• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran sebagai dasar pemikiran peneliti dilandasi dengan konsep-konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini juga sama halnya dengan yang dikatakan bahwa kerangka konsep sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan didapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesis (Nawawi, 2001: 40). Maka berdasarkan teori yang dijabarkan sebelumnya, kerangka pemikiran yang disusun untuk penelitian ini adalah:

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif-interpretatif. Menurut Moleong, penelitian kualitatif adalah peneltian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang ilmiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2004: 6).

Penelitian interpretatif memfokuskan pada upaya untuk mengungkap makna dalam suatu karya, peristiwa atau kondisi tertentu. Metode analisis kualitatif-interpretatif tidak bisa lepas dari subyektivitas. Dalam hal ini, subyektivitas tidak dapat lepas dari obyek penelitian. Hal ini terjadi karena penelitian murni berdasarkan interpretasi dari penleiti. Namun demikian, subyektivitas ini tetap mengandung kebenaran (Moleong, 2004: 10). Pada penelitian film “The Act of Killing”, makna yang menggambarkan kekerasan budaya pun diungkap berdasarkan interpretasi peneliti.

Kemudian penelitian ini menggunakan penelitian semiotika dengan model semiologi Roland Barthes. Dalam semiologi Roland Barthes menggunakan signifikasi dua tahap (two order of signification). Tahap pertama adalah denotasi yang merupakan makna paling nyata dari tanda dan tahap kedua adalah konotasi yang merupakan makna yang bersifat subjektif dan kehadirannya tidak disadari.

3.2. Objek Peneltian

Objek penelitian adalah masalah yang akan diteliti atau masalah yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu suatu problem yang harus dipecahkan atau dibatasi melalui penelitian. Di dalam penelitian ini yang akaan menjadi objek penelitian adalah film “The Act of Killing”.

3.3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber data dari penelitian di mana data itu diperoleh, atau tempat menemukan data. Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek adalah kekerasan budaya dalam film “The Act of Killing”.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi atau Pengamatan, yaitu teknik yang dilakukan melalui pengamatan terhadap sasaran penelitian yang ditentukan, yaitu adegan-adegan dalam film “The Act of Killing” yang menunjukkan kekerasan budaya.

2. Studi Kepustakaan, yaitu teknik memperoleh data yang dibutuhkan akan dikumpulkan dengan studi pustaka guna mengkaji beberapa pokok permasalahan dari objek yang diteliti. Data pendukung didapatkan dari buku-buku, artikel-artikel dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan semiotika, kekerasan budaya, metodologi penelitian,

3.5. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan

apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2004: 248).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika, yaitu sebuah teknik untuk mempelajari sistem tanda. Dalam hal ini, semiotika yang digunakan adalah semiotika model Roland Barthes. Semiotika model Roland Barthes menggunakan sistem pemaknaan bertingkat dalam melakukan suatu interpretasi terhadap gambar-gambar bergerak yang terdapat dalam film “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer. Sistem pemaknaan bertingkat ini dimulai dengan mencari makna denotatif yang ada dalam gambar bergerak yang akan diinterpretasi oleh peneliti. Kemudian makna denotatif yang telah terinpretasi akan dianalisis lebih lanjut untuk dicari makna konotatifnya.

Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam diskursus semiotika adalah peran pembaca (the reader). Meskipun merupakan sifat asli tanda, konotasi membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam hal ini, Barthes menyebut konotasi sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada.

Tahapan analisis data yang akan dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Diseleksi

Peneliti akan menyeleksi bagian-bagian yang menggambarkan kekerasan budaya dalam film “The Act of Killing”.

2. Diklarifikasi

Tahap selanjutnya adalah mengklarifikasi bagian-bagian yang dapat menginterpretasikan tindakan-tindakan kekerasan budaya.

3. Dianalisis

Bagian yang telah diklarifikasi, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

4. Diinterpretasikan

Setelah itu peneliti akan menginterpretasikan hasil analisis tersebut.

5. Ditarik kesimpulan

Di tahap terakhir ini, peneliti menarik kesimpulan bagaimana kekerasan budaya yang diinterpretasikan dalam film “The Act of Killing”.

Guna memudahkan kerja analisis data, maka dibuat tabel kerja analisis seperti di bawah:

Tabel 2.

Unit dan Level Analisis

UNIT ANALISIS LEVEL ANALISIS

PETANDA DENOTASI

KONOTASI MITOS PENANDA

TANDA

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Film “The Act of Killing”

4.1.1. Poster Film “The Act of Killing”

Gambar 2 . Poster Film “The Act of Killing”

Sumber : http://theactofkilling.com

4.1.2. Sinopsis Film “The Act of Killing”

The Act of Killing adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. The Act of Killing merupakan dokumenter atas dokumenter karena banyak adegan dalam film ini mengambil

gambar seputar pengambilan gambar film dokumenter Arsan dan Aminah. Hal ini terjadi karena Joshua Oppenheimer memiliki cara yang unik untuk membuat Anwar Conggo mengungkapkan secara detail bagaimana keterlibatannya dalam pembunuhan massal 1965-1966. Oppenheimer yang mengetahui ketertarikan Conggo terhadap film-film aksi dan cowboy memfasilitasi Conggo untuk membuat film dokumenter tentang peristiwa tersebut, maka terciptalah film Arsan dan Aminah. Conggo memiliki peran yang sangat menentukan dalam film Arsan dan Aminah karena berperan sebagai sutradara, penulis skenario, aktor (baik aktor pelaku dan aktor korban), penata rias dan busana.

Dengan memberi Conggo posisi sebagai penulis skenario, Oppenheimer berpendapat bahwa Conggo akan mampu menggambarkan secara lengkap keterlibatannya dalam pembunuhan massal 1965. Oppenheimer kemudian memfilmkan proses pembuatan film Arsan dan Aminah serta melakukan wawancara terhadap orang-orang yang terlibat, dan kemudian menjadikannya sebagai film The Act of Killing.

Conggo kemudian menjadi tokoh sentral dalam cerita pembunuhan massal yang dibangun oleh Joshua Oppenheimer melalui The Act of Killing.

Dalam sinopsis film yang dimuat di situs resmi film ini, Conggo dikatakan ‘naik pangkat’ dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh, yang paling terkenal kekejamannya di Medan. Untuk sampai pada posisi tersebut, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri (http://jagalfilm.com).

Masa muda Anwar dihabiskan di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama

menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.

Di tahun 1965, Anwar dan kawan-kawan bersama tentara membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan) (http://jagalfilm.com)

Jika kita mencermati sinopsis di atas, beralihnya Conggo menjadi pembunuh diceritakan sebagai masalah personal karena Partai Komunis Indonesia (PKI) mengganggu pekerjaan mereka. Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Conggo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik.

Bagian paling dramatis dari proses pembuatan film ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Conggo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya (http://jagalfilm.com)

Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah film “The Act of Killing”.

Film yang berdurasi 159 menit ini pertama kali diputar di Festival Film Internasional Toronto pada September 2012, setelah sebelumnya menghabiskan waktu selama tujuh tahun untuk pengambilan gambar. Terdapat beberapa unsur kekerasan budaya dalam film ini, yang berpotensi untuk dijadikan objek penelitian. Untuk mensistematiskan jalannya penelitian, maka film ini akan

dibagai ke dalam beberapa scene yang terdiri dari beberapa gambar yang berkaitan dengan kekerasan budaya.

4.2 Penyajian dan Analisis Data

4.2.1. Analisis Scene Pertama Film The Act of Killing Scene pertama

Gambar 3 Gambar 4

Ilustrasi scene pertama (menit 0 detik 45 sampai menit 1 detik ke-35)

Scene ini menampilkan Conggo yang memerankan Almarhum Arsan (salah satu pembunuh kaum komunis di Medan), Erman Koto yang memerankan Almarhum Aminah (istri Arsan) dan beberapa pemeran figuran yang berperan sebagai penari. Suara air terjun dan paduan suara menjadi latar suara yang ditingkahi suara dari kru film yang menginstruksikan para pemeran untuk berperan bahagia. Arsan dan Aminah bergerak membuka tangan di depan deburan dengan air terjun. Para penari menggerakan badan mereka dalam tarian di sekeliling Arsan dan Aminah.

Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar pertama adalah eye angle dan medium long shot sementara pada gambar kedua low level-angle dan long shot.

1. Visual (Tanda)

Dialog/Teks/Suara

Suara air terjun dan alunan suara paduan suara serta suara kru film yang mengatakan “Oke, bahagia, senyum, damai. Bahagia, ya, senyum.”

Penanda

Seorang laki-laki dan seorang perempuan tengah membuka tangannya.

Laki-laki memakai baju terusan hitam gelap, sementara perempuan memakai baju terusan biru cerah disertai topi putih berpita biru di kepalanya. Latar lokasi berada di air terjun yang di sekitarnya ada bunga-bunga.

Petanda

Lokasi berupa air terjun serta bunga-bunga di sekitarnya menunjukkan makna pemandangan dan keindahan, dan karena Arsan dan Aminah adalah dua orang yang sudah meninggal, sehingga latar lokasi akan dimaknai sebagai surga.

Gestur membuka tangan yang dilakukan Arsan dan Aminah dapat dimaknai sebagai menikmati suasana tempat di mana mereka berada. Artinya Arsan dan

Aminah senang berada di lokasi tersebut. Hal ini sejalan dengan instruksi kru film yang mengarahkan para pemeran untuk berperan bahagia.

2. Visual (Tanda)

Dialog/Teks/Suara

Suara air terjun dan suara kru film yang melanjutkan instruksinya dengan mengatakan “ ………bahagia bukan senang, ya, tapi bahagia. Indah, indah, ini bukan rekayasa. Indahnya alam, indahnya alam. Cut, cut, cut”

Penanda

Tiga orang perempuan mengenakan rok panjang berwarna putih dan atasan berwarna merah cerah sedang menggerakkan tangan mereka masing-masing. Mereka berdiri di sekeliling rumput hijau dan bunga-bunga berwarna merah jambu. Di belakang mereka ada terlihat bagian bawahh dari sebuah air terjun.

Petanda

Gerakan membuka tangan yang dilakukan para perempuan tersebut menyampaikan makna bahwa mereka sedang menari. Tarian mereka menunjukkan energi serta kegembiraan. Mereka mengelilingi Arsan untuk menujukkan bahwa mereka adalah pendamping Arsan di surga. Dalam beberapa agama, terdapat kepercayaan, bahwa surga dihuni oleh para bidadari. Bidadari ini kemudian akan menjadi kekasih dari penghuni surga. Dengan berdiri di sekitar bunga-bunga yang cantik ingin mengasosiasikan keberadaan bidadari dengan keindahan.

Tataran Tingkat Pertama (Denotasi)

Pada scene ini, terdapat beberapa tokoh yang ditampilkan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan serta beberapa wanita cantik. Pada gambar pertama, laki-laki dan perempuan yang bersebelahan mengangkat tangan. Laki-laki mengenakan baju terusan hitam sementara perempuan mengenakan baju terusan biru cerah beserta topi dengan warna yang senada. Mereka berada di depan air terjun yang mengalir dengan deras dan juga terdapat tumbuhan di belakang mereka. Teknik pengambilan gambar dalam gambar ini adalah eye level-angle dan medium long shot.

Pada gambar kedua terlihat tiga perempuan cantik dimana para perempuan tersebut menggerakkan kedua tangan mereka dan kepala mereka masing-masing dengan seirama. Posisi para perempuan ini mengelilingi laki-laki dan perempuan yang ada pada gambar pertama. Mereka mengenakan pakaian berwarna cerah yakni atasan merah dan rok panjang putih, serta aksesoris kepala yang menarik.

Di sekeliling mereka penuh dengan hijau dari tumbuhan serta beberapa kuntum

bunga. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar ini adalah eye level-angle dan long shot.

Tataran Tingkat Kedua (Konotasi)

Pada scene ini, terdapat beberapa tokoh yang ditampilkan, yaitu Almarhum Arsan dan Almarhumah Aminah serta beberapa wanita cantik. Semua tokoh berada dalam suasana yang dilingkupi kebahagiaan dan kedamaian. Mereka sedang berada di tempat yang indah, dengan latar air terjun, bunga-bunga. Pada gambar pertama, lokasi berada air terjun serta bunga-bunga di sekitarnya menunjukkan makna pemandangan dan keindahan. Karena Arsan dan Aminah adalah dua orang yang sudah meninggal, lokasi ini tentu diasosiasikan bukan bagian dari bumi. Sehingga tempat ini merupakan surga karena merupakan tempat yang berhias pemandangan yang indah, yang terdiri dari air terjun, bunga dan perempuan-perempuan cantik. Gestur membuka tangan yang dilakukan Arsan dan Aminah dapat dimaknai sebagai menikmati suasana tempat di mana mereka berada. Dengan kondisi yang sedemikan rupa dibentuk untuk menunjukkan keindahan, tak heran Arsan dan Aminah senang berada di lokasi tersebut.

Sementara pada gambar kedua suasana menjadi semakin hidup karena ada perempuan-perempuan cantik yang menari dengan begitu enerjik dan berpakaian cerah serta selalu tersenyum. Posisi mereka mengelilingi Almarhum Arsan dan Almarhumah Aminah menunjukkan bahwa mereka adalah pendamping Almarhum Arsan dan Almarhumah Aminah di surga. Hal ini sesuai dengan kepercayaan, bahwa surga dihuni oleh para bidadari. Bidadari ini kemudian akan menjadi kekasih dari penghuni surga. Di sekitar para bidadari ini tumbuh bunga-bunga yang cantik, sehingga mengasosiasikan keberadaan bidadari dengan

keindahan. Keberadaan Almarhum Arsan dan Almarhumah Aminah di surga tentu ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang baik selama masa hidupnya.

Artinya tindakan pembantaian terhadap orang-orang tertuduh komunis yang dilakukan oleh Almarhum Arsan merupakan tindakan yang baik. Tindakan pembantaian yang dikesankan sebagai hal yang baik ini bahkan membuat mereka berada di antara para bidadari sewaktu berada di surga. Penggambaran ini tentu akan membuat penonton mengganggap positif pembunuhan yang kemudian akan melegitimasi tindakan pembunuhan tersebut karena orang-orang yang dibunuh merupakan orang-orang yang jahat dan yang membunuh merupakan orang-orang yang baik yang kemudian akan masuk surga.

4.2.2. Analisis Scene Kedua Film The Act of Killing Scene Kedua

Gambar 5 Gambar 6

Gambar 7

Ilustrasi Scene Kedua Film The Act of Killing (menit ke-15 detik ke-1 sampai menit ke-16 detik ke-14)

Scene ini menampilkan Conggo dan Koto saat berada dalam kegelapan malam. Conggo mengenakan setelan jas coklat dengan kemeja batik di dalamnya sementara Koto mengenakan celana gelap dan kemeja lengan panjang berwarna merah jambu serta suspender berbentuk y berwarna gelap. Mereka sedang berbicara untuk menjelaskan kilas balik kehidupan Conggo saat dulu masih menjadi preman penjaga bioskop.

Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar pertama adalah eye level-angle dan medium shot, pada gambar kedua eye level-angle dan long shot dan pada gambar ketiga adalah eye level-angle long shot. Latar dari scene ini adalah emperan pertokoan yang berada di sisi jalan raya, di mana dulu pertokoan ini adalah bioskop tempat Conggo bekerja dan markas dari Pemuda Pancasila tempat Conggo melakukan eksekusi.

1.Visual (Tanda)

Dialog/Teks/Suara

Suara sepeda motor dan mobil yang melaju di jalan.

Dialog Conggo : “Itu preman ya. Namanya preman dulu, lapangan kerja tidak ada, jadi menghalalkan segala cara hanya untuk perut. Untuk cantik, steady, ya, kan?

Dulu di sini adalah bioskop, dimana saya sering cari makan.”

Penanda

Dua orang laki-laki sedang berada dalam kegelapan malam di depan pertokoan yang berada di dekat jalan raya. Lelaki pertama mengenakan jas berwarna coklat dengan kemeja coklat di dalamnya, sedang memegang perutnya.

Sementara lelaki kedua yang mengenakan kemeja merah jambu dengan suspender memperhatikan.

Petanda

Conggo dan Koto berada di bioskop yang dulu menjadi tempat bekerja Conggo sebagai preman pencatut tiket bioskop. Gerakan Conggo yang memegang perut menandakan bahwa di tempat ini adalah tempat dia mengisi perut (mencari penghasilan) dengan pekerjaannya sebagai preman bioskop. Penghasilan Conggo dari bioskop juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan penampilan (sandang).

Kehidupan Conggo sebagai preman bioskop berlangsung pada malam hari.

2. Visual (Tanda)

Dialog/Teks/Suara

Dialog Conggo: “Saya selalu berdiri disini. Sambil nampang, mencatut karcis. Kalo orang banyak, saya catut karcis.”

Penanda

Dua orang laki-laki sedang berdiri, lelaki pertama berdiri sambil meletakkan kedua tangannya di kedua sisi pinggangnya. Sementara lelaki kedua memperhatikan lelaki pertama sembari memegang sebatang rokok di tangannya.

Petanda

Conggo menunjukkan bagaimana cara dia bekerja sebagai preman bioskop, dimana salah satunya adalah mencatut karcis bioskop. Mencatut maksudnya adalah memperdagangkan sesuatu dengan cara yang tidak sewajarnya dan mengambil untung sebanyak-banyaknya (https://www.kbbi.web.id), jadi Conggo memperdagangkan karcis bioskop dengan yang lebih mahal dari harga resmi. Dengan pekerjaan ilegal dan ber-resiko tersebut tentu Conggo harus

memiliki penampilan yang meyakinkan dan menakutkan orang-orang, sehingga dia menunjukkan gestur berkecak pinggang saat bekerja.

3. Visual (Tanda)

.

Dialog/Teks/Suara

Dialog Conggo: “Makanya begitu masuk pada tahun… Komunis-nya yang ingin berkuasa, mulai masuk koran. Tidak dibenarkan film-film Amerika masuk, iya, kan. Dia mesti, dia mesti dikurangkan peredarannya. Kita sebagai preman pun susah cari makan.”

Dialog Koto: “Karena penonton ga ada. Kalo film-film dari Amerika, dari Hollywood, rame. Jadi kalau sekiranya tidak ada, preman tidak dapat uang.

Makan malam, bo liao ya. Nyamping ya.”

Penanda

Laki-laki yang mengenakan kemeja merah jambu dan suspender sedang melakukan gerakan tangan menguncup yang diarahkan ke samping mulut.

Sementara laki-laki yang berjas coklat membuka sedikit mulutnya

Petanda

Koto menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan komunis membuat mereka tidak bisa makan dan tidak mendapat penghasilan. Hal itu karena komunis melarang film-film Amerika yang disukai penonton ketika itu.

Sementara Conggo tertawa getir mengingat masa-masa di mana mereka mengalami kesulitan akibat sepinya penonton yang datang ke bioskop

Tataran Tingkat Pertama (Denotasi)

Scene ini berlokasi di depan pertokoan yang dulunya yang berada di dekat jalan raya dan mengambil waktu pada malam hari. Pada gambar pertama ada dua orang laki-laki sedang berada dalam kegelapan malam. Lelaki pertama mengenakan jas berwarna coklat dengan kemeja coklat-kuning di dalamnya dan sedang melakukan gestur memegang perut dengan kedua tangannya. Sementara lelaki kedua mengenakan kemeja merah jambu dengan suspender terlihat memperhatikan lelaki pertama. Gambar pertama diambil dengan teknik eye level-angle dan medium shot.

Pada gambar kedua, lokasi masih berada di tempat yang sama namun agak mendekat ke arah pertokoan, sementara tokoh yang ditampilkan masih dua orang laki yang sama dengan yang ada di gambar pertama. Pada gambar ini, laki-laki yang mengenakan jas coklat terlihat berkecak pinggang sembari menunjukkan wajah yang ketat sementara laki-akiyang mengenakan kemeja merah jambu terlihat tangan kanannya memegang rokok sementara tangan kirinya terlihat berada di samping kiri badannya. Gesturnya secara umum sama dengan yang digambar pertama, yaitu memperhatikan laki-laki yang berjas coklat. Teknik

pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar ini adalah eye level-angle dan medium shot.

Sementara pada gambar yang ketiga dari scene kedua, lokasi pengambilan gambar sedikit beralih ke jalan raya. Tokoh pada gambar ini sama dengan dua gambar sebelumnya karena masih berada pada scene yang sama. Pada scene ini laki-laki berjas coklat terlihat berdiri tegak dan tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana sebelah kiri, sementara tangan kanannya berada di samping badannya. Laki-laki yang mengenakan kemeja merah jambu melakukan gestur menguncupkan tangan kanannya dan menggerakkannya dari dekat pinggang seolah-olah menuju ke mulut, tetapi tidak masuk ke mulut melainkan ke samping kanan mulut. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah eye level-angle dan medium shot.

Tataran Tingkat Kedua (Konotasi)

Pada scene ini terdapat dua laki-laki, yang pertama mengenakan jas coklat dengan kemeja coklat kuning, sementara yang kedua mengenakan kemeja merah jambu dengan suspender hitam dan celana gelap. Laki-laki pertama adalah Conggo dan laki-laki yang kedua adalah Koto. Tidak seperti di scene yang sebelumnya, di mana mereka memerankan diri mereka sendiri, pada scene ini

Pada scene ini terdapat dua laki-laki, yang pertama mengenakan jas coklat dengan kemeja coklat kuning, sementara yang kedua mengenakan kemeja merah jambu dengan suspender hitam dan celana gelap. Laki-laki pertama adalah Conggo dan laki-laki yang kedua adalah Koto. Tidak seperti di scene yang sebelumnya, di mana mereka memerankan diri mereka sendiri, pada scene ini

Dokumen terkait