainnya akan mempengaruhi biaya produksi, dan pada akhirnya mempengaruhi kuantitas yang bersedia diproduksi.

5. Pengaruh-pengaruh Khusus

Cuaca yang mempengaruhi produksi pertanian, dorongan yang tinggi akan inovasi menghasilkan produk inovatif.

Sama halnya seperti pada kurva permintaan, perubahan pada kelima faktor ini akan mengakibatkan pergeseran pada kurva penawaran. Kelima faktor ini adalah faktor di luar harga.

3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Indonesia merupakan Negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia yang mengacu harga kakao ke bursa berjangka NYBOT di New York, Amerika Serikat. Bursa komoditi Indonesia yang terbentuk guna mengatasi permasalahan ini tidak dapat berperan sebagaimana mestinya dalam pembentukan harga, sehingga Indonesia hanya menjadi price taker di pasar perdagangan internasional kakao. Mekanisme pembentukan harga yang terjadi di bursa NYBOT dilakukan dengan pengumpulan harga dari pasar spot di beberapa Negara, kemudian memperhitungkan beberapa faktor yang berpengaruh. Pasar spot komoditi kakao Indonesia terletak di Makassar dimana para pedagang lokal bertemu dan

menetapkan harga berdasarkan jumlah produksi/panen, permintaan, dan faktor lainnya.

Harga bisaanya memberikan indikasi yang penting mengenai apakah pasar terintegrasi satu sama lain. Market share terintegrasi jika harga diantara lokasi yang berbeda bergerak dengan pola yang sama, perbedaan antar harga tersebut dijelaskan melalui biaya transfer dan biaya transaksi sebagaimana aliran perdagangan diantara lokasi-lokasinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menilai apakah pergerakan harga terjadi beriringan atau tidak. Ini dapat dilakukan dengan koefisien korelasi sederhana atau plot harga pada grafik untuk melihat ada atau tidaknya kesamaan. Oleh karena itu dapat menggunakan korelasi sederhana atau plot harga di dalam grafik. Jika harga bergerak bersamaan, pasar mungkin terintegrasi.

Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk melihat integrasi pasar adalah dengan pendugaan dari model Ravallion (1986). Model Ravallion digunakan untuk menyusun model integrasi pasar yang dapat memperkirakan keadaan dimana harga lokal dipengaruhi oleh harga di tempat lain. Ia menggunakan model ini untuk mengukur harga beras di Bangladesh, terutama selama periode tahun 1974. Secara empiris, model Ravallion juga diterapkan oleh Heytens (1986) pada data yang sama di Nigeria. Timmer (1974) mengajukan penggunaan lebih lanjut parameter dari model Ravallion untuk membangun beberapa indikator yang dikenal sebagai index of market connectedness (IMC) yang didefinisikan sebagai rasio koefisien pasar regional terhadap pasar referensi.

Untuk melakukan analisis integrasi pasar (keterpaduan pasar) spasial antara harga kakao di pasar spot Makassar dan pasar bursa berjangka NYBOT, maka analisis integrasi pasar yang digunakan adalah menggunakan pendugaan model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986). Selanjutnya Timmer menyusun sebuah index of market connection (IMC) dalam rangka mengukur pengaruh relatif dari dua kekuatan pasar tersebut. IMC adalah lag rasio koefisien pasar lokal terhadap lag koefisien pasar sentral (acuan). Kedua tingkat pasar terpadu secara sempurna jika IMC = 0 dan masih cukup kuat jika IMC < 1, jika IMC > 1 berarti integrasi lemah dan jika IMC = ∞ berarti dua tingkatan pasar tersebut sama sekali tidak berhubungan.

Perilaku penawaran dan permintaan pasar kakao internasional menjadi salah satu faktor penting yang menentukan fluktuasi harga kakao di dalam negeri. Pasar merupakan penentu yang penting dari ketersediaan dan akses kakao di dunia internasional. Keadaan dimana pasar memungkinkan ketersediaan kakao dan memelihara harga tetap stabil tergantung pada apakah pasar terintegrasi satu sama lain atau tidak. Pasar yang terintegrasi dapat diartikan sebagai pasar dimana harga untuk barang-barang yang sama tidak dapat terjadi secara bebas. Jika pasar terintegrasi dengan baik, maka dapat diasumsikan bahwa kekuatan pasar bekerja dengan semestinya, artinya perubahan harga di satu tempat secara konsisten akan terkait dengan perubahan harga di tempat lain dan perantara pasar dapat berinteraksi diantara pasar-pasar yang berbeda. Harga kakao yang tinggi di daerah defisit akan memberikan keuntungan bagi pedagang untuk membawa kakao dari tempat surplus, sehingga kakao tersedia. Hasilnya maka harga seharusnya turun pada daerah defisit, membuat kakao tersedia banyak di pasar.

Perkembangan harga kakao merupakan aspek yang kompleks, karena banyak faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya harga. Selama ini, faktor pasokan (supply) kakao relatif paling berpengaruh terhadap terbentuknya tingkat harga disamping faktor permintaan (demand). Penyebabnya adalah beberapa kontrak pembelian, pengiriman dan tingkat harga sudah disetujui satu tahun yang akan datang sehingga jika pada tahun yang bersangkutan mengalami penurunan akibat faktor iklim, hama, penyakit, atau pergolakan politik, eksportir akan panik jika tidak mampu memenuhi volume kontraknya.

Berdasarkan faktor-faktor yang akan dianalisis, maka digunakan analisis regresi linier berganda dengan metode OLS (ordinary least square) untuk mengetahui hubungan antara harga dengan faktor-faktor berupa harga kakao di bursa NYBOT, konsumsi dunia, jumlah impor Amerika Serikat, kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, dan lag produksi dunia. Dari variabel yang diduga mempengaruhi harga kakao Indonesia, maka dibuat suatu perumusan model. Kesesuaian suatu model dapat dihitung dari nilai koefisien determinasi (R2), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman harga dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pembentukan harga kakao Indonesia.

Sedangkan untuk menguji variabel independen bahwa ia berpengaruh nyata terhadap variabel dependen, maka digunakan uji-t. Kemudian dilakukan uji autokorelasi untuk melihat apakah ada masalah autokorelasi. Uji autokorelasi ini dilakukan dengan pengujian Breusch-Godfrey Correlation Serial LM. Dengan demikian bagan alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5. Bagan Alur Kerangka Konseptual 3.3 Hipotesis

Penentuan parameter model regresi berdasarkan teori ekonomi yang ada, kemudian diuji berdasarkan teori ekonomi pula. Teori ekonomi yang digunakan

Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia

Indonesia sebagai price taker mengacu harga kakao ke ICE/NYBOT

Fluktuasi harga kakao yang tidak sinkron antara pasar spot Makassar dengan ICE/NYBOT

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga kakao

Apakah terdapat integrasi pasar antara pasar spot Makassar dengan

ICE/NYBOT

Analisis regresi linier berganda model double log

Analisis intergrasi pasar jangka pendek dan jangka panjang

 Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap harga kakao Indonesia

 Integrasi pasar antara pasar spot Makassar dengan ICE/NYBOT

untuk menerangkan hasil analisis ini adalah teori permintaan dan elastisitas, Dari teori permintaan dan elastisitas dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: a. Harga di Bursa NYBOT

Bursa NYBOT merupakan pasar acuan bagi kakao Indonesia, dengan demikian harga kakao di bursa NYBOT berpengaruh positif dengan harga kakao Indonesia. Berpengaruh positif artinya, apabila harga kakao di bursa NYBOT meningkat maka akan turut meningkatkan harga kakao Indonesia.

b. Konsumsi Dunia

Konsumsi kakao dunia berpengaruh positif terhadap kakao Indonesia. Jika konsumsi dunia meningkat, maka harga kakao Indonesia akan meningkat dengan asumsi faktor lain ceteris paribus. Negara-negara pengimpor kakao Indonesia akan cenderung meningkatkan impor kakaonya karena meningkatnya permintaan di Negara mereka, dengan demikian akan berimplikasi terhadap meningkatnya daya beli masyarakat.

c. Impor Amerika Serikat

Impor kakao Amerika Serikat sebagai Negara pengekspor kakao utama Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga. Berpengaruh negatif artinya apabila terjadi kenaikan impor Amerika Serikat, maka Indonesia akan cenderung meningkatkan jumlah impornya sehingga harga kakao Indonesia menjadi tinggi dengan asumsi faktor lain ceteris paribus.

d. Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat

Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat berkorelasi positif terhadap harga kakao Indonesia. Nilai tukar memiliki korelasi positif karena pada saat Rupiah mengalami apresiasi terhadap Dollar Amerika Serikat, maka secara teori harga produk dalam negeri akan meningkat, sementara itu harga produk luar negeri akan menurun, sehingga akan mendorong Amerika Serikat untuk mengurangi impor kakaonya.

e. Lag Produksi Dunia

Produksi kakao dunia pada waktu t-1 mengindikasikan peningkatan atau penurunan harga kakao dunia terutama pada satu atau beberapa Negara produsen besar seperti Indonesia. Penurunan produksi di salah satu Negara produsen besar akan berimplikasi pada harga komoditi kakao pada periode

berikutnya. Dengan demikian, lag produksi akan berpengaruh negatif terhadap harga kakao Indonesia. Jika produksi kakao secara global turun, maka harga kakao dunia termasuk di Indonesia akan meningkat dengan faktor lain dianggap ceteris paribus.

Dokumen terkait