• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kerangka Teori

2.2.3 Semiotika

Jika melihat akar etimologisnya, istilah semiotika berasal dari kata semeion, sebuah kata dalam bahasa Yunani, yang berarti tanda (Wibowo, 2013:

7). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu –yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya- mewakili sesuatu yang lain. Sebagai contoh, tanda jari jempol yang dalam konvensi sosial di Indonesia dianggap mewakili sesuatu yang bagus. Sehingga secara sederhana semiotika bisa diartikan sebagai studi yang mempelajari dan mengkaji makna atau arti dari suatu tanda atau lambang (Sobur, 2004: 11). Sedangkan dari sudut pandang terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederatan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2013: 7). Kaitannya dengan ilmu komunikasi adalah, melalui tanda-tanda tersebut, manusia bisa berkomunikasi, sehingga penggunaan semiotika dalam ilmu komunikasi menemukan kecocokan. Littlejohn bahkan menyatakan tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Sobur, 2004: 15). Pusat perhatian semiotika adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa. Sementara dalam lingkup komunikasi massa, penggunaa semiotika dimungkinkan karena seluruh isi media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal), sementara bahasa merupakan dunia simbolik (Sobur,2001: 140).

Penggunaan semiotika pada awalnya dipelopori oleh psikolog sosial dan sosiolog di Amerika Serikat (Sobur,2004: 3). Namun pada perkembangannya para ahli di Eropa turut berkontribusi dalam khasanah ilmu semiotika. Jika semiotika di Amerika Serikat memiliki Charles Pierce sebagai tokohnya, maka Ferdinand de Saussure menjadi bapak semiotika di Eropa. Namun sebelum berbicara lebih lanjut tentang semiotika, peneliti merasa perlu untuk membahas berbagai istilah yang dipakai untuk menyebut ilmu yang mempelajari makna tanda. Hal ini mengingat ada beberapa teoritisi yang menyebutnya sebagai semiotika (semiotics), ada pula teoritisi yang menggunakan istilah semiologi (semiology).

Para teoritisi yang berpikir dalam tradisi Saussurean, cenderung menyebutnya semiologi, sementara teoritisi yang berkaitan dengan Charles Sanders Peierce dan Charles Morris menyebutnya semiotika. Sehingga perbedaan istilah semiotika dan semiologi adalah pada rujukan yang dipakai, karena kedua istilah itu mengandung pengertian yang persis sama, walaupun istilah semiotika lebih sering dipakai dan semiologi lebih jarang dipakai (van Zoest dalam Sobur,2004: 12). Hal ini membuat semiotika lebih populer dan bahkan para penganut Saussure pun ikut menggunakannya. Dalam studi ini sendiri, istilah yang dipakai adalah semiotika karena sesuai dengan resolusiyang diambil oleh komite internasional di Paris pada 1969 (Sobur,2004: 13).

Dalam studi ilmu komunikasi, semiotika menjadi salah satu bidang kajian yang penting. Sebagian berkat teori-teori segar dan tulisan-tulisan menggugah milik John Fiske. Untuk skala Indonesia, minat akan semiotika ini dimulai pada dekade sembilan puluhan oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UI. Namun

mereka menggeluti semiotika bukan melalui bangku perkuliahan, namun secara otodidiak di kelompok-kelompok diskusi.

Sebagaimana disebutkan di atas, Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce menjadi salah dua tokoh kunci kajian semiotika yang mewakili Eropa dan Smerika Serikat. Keduanya adalah yang meletakkan dasar-dasar semiotika. Charles Sanders Peierce yang juga menjadi ahli pertama yang memunculkan istilah semiotika, mendefinisikan semiotika sebagai doktrin formal tentang tanda-tanda. Peirce juga mengatakan yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun – sejauh terkait dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda, karena jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Pierce juga membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol). Ikon adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada gambar dan lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda dengan mengisyaratkan petandanya.

Sementara simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

Sedangkan Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi

yang bermakna” atau coretan bermakna (Sobur,2004: 46). Saussure mengatakan signifier adalah bunyi atau coretan bermakna dan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang ataupun selembar kertas. Tanda bahasa dengan demikian menyatukan bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan gambaran akustis.

Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification menurut Fiske adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia(Sobur,2001: 125).

Saussure pun menyatakan tanda adalah sesuatu yang mengkonstruksikan pandangan kita tentang realitas, lewat kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada (Sobur,2001: 125).

Perkembangan ilmu semiotika melahirkan berbagai definisi yang merumuskan apa itu semiotika. Lechte memberi definisi sederhana bahwa semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan (Sobur,2004: 16). Segers memberi definisi yang lebih lengkap bahwa semiotika disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui sarana tanda dan berdasarkan sistem tanda (Sobur,2004: 16). Sementara Cobley dan Janzs menyebutnya sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi.

Sedangkan Saussure mendefinisikan semiotika sebagai sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat (Sobur,2004: 12). Barthes menyatakan semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiann (humanity) memaknani hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur-adukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal objek itu hendak berkomunikasi , tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur,2004: 15).

Sementara John Fiske menyatakan semiotika adalah studi tentang pertanda dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna-makna dibangun dalam “teks” media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna. Semiotika melihat pada cara pesan disusun, jenis-jenis tanda yang digunakan dan makna dari tanda-tanda yang dimaksudkan dan dipahami oleh produsen dan konsumen.

Intinya adalah semiotika merupakan sebuah alat untuk menganalisis apa makna isi pesan media (Fiske dalam Nawiroh, 2013:)

Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan semiotika menjadi dua jenis, yaitu, semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tandam pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan.

Yang kedua memberi tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. semiotika ini tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis ini, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada prosesnya (Sobur,2004: 16).

Menurut John Fiske, ada tiga area penting dalam studi semiotik, yakni (Sobur,2001: 94) :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.

3. Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi 2.2.3.1. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussuren. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu(Sobur,2004: 63).

Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos.

Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan memperhatikan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konveksi yang dialami (Kriyantono, 2008: 268).

Teori semiotika Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. Barthes menggunakan teori significant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Barthes menyatakan antara express (E) atau signifier dan konten (C) atau signified harus ada relasi (R) tertentu sehingga membentuk tanda. Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.

Sebagaimana pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter sehingga tidak adanya keharusan apapun pada sifat dasar tanda itu sendiri untuk mengikat penanda tertentu pada satu penanda saja. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif.

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two

1. Signifier

order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Ini disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua (Wibowo, 2013: 21).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Karena makna konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam peta berikut ini:

Gambar 1 Peta Tanda Roland Barthes

Sumber : Indiawan Wibowo, Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media), hal. 22

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan pertanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga

penanda konotatif (I). Denotasi dalam pandangan Barthes merupakan tataran pertama yang maknanya bersifat tertutup. Tataran denotasi menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotasi merupakan makna yang sebenar-benarnya, yang disepakati bersama secara sosial, yang rujukannya pada realitas.

Dalam konsep ini tanda konotatif tidak hanya sekedar mempunyai makna tambahan tetapi juga mengandung kedua bagian dimana denotasi akan melandasi keberadaannya dan makna konotasi inilah yang menyempurnakan konsep Saussuren yang hanya memiliki konsep pada makna denotasi. Konotasi merupakan makna yang subjektif dan bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Dalam hal ini, denotasi adalah makna yang relatif stabil namun bukan berarti denotasi akan tetap dari waktu ke waktu. Seperti semua makna, denotasi akan dihasilkan dalam sebuah differensial nilai di antara tanda dan kode, bukan hanya pada korespondensi sederhana antara penanda dan pertanda. Denotasi juga dapat berubah seiring waktu seperti dapat dilihat di zaman lalu tanda perempuan dilihat dari makna denotatif mempunyai pengertian kelemahan, irasionalitas dan kecurangan. Semua makna ini bersifat denotatif daripada konotatif, sebab makna tersebut haruslah mencakup makna yang berlaku umum dan dominan dan telah didukung oleh kode religius, moral, medis dan bahkan ilmiah.

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi dimengerti sebagai makna yang harafiah. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku di dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2004: 71).

Tanda konotatif merupakan tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan makna atau makna yang implisit, tidak langsung dan tidak pasti, artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran-penafsiran baru. Dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Denotasi dapat dikatakan merupakan makna objektif yang tetap sedangkan konotasi merupakan makna subjektif dan bervariasi.

Sebagai suatu sistem, konotasi terdiri atas penanda, petanda dan proses yang menyatukan penanda dan petanda disebut penandaan; tiga unsur itulah yang pertama-tama harus ditemukan dalam setiap sistem. Penanda-penanda konotasi diistilahkan sebagai konotator dibentuk oleh tanda-tanda (kesatuan antara penanda dan petanda) dari sistem denotasi. Konotasi bersifat plural, akan tetapi tidak berati bahwa konotasi hanya dilihat dari subjektif individual saja, konotasi muncul melalui kode yang telah dimiliki bersama dan bersifat sosial. Konotasi bukanlah semata-mata diciptakan secara personal dari suatu tanda. Dia adalah sesuatu yang

diciptakan oleh kode dari suatu tanda. Konotasi sangatlah terstruktur, sekalipun dengan cara yang sangat aktif dan fleksibel, serta merupakan sesuatu yang memungkinkan kita untuk melihat secara cukup jelas beberapa sarana yang melaluinya sosial dan tanda saling berkaitan

Sejumlah tanda denotasi bisa berkelompok untuk membentuk satu konotator. Dengan kata lain, satuan-satuan dalam sistem konotasi itu tidak mesti sama luasnya dengan satuan sistem denotasi. Satu satuan dalam sistem konotasi dapat terbentuk dari sejumlah satuan dalam wacana denotatif. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya terkadang tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai makna konotatif

Selain konotatif dan denotatif, dalam semiotika ini Barthes juga melihat aspek lain penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. Dalam penjelasan Barthes tentang semiologi, konotasi identik dengan operasi ideologi yang dinamakan Mitos. Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Didalam mitos ini juga terdapat pola tiga dimensi yaitu penanda, petanda dan tanda.

Namun, sebagai suatu sistem yang unik mitos terdiri dari suatu pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos merupakan suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Mitos juga di dalamnya terdapat petanda yang memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).

Dalam pandangan Barthes sendiri, konsep mitos berbeda dengan arti umum. Dia menyatakan pendapatnya bahwa mitos adalah bahasa sehingga mitos adalah sebuah sistem komunikasi dan sebuah pesan. Ia mengatakan bahwa mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang sudah terbentuk dalam

masyarakat adalah sebuah mitos. Mitos menurut Barthes bukanlah sebuah mitos yang berkembang dalam masyarakat seperti tahayul atau hal-hal yang tidak masuk akal melainkan sebagai type of speech (gaya bicara) seseorang.

Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‟mitos‟

dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya.

Dokumen terkait