KEKERASAN BUDAYA DALAM FILM
(Analisis Semiotika Kekerasan Budaya dalam Film “The Act of Killing”
Karya Joshua Oppenheimer)
SKRIPSI
JANTER RONALDO PURBA 120904134
JURNALISTIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
KEKERASAN BUDAYA DALAM FILM
(Analisis Semiotika Kekerasan Budaya dalam Film “The Act of Killing”
Karya Joshua Oppenheimer)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
JANTER RONALDO PURBA 120904134
JURNALISTIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Janter Ronaldo Purba
NIM : 120904134
Judul : KEKERASAN BUDAYA DALAM FILM (Analisis Semiotika Kekerasan Budaya Dalam Film “The Act of Killing” Karya Joshua Oppenheimer)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Haris Wijaya, S.Sos., M.Comm Dra. Dewi Kurniawati, M.Si. Ph. D NIP. 197711062005011001 NIP. 196505241989032001
Dekan
Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.
NIP. 197409302005011002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Janter Ronaldo Purba NIM : 120904134
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul : KEKERASAN BUDAYA DALAM FILM (Analisis Semiotika Kekerasan Budaya Dalam Film “The Act of Killing” Karya Joshua Oppenheimer)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : (……….)
Penguji : (……….)
Penguji Utama : (……….)
Ditetapkan di : Medan
Tanggal : Agustus 2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian
hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses sesuai hukum yang berlaku.
Nama : Janter Ronaldo Purba NIM : 120904134
Departemen : Ilmu Komunikasi Tanda Tangan
Tanggal : Agustus 2018
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Janter Ronaldo Purba NIM : 120904134
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Univeritas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Rights) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Kekerasan Budaya Dalam Film (Analisis Semiotika Kekerasan Budaya dalam Film “The Act of Killing” Karya Joshua Oppenheimer)
Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, tanpa menerima izin dari saya, selama tetap mencantuman nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada tanggal : Agustus 2018 Yang menyatakan,
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan penelitian skripsi yang berjudul “Kekerasan Budaya dalam Film (Analisis Semiotika Kekerasan Budaya dalam Film ‘The Act of Killing’ Karya Joshua Oppenheimer)” dengan baik.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan skripsi ini, saya banyak mendapat bantuan berupa saran, bimbingan dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangat dari berbagai pihak. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, saya tidak akan dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada keluarga saya, terutama ayah saya, Kiris Purba dan ibu saya Lisbet Situmorang. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Muryanto Amin selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si. Ph.D selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi.
3. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos., M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi
4. Bapak Haris Wijaya, S.Sos., M.Comm selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan nasihat yang sangat membantu saya selama pengerjaan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah mengajari dan membimbing saya selama perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi.
6. Kepada “kampus kedua” saya, Front Mahasiswa Nasional Cabang Medan, beserta orang-orang di dalamnya yang telah menjadi kawan belajar banyak hal bagi penulis sejak awal kuliah, terkhusus Rachmad Panjaitan, Thariq Tsaqieb, Daniel Hugo, Muammar Tahir, Hendra Manurung, Julius Gultom, Pasko Damanik, Ari Syahputra, Benny, Muhammad Fahmi, Azhari Muhammad, Dahlia Saragih, Putra Sianipar, Indah Simbolon dan kawan-kawan lain yang turut belajar dan berjuang bersama. Juga kepada Truly Sirait yang berperan secara moril maupun materiil dalam peneltian ini. Kalian telah menjadi kawan yang sangat membantu untuk berdiskusi, berbagi buku dan pengetahuan, yang berguna bagi penyelesaian peneltian ini.
7. Kawan-kawan pengurus dan anggota dari seluruh organisasi yang tergabung di dalam Front Perjuangan Rakyat yang telah membantu peneliti untuk mendapatkan narasumber, bahan bacaan dan bahan analisis yang diperlukan untuk peneltian ini, terkhusus Ahmadsyah Eben dan Kristian Ginting.
8. Kawan-kawan seperjuangan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2012.
Saya sepenuhnya menyadari banyak kekurangan-kekurangan dari penelitian ini, baik dari segi metodologi maupun hasil, oleh karenanya saya sangat terbuka terhadap kritik dan saran. Akhir kata, terima kasih sekali lagi dan semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat.
Medan, Agustus 2018 Peneliti,
(Janter Ronaldo Purba)
Abstrak
Penelitian ini berjudul “Kekerasan Budaya dalam Film (Analisis Semiotika Kekerasan Budaya dalam Film “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kekerasan budaya ditampilkan dalam film “The Act of Killing” berdasarkan denotasi, konotasi dan mitos yang ada. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : komunikasi massa, film, semiotika, semiotika Roland Barthes, kekerasan budaya. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif- interpreatif dan menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signifikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level denotasi dan konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa film ini menampilkan gagasan kekerasan budaya yang melegitmasi kekerasan langsung yaitu pembunuhan massal 1965-1966. Struktur cerita lebih dominan untuk membahas penderitaan pelaku dibanding penderitaan korban, sehingga menggiring simpati penonton lebih kepada pelaku daripada kepada korban. Selain itu pelaku juga ditampilkan sebagai orang yang berjasa bagi negara dan baik walaupun sudah melakukan kekerasan. Sehingga peristiwa kekerasan akan menjadi peristiwa kekerasan yang dibenarkan karena dianggap sebagai tindakan yang baik dan perlu bagi negara.
Kata kunci : Semiotika, Kekerasan Budaya, Film
Abstract
This research entitled “Cultural Violence in Film (Semiotic Analysis of Cultural Violence in Film “The Act of Killing” by Joshua Oppenheimer). The purpose if this study is to find out how cultural violence displayed in “The Act of Killing”
based on denotation, connotation, and myth. In this research, the researcher used several relevant theories, namely : mass communication, movie, semiotics, Roland Barthes semiotics, cultural violence. The methodology of this study is interpretative-qualitative and used a semiotic analysis by Roland Barthes semiology analysis tools such as the significance of the two stages (two orders of signification ); denotation and connotation, which is then divided into markers,marked , levels of denotation and connotation. The result of this research found that the movies display cultural violence that legitimate direct violence, namely, mass murder in 1965-1966. The story structure is more dominant to display the suffering of violence subject than the suffering of violence victim with the result that lead the audience sympathy is more to the subject tha to the victim.
The subject was also displayed as a patriotic and a kind man. By story structure like this, the violence would be looked as the required violence because the violence was important to the state.
Keywords : semiotics, cultural violence, movie
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1
1.2 Fokus Masalah ... 6
1.3 Batasan Masalah ... 6
1.4 Tujuan Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian ... 7
2.2 Kerangka Teori ... 9
2.2.1 Komunikasi Massa ... 9
2.2.1.1. Ciri-ciri Komunikasi Massa ... 13
2.2.1.2. Fungsi Komunikasi Massa ... 16
2.2.1.3. Bentuk-bentuk Media Massa ... 20
2.2.2. Film ... 23
2.2.2.1. Film Sebagai Komunikasi Massa ... 24
2.2.2.2. Klasifikasi Film ... 25
2.2.2.3. Karakteristik Film ... 28
2.2.2.4. Unsur-unsur Film ... 29
2.2.3 Semiotika ... 36
2.2.3.1. Semiotika Roland Barthes ... 41
2.2.4. Kekerasan Budaya ... 47
2.3. Kerangka Pemikiran ... 50
BAB II METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 51
3.2 Objek Penelitian ... 52
3.3 Subjek Penelitian ... 52
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.5 Teknik Analisis Data ... 52
4.1 Gambaran Umum Film The Act of Killing ... 55
4.1.1. Poster Film The Act of Killing ... 55
4.1.2 Sinopsis Film The Act of Killing ... 55
4.2 Penyajian dan Analisis Data ... 58
4.2.1. Analisis Scene Pertama ... 58
4.2.2. Analisis Scene Kedua ... 63
4.2.3. Analisis Scene Ketiga ... 71
4.2.4. Analisis Scene Keempat ... 76
4.2.5. Analisis Scene Kelima ... 84
4.2.6. Analisis Scene Keenam ... 90
4.3 Mitos dan Temuan Data ... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 103
5.2 Saran ... 104
DAFTAR REFERENSI ... 106
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Tanda Roland Barthes ……….. 44
Gambar 2. Poster Fim The Act of Killing ……….. 55
Gambar 3. Scene Pertama ………....….. 58
Gambar 4. Scene Pertama ……….………. 58
Gambar 5. Scene Kedua ……… 63
Gambar 6. Scene Kedua ……… 63
Gambar 7. Scene Kedua ……… 63
Gambar 8. Scene Ketiga ……… 72
Gambar 9. Scene Ketiga ……… 72
Gambar 10. Scene Keempat ………...……… 76
Gambar 11. Scene Keempat ………...……… 76
Gambar 12. Scene Keempat ………...……… 76
Gambar 13. Scene Kelima ………..……… 84
Gambar 14. Scene Kelima ………..……… 84
Gambar 15. Scene Keenam………..……… 89
Gambar 16. Scene Keenam………..……… 89
Gambar 17. Scene Keenam………..……… 89
Gambar 18. Scene Keenam………..……… 89
Gambar 19. Scene Keenam………..……… 89
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kerangka Pemikiran ……… 50 Tabel 2. Unit dan Level Analisis ………..…… 54
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah
Satu pertanyaan yang sering dikemukakan dalam perbincangan mengenai film adalah “apa pesan dalam film tersebut?”. Pertanyaan itu menyiratkan bahwa setiap film memiliki pesan. Sehingga menjadi keniscayaan bahwa film adalah salah satu medium untuk berkomunikasi, karena film memiliki dan menyampaikan pesan kepada penontonnya. Film menyampaikan pesan melalui gambar bergerak yang dihasilkan dari pemanfaatan teknologi kamera, pencahayaan, warna dan suara (Cahyono, 2007: 1). Unsur tersebut digunakan berdasarkan latar belakang alur cerita yang disusun komunikator, dalam hal ini adalah sutradara. Pesan diekspresikan melalui gambar, dialog, suara, warna, sudut pengambilan gambar, musik dalam film. Adegan-adegan dirangkaikan satu sama lain beserta lambang yang dipergunakan sehingga pesan dapat dipahami khalayak penonton.
Fakta bahwa film memiliki pesan menjadi alasan untuk menempatkan film menjadi medium komunikasi. Hal ini sesuai dengan definisi komunikasi yang dirumuskan dan dikemukakan oleh berbagai ahli komunikasi. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner menyatakan bahwa komunikasi merupakan transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya (dalam Mulyana, 2007: 68). Jika definisi tersebut diaplikasikan pada film, maka kesesuaian terjadi karena film memiliki simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik yang mampu untuk mentransmisikan informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya.
Sementara Harold Laswell menggambarkan komunikasi dengan memberi pertanyaan berupa Who says what in which channel to whom with what effect?
Atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana (Laswell dalam Mulyana, 2007: 68)? Jika kita aplikasikan pada film, maka “siapa” yang pertama (komunikator) merujuk pada sutradara film; “apa merujuk pada pesan dalam film; “dengan saluran apa” merujuk pada film itu sendiri; “siapa” yang kedua (komunikan) merujuk pada penonton; ”dengan pengaruh bagaimana” merujuk pada reaksi penonton.
Dengan menggunakan sudut pandang ilmu komunikasi, film berkedudukan sebagai medium komunikasi massa. Hal ini disebabkan karena film dibuat untuk ditonton banyak orang dan menjadikan pesan dalam film ditujukan untuk disampaikan kepada banyak orang pula. Di Indonesia sendiri kedudukan film sebagai media komunikasi massa bahkan diatur dan disebut dalam peraturan perundangan-undangan, tepatnya di UU Nomor 8 Tahun 1992. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa
“Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematograf dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya”
Sebagai sebuah medium komunikasi massa, film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya karena film mampu menjangkau banyak segmen sosial. Argumen ini didasarkan pada fakta historis bahwa pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di perkotaan, tetapi dengan cepat film mampu
1999: 12). Kemampuan tersebut menegaskan bahwa film memiliki daya persuasi yang besar (Rivers, dkk, 2008: 252). Dengan daya persuasif yang dimilikinya, membuat film menjadi menarik untuk dicermati. Karena dengan demikian antara film dan budaya sehari-hari masyarakat terjadi hubungan saling membentuk dan saling mempengaruhi. Atau dengan kata lain, film adalah produk dari struktur sosial, budaya politik tetapi sekaligus membentuk mempengaruhi dinamika struktur tersebut (Irawanto, 1999: 12). Beberapa hal yang bisa menjadi bukti akan besarnya pengaruh film dalam mengkonstruksi masyarakat adalah eksisnya lembaga sensor film dan terbitnya kritik publik terhadap sebuah film (Rivers, dkk, 2008: 252).
Kemampuan film tidak berhenti hanya di situ. Film yang juga merupakan produk budaya, bahkan bisa dijadikan sebagai instrumen untuk melegitimasi atau memberi pembenaran pada kekerasan, baik yang dilakukan secara langsung (fisik), maupun tak langsung ( struktural, sistem sosial), sehingga kekerasan yang terjadi dianggap sebagai tindakan yang wajar dan normal. Penggunaan film sebagai instrumen yang melegitimasi atau memberi pembenaran pada kekerasan, oleh para ahli disebut sebagai kekerasan budaya. Johan Galtung memberi definisi terhadap kekerasan budaya sebagai berikut:
Dengan “kekerasan budaya”, maksud kami adalah aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis dari keberadaan kita –seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan empiris dan pengetahuan formal (logika, matematika) – yang dapat digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural (Galtung, 1990: 291).
Dari definisi tersebut, Galtung tidak mendefinisikan kekerasan hanya semata pada kekerasan yang dilakukan secara fisik. Galtung memperluas pengertian tentang kekerasan dengan mengikutsertakan kekerasan tak-langsung
dan legitimasi atas kedua jenis kekerasan itu, yaitu kekerasan budaya. Untuk skala Indonesia, studi tentang kekerasan budaya dalam film sudah pernah dilakukan oleh Wijaya Herlambang. Herlambang meneliti tentang kekerasan budaya dalam Film “Pengkhianatan G30S/PKI” karya Arifin C. Noer yang berkaitan dengan pembunuhan massal 1965. Dia menyatakan bahwa dalam film itu penghujatan keji bukan terhadap pelaku pembunuhan massal 1965-1966, melainkan justru terhadap korban kekerasan itu dengan cara mencitrakan mereka sebagai setan.
Herlambang juga mengatakan bahwa tiga bentuk kekerasan, yaitu kekerasan langsung, kekerasan tak langsung, dan kekerasan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus dilihat sebagai satu kesatuan untuk merumuskan sebuah pengertian bagaimana kekerasan dapat terjadi di dalam masyarakat (Herlambang, 2015: 37).
Berangkat dari pernyataan Herlambang di atas dapat dikemukakan bahwa film yang menjadi instrumen kekerasan budaya adalah film yang mengangkat tema peristiwa kekerasan kemudian memberi pesan bahwa kekerasan itu adalah suatu tindakan yang wajar dan normal. Film “The Act of Killing” karya sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, adalah salah satu film dokumenter yang mengangkat peristiwa kekerasan sebagai isi filmnya. Peristiwa kekerasan yang dimaksud adalah pembunuhan massal 1965 oleh rezim militer di bawah kepemimpinan Soeharto terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi di berbagai daerah. Namun film ini berfokus pada pembunuhan massal yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Film ini dirilis pada tahun 2012 dan
merupakan kerjasama Denmark-Inggris-Norwegia yang diproduksi oleh Final Cut for Real dan diproduseri oleh Signe Byrge Sorensen.
Joshua Opppenheimer semula memaksudkan film ini sebagai alat untuk membela para korban pembunuhan massal 1965. Dia menyatakan “tidak seperti di Rwanda, Afrika Selatan, atau Jerman, di Indonesia tidak pernah ada komisi untuk kebenaran dan rekonsiliasi, tidak ada pengadilan HAM, tidak ada tugu peringatan untuk para korban. Sebaliknya, sejak melakukan kejahatannya, para pelaku dan anak didik mereka justru memerintah negeri ini, bersikeras untuk dihormati sebagai pahlawan nasional oleh masyarakat umum yang patuh dan seringkali ketakutan” (http://jagalfilm.com/pernyataan). Artinya Oppenheimer ingin dengan menonton film ini lahir sebuah desakan yang lebih besar lagi bagi pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat dari masa lalu dan menghapuskan segala bentuk impunitas, sebuah janji yang diucapkan Presiden Joko Widodo sejak masa kampanyenya (https://www.facebook.com/notes/film-senyap-jagal/film-senyap-disediakan- gratis-untuk-indonesia/787309214725572). Namun jika kita lebih jeli dalam mengamati film ini, ternyata dalam berbagai adegan, kekerasan budaya beroperasi dalam film ini. Adegan bahwa korban pembantaian merasa bahagia karena dibunuh dan bahkan para korban ditunjukkan berterimakasih kepada para pelaku pembantaian karena pembantaian itu mengirim mereka ke surga, menjadi contoh terjadinya kekerasan budaya. Hal ini menjadi ironi mengingat seperti yang peneliti sampaikan di atas, film ini dimaksudkan sebagai pembelaan bagi korban.
Berdasarkan konteks masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kekerasan budaya dalam film (analisis semiotika kekerasan budaya dalam film
“The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer).
1.2. Fokus Masalah
Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka rumusan fokus masalah dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana kekerasan budaya digambarkan dalam film “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer?”
1.3. Batasan Masalah
Supaya penelitian ini terfokus, jelas dan sistematis serta guna menghindari ruang lingkup yang sangat luas yang bisa mengaburkan penelitian, maka peneliti merumuskan batasan masalah yang diteliti. Adapun batasannya adalah, kekerasan budaya dalam film “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer yang melegitimasi pembunuhan massal tahun 1965 di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, metode yang digunakan untuk menggambarkan kekerasan budaya yang dimunculkan dalam film adalah analisis semiotika, kemudian dibatasi juga oleh unit analisis berupa teks, simbol, gambar dan bunyi (audiovisual) dalam film “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer tersebut.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kekerasan budaya dalam film “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan untuk menambah dan memperkaya khazanah kajian ilmu komunikasi, khususnya komunikasi massa. Dalam hal ini, film (salah satu medium komunikasi massa) yang menampilkan kekerasan budaya dalam ditinjau dengan menggunakan analisis semiotika.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan untuk menjadi referensi dan pengetahuan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui dan meneliti tentang kekerasan budaya dalam media komunikasi, terkhusus film.
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan untuk menjadi sumbangan berupa bahan penelitian dan bahan bacaan bagi civitas akademi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar pada seseorang yang menjadi prinsip utamanya dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia serta menentukan tindakannya. Sementara dalam hal filosofis, paradigma memuat pandangan yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, konsekuensi yang dibawa paradigma berpengaruh terhadap cara berperilaku, berpikir, menginterpretasi dan kebijakan dalam memilih permasalahan (Wibowo, 2011:
40). Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang harus dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang harus dilakukan dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya.
Dalam penelitian ini, sebagaimana sebagian besar penelitian semiotika, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah sebuah paham filsafat yang meyakini bahwa pengetahuan manusia adalah bentukan manusia itu sendiri. Little Jhon mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksikan melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya (Wibowo, 2011: 36-37).
Pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi ditolak oleh konstruktivisme karena konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya.
Hal ini karena subjek dapat melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu
dalam wacana. Setiap pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan subjek memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan kepentingan subjek karena setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis ini dapat dilakukan demi membongkar makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto, Q-Anees, 2007: 151).
2.2. Kerangka Teori 2.2.1. Komunikasi Massa
Perkembangan ilmu komunikasi, khususnya mengenai komunikasi massa, menghasilkan definisi yang beragam sekali mengenai komunikasi massa yang dikemukakan para ahli-ahli ilmu komunikasi. Keragaman definisi itu pun mempunyai titik tekannya masing-masing. Namun, dalam keberagaman itu ada benang merah yang menjadi hal dasar yang menghubungkan makna satu definisi dengan definisi yang lainnya. Benang merahnya atau hal dasar tersebut adalah bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa (media cetak, media elektronik). Prinsip ini wajar mengingat pada awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (Nurudin, 2003: 3). Namun media massa yang dimaksud di sini bukan media tradisional seperti kentongan, angklung maupun gamelan, namun media massa yang dihasilkan oleh teknologi modern dan bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audiens yang luas dan heterogen.
Sebelum memahami lebih lanjut komunikasi massa, kita perlu menghilangkan kerancuan dan perbedaan persepsi tentang kata “massa” dalam
komunikasi massa dengan kata massa dalam arti umum (Nurudin, 2003: 3).
Dalam arti umum, penggunaan kata massa misalnya dalam berita yang menyampaikan “bentrokan terjadi antara dua kelompok massa pemuda di Medan yang merebutkan lahan parkir”. Kata massa dalam berita itu merujuk pada arti sosiologis atau dengan kata lain kata massa itu memiliki arti sekumpulan massa yang berada di suatu lokasi tertentu dan melakukan hal yang saling berhubungan.
Sementara dalam komunikasi massa, kata massa lebih merujuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu massa dalam komunikasi massa merujuk pada, pemirsa, pembaca, penonton (Nurudin, 2003: 3).
Sebagaimana dikemukakan di atas, hal dasar dari dari komunikasi massa adalah penggunaan media massa dalam proses komunikasi. John Vivian pun berangkat dari hal itu dan mendefinisikan komunikasi massa sebagai penggunaan sebuah media massa untuk mengirim pesan kepada audiens yang luas dengan tujuan untuk memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 450).
Terhubungnya komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu pun bisa diartikan sebagai komunikasi massa (Tan dan Wright dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 3). Definisi komunikasi massa yang dianggap paling sederhana dikemukakan oleh John Bittner berbunyi “Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people”, yang berarti komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Bittner dalam Rakhmat, 1992: 188).
Walaupun dianggap sederhana, tetapi definisi yang dikemukakan Bittner tersebut tetap memasukkan media massa elemen dalam sebuah proses komunikasi massa, sehingga semakin menegaskan kedudukan media massa sebagai hal dasar dalam komunikasi massa.
Sementara definisi tentang komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner yang menyatakan “mass comunication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies” yang berarti komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkesinambungan serta paling luas yang dimiliki manusia dalam masyarakat industri (Gerbner dalam Rakhmat, 2007:
188). Definisi Gerbner menitikberatkan pada pesan yang diproduksi dan didistribusikan secara luas dan memiliki jarak waktu yang berkala dan dilakukan dalam masyarakat industri yang memang sudah melek teknologi sehingga memanfaatkan alat teknologi dalam komunikasi.
Meletzke mendefinisikan komunikasi massa sebagai setiap bentuk pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar (Meletzke dalam Rakhmat, 1992: 188).
Definisi yang dirumuskan Freidson tentang komunikasi massa menyebutkan bahwa komunikasi massa adalah proses komunikasi di mana pesan dialamatkan pada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa dari individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga menyiratkan digunakannya alat-alat khusus yang memungkinkan pesan sampai pada saat yang sama di semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat.
Dari dalam negeri, Guru Besar ilmu komunikasi Universitas Padjajaran, Deddy Mulyana turut mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), berbiaya yang relatif mahal yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen (Mulyana, 2005: 83).
2.2.1.1. Ciri-ciri Komunikasi Massa
Dari berbagai definisi di atas, jelas terlihat keberagaman definisi dari komunikasi massa. Namun semuanya tetap memiliki benang merah dan bahkan saling melengkapi dengan berbagai titik tekannya masing-masing. Gerbner menekankan pada adanya lembaga dan alat teknis dalam komunikasi massa, sementara Bittner dan Meletzke menekankan komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen dan pesannya bersifat terbuka atau umum. Meletzke pun turut menggarisbawahi bahwa komunikasi massa bersifat satu arah. Sementara definisi yang dikemukan Freidson menjadikan keserempakan sebagai salah satu hal yang harus dipenuhi dalam komunkasi massa. Definisi di atas beserta titik tekannya masing-masing menjadi landasan dirumuskannya ciri-ciri komunikasi massa, sebagai berikut (Nurudin, 2003: 16) :
1. Komunikator dalam Komunikasi Massa Melembaga
Komunikator dalam komunikasi massa bukan hanya satu orang tetapi kumpulan orang-orang dimana kumpulan orang tersebut bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga yang menyerupai suatu sistem. Di dalam komunikasi massa, komunikator yang berperan dalam penyampaian informasi kepada khalayak adalah lembaga media massa itu sendiri. Artinya komunikatornya bukan
perorangan tetapi komunikator dalam komunikasi massa itu adalah lembaga yang disebabkan elemen utama komunikasi massa itu adalah media massa. Media massa hanya bisa muncul karena gabungan kerjasama antar beberapa orang.
Dengan demikian, komunikator dalam komunikasi massa memiliki ciri sebagai berikut (Nurudin, 2003: 19) :
a. Kumpulan individu-individu.
b. Dalam berkomunikasi individu terbatasinya perannya dengan sistem dalam media massa.
c. Pesan yang disebarkan atas nama media yang bersangkutan bukan atas nama pribadi unsur-unsur yang terlibat.
d. Apa yang dikemukakan oleh komunikator biasanya untuk mencapai keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis
2. Komunikan dalam Komunikasi Massa Bersifat Heterogen
Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen dikarenakan komunikan tersebut beragam dan terdiri dari beberapa lapisan masyarakat yang berbeda terlihat dari pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, punya jabatan yang beragam, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula. Ciri atau karakteristik dari komunikan adalah sebagai berikut (Nurudin, 2003: 20) :
a. Komunikan dalam komunikasi massa sangatlah heterogen artinya ia mempunyai heterogenitas komposisi atau sususan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok dalam masyarakat.
b. Berisi individu-individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama lain. Di samping itu, antar individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara berlangsung.
c. Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal.
3. Pesannya Bersifat Umum
Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang. Dengan kata lain, pesan-pesannya ditujukan pada khalayak plural sehingga pesan yang disampaikan bersifat umum tidak boleh bersifat khusus, dimana khusus maksudnya pesan tidak disengaja untuk golongan tertentu.
Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini. Namun tidak semua fakta dan peristiwa yang terjadi disekitar kita dapat dimuat dalam media massa. Pesan komunikasi massa yang dikemas dalam bentuk apa pun harus memenuhi kriteria penting sekaligus menarik bagi sebagian besar komunikan.
Dengan demikian, kriteria pesan yang penting dan menarik itu mempunyai ukuran tersendiri yakni bagi sebagian besar komunikan (Nurudin, 2003: 22).
4. Komunikasinya Berlangsung Satu Arah
Komunikasi massa itu adalah komunikasi dengan menggunakan media massa sehingga karena menggunakan media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak secara langsung. Komunikator selalu aktif menyampaikan informasi ataupun pesan sedangkan komunikannya pun aktif dalam menerima pesan, tetapi diantara keduanya tidak dapat melakukan kontak secara langsung seperti halnya komunikasi antar personal (Nurudin, 2003:
23).
5. Komunikasi Massa Menimbulkan Keserempakan
Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Dengan massa yang relatif banyak maka komunikasi dalam proses penyebaran pesan-pesannya dilakukan secara serempak. Serempak disini memiliki arti khalayak bisa menikmati media massa dan memperoleh pesan tersebut hampir bersamaan. Pastinya bersamaan yang dimaksud bersifat relatif dan ini hanyalah masalah teknis semata.
Effendy menjelaskan bahwa keserempakan media massa itu merupakan keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. Walaupun demikian harapan komunikator dalam komunikasi massa, pesan atau informasi itu tetap ingin dinikmati secara bersamaan oleh para pembacanya. Tidak terkecuali bahwa pesan itu disebar dan didistribusikan oleh media secara bersamaan. Hanya karena jarak dan jangkuan media terhadap wilayah saja yang berbeda memungkinkan perbedaan dalam penerimaan media (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 10).
6. Komunikasi Massa Mengandalkan Peralatan Teknis
Mengandalkan peralatan teknis mungkin sudah kewajiban atau alat utama bagi para komunikasi massa, seperti misalnya pemancar untuk media elektronik seperti televisi dan radio. Bahkan sekarang ini sudah terjadi revolusi komunikasi massa dengan menggunakan satelit. Peranan satelit sangat memudahkan proses penyampaian pesan yang ingin dilakukan media elektronik seperti televisi.
Sekarang ini juga sering televisi melakukan siaran langsung (live), dan bukan
siaran langsung (recorded) Bukan hanya televisi saja, radio juga membutuhkan stasiun pemancar atau relay. Pemancar adalah alat wajib yang dibutuhkan radio (Nurudin, 2003: 28).
7. Komunikasi Massa Dikontrol oleh Gatekeeper
Gatekeeper adalah orang yang berfungsi sebagai menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas, agar semua informasi yang telah diberikan lebih mudah dipahami. Gatekeeper sangat lah penting peranannya, karna apabila tidak adanya gatekeeper bahan-bahan, peristiwa, atau data secara mentah dan disiarkan media massa beragam dan itu akan sangat banyak. Tentu tidak semua bahan itu akan diberikan, di sinilah berfungsinya gatekeeping sebagai pemilahan, pemilihan dan penyesuaian dengan media yang bersangkutan.
Gatekeeper yang dimaksud dalam kasus peneliti ialah editor film, cameramen, sutradara dan lembaga sensor film yang semuanya memengaruhi bahan-bahan yang akan dikemas dalam pesan-pesan dari media massa masing masing. Bisa dibilang gatekeeper sangat menentukan berkualitan atau tidaknya informasi yang akan disebarkan. Baik buruknya dampak pesan yang disebarkan tergantung dengan pemalang pintu ini (Nurudin, 2003: 30).
2.2.1.2. Fungsi Komunikasi Massa
Dengan sangat beragamnya definisi komunikasi massa, fungsi komunikasi massa pun turut beragam. Meskipun antara pendapat yang satu menunjukkan perbedaan dengan pendapat yang lain, tetapi inti yang ingin disampaikan memiliki benang merah. Berbicara mengenai fungsi-fungsi komunikasi massa, prinsip bahwa komunikasi massa itu sendiri berarti komunikasi lewat media massa, tidak boleh dikesampingkan. Dengan kata lain, komunikasi massa tidak akan ditemukan
maknanya secara utuh tanpa menyertakan media massa sebagai elemen terpenting dalam komunikasi massa. Sebab, tak ada komunikasi massa tanpa media massa.
Atas dasar inilah mengapa ketika kita memperbincangkan fungsi komunikasi massa, maka akan sekaligus membicarakan fungsi media massa pula.
Wilbur Schramm menyatakan komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder (Wiryanto, 2000: 10). Komunikasi massa men- decode lingkungan sekitar untuk kita, mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek dari hiburan.
Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang di-decode sehingga dapat mengambil kebijakan efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta membantu anggota-anggota masyarakat menikmati hidup. Komunikasi massa juga meng- encode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota-anggota masyarakat. Peluang ini dimungkinkan karena komunikasi massa mempunyai kemampuan memperluas pandangan, pendengaran dalam jarak yang hampir tidak terbatas dan dapat melipatgandakan suara dan kata-kata secara luas.
Sementara Dominick menyebutkan lima fungsi komunikasi yaitu (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 15):
a. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan dari komunikasi massa dibagi dalam dua bentuk utama, yaitu:
1. Warning or beware surveillance (pengawasan peringatan), fungsi ini terjadi ketika media massa menyampaikan informasi atau pesan akan ancaman yang akan terjadi dan menimpa khalayaknya.
2. Instrumental surveillance (pengawasan instrumental), fungsi ini terjadi ketika media massa menyampaikan pesan atau informasi yang berguna pada khalayak dalam kehidupan sehari-hari.
b. Interpretation (penafsiran)
Fungsi penafsiran hampir sama dengan fungsi pengawasan, namun pada fungsi ini media massa tidak hanya menyampaikan pesan atau informasi saja, tetapi juga memberikan penafsiran kepada pesan atau informasi yang disampaikan pada khalayak tersebut. Pesan atau informasi yang disampaikan diorganisir oleh media massa sebagai komunikator.
c. Linkage (pertalian)
Media massa juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan khalayak. Mengingat komunikasi pada media massa sangat heterogen dan anonim, maka media massa dapat menyampaikan pesan atau informasi yang berdasarkan pada kepentingan dan minat yang sama terhadap sesuatu agar komunikan yang heterogen dan anonim tersebut merasa memiliki kepentingan dan minat yang sama pula.
d. Transmission of value (penyebaran nilai)
Fungsi penyebaran nilai dikenal juga dengan istilah sosialisasi. Media massa di sini berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai pada khalayak. Media massa berperan sebagai sarana yang membentuk dan mengatur kehidupan sosial masyarakat.
e. Entertainment (hiburan)
Fungsi hiburan merupakan fungsi yang paling banyak dicari oleh khalayak dalam menggunakan media massa. Tidak dapat dibantah lagi jika pada saat ini
hampir setiap media massa berlomba dalam memberikan hiburan pada khalayaknya. Fungsi menghibur dari komunikasi massa tidak lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan melihat berita-berita ringan atau melihat tayangan-tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali.
Sedangkan DeVito menyatakan bahwa secara khusus fungsi dari komunikasi massa adalah (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 23):
a. To persuade (meyakinkan)
Fungsi persuasi dalam media massa dapat datang dalam bentuk mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang;
mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu; dan memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu.
b. Status Confederal (menganugerahkan status)
Penganugrahan status (status conferal) terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan kegiatan individu-individu tertentu sehingga prestise (gengsi) individu-individu tersebut meningkat. Dengan memfokuskan kekuatan media massa pada orang-orang tertentu, masyarakat menganugrahkan kepada orang-orang tersebut suatu status publik yang tinggi.
c. Narcotization (membius)
Fungsi ini merupakan interprestasi dari teori peluru dimana dikatakan bahwa khalayak adalah pihak yang pasif dan menyetujui saja terhadap segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa. Dengan demikian pada saat
menerima pesan atau informasi, khalayat terbius dalam keadaan seolah-olah berada dalam pengaruh narkotika.
d. Menciptakan rasa kebersatuan
Media massa memiliki fungsi membuat khalayaknya merasa menjadi suatu anggota suatu kelompok yang luas. Misalnya orang yang sedang sendiri di rumah mendengarkan siaran radio. Ketika sedang mendengarkan radio, ia merasa seolah-olah telah menjadi bagian dari acara tersebut dan tidak merasa sendirian lagi, walaupun pada kenyataanya seseorang itu sendirian.
e. Privatisasi
Privatisasi adalah kecenderungan bagi seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial dan mengucilkan diri kedalam dunianya sendiri. Beberapa ahli berpendapat bahwa berlimpahnya informasi yang dijejalkan kepada kita telah membuat kita merasa kekurangan. Laporan yang gencar tentang perang, inflasi, kejahatan dan pengangguran membuat sebagian orang merasa begitu putus asa sehingga mereka menarik diri ke dalam dunia mereka sendiri.
2.2.1.3. Bentuk-bentuk Media Massa
Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik yang memenuhi kriteria media massa adalah radio siaran, televisi, film, media online atau internet (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 103). Berikut penjelasan dari masing-masing bentuk media massa tersebut:
a. Surat Kabar
Surat kabar atau koran adalah media massa utama bagi orang untuk memperoleh berita. koran meliput berita secara lebih mendalam ketimbang media saingannya. Koran metropolitan seperti Washington Post biasanya memuat 300 item dan lebih banyak pada hari Minggu – lebih banyak ketimbang acara televisi dan radio, serta lebih luas cakupannya (Vivian, 2008: 71). Koran mengandung isi yang amat beragam – berita, saran, komik, opini, teka-teki silang dan data. Di sebagian besar kota, tak ada sumber berita yang bisa menyamai keluasan dan kedalaman liputan berita koran. Hal ini memperkuat popularitas dan pengaruh koran.
b. Majalah
Segmentasi dari majalah bukan hanya untuk kalangan atas, karena banyak juga majalah yang diterbitkan untuk kalangan bawah. Hal ini berarti bahwa peran medium majalah melintasi hampir seluruh lapisan masyarakat. Bahkan orang yang buta huruf dapat memperoleh kesenangan dan manfaat dari majalah yang umumnya banyak memuat gambar dan berwarna. Majalah mampu mengungguli media lain dengan inovasi yang signifikan dalam jurnalisme, advertising dan sirkulasi. Inovasi itu mencakup laporan investigasi, profil tokoh secara lengkap dan foto jurnalisme (Vivian, 2008: 209).
c. Radio Siaran
Di antara semua media eletronik yang ada, radio adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes. Selama keberadaannya yang sudah hampir satu abad lebih, radio siaran telah berhasil mengatasi persaingan keras dengan bioskop, rekaman kaset, televisi, televisi kabel, electronic games dan personal cassete players. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan
mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya.
Keunggulan dari radio siaran adalah berada di mana saja: di tempat tidur (ketika orang akan tidur atau bangun tidur), di dapur, di dalam mobil, di kantor, di jalanan, di pantai dan berbagai tempat lainnya. Radio memiliki kemampuan menjual bagi pengiklan yang produknya dirancang khusus untuk khalayak tertentu (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 123).
d. Televisi
Dibanding semua media komunikasi, televisi merupakan media yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 134).
Bahkan televisi sempat diprediksi sebagai predator media massa yang lain. Ted Turner pernah memprediksi bahwa era koran akan berakhir dalam waktu 10 tahun, namun sampai muncul media televisi koran masih tetap ada dan prediksi itu salah (Vivian, 2008: 226). Turner terlalu melebih-lebihkan dampak televisi, tetapi dia benar ketika menyatakan bahwa televisi terus merebut pembaca dan pengiklan dari koran, dan juga dari media massa lainnya. 99% orang Amerika memiliki televisi di rumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari.
e. Internet
Sebagai medium baru, internet memiliki kelebihan dari segi isi yang melebihi media tradisional dalam banyak hal (Vivian, 2008: 262). Internet muncul di pertengahan 1990-an sebagai medium massa baru yang amat kuat. Internet adalah jaringan kabel dan telepon dan satelit yang menghubungkan komputer.
Hampir semua orang di planet ini yang memiliki komputer bisa masuk ke jaringan. Dengan beberapa kali mengklik tombol mouse kita akan masuk ke lautan informasi dan hiburan yang ada di seluruh dunia.
f. Film
Pengalaman menonton film di ruang gelap telah dinikmati orang sejak masa awal munculnya medium ini. Ini adalah pengalaman hebat, yang membuat film memiliki kekuatan spesial dalam membentuk nilai-nilai kultural. Film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat mereka menontonnya, secara lebih intens ketimbang medium lainnya. Film adalah bagian kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal. Bahkan cara kita bicara sangat dipengaruhi oleh metafora film (Vivian, 2008: 159-160). Dari keberagaman bentuk media massa yang telah dipaparkan di atas, selanjutnya peneliti akan lebih memfokuskan pada bentuk media massa yaitu film sesuai dengan objek penelitian ini.
2.2.2. Film
Berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Perfileman, film didefinisikan sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Perfiliman). Sementara berdasarkan pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera (Joseph, 2011: 11).
2.2.2.1 Film Sebagai Komunikasi Massa
Kembali ke definisi komunikasi massa, Bittner menyatakan bahwa komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Dari definisi tersebut, diketahui bahwa komunikasi massa harus menggunakan massa. Sehingga jika terjadi suatu proses komunikasi kepada komunikan yang banyak tetapi tanpa melalui media massa, maka tidak bisa disebut komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran, televisi -dimana keduanya dikenal sebagai media elektronik-, surat kabar dan majalah –dikenal sebagi media massa cetak- serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop.
Dari beragam bentuk media komunikasi massa visual, film merupakan medium yang dominan(Ardianto dan Erdinaya, 2004: 134). Pernyataan ini bukan tanpa alasan, karena untuk skala negara Amerika Serikat dan Kanada saja, berdasarkan penelitian tahun 2001, satu juta tiket film terjual setiap tahunnya (Agee dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 134). Tentu tahun ke tahun angka ini meningkat mengingat industri film di Amerika Serikat terus berkembang sampai sekarang ini. Kedudukan film sebagai medium yang dominan juga disebabkan karena film membuat terhipnotis penontonnya karena cerita dan visualisasi gambar yang baik sehingga dapat memuaskan kebutuhan hiburan dari para penontonnya. Jangkauan film yang luas juga menjadi salah satu kelebihannya dan pengaruhnya dalam membentuk emosi para penonton juga melebihi media massa yang lain. Walaupun film memiliki kelebihan, tetapi film juga memiliki kekurangan. Penayangan film yang sekilas membuat penontonnya harus berkonsentrasi penuh memperhatikan jalan cerita dari film tersebut, sehingga
mereka tidak bisa mengalihkan pandangan ataupun melakukan kegiatan yang lain.
Fakta ini tentu membuat tertarik para akademisi untuk meneliti tentang film dan merumuskan teori tentang film.
Berbicara mengenai teori film, pada awalnya para teoritisi memaknai teori film dalam estetika formal (Irawanto, 1999: 10). Dengan kata lain, para teoritis lebih mengambil posisi untuk memberi penilaian evaluatif pada aspek estetika film. Film dinilai dalam kerangka baik dan buruk tanpa menyentuh wilayah substansi pesan film itu sendiri. Sehingga para teoritisi cenderung menempatkan dirinya sebagai kritikus.
Pada perkembangan selanjutnya, beberapa teoritisi merumuskan perspektif yang lebih mampu untuk menangkap substansi film. Para teoritisi ini menempatkan film tidak lagi sebatas karya seni, tetapi sebagai praktik sosial (Turner dalam Irawanto, 1999: 10) dan komunikasi massa (Jowett dalam Irawanto, 1999: 10). Perumusan perspektif yang baru ini berakibat pada berkurangnya bias idealisasi dalam meneliti film dan mendudukkan film secara objektif untuk diteliti. Dalam perspektif komunikasi massa sendiri, film dimaknai sebagi pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis.
2.2.2.2. Klasifikasi Film
Klasifikasi film menurut jenis film (Sumarno dalam Joseph, 2011: 18), dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Film Cerita (Fiksi)
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa
film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
b. Film Non-cerita (Non-fiksi)
Film non-cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya. Film non cerita ini terbagi atas dua kategori, yaitu: pertama, film faktual. Film jenis ini menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana kamera sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian aktual. Kedua, film dokumenter. Film jenis ini selain menampilkan fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi tentang kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter tersebut. Film “The Act of Killing” masuk dalam film jenis ini.
Klasifikasi film menurut cara pembuatan film, dibagi menjadi dua, yaitu (Sumarno dalam Joseph, 2011: 19):
a. Film Eksperimental
Film ini film yang dibuat tanpa mengacu pada kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim. Tujuannya adalah untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film. Umumnya dibuat oleh sineas yang kritis terhadap perubahan (kalangan seniman film), tanpa mengutamakan sisi komersialisme, namun lebih kepada sisi kebebasan berkarya.
b. Film Animasi
Film ini adalah film yang dibuat dengan memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi.
Klasifikasi film menurut tema (genre) film, dibagi menjadi lima, yaitu (Baksin dalam Joseph, 2011: 20):
a. Drama
Film dengan tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang bertujuan mengajak penonton ikut merasakan kejadian yang dialami tokohnya, sehingga penonton merasa seakan-akan berada di dalam film tersebut. Tidak jarang penonton yang merasakan sedih, senang, kecewa bahkan ikut marah.
b. Action
Film dengan tema action mengetengahkan adegan-adegan perkelahian, pertempuran dengan senjata, atau kebutkebutan kendaraan antara tokoh yang baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga penonton ikut merasakan ketegangan, was-was, takut bahkan bisa ikut bangga terhadap kemenangan si tokoh.
c. Komedi
Film dengan tema komedi intinya adalah mengetengahkan tontonan yang membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Film komedi berbeda dengan lawakan, karena film komedi tidak harus dimainkan oleh pelawak, tetapi pemain biasa pun bisa memerankan tokoh yang lucu.
d. Tragedi
Film yang bertemakan tragedi, umumnya mengetengahkan kondisi atau nasib yang dialami oleh tokoh utama pada film tersebut. Nasib yang dialami biasanya membuat penonton merasa kasihan/prihatin/iba.
e. Horor
Film bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang menyeramkan sehingga membuat penontonnya merinding karena perasaan takutnya. Hal ini karena film horor selalu berkaitan dengan dunia gaib/magis, yang dibuat dengan special effect, animasi atau langsung dari tokoh-tokoh dalam film tersebut.
2.2.2.3. Karakteristik Film
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis (Erdianto dan Erdinaya, 2004: 136-137).
a. Layar yang Luas/Lebar
Layar film luas telah memberikan keleluasaan pada penontonnya untuk melihat lebih jelas adegan-adegan dalam film. Kemudian perkembangan teknologi yang melahirkan layar tiga dimensi dalam bioskop memberi pengalaman menonton yang seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak pada para penonton.
b. Pengambilan Gambar
Dengan layar yang lebar, pengambilan gambar atau shot dalam film dimungkinkan untuk dilakukan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan gambar secara menyeluruh. Shot dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film
menjadi lebih menarik. Hal ini akan mampu mempengaruhi karena penonton seolah-olah terlibat dalam kejadian yang ada di film.
c. Konsentrasi Penuh
Desain gedung bioskop yang kedap suara, gelap, layar yang lebar akan memungkinkan kita fokus penuh pada alur cerita film. Sehingga saat adegan lucu penonton akan tertawa, atau saat adegan sedih maka penonton ikut bersedih.
Pengalaman menonton film di bioskop tentu berbeda dengan menonton televisi di rumah yang hiruk-pikuk.
d. Identifikasi Psikologi
Kita semua dapat merasakan bahwa susasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang sangat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan (mengindetifikasikan) pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film tersebut, sehingga seolah-olah kita yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial, disebut sebagai identifikasi psikologis.
2.2.2.4. Unsur-unsur Film
Adapun unsur-unsur dalam film (Grezia, 2015: 28-31) adalah : a. Sutradara
Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku di depan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Di samping itu sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.
b. Skenario
Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario dinamakan juga “shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya dan lain-lain. Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.
c. Penata Fotografi
Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot, termasuk menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma kamera dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.
d. Penata Artistik
Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara.
Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada
pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan kamera, di latar depan bagaimana di latar belakang.
e. Penata Suara
Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenaga- tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan.
Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan dipersiapkan diputar di gedung-gedung bioskop.
f. Penata Musik
Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film.
Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan musik pada adegan-adegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata musik yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliau berulangkali meraih piala Citra untuk tata musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk menata paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh cerita film.
g. Pemeran
Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah cerita film. Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari
tuntunan.
h. Penyunting
Penyuting disebut juga editor yaitu orang yang bertugas menyusun hasil shoting sehingga membentuk rangkaian cerita sesuai konsep yang diinstruksikan seorang sutradara dalam sebuah film
i. Editor
Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi.
Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar (rough cut) dan pemotongan halus (fine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan.
Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari : a. Audio
Audio dalam film terbagi dalam dua jenis, yaitu dialog dan sound effect namun dalam beberapa kasus yang minoritas, ada film tidak mempunyai dialog maupun sound effect, yaitu film bisu.
1. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta.
2. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film
b. Visual
Visual dalam film terdiri dari angle, ukuran gambar, pencahayaan, teknik pengambilan gambar dan setting.
1. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada tiga yaitu:
1. High angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas.
2. Low angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah dari objek. Hal ini akan membuat objek kelihatan mempunyai kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya.
3. Straight angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila mengambil straight angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan pengambilan Straight Angle secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.
2. Ukuran Gambar biasanya dimulai dari tampak yang paling besar hingga ukuran yang paling kecil, dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu close up, medium shot dan long shot. Walaupun demikian, dari ketiga ukuran gambar tersebut, masih terdapat rincian yang akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Extreme Long Shot (ELS). Ukuran gambar ELS merupakan kekuatan yang ingin menetapkan suatu (peristiwa, pemandangan) yang sangat-sangat jauh, panjang, dan luas berdimensi lebar. ELS biasa digunakan untuk komposisi gambar indah pada sebuah panorama.
2. Very Long Shot. Gambar-gambar opening scene dan bridging scene dimana penonton divisualkan adegan kolosal, kota metropolitan, dan sebagainya. Posisi kamera diletakkan beragam seperti top angle dari helikopter, menggunakan crane atau jimmy jib.
3. Long Shot. Keseluruhan gambaran dari pokok materi dilihat dari kepala ke kaki atau gambar manusia seutuhnya.
4. Medium Long Shot. Setelah gambar long shot ditarik garis imajiner lalu di-zooming sehingga lebih padat, maka tercipta ke medium long shot. Angle medium long shot sering dipakai untuk memperkaya keindahan gambar.
5. Medium Shot. Gambar diambil dari pinggul pokok materi sampai pada kepala pokok materi. Ukuran MS biasa digunakan sebagai komposisi gambar terbaik untuk wawancara.
6. Middle Close Up. Dari dada pokok materi sampai puncak kepala. MS dapat dikategorikan sebagai komposisi “potret setengah badan” dengan keleluasaan background yang masih bisa dinikmati.
7. Big Close Up. Lebih tajam dari CU, yang mampu mengungkapkan kedalaman pandangan mata, kebencian raut muka, dan emosional wajah.
8. Extreme Close Up. Lebih tajam dari CU, yang mampu mengungkapkan kedalaman pandangan mata, kebencian raut muka, dan emosional wajah.