• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN SIMBOLIK DALAM FILM STORY OF KALE (Analisis Semiotika Roland Barthes)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEKERASAN SIMBOLIK DALAM FILM STORY OF KALE (Analisis Semiotika Roland Barthes)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN SIMBOLIK DALAM FILM STORY OF KALE (Analisis Semiotika Roland Barthes)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi

Disusun oleh:

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI DAN BISNIS

TELKOM UNIVERSITY BANDUNG

2021

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Fokus Penelitian ... 7

1.3 Rumusan Masalah ... 8

1.5.1 Kegunaan Teoritis ... 8

1.5.2 Kegunaan Praktisi ... 8

1.6 Waktu dan Periode Penelitian ... 9

BAB II ... 10

KAJIAN TEORI ... 10

2.1 Landasan Teori ... 10

2.1.1 Media Film ... 10

2.1.2. Sinematografi ... 11

2.1.3 Kekerasan Terhadap Perempuan ... 14

2.1.4 Kekerasan dalam Pacaran ... 16

2.1.5 Kekerasan Simbolik ... 17

2.1.6 Makna ... 21

2.1.7 Pengertian dan Konsep Semiotika ... 21

2.1.8 Semiotika Roland Barthes... 22

2.2 Penelitian terdahulu ... 24

2.3 Kerangka Berpikir ... 35

BAB III... 37

METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Paradigma Penelitian ... 37

3.2 Subjek dan Objek Penelitian ... 38

3.2.1 Subjek Penelitian ... 38

3.2.2 Objek Penelitian ... 40

3.3 Lokasi Penelitian ... 40

3.4 Unit Analisis ... 40

3.4.1 Kekerasan Simbolik Dalam Story Of Kale ... 40

3.5 Pengumpulan Data Penelitian ... 44

3.5.1 Observasi... 44

3.5.2 Studi Pustaka ... 45

3.6 Teknik Analisis Data ... 45

3.7 Teknik Keabsahan Data ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 52

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Waktu dan Periode Penelitian...9

Tabel 2.1 Matriks Penelitian Terdahulu...24

Tabel 3.1 Profile Film Kale...39

Tabel 3.2 Unit Analisis Kekerasan Simbolik 1...40

Tabel 3.3 Unit Analisis KekerasanSimbolik 2...41

Tabel 3.4 Unit Analisis Kekerasan Simbolik 3...42

Tabel 3.5 Unit Analisis Kekerasan Simbolik 4...43

Tabel 3.6 Unit Analisis Kekerasan Simbolik 5...43

Tabel 3.7 Unit Analisis KekerasanSimbolik 6...44

(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Grafik Jumlah KtP Tahun 2007-2018 ...2

Gambar 1.2 Grafik Jenis KtP di Ranah KDRT/RP 2019...3

Gambar 1.3 Poster Film Story Of Kale... 6

Gambar 2.1 Two Order of Signification Roland Barthes...23

(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Artikel Film Story of Kale………53 Lampiran 2 : Hasil IThenticate………54

(6)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan masih menjadi fenomena yang meluas di masyarakat. Fenomena ini tidak hanya karena semakin seriusnya kasus kekerasan yang dialami perempuan, tetapi juga intensitas kekerasan yang semakin mengkhawatirkan. Perempuan seringkali menjadi korban kekerasan, sehingga membuat realitas fisik dan mental mereka tidak mampu merespon lingkungan.

Fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan dipicu oleh berbagai hal, salah satunya karena perempuan sudah terjebak di dalam toxic relationship. Toxic relationship yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia disebut hubungan yang beracun bisa terjadi karena kecemburuan, keegoisan, kesulitan dalam pengendalian diri, kontrol oleh pasangan, isolasi dari dunia luar, dan lebih banyak lagi perilaku dan sikap negatif yang terjadi dalam hubungan yang beracun. Dapat dilihat bahwa hubungan yang merugikan ini merupakan hubungan yang tidak menyenangkan bagi diri sendiri dan orang lain, dan akan menjadi beban bagi orang-orang seiring berjalannya waktu.

Terjebak dalam toxic relationship dapat merugikan siapapun yang terjebak di dalamnya karena jika terus dijalani akan menimbulkan kasus dating violence atau kekerasan dalam pacaran (KDP), dan kebanyakan korbannya adalah perempuan.

Sejalan dengan Pasal 1 Deklarasi 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang merupakan lansiran dari buku “Kekerasan Terhadap Perempuan”, kekerasan terhadap perempuan merupakan berbagai hal yang mencakup segala bentuk kekerasan berbasis gender, yang meliputi fisik, seksualm dan juga emosional, yang berakibat perempuan menjadi menderita, baik secara terbuka maupun tersembunyi, dan juga termasuk berbagai bentuk ancaman, intimidasi, dan pelanggaran hak-hak perempuan (Sulaeman 2019: 16). Kekerasan terhadap perempuan tiap tahunnya cenderung meningkat hal tersebut menunjukan bahwa perempuan masih kerap menjadi objek kekerasan di berbagai bidang.

(7)

Gambar 1.1 Grafik Jumlah KtP Tahun 2007-2018 (Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019)

Menurut situs resmi Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan dapat diklasifikasikan menurut bidangnya, yaitu:

1. Kategori pribadi atau biasa disebut KDRT / bidang pribadi: pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah hubungan darah (ayah, paman, kakek, kakak, adik), saudara atau teman, perkawinan (suami) atau hubungan intim (pacaran) dengan korban.

2. Kategori publik atau komunitas: pelaku dan korban tidak ada hubungannya dengan darah, keturunan atau pernikahan. Pelakunya bisa jadi majikan, tetangga, guru, kolega, tokoh masyarakat atau orang asing.

3. Kategori negara: Pelaku kekerasan adalah pejabat negara yang memiliki kemampuan misi. Ketika suatu kasus kekerasan terjadi, jika ada pejabat negara di lokasi kejadian, jangan berusaha menghentikan atau bahkan memasukkan kekerasan tersebut ke dalam kasus kekerasan yang terjadi di seluruh negara bagian.

Dari laporan CATAHU 2018, Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2018, jumlah kasus KTP 2019 sebesar 406.178, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348.466. Angka kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) sebanyak 1.417. Kekerasan terhadap istri (KTI) masih memimpindengan 5.114 kasus, dan kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) tahun ini meningkat dari 1.873 pada 2017 menjadi 2.073. Meski pola ini sedikit berbeda dari

(8)

tahun lalu, namun proporsi kekerasan terhadap istri (KTI) tertinggi pada tahun lalu, 53% (5.114), disusul kekerasan dalam pacaran (KDP) 21% (2.073).

Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi pada pasangan yang sudah berumah tangga atau menikah, namun juga dapat terjadi pada pasangan yang belum menikah. Yang artinya, kasus kekerasan tidaklah melihat apa dan bagaiamana status hubungan korban dan pelaku.

Gambar 1.2 Grafik Jenis KtP di Ranah KDRT/RP 2019 (Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019)

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization), kekerasan itu sendiri adalah tindakan paksaan atau kekerasan fisik yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain dengan sengaja atau sangat mungkin menyebabkan cedera tubuh, kematian, gangguan psikologis, cacat perkembangan atau perampasan hak.Namun ada juga jenis kekerasan yang sulit untuk diketahui karena kekerasan tersebut tidak terlihat dan terselebung. Kekerasan tersebut adalah kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik kerap terabaikan karena kekerasan ini bukanlah jenis kekerasan yang mudah dilihat bentuknya, bahkan kekerasan seperti ini ada dimana-mana.

Konsep ini dikemukakan oleh sosiolog Perancis, Bordieu, adalah konsep yang digunakan oleh kelas atas yang mengatur struktur sosial masyarakat dan

(9)

“memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan atau gaya hidupnya pada kelas bawah.

Terima, jalani, praktikkan dan akui bahwa kebiasaan kelas atas adalah kelas yang pantas untuk kelas bawah, dan kelas bawah harus dibuang (Martono 2017: 4-5).

Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan yang halus dan tidak berwujud, yang di belakangnya memaksakan dominasi Bordieu (dalam Piliang 2005: 200).

Kekerasan simbolik ialah yang dipaksakan kaum terdominasi, sebagai alat untuk mendapatkan kepatuhan sehingga orang yang didominasi tidak menyadari maupun merasakan dirinya sedang mendapatkan sebuah paksaan. Karena kekerasan tersebut sudah menjadi kepercayaan ataupun kebiasaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolik diberlakukan dengan mekanisme “menyembunyikan kekerasan” sehingga hal tersebut diterima sebagai “memang sudah seharusnya begitu”

(Martono 2017: 40). Bordieu juga mengungkapkan bahwa kekerasan simbolik juga dapat menjadi bentuk mendiskreditkan kelompok atau kelompok yang terpinggirkan tanpa kekuasaan atau bawahan. Kekerasan simbolik juga sering menyerang perempuan. Dominasi laki-laki atas perempuan merupakan dasar dari kekerasan simbolik, yang merupakan bentuk kekerasan yang halus, tidak terlihat dan tidak disadari. Sebagai objek kekerasan simbolik, perempuan tidak bisa dilepaskan dari latar belakang budaya patriarki (Novarisa, 2019).

Kekerasan simbolik terhadap perempuan mengadopsi praktik marginalisasi, menganggap perempuan lebih rendah, serta pelabelan negatif terhadap perempuan (Dayanti, 2006). Patriarki secara harafiah berarti patriark, kata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kekuatan ayah”. Dalam antropologi, konsep ini digunakan untuk menggambarkan sistem kekeluargaan yang memposisikan ayah sebagai penguasa.

Ayah adalah penguasa, dia memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan anggota keluarga. Kemudian, dalam berbagai urusan kehidupan sosial, patriarki digunakan untuk mendeskripsikan kekuasaan laki-laki di dalam segala bidang sosial.

Konsep ini menentukan berbagai keputusan, kebijakan, peraturan, dll yang menggambarkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Alhasil, penjelasan tersebut hanya untuk laki-laki dan tidak menganggap perempuan sebagai bagian dari masyarakat. Dalam kaitan ini, pembedaan atau diskriminasi terhadap perempuan pada gilirannya mengarah pada ketidakadilan (Ambaretnani, 2019: 60-61). Dalam budaya patriarki, maskulinitas memiliki peran yaitu bukan hanya sebagai norma sentral, tetapi juga sebagai pertanda bagi tatanan simbolis masyarakat, yaitu memberikan privillage (hak istimewa) pada laki-laki untuk mengakses material basic of power yang berjenis

(10)

kelamin perempuan McDonald (dalam Sulaeman, 2019: 17). Akses tersebut berjalan terus menerus sehingga membentuk common sense tentang kebenaran laki-laki dan perempuan, yang di dalamya termasuk kebenaran ruang sosial, cara berperilaku, dan berpakaian.

Bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang terjadi di masyarakat hampir tidak pernah menjadi perhatian semua pihak, bahkan jika kita amati bentuk kekerasan ini merupakan dampak yang paling signifikan. Kekerasan simbolik bukanlah bentuk kekerasan yang mudah dilihat, namun nyatanya bentuk kekerasan ini mudah diamati.

Padahal, bentuk kekerasan ini ada di mana-mana, dengan bentuk dan strategi yang berbeda-beda (Martono, 2018: 4). Kekerasan simbolik memang tidak terlihat wujud dan akibatnya seperti kekerasan fisik yang dapat dengan mudah dilihat dan dirasakan, karena di dalam kekerasan simbolik, masyarakat menerima sebuah relasi kekerasan halus, dan disebabkan halusnya mekanisme tersebut sehingga hal tersebut tidak telihat sebagai kekerasan.

Konsep kekerasan simbolik menciptakan sebuah mekanisme sosial, yang di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi kekuasaan (Piliang, 2005:232). Bodieu dalam bukunya “Dominasi Maskulin” mengatakan meskipun dampak yang ditimbulkan tidak langsung terasa seperti kekerasan nyata, kekerasan simbolik memiliki dampak yang lebih besar. Hal tersebut sering kali dianggap remeh padahal dapat menjadi jalan menuju kekerasan psikologis dan fisik. Kekerasan simbolik merupakan pengantar pada apa yang disebut sebagai kekerasan verbal sehingga berdampak pada psikologi serta beresiko pada kekerasan fisik (Bourdieu, 2010: 49).

Adegan kekerasan dapat kita temui dimana-mana, salah satunya adalah melalui media film. Sutradara dengan imajinasinya merepresentasikan suatu pesan melalui film, dalam film juga kerap mengangkat cerita nyata yang benar terjadi di tengah masyarakat. Yang terdapat muatan-muatan ideologis di dalamnya, yang akhirnya mempengaruhi pola pikir penontonnya. Sebagai gambar yang bergerak, film merupakan representasi dari realitas (Prasetya, 2019: 28). Yang artinya film merupakan representasi dari kejadian yang nyata adanya di tengah-tengah kehidupan masyarakat, termasuk kekerasan simbolik.

Salah satu film yang di dalamnya terdapat adegan-adegan kekerasan adalah film Story of Kale, Film ini diperankan oleh Ardhito Pramono sebagai Kale. Film ini merupakan bagian film karya Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI), yang

(11)

akan membuat penontonnya memahami masa lalu Kale. Masa lalu menjadi alasan Kale tumbuh menjadi karakter yang tidak mudah jatuh cinta lagi di film NKCTHI.

Dengan demikian, film ini juga menjadi penghubung antara Story of Kale dan NKCTHI.

Gambar 1.3 Poster Film Story Of Kale (Sumber: Gramedia Post 2020)

Cerita film ini bermula ketika seorang musisi muda Kale (Ardhito Pramono) bertemu dengan Dinda (Aurelie Moeremans). Kecintaan mereka pada musik membuat mereka sering bertemu. Suatu ketika, Kale mengetahui bahwa Dinda sedang terjebak dalam hubungan yang beracun, maka Kale berusaha membantu Dinda keluar dari hubungannya dan berjanji akan membahagiakannya. Istilah toxic relationship dalam hubungan biasanya diwarnai dengan berbagai perilaku buruk dan merusak. Dalam hal ini, pria atau wanita tersebut berperilaku tidak pantas dan cenderung menyerang pasangannya.

Toxic relationship yang terjadi di dalam film Story of Kale berjalan hingga tahap terjadinya kekerasan, sehingga dalam adegannya mengandung kekerasan terhadap tokoh utama perempuan, termasuk adegan kekerasan simbolik yang terjadi secara halus dan mengatasnamakan cinta sehingga membuat tokoh utama perempuan tidak menyadari bahwa ia sedang menjadi objek kekerasan. Merujuk pada kekerasan simbolik yang dikemukakan Bourdieu, dapat dikatakan bahwa kekuasaan digunakan

(12)

oleh dominan untuk memperoleh hak- haknya melalui terdominan yang tak sadar telah mengalami kekerasan. Sehingga, kekerasan simbolik tidak akan bekerja apabila terdominan sadar dengan kekerasan simbolik yang ia alami.

Film ini membuat gempar masyarakat khususnya anak muda, dilansir dari CNN Indonesia film ini ditonton lebih dari 100.000 orang dalam 5 hari penayangan di Bioskop Online. Film Story of Kale sangat terkenal dengan sisi toxic relationshipnya.

Image pemeran laki-laki di dalam film tersebut dimata masyarakat yang sangat erat dengan sosok yang kasar dan mendominasi tokoh utama perempuan, adegan demi adegan kekerasan ditampilkan dari awal hingga akhir film. Tidak hanya kekerasan fisik, namun film Story of Kale juga terindikasi terdapat adegan kekerasan simbolik.

Karena itu peneliti tertarik untuk meneliti kekerasan simbolik yang terdapat pada Story of Kale. Peneliti tertarik untuk meneliti tentang kekerasan simbolik karena kekerasan simbolik tidak disadari oleh korbannya karena terjadi secara halus dan jarang diketahui oleh masyarakat, berbeda dengan korban kekerasan fisik yang dapat terlihat dengan jelas oleh panca indera. Dengan menggunakan kerangka analisis Roland Barthes, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Kekerasan Simbolik Dalam Film Story of Kale”.

Dari hasil pemaparan di atas, di dalam penelitian ini objek penelitian diambil dari beberapa adegan yang ada di dalam film Story of Kale, karena di dalam film tersebut dianggap memiliki beberapa adegan yang menggambarkan kekerasan simbolik terhadap tokoh utama perempuan. Peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana bentuk dan makna dari kekerasan simbolik yang terjadi dalam film Story of Kale.

1.2 Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti memfokuskan penelitian ini untuk menemukan bentuk dan memaknai kekerasan simbolik terhadap tokoh utama perempuan (Aurelie Moeremans) yang terjadi di dalam beberapa adegan dalam film Story of Kale dengan menggunakan konsep semiotika Roland Barthes yaitu makna denotasi, konotasi, dan mitos. Dan menggunakan elemen- elemen kekerasan simbolik berupa bahasa, eufemisme, dan mekanisme sensori yang terjadi kepada tokoh utama perempuan yang terdapat dalam film Story of Kale.

(13)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk kekerasan Simbolik terhadap perempuan dalam Film Story of Kale?

2. Apa makna dari bentuk Kekerasan Simbolik dalam Film Story of Kale?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk Kekerasan Simbolik dalam Film Story Of Kale?

2. Untuk mengetahui makna dari bentuk Kekerasan Simbolik dalam Film Story Of Kale?

1.5 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dibuat untuk kegunaan praktis dan kegunaan teoritis, sebagai berikut:

1.5.1 Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, wawasan, serta kesadaran masyarakat akan adanya kekerasan berbentuk simbolik yang tanpa disadari sebenarnya sangat sering terjadi di masyarakat. Peneliti berharap penelitian ini dapat menambah wawasan, dan bisa dijadikan bahan diskusi dan pengembangan terkait kekerasan simbolik dalam film dijadikan referensi bagi para mahasiswa, dosen, peneliti, dll dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi literatur di bidang ilmu komunikasi khususnya penelitian tentang kekerasan simbolik, dan diharapkan dapat menjadi bahan komparatif bagi penelitian-penelitian lainnya, yang dapat saling melengkapi dan memberikan masukan bagi peneliti, serta penelitian lebih lanjut untuk memiliki perkembangan dan kemajuan baru.

1.5.2 Kegunaan Praktisi

Dengan adanya penelitian ini, tentunya peneliti berharap bahwa penelitian ini akan berguna bagi banyak orang. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk para akademisi yang sedang mendalami serta mengapresiasi film Indonesia dan ingin mengkaji tanda-tanda semiotika dalam film khususnya tentang kekerasan simbolik.

Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna untuk masyarakat luas agar masyarakat

(14)

lebih menyadari bahwa di tengah-tengah kehidupan sosial terdapat yang namanya kekerasan berbentuk simbolik yang mungkin sebelumnya tidak disadari oleh masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan bisa berguna untuk keluarga saya dan keluarga lain di luar sana bisa menghindari kejadian-kejadian yang merujuk kepada kekerasan apapun termasuk kekerasan simbolik.

1.6 Waktu dan Periode Penelitian

Waktu dan periode pelaksanaan penelitian akan dilaksanakan dari bulan April dan diharapkan selesai pada bulan Desember 2021, berikut adalah jadwal lengkapnya:

TABEL 1.1

WAKTU DAN PERIODE PENELITIAN

Kegiatan

Tahun 2021 Tahun

2022 Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Pengajuan

Bimbingan dan Judul Penelitian Mengerjakan Bab I,II,III

Revisi

Bimbingan Bab I,II,III

Revisi

Pengajuan SK Pembimbing Pendaftaran DE Pelaksanaan Sidang DE Revisi Pendaftaran Sidang Skripsi Pelaksanaan Sidang Skrispsi Revisi

Pendaftaran Sidang Akademik Pelaksanaan Sidang Akademik

(15)

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Landasan Teori

Landasan teori merupakan sekumpulan informasi yang berguna untuk memecahkan masalah dalam penelitian yang sedang dilakukan, yang diperoleh melalui kajian literatur maupun penelitian-penelitian yang sebelumnya.

2.1.1 Media Film

Media merupakan saluran komunikasi. Asal kata media adalah dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata media. Media secara harfiah berpacu pada perantara, yakni perantara antar sumber (source), pesan, dan penerima (receiver) pesan. Beberapa konten yang merupakan media tersebut yakni televisi, grafik, film, media cetak, komputer, dan lain-lain. Media pada hakikatnya merupakan alat yang dapat mempermudah siapa saja yang menjadi penggunanya (Indriana, 2011:13).

Film yang berarti satu dari sekian media massa audiovisual yang sudah tidak asing di masyarakat. Film biasanya untuk hiburan, sepulang kerja, kegiatan, atau sekedar mengisi waktu luang. Namun, film ini mengandung fungsi informasi, edukasi dan persuasif (Ardiyanto, 2007: 145). Film dapat menjadi media untuk menyampaikan informasi kepada penontonnya. Hingga saat ini, film masih menjadi media massa yang ampuh bagi kelompok sasaran. Tentunya karena sifat audio visualnya, film dapat menjadi tempat untuk menceritakan rangkaian peristiwa dalam waktu yang singkat, sehingga penonton dapat membayangkan perjalanan melalui ruang dan waktu yang ditonton dalam film (Asri, 2020).

Arif Budi Prasetya mengatakan dalam bukunya "Analisis Semiotik Film dan Komunikasi" bahwa film memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penonton. Film juga bisa berguna sebagai media untuk melakukan komunikasi massa, karena disaksikan oleh khlayak yang heterogen. Yang pada akhirnya informasi yang dimuat dalam sebuah film dapat tersalurkan secara luas kepada penonton film tersebut.

(Prasetya, 2019: 28). Penonton selalu dipengaruhi dan dibentuk berdasarkan informasi di balik film, karena film selalu merekam realitas pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, kemudian diproyeksikan ke layar kaca (Sobur, 2006: 127).

Dalam penyampaian pesan kepada khalayak, sutradara dengan imajinasinya merepresentasikan suatu pesan melalui film, dalam film juga kerap mengangkat cerita

(16)

nyata yang benar terjadi di tengah masyarakat. Yang terdapat muatan-muatan ideologis di dalamnya, yang akhirnya mempengaruhi pola pikir penontonnya. Sebagai gambar yang bergerak, film merupakan representasi dari realitas (Prasetya, 2019: 28).

Dalam penelitian ini, peneliti meneliti sebuah film bergenre drama yang berjudul Story of Kale, genre drama menekankan kesenangan orang-orang, dan tujuannya adalah mengajak penonton untuk merasakan peristiwa yang dialami oleh para karakternya, sehingga penontonnya merasa seperti berada di dalam sebuah film.

Tidak jarang penonton merasa sedih, bahagia, kecewa, atau bahkan marah.

Dapat disimpulkan bahwa film sebagai gambar yang bergerak, film merupakan representasi dari realitas yang terjadi di tengah masyarakat yang dipertontonkan melalui berbagai media seperti televisi, bioskop, dan juga gadget melalui platform streaming film secara online. Dalam menyampaikan pesan kapada khalayak luas, sutradara menggunakan imajinasi untuk merepresentasikan pesan melalui film, dalam film juga kerap mengangkat cerita nyata yang benar terjadi di tengah masyarakat.

2.1.2. Sinematografi

Menurut buku berjudul “Memahami Film”, istilah film berasal dari kata film sekaligus singkatan dari cinematography. Cinemathographie merupakan kata yang berasal dari kata cinema yang jika diterjemahkan menjadi gerak, kemudian tho dan graphie yang berarti cahaya dan lukisan. Jadi definisi sinematografi adalah menggunakan cahaya untuk melukis gerakan. Cinemathopraphie juga merupakan istilah harfiah yang merujuk pada film (Pratista, 2008: 89). Tentu banyak hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film, termasuk bahasa film, tokoh, dan karakter.

1. Bahasa film

Secara singkat, sekumpulan gambar yang statis maupun yang bergerak disebut Bahasa film. Namun dengan semakin majunya teknologi, film kini bisa ditambahkan suara. Tidak hanya itu, terdapat hal lain yang menjadi ketentuan dalam Bahasa film yakni running time (space/ruang), yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Gambar

Dalam Bahasa film, gambar bukanlah suatu hal yang independen.

Namun terdapat beberapa elemen yang harus menjadi perhatian, yakni property, cahaya, objek, set/lokasi, dan aktor. Pembentukan makna gambar pada film ditentukan bagaimana sudut pengambilan gambar (camera

(17)

angle) pada film tersebut. Seperti straight angle, yang merupakan pengambilan gambar dengan sudut normal, yaitu letak objek dan kamera diletakkan secara sejajar, yang umumnya dipergunakan untuk pengambilan gambar dengan cara tetap untuk mendapatkan kesan situasi normal. Yang kedua adalah low angle, yaitu pengambilan gambar yang diambil dari sudut yang lebih rendah dibandingkan objeknya, pengambilan gambar seperti ini akan meninggalkan kesan berkuasa, kuat, dan memberikan kesan dominan.

High angle adalah pengambilan gambar dari sudut kamera ditempatkan di atas objek, yang berguna untuk memberikan penonton rasa superioritas dan kekuatan.

b. Suara

Dalam pembuatan film, suara bisa menjadi elemen yang berbeda-beda, yaitu sebagai elemen penting, tidak penting, ataupun sama sekali tidak penting, hal tersebut bergantung pada penulis menyusun skenarionya. Pada beberapa kesempatan, suara dapat membuat gambar menjadi “hidup”.

Namun, ada kalanya ketenangan lah yang sesuai dengan adegan, sehingga suara merupakan elemen yang tidak diperlukan. Suara terbagi menjadi 3 kelompok, yakni dialog, sound effect, dan juga background music.

Dialog kerap dipergunakan dalam pembuatan novel maupun film.

Dialog itu sendiri merupakan kata-kata yang dipergunakan untuk menjelaskan tokoh, pengungkapan pendapat, pemindahan plot, serta mengungkapkan fakta yang ada. Sederhananya, dialog merupakan percakapan.

Sound effect atau efek suara adalah suara-suara, suara di sini termasuk suara buatan ataupun suara yang sebenarnya, yang bertujuam umtuk memperlihatkan daya imajinasi atau untuk memperjelas suasana maupun situasi yang sedang berjalan. Selanjutnya, untuk film juga ditambahkan pendukung suara lainnya yaitu background music.

Background music atau musik latar dipergunakan untuk menjadi latar belakang atau music untuk mengiringi adegan yang sedang tayang.

Mengingat perannya sebagai latar, untuk itu dalam memilih maupun menggunakan music ini haruslah disesuaikan dengan adegan yang akan disajikan. Sehingga dalam penggunaannya, akan menghidupkan suasana

(18)

serta menambah warna suasana. Selain itu, music juga bisa menginformasikan tentang waktu dari adegan tersebut diputar.

c. Running Time

Running Time merupakan seberapa lama film tersebut diputar atau tayang, atau dengan istilah lain yaitu durasi. Dapat dijelaskan running time yaitu seberapa Panjang dan pendeknya waktu yang diperlukan film untuk tayang. Pada film fiksi, running time berada di antara 90 hingga dengan105 menit, namun untuk film nonfiksi hanya pada kisaran 5 hingga 30 menit.

2. Tokoh

Tokoh merupakan suatu hal yang merujuk pada individu – individu yang berperan dalam sebuah cerita. Tokoh bisa didefinisikan sebagai pelaku cerita.

Aminudin dalam bukunya “Pengantar Apresiasi Sastra” mengemukakan tokoh ialah pelaku yang mengemban peristiwa, sehingga dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat terjalin sebuah cerita. Tokoh dalam cerita dapat dikualifikasikan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. (2002 :79).

3. Karakter

Karakter mengacu pada sifat maupun watak individu pelaku dalam cerita.

Karakter berpacu pada bagaimana kualitas pribadi karakter. Guntur mengungkapkan dalam bukunya “Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa” bahwa karakter adalah sebuah proses yang digunakan oleh penulis ketika menciptakan penokohan dalam adegan. Penggambaran karakter dalam film tidak terlepas dari konsep gender yang ada. Misalnya, wanita disebut memiliki kepribadian sosok lembut, emosional, cantik, dan keibuan. Dan juga laki-laki dianggap dengan manusia yang berkepribadian kuat, rasional, maskulin dan berkuasa. Ciri-ciri sifat tersebut adalah sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya terdapat laki-laki yang memiliki kepribadian lemah lembut dan terdapat perempuan yang berkepribadian rasional dan kuat. Ciri-ciri tersebut bisa berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat (2003:146).

Peneliti menggunakan teori ini untuk melakukan penelitian tentang khususnya tentang bagaimana dialog dan adegan di dalam film untuk menemukan bentuk serta makna kekerasan simbolik yang terdapat di dalam film Story of Kale.

(19)

2.1.3 Kekerasan Terhadap Perempuan

Pasal 1 Deklarasi 1993 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan (disebut sebagai kekerasan terhadap perempuan dalam Deklarasi PBB). Istilah kekerasan terhadap perempuan mencakup segala bentuk perilaku fisik, seksual dan emosional yang menyebabkan perempuan menderita, termasuk semua ancaman tersembunyi atau terang-terangan, intimidasi, dan pelanggaran hak atau kebebasan perempuan (Sulaeman, 2019:15).

Dosen Fakultas Hukum UNISRI Tri Wahyu Widiastuti menjelaskan dalam jurnalnya “Melindungi Perempuan dari Kekerasan”, bahwa hal mendasar kekerasan terhadap perempuan yang terjadi disebabkan oleh budaya yang didominasi laki-laki sepanjang hidup. Dalam struktur yang seperti ini, laki-laki kerap melakukan kekerasan untuk memenangkan perbedaan pendapat, mengungkapkan ketidakpuasan terhadap suatu hal, mencegah tindakan perempuan di masa depan, ataupun sekadar menunjukan dominasi yang ia miliki. Kekerasan terhadap perempuan biasanya merupakan cerminan dari patriarki (2008).

Menurut Sulaeman, “meskipun pada tindak kekerasan tidak selalu terikat pada apa jenis kelaminnya, atau dalam artian dapat menimpa kaum laki-laki maupun perempuan, namun dengan adanya ketimpangan gender yang masih mengakar hingga akhirnya tumbuh subur di tengah masyarakat kita sehingga dapat menjadi penyebab perempuan diposisikan sebagai posisi yang rentan sebagai objek kekerasan.”

Sulaeman dalam bukunya “Kekerasan Tehadap perempuan”, juga mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak bisa lepas dari peran budaya patriarki yang masih menjamur di dalam masyarakat. Dalam patriarki, maskulinitas memiliki peran sebagai norma sentral dan tatanan simbolis, yang gunanya adalah menjadikan male privilege (hak istimewa laki-laki) untuk menguasai dan mengontrol perempuan (2019:

16).

Kekerasan terhadap perempuan merupakan kepanjangan alamiah dari nilai- nilai patriarki yang berpandangan bahwa perempuan merupakan manusia yang berkedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki untuk menempatkan diri sebagai kelompok dominan yang mengendalikan dan menguasai perempuan dalam berbagai aspek. Perempuan dipaksa untuk menerima posisi dan perannya (sesuai keinginan laki-laki) dan laki-laki mengontrol supaya kehidupan perempuan dapat memenuhi kepentingan laki-laki (Sulaeman, 2019:17).

(20)

Dalam budaya patriarki, maskulinitas tidak hanya menjadi norma sentral, tetapi juga merupakan tanda tatanan simbolik sosial, yaitu dasar pemberian keistimewaan (privilege) laki-laki untuk memperoleh material basic of power atas perempuan McDonald's (dalam Sulaeman, 2019: 17). Hal semacam itu terus memberi akses sehingga membentuk common sense tentang kebenaran pria dan perempuan, termasuk kebenaran tentang ruang sosial, perilaku, dan pakaian.

Patriarki adalah hal yang berpusat pada laki-laki, dan menjadi dasar bagi pembiakan perilaku yang bias gender, yang pada gilirannya menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan marginal sehingga dapat dikendalikan. Bentuk pengendalian tersebut dapat berupa pembatasan spasial (ruang sosial), positioning dan perilaku (Sulaeman, 2019:16). Dalam patriarki, status perempuan lebih rendah dari laki-laki. Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial, laki-laki mendominasi perempuan dalam segala bidang kehidupan. Pembatasan peran perempuan dalam budaya patriarki membuat perempuan tidak berdaya.

Kekerasan terhadap perempuan sangat umum terjadi, sehingga meskipun bentuk kekerasan tampaknya berbeda dari orang ke orang, kekerasan selalu didominasi oleh laki-laki sebagai dominasi perempuan. Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena beberapa pihak tertentu berlatar belakang tertentu dan percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, sehingga mereka sudah sepantasnya menjadi sasaran kekerasan. Perempuan mengalami kekerasan tertentu, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, penyerangan, dan bentuk-bentuk kekerasan terselubung lainnya, dan kekerasan tersebut seringkali diabaikan oleh perempuan itu sendiri (Sulaeman, 2019: 73).

Peneliti menyimpulkan bahwa patriarki adalah sebuah ideologi yang didasarkan pada dominasi laki-laki. Dengan mengontrol dan menguasai perempuan di berbagai bidang, perempuan dianggap subordinat dan marginal, sehingga perempuan harus tunduk pada kekuasaan dan kontrol laki-laki, yang juga menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan. Peneliti memilih teori ini karena teori kekerasan terhadap perempuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan fokus penelitian ini, yaitu tentang kekerasan simbolik yang difokuskan pada tokoh utama perempuan dalam film Story of Kale.

(21)

2.1.4 Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi pada perempuan yang sudah menikah dan belum menikah. Hubungan pacaran biasanya merupakan tempat kekerasan terhadap perempuan, yang bisa disebut KdP (Kekerasan dalam Pacaran) atau dating violence. Berpacaran merupakan proses perkenalan antara dua orang yang biasanya dalam rangkaian tahapan menemukan perkawinan yang sepadan dengan kehidupan keluarga yaitu perkawinan.

Kenyataannya, realisasi proses ini masih jauh dari tujuan yang sebenarnya.

Situasi yang dihadapi pacaran tidak hanya untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, tetapi juga dengan pasangannya. Hubungan pacaran seringkali penuh racun atau bisa disebut toxic relationship yang di dalamnya terdapat kekerasan, terutama kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Umumnya hanya sedikit orang yang mengetahui tentang kekerasan yang terjadi dalam pacaran, karena kebanyakan orang menganggap bahwa pacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang baik. Hal ini sebagai bentuk ketidaktahuan masyarakat akibat minimnya informasi dan data tentang kekerasan dalam pacaran dalam laporan korban.

Dilansir dari Yayasan JaRi (Jaringan Relawan Independen Indonesia), kekerasan dalam pacaran biasanya dimulai saat pasangan melakukan kekerasan emosional maupun verbal. Seperti mulai membuat julukan buruk kepada pasangan perempuannya, selalu mengecek dan menuntut waktu untuk laki-laki. Hal tersebut merupakan cara agar dapat menguasai dan mengendalikan pacarnya. Selanjutnya juga terdapat tindakan lain yang lebih seperti menampar, menguntit, dan mengabaikan alat kontrasepsi yang salah satunya berguna untuk melindungi terhadap penyakit menular seksual.

Dating violence ialah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat dalam pernikahan, yang di dalamnya meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi, dan pembatasan aktivitas. KdP merupakan kasus yang kerap terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun masih kurang mendapatkan sorotan dari masyarakat sehingga terkadang masih sering diabaikan oleh korban dan pelakunya.

Jenis kekerasan tersebut kemungkinan besar terjadi karena kaum laki-laki memperoleh

“keuntungan” dalam memiliki kekuasaan dan kendali (power & control) di atas perempuan. '

Sony Set di dalam bukunya “Teen Dating Violence”, menyatakan bahwa korban kasus KdP kerap berada di dalam situasi yang sulit dan seolah menjadikannya

(22)

sebagai seorang yang telah dicuci otak habis-habisan agar menjadi manusia yang hampir kehilangan cara berpikir yang normal. Akibat dari kesewenang-wenangannya, pelaku berhasil meyakinkan pasangannya bahwa semua yang terjadi adalah salah korbannya. Pada tingkatan ini, rasa cinta telah berhasil membutakan mata hati sehingga korban tidak lagi bisa menilai mana hal yang merupakan salah dan benar (2009:124). Dalam cinta, perempuan merupakan makhluk lemah lembut, penurut, pasif, dan lain sebagainya. Seorang anak perempuan akan mendapatkan larangan dari keluarganya untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan feminitas yang dilekatkan padanya. Anak perempuan akan diajarkan cara berbicara maupun berperilaku dengan cara yang lemah lembut. Setelah memutuskan untuk berkeluarga, perempuan juga dituntut untuk menjadi ibu dan istri yang shaleha, dan istri yang patuh dan taat kepada suaminya (Musarrofa, 2015).

Sehingga dapat dikatakan adanya indikasi bahwa perempuan memiliki representasi rasa cinta lebih besar dari laki- laki. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran tentang konsep berpikir masyarakat yang mendefinisikan bagaimana perempuan seharusnya dan bagaimana laki-laki seharusnya. Perempuan selalu diidentikkan dengan kelembutan dan kasih sayang, sedangkan laki-laki selalu diidentikkan dengan hal yang bersifat keras dan kurang terhadap kasih sayang.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan dalam pacaran masih tidak menjadi perhatian publik karena kurangnya akses informasi mengenai kekerasan dalam pacaran sehingga masih sering diabaikan baik oleh pelaku maupun korbannya.

Kekerasan dalam pacaran yang cenderung merugikan perempuan kemungkinan besar terjadi karena laki-laki memiliki kekuasaan dan kendali atas perempuan, dan berhasil meyakinkan pasangannya (perempuan) bahwa hal tersebut adalah merupakan bagian dari rasa cinta dan dianggap wajar. Selain teori kekerasan terhadap perempuan, peneliti juga menggunakan teori kekerasan dalam pacaran, karena adegan-adegan kekerasan yang terjadi dalam film Story of Kale, karena merupakan kekerasan terhadap perempuan yang sedang menjalin hubungan berpacaran.

2.1.5 Kekerasan Simbolik

Fenomena kekerasan yang diketahui masyarakat biasanya merupakan kekerasan fisik dan psikis yang “mudah dikenali”, dan pengaruhnya juga mudah diamati. Meski demikian, masyarakat jarang menyadari bahwa bentuk kekerasan lain terjadi setiap hari, namun sulit untuk diidentifikasi tanpa observasi lebih lanjut. Bentuk

(23)

kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan simbolik. Bentuk kekerasan ini hampir tidak pernah menjadi perhatian semua pihak, bahkan jika kita amati bentuk kekerasan ini ternyata memiliki dampak yang cukup besar. Kekerasan semacam inipun ada dimana-mana, dan sering terjadi dalam kehidupan dalam berbagai bentuk dan strategi.

Konsep ini dikemukakan oleh sosiolog Prancis Pierre Felix Bordieu. Kelompok elit atau penguasa dalam masyarakat menggunakan konsep ini untuk "memaksakan"

ideologi, budaya, kebiasaan atau gaya hidup mereka kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya (Martono, 2018:5-6).

Kekerasan simbolik merupakan konsep penting dalam pemikiran teoritis Bordieu. Artinya yang dominan menerapkannya kepada yang dikuasai kemudian menjadi sesuatu yang dianggap wajar, bahkan makna yang terbentuk kemudian dianggap benar dan wajar oleh yang dikuasai (Martono, 2017:40). Kekerasan simbolik ini merupakan kekerasan yang paling sulit ditanggulangi, disebut sebagai kekerasan simbolik karena bagi orang yang terkena dampak kekerasan tidak terlihat dari luar.

Karena tidak ada luka yang terlihat, tidak ada konsekuensi traumatis, tidak ada ketakutan atau kecemasan. Bahkan para korban tidak merasa telah dikuasai dan dimanipulasi oleh para pelaku. Kekerasan simbolik terjadi karena ketidaktahuan yang didominasi karena kekerasan memang telah diatur sedemikian rupa (Haryatmoko, 2009: 136).

Menurut Bordieu, kekerasan simbolik adalah suatu yang lembut, tidak terlihat sebagai kekerasan, salah dikenali, tingkat pilihan yang diberikan kepadanya, kekakuan kepercayaan, kesetiaan pribadi, keramahtamahan, hadiah, hutang, pengakuan saleh atas semua kebajikan. Dalam kasus ini, kekerasan symbol bukan hanya sebuah bentuk dominasi yang dilakukan dengan melalui Bahasa dan media komunikasi, namun ia juga penggunaan dominasi yang dibuat sedemikian rupa, sehingga dominasi yang terjadi dapat diakui secara salah dan walaupun begitu dapat diakui sebagai (Piliang, 2005:201).

Kekerasan simbolik dilakukan secara paksa untuk memenuhi kepatuhan agar kelompok yang dikendalikan tidak merasakan dan menyadarinya sebagai paksaan berdasarkan harapan kerja keras dari keyakinan yang tertanam secara sosial.

Kekerasan simbolik dilakukan dengan proses “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki kemudian menjadi sesuatu yang diterima sebagai “apa yang seharusnya”

(Martono, 2017: 40). Kekerasan simbolik yang terjadi secara halus dan tidak kentara

(24)

membawa kita pada suatu mekanisme sosial, termasuk relasi komunikasi kekerasan dengan relasi kuasa (Piliang, 2005:144).

Menurut Bordieu (dalam Martono, 2017:39), kekerasan masih dalam lingkup kekuasaan. Artinya kekerasan merupakan hasil dari praktik penanaman kekuasaan.

Ketika satu kelas mendominasi yang lain, kekerasan akan terjadi dalam proses dominasi. Kekerasan muncul karena kelas penguasa berusaha mendominasi kekuasaan dalam struktur sosial. Oleh karena itu, kekuasaan dan kekerasan adalah dua konsep yang saling terkait. Masih dalam Martono dalam bukunya yang berjudul “Kekerasan Simbolik di Sekolah”, modal simboliklah yang menjadi medium yang membawa kekuasaan dan kekerasan ke titik dominasi. Pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya untuk diarahkan pada yang didominasi (kekuatan lemah), maka mereka yang didominasi akan berusaha mengubah tindakannya. Hal ini menunjukkan peran modal simbolik dalam terjadinya kekerasan simbolik. Dalam melakukan tindakannya, pihak dominan selalu melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sehingga tindakannya tidak mudah dikenali. Artinya, pelan tapi pasti, dan tanpa menggunakan kekerasan fisik. Sehingga kelas yang didominasi alam bawah sadar menjadi objek kekerasan (2017:39).

Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, manajemen, dan kehidupan sosial dan politik, hubungan antara kekuasaan dan kekerasan menjadi semakin kompleks. Artinya metode, teknik, trik dan taktik yang digunakan begitu kompleks sehingga kekerasan justru dibutuhkan untuk mempertahankan kekuasaan pihak tersebut, dan diproduksi sedemikian rupa sehingga seolah-olah kekerasan tidak pernah ada. Karena kekerasan tersebut ditutupi dengan berbagai topeng dan tirai, maka kekerasan tersebut seolah-olah dilakukan oleh beberapa orang. Tersembunyi di balik berbagai adegan atau skenario yang dibuat, yang kesemuanya pada akhirnya bermuara pada upaya mempertahankan kekuasaan (Piliang, 2005:113).

Kekerasan simbolik terjadi saat orang yang didominasi menerima sebuah symbol (konsep, gagasan, ide, kepercayaan, prinsip) yang memiliki bentuk yang faktanya sudah diputarbalikkan (terdistorsi), dan mengakui atas apa yang diterima secara distorsif, yang sebetulnya telah terjadi suatu hal yang dipaksa secara simbolik yang sangat halus, namun orang yang didominasi tidak menyadari adanya pemaksaan atau menerima hal tersebut sebagai sebuah common sense. Bahasa, symbol, media pada kenyataannya digunakan sebagai alat komunikasi sekaligus menjadi alat kekuasaan, terutama alat dominasi kekuasaan lewat kekerasan. Yang artinya, orang

(25)

yang berkuasa tidak hanya ingin didengar dan dimengerti, namun ingin juga dipercayai, dipatuhi, dihargai, dan diikuti oleh orang-orang yang dikuasai dengan cara yang sangat halus (Piliang, 2005:201-202).

Fenomena kekerasan simbolik, bisa terjadi pada isi bahasa, yaitu pada apa yang diucapkan, disampaikan, atau diekspresikan. Kekerasan pada isi bahasa cenderung berkaitan dengan bagaimana sebuah ucapan, sebuah kata-kata, sebuah ungkapan, pada tingkat simbolik menyahihkan berbagai bentuk kekerasan di dalam kehidupan sosial (kesadisan, kebrutalan, kekejaman). Siapa saja bisa melakukan bentuk kekerasan pada ucapan dan ekspresi bahasa, baik oleh penguasa atau orang yang dikuasai, tergantung pada konteks dan situasi komunikasi yang terjadi. Contohnya; kata-kata “libas”,

“habisi”, “bersihkan”, “darah mahasiswa halal”, “tentara anjing”, dsb.

Jenis kekerasan simbolik ini dapat kita lihat dalam bahasa dan ekspresi visual seperti dalam bahasa film, televisi, video, komputer, dll. Selain itu, arogansi, kecongkakan, atau ketidakpedulian yang melekat pada simbol, gambar, atau tanda, bisa juga disebut sebagai kekerasan simbolik (Piliang, 2005:204). Lebih jelasnya lagi, kekerasan simbolik adalah kekerasan yang halus dan tidak berwujud, yang tidak diketahui atau hanya diketahui dengan menyembunyikan mekanisme yang menjadi sandarannya. Konsep kekerasan simbolik membawa kita pada mekanisme sosial di mana komunikasi dan hubungan kekuasaan saling terkait (Piliang 2005:144).

Dalam melakukan praktik kekerasan simbolik, kelas dominan menggunakan dua cara Haryatmoko (dalam Martono 2017:40); pertama, eufemisme yaitu menjadi tak terlihat, berjalan secara halus, tak dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”.

Bentuknya seperti kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang, pahala, atau belas kasihan. Eufemisme bekerja atas dasar keharusan dan kebaikan.

Kepercayaan, kewajiban, dan kesediaan adalah wujud eufemisme yang diciptakan atas dasar keharusan. Mekanisme bekerja dengan menciptakan situasi kognitif bagi subjek dalam keadaan tanpa pilihan. Nilai-nilai kebaikan disusupkan untuk menegakkan pengaruh dan merebut atau memperkokoh kekuasaan. Kedua, secara mekanisme sensori yang membuat kekerasan simbolik terbentuk sebagai sebuah pelestarian dari seluruh bentuk nilai yang telah dianggap “moral kehormatan” dalam rangka melestarikan nilai, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan hal lain yang ditentang dengan “moral yang rendah”, seperti: kekerasan, criminal, ketidakpantasan, asusila.

(26)

Dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak dapat dilihat secara fisik, melalui berbagai cara seperti melalui bahasa, eufemisme, dan mekanisme sensori yang kerap terjadi di seluruh aspek kehidupan yang dibuat oleh agen yang mendominasi melalui simbol-simbol (konsep, gagasan, ide, kepercayaan, prinsip) yang di baliknya terdapat pemaksaan dominasi, yang yang menguntungkan pihak dominan. Kekerasan tersebut terjadi dengan sangat halus, sehingga pihak-pihak yang didominasi tidak menyadari akan adanya kekerasan tersebut karena sudah menjadi hal lumrah yang terjadi di masyarakat. Teori kekerasan simbolik merupakan teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, untuk pemecahan masalah yang terdapat di dalam rumusan serta tujuan masalah.

2.1.6 Makna

Dilansir dari dari jurnal “Jenis Makna dan Perubahan Makna” yang ditulis oleh Muzaiyanah (2012). Makna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan hal yang selalu melekat dari apa yang dituturkan. Makna memiliki arti yang sangat beragam. Mansoer Pateda (2001:79) menuturkan makna selalu menyatu pada tuturan kata dan kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) makna merupakan hubungan antara makna dan pemahaman. Lebih jelasnya Perkembangan pemikiran manusia yang merupakan bentuk perkembangan yang merupakan dasar terbentuknya pemahaman, dan pemahaman mengacu pada pembentukan makna (Prasetya, 2019:4).

Dapat disimpulkan bahwa makna merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semantik sebagai sebuah perkembangan pemikiran manusia yang didasarkan pada pemahaman yang kemudian membentuk sebuah makna. Teori tentang makna digunakan untuk menemukan makna khususnya tentang makna kekerasan simbolik dalam film Story of Kale.

2.1.7 Pengertian dan Konsep Semiotika

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, semiotika adalah ilmu tentang tanda dan simbol. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani "Semeion"

yang artinya simbol. Logo sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat merepresentasikan hal lain sesuai dengan konvensi sosial yang telah ditetapkan sebelumnya. Awalnya, simbol diartikan sebagai sesuatu yang memiliki arti lain.

Misalnya, asap menunjukkan kebakaran, dan alarm mobil yang keras menunjukkan

(27)

kebakaran di sudut kota Sobur (dalam Wibowo, 2013:7). Dilansir dari buku “Semiotika Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan skripsi Komunikasi” karya Wibowo, analisis semiotik pada dasarnya adalah upaya untuk merasakan sesuatu yang aneh, ketika kita membaca suatu teks atau narasi / wacana tertentu, kita perlu mempertanyakan lebih lanjut. Analisis ini merupakan paradigma dalam arti berusaha mencari makna termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik teks Berger (dalam Wibowo, 2013:8)

Semiotika bertujuan untuk memahami makna yang terkandung di dalam sebuah tanda, agar diketahui bagaimana cara komunikator mengonstruksi pesan.

Sebagai salah satu kajian ideologis dalam kajian budaya, semiotika tentunya memperhatikan bagaimana budaya menjadi landasan ideologis bagi pembentukan tanda. “Semiotik memperlajari system-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti” (Kriyanto, 2007:261). Relasi antartanda menjadi salah satu fokus dalam sebuha konsep semiotika. “Semiotika, atau dalam istilah barthes, semiology, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).” (Sobur, 2013:15). Karena tanda tanpa makna hanya sebuah objek visual yang tidak berarti apapun. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa semiotika bertujuan untuk memahami makna yang terkandung di dalam sebuah tanda, agar diketahui bagaimana cara komunikator mengonstruksi pesan. Teori semiotika dipilih oleh peneliti karena di dalam penelitian ini mencoba untuk mencari tanda-tanda kekerasan simbolik yang terdapat dalam film Story Of Kale.

2.1.8 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah seorang filsuf Perancis yang lahir pada tanggal 12 November 1915 dan meninggal pada tanggal 20 Maret 1980. Roland Barthes adalah seorang filsuf Eropa dan merupakan murid atau pengikut dari Ferdinand de Saussure.

Ia adalah seorang tokoh di bidang semiotika. Tentunya ia telah menyerap banyak ilmu dan telah memperoleh banyak ilmu di bidang semiotika. Bidang yang mendedikasikan pemikirannya . Barthes menyebut kajian keilmuan ini sebagai “semiology”. Barthes mengembangkan gagasan semiotik Saussure dan menerapkannya ke dalam konsep budaya. Barthes memiliki model semiotik yang merupakan hasil pengembangan dari model semiotik Saussure (Prasetya, 2019:12).

Konsep semiotika Roland Barthes lebih memfokuskan pada pembentukan makna. Semiologi Roland Barthes diadopsi dari konsep yang dimiliki Saussure,

(28)

kemudian dikembangkan dengan menambahkan konsep denotasi dan konotasi.

Denotative sign (tanda denotasi) lebih kepada penglihatan fisik, seperti apa yang tampak, bagaimana bentuknya, dan seperti apa aromanya. Denotasi merupakan dasar dari semiologi Roland Barthes, kemudian tahap selanjutnya ialah penanda konotatif dan petanda kontatif, tahap ini lebih menekankan kepada bentuk lanjut sebuah pemaknaan. Dalam tahap konotasi, kita sudah lebih mengarahkan kepada apa yang dimaksud oleh tanda tersebut dan juga pemikiran si pembuat tanda. Hingga pada tataran inilah sebuah tanda dengan maksud tertentu dalam dikomunikasikan (Prasetya, 2019:12-13).

Gambar 2.1 Two Order of Signification Roland Barthes (Sumber: Prasetya. 2019. Analasis Semiotika Film dan Komunikasi)

Konsep pemikiran Barthes dikenal sebagai tatandan penanda (Order of Signification), yang singkatnya dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Denotasi

Denotasi merupakan makna sesungguhnya, atau sesuatu yang terlihat melalui panca indera atau dapat juga disebut sebagai deskripsi dasar.

Contohnya adalah lampu lalu lintas, yang dalam denotasi merupakan lampu yang berwarna merah, merah, kuning, dan hijau yang berada di jalan raya.

b. Konotasi

(29)

Konotoasi yaitu makna-makna yang muncul secara kultural, atau bisa disebut sebagai makna yang muncul karena adanya konstruksi budaya sehingga adanya suatu pergeseran, namun tetap melekat pada symbol atau tanda tersebut. Dan setelah adanya pergeseran makna tersebut, makna konotasi dapat berlanjut menjadi mitos yang dipercayai oleh masyarakat. Dalam hal ini, contohnya adalah lampu lalu lintas yang semula hanya dianggap sebagai lampu biasa di jalan raya, ternyata jika sampai pada tataran konotasi, lampu lalu lintas memiliki makna yang berbeda pada setiap warnanya.

Penjelasan dari gambar two order of signification Roland Barthes adalah bahwa makna dimulai dari urutan pertama, yaitu makna yang dipahami secara harfiah.

Misalnya ada poster dengan lambang burung merpati putih. Pada first order, poster hanya diartikan sebagai halaman kertas bergambar burung merpati putih. Pada tataran tanda dan lambang, ia berlanjut pada second order, yakni makna konotatif, yakni makna yang sangat erat kaitannya dengan tataran budaya. Oleh karena itu, poster berwarna merah putih dapat diartikan sebagai simbol perdamaian. Karena itu, burung merpati dianggap sebagai simbol perdamaian (Prasetya, 2019:15-16). Teori semiotika Roland Barthes dipilih oleh peneliti karena teori ini memiliki fokus dalam pembentukan makna, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada pembentukan makna di dalam setiap adegan kekerasan simbolik khususnya pada tokoh utama perempuan.

2.2 Penelitian terdahulu

TABEL 2.1

MATRIKS PENELITIAN TERDAHULU Literature Review 1

(Skripsi)

Judul Kekerasan Simbolik Dalam Film Dilan 1990 Dan Dilan 1991

Peneliti Siti Choiru Ummati Cholifatillah

Tahun 2019

Sumber https://www.researchgate.net/publication/343020302_Kek

(30)

erasan_Simbolik_dalam_Film_Dilan_1990_dan_Dilan_19 91

Simpulan

1. Terdapat 3 bentuk kekerasan simbolik yang dikemas dalam Film Dilan 1990 dan Dilan 1991, yaitu (a)Kekerasan Simbolik dalam Bentuk Bahasa dan Ucapan, (b) Kekerasan Simbolik dalam Bentuk Dominasi Kekuasaan (c) Kekerasan Simbolik dalam Bentuk Tatapan Intimidasi dan Tatapan Kecabulan

2. Makna dari bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang dikemas dalam Film Dilan 1990 dan Dilan 1991 adalah sebagai berikut: (a) Kekerasan Simbolik dalam Bentuk Bahasa dan Ucapan. (b) Kekerasan Simbolik Dalam Bentuk Dominasi Kekuasaan. (c) Kekerasan Simbolik dalam Bentuk Tatapan dan Kecabulan.

Perbedaan Literatur review1 berfokus pada kekerasan simbolik yang dialami pada remaja. Sedangkan peneliti berfokus pada kekerasan simbolik terhadap tokoh utama perempuan di dalam Film Story Of Kale

Literature Review 2 (Skripsi)

Judul Representasi Kekerasan Simbolik Pada Tubuh Perempuan (Studi Kasus pada Rubrik Fashion dan Beauty Website Walipop)

Peneliti Nuhayati Hasnah

Tahun 2015

Sumber http://lib.unnes.ac.id/20968/

Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1) Representasi tubuh perempuan dalam rubrik fashion dan beauty website Wolipop terdapat tiga temuan.

a) Representasi tubuh yang pertama bentuk dan ukuran tubuh yakni tubuh kurus atau ramping, tubuh seksi, dan tubuh sehat.

(31)

b)Representasi tubuh yang ke dua pentingnya merawat tubuh dan penampilan bagi perempuan. c)Representasi tubuh yang ke tiga tubuh sebagai cermin identitas sosial.

2) Habitus dominan yang terdapat dalam rubrik fashion dan beauty website Wolipop lebih banyak menunjukkan habitus kelas sosial xi atas.

3) Kekerasan simbolik pada tubuh perempuan terlihat pada teks dan gambar dalam rubrik fashion dan beauty website Wolipop dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai modal (body capital) pada representasi

Perbedaan Literatur review 2 menggunakan media massa online Walipop sebagai objek penelitian, sedangkan peneliti menggunakan film Story Of Kale sebagai objek penelitian.

Literature Review 3 (Skripsi)

Judul Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Dalam Iklan Djarum76

Peneliti Julian Rizky Prayudha

Tahun 2019

Sumber https://kc.umn.ac.id/10211/

Simpulan Kumpulan iklan Djarum 76 dengan judul “Jin online”,

“Matre” dan “Jin Lomba”, merepresentasikan kekerasan simbolik terhadap perempuan sebagai berikut:

1. Gambar iklan mengekspresikan kekerasan simbolik terhadap perempuan dengan menggambarkan status perempuan dalam masyarakat selalu lebih rendah dari laki- laki.

2. Gambar iklan menunjukkan kekerasan simbolik terhadap perempuan dengan menggambarkan kemampuan perempuan untuk berkontribusi kepada masyarakat sebagai pelayan laki-laki.

3. Gambar iklan menunjukkan kekerasan simbolik terhadap perempuan dengan menggambarkan perempuan yang

(32)

berbentuk negatif, memperlakukan perempuan sebagai objek, dan dalam beberapa kasus keberadaan mereka tidak penting.

4. Iklan tersebut menampilkan kekerasan simbolik terhadap perempuan dengan menggambarkan perempuan sebagai orang yang lemah, malas, material daripada orang yang mandiri. Eksistensi perempuan hanya manis-manis saja, dan tidak berpengaruh pada penyelesaian masalah yang terjadi.

Hal-hal tersebut ditemukan oleh peneliti setelah menganalisis ekstensi dan konotasi set iklan Djarum 76 dan mitos yang terkandung di dalamnya. Melalui analisis, ia menemukan leksia sistem simbol orde pertama ekstensi, konotasi, dan mitologi, serta studi tentang kode yang dimiliki oleh Roland Barthes.

Perbedaan Literatur review 3 menggunakan Objek iklan Djarum 76, sedangkan objek dalam peneti adalah Film Story Of Kale

Literature Review 4 (Skripsi)

Judul Analisis Kekerasan Simbolik Pada Remaja Dalam Film Trash

Peneliti FIRA ANGGRAENI

Tahun 2018

Sumber http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital Collection/Yjc0ZTQ1OWE5YjI4YjZmMGU5ZjJhZjc5Zj UyZWIzNTNhZDhmYzllNA==.pdf

Simpulan Kesimpulan yang dieroleh dari penelitian ini adalah : 1. Bentuk – bentuk kekekerasan simbolik pada remaja yang ditampilkan dalam film ini terjadi melalui penggambaran beberapa tokoh yang ada dalam film ini.

Bentuk – bentuk kekerasan simbolik yang dialami remaja dalam film ini adalah :

(1) Dominasi kekuasaan

(2) Kekerasan simbolik multikultural,

(33)

(3) Eksplorasi tubuh perempuan,

(4) Distorsi, Pelencengan, Pemalsuan dan plesetan dan (5) Korupsi.

2. Representasi kekerasan simbolik pada remaja dalam film Trash direpresentasikan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.

(a)Dominasi kekuasaan,

(b) Kekerasan simbolik multicultural, (c) Eksplorasi tubuh perempuan,

(d) Distorsi, Pelencengan, Pemalsuan dan Plesetan, (e) Korupsi.

Perbedaan Literatur review 3 membahas tentang kekerasan simbolik pada remaja dalam film Trash, sedangkan peneliti membahas tentang kekerasan simbolik yang berfokus pada tokoh utama perempuan dalam film Story Of Kale.

Literature Review 4 (Skripsi)

Judul Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Dalam Film "The Call"

Peneliti Mareta, Vira

Tahun 2015

Sumber https://kc.umn.ac.id/626/

Simpulan Berdaarkan penelitian yang telah dianalisis pada penjelasan yang telah diuraikan, maka terdapat kesimpulan yang ditarik sebagai berikut.

1. Penelitian yang peneliti lakukan pada film The Call ini menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce.

2. Dalam penelitian ini didapati tanda–tanda kekerasan simbolik terhadap perempuan, yang menunjukkan adanya Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan.

3. Dalam penelitian terdapat tanda–tanda kekerasan simbolik yang diperlihatkan adanya penganiayaan dan penyiksaann yang dilakukan seseorang kepada seorang perempuan.

(34)

Perbedaan Literatur review 4 dilakukan dengan Semiotika Charles Sanders Pierce, sedangkan peneliti menggunakan Semiotika Rolland Barthes.

Literature Review 5 (Skripsi)

Judul Representasi Kekerasan Dalam Pacaran Pada Film

"Posesif" (Analisis Semiotika Roland Barthes).

Peneliti Radha Akhsyin

Tahun 2018

Sumber http://repository.bakrie.ac.id/1697/

Simpulan Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa tindak kekerasan dalam pacaran terjadi karena mitos yang ada di masyarakat tidak berpihak pada perempuan. Hal ini dipicu antara lain karena adanya ketidaksetaraan gender, yang meliputi perilaku dominan laki-laki terhadap perempuan (marginalisasi gender), anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki (subordinasi gender), pemberian label yang merugikan kaum perempuan (stereotipe gender) dan kekerasan berupa serangan mental atau fisik oleh kaum laki-laki (kekerasan gender).

Perbedaan Literatur review 4membahas tentang kekerasan dalam pacaran yang merujuk pada kekerasan fisik, sedangkan peneliti membahas tentang kekerasan simbolik.

Literature Review 5 (Jurnal)

Judul Representasi Kekerasan Simbolik Dalam Film Comic 8 Peneliti Aan Munandari Natalia

Tahun 2015

Sumber https://media.neliti.com/media/publications/81790-ID- none.pdf

Simpulan Kekerasan simbolik menggambarkan kekerasan yang dapat terjadi melalui bahasa, dan cara berpikir dimana para korban kekerasan simbolik ini tidak mengetahui atau

(35)

bahkan menyadari bahwa mereka sedang mengalami kekerasan simbolik dan pada akhirnya para korban juga tidak merasakan adanya luka. Dalam film Komik 8 ini, kekerasan simbolik direpresentasikan melalui tuturan (dialog). Kekerasan simbolik juga direpresentasikan melalui pakaian dan penampilan. Kekerasan simbolik juga direpresentasikan melalui ekspresi dan cara pengambilan sudut kamera.

Perbedaan Literatur review 5 adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode semiotika John Fiske, sedangkan peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes.

Literature Review 6 (Jurnal)

Judul Kekerasan Simbolik Media Terhadap Anak Peneliti Elya Munfarida

Tahun 2010

Sumber https://media.neliti.com/media/publications/148571-ID- none.pdf

Simpulan Program dan program media kebanyakan menampilkan dunia anak-anak yang penuh kekerasan, fitnah, pornografi, dan lain-lain, yang sebenarnya tidak layak untuk mereka konsumsi. Dalam konteks ini, media telah mengimplementasikan kekerasan simbolik dan kekerasan simbolik dengan mengkonstruksi dunia anak berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi dan dari sudut pandang orang dewasa. Konstruksi ini berdampak negatif, terwujud dalam kehidupan mereka, dan merupakan perilaku destruktif dan tidak bermoral.

Perbedaan Literatur review 6 memfokuskan pada kekerasan simbolik terhadap anak melalui media secara umum, sedangkan peneliti memfokuskan kekerasan simbolik melalui media

(36)

film.

Literature Review 7 (Jurnal)

Judul Representasi Kekerasan Simbolik Dalam Film Hidden Figures

Peneliti Evelyn Wijaya, Agusly Irawan Aritonang, Megawati Wahjudianata

Tahun 2018

Sumber https://www.semanticscholar.org/paper/Representasi- kekerasan-simbolik-dalam-film-Hidden-Wijaya

Aritonang/1c2766539968b83054c36ecbc83177b8739b68 8d

Simpulan Dalam film Hidden Figures, terdapat kekerasan simbolik yang digambarkan dalam tiga hal, yaitu tentang segregasi rasial, kemampuan perempuan, dan dominasi atasan dalam pekerjaan. Dari ketiga hal tersebut terdapat kesamaan yaitu pada kelompok minoritas. keberadaan orang kulit hitam tidak bisa disamakan dengan kehidupan orang kulit putih.

Orang kulit hitam selalu dianggap lebih rendah dari orang kulit putih dan orang kulit putih sering dan membatasi pandangan orang kulit hitam.

Perbedaan Literatur review 7 menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teori semiotika John Fiske melalui 3 level, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi.

Sedangkan peneliti menggunakan teori semiotika Roland Barthes melalui makna denotasi dan konotasi.

Literature Review 8 (Jurnal) Judul Kekerasan Simbolik Media Massa Peneliti Farid Pribadi

Tahun 2016

Sumber http://journal2.um.ac.id/index.php/jsph/article/view/2461

(37)

Simpulan Berdasarkan hasil tahapan analisis semitoika Halliday berupa bidang wacana, keterlibatan wacana, dan mode wacana, kedua media massa tersebut masih menempatkan seks sosial sebagai daya tarik untuk diungkapkan secara detail. Ini termasuk produksi inisial nama dan karakteristik aktor yang menyebarkan dan mentransmisikan video, cuplikan tayangan konten video dan deskripsi konten video, dan reaksi kepala. Gaya menarik ini bisa jadi karena menarik pembaca untuk membacanya dan kemudian bisa bernilai ekonomi tinggi.

Perbedaan Literatur review 8 diadaptasi dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode semiotika sosial yang dikemukakan M.A.K Halliday, sedangkan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes.

Literature Review 9 (Jurnal)

Judul Mekanisme Eufemisme Dan Sensorisasi: Kekerasan Simbolik Dalam Tuturan Dosen

Peneliti Galieh Damayant, Trisna Andarwulan, Aswadi

Tahun 2019

Sumber https://ojs.unm.ac.id/retorika/article/view/9101/pdf

Simpulan Bentuk eufemisme dalam tuturan dosen berupa (1) keharusan/ kewajiban, (2) efisiensi, (3) pemberian bonus, (4) kepercayaan, (5) pencitraan, (6) kegunaan, (7) keselarasan, (8) kemu- rahatian/ kebaikan, dan (9) penegasan; sementara bentuk sensorisasi tuturan dosen berupa (1) kedermawanan, (2) kesantunan, dan (3) pemarginalan.

Perbedaan Literatur review 9 membahas tentang kekerasan simbolik dalam tuturan dosen yang menggunakan jenis penelitian studi kasus, sedangkan peneliti menggunakan jenis penelitian semiotika.

Literature Review 10 (Jurnal)

(38)

Judul Social Media and Symbolic Violence Peneliti Raquel Recuero

Tahun 2015

Sumber https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/2056305115 580332

Simpulan Media sosial dapat menjadi wadah untuk melakukan tindakan kekerasan simbolik. Pengguna “berbicara” ke layar, bukan orang. Pengguna mungkin membayangkan audiens mereka sebagai seseorang yang setuju dengan mereka dalam situasi itu. Tetapi ada banyak orang lain, banyak yang tidak selalu "terlihat. Jadi, apa yang dipublikasikan kepada beberapa audiens mungkin sering menyinggung beberapa orang lain, yang mungkin bereaksi dengan keras. Dan karena"keruntuhan konteks" ini (boyd, 2010) dari media sosial, alat- alat ini tampaknya sering memungkinkan penciptaan permusuhan dan agresivitas di antara jejaring sosial. Orang-orang mulai memposting pesan agresif dan ofensif di media sosial terhadap pemilih yang, alih-alih perang api yang biasanya terjadi di forum dan situs lain melalui orang anonim, kali ini menggunakan profil mereka sendiri di situs-situs seperti Facebook untuk menjadi agresif

Perbedaan Literatur review 10 berfokus pada objek penggunaan media sosial, sedangkan peneliti memfokuskan pada film.

Literature Review 11 (Jurnal)

Judul Symbolic Violence and the Violation of Human Rights:

Continuing the Sociological Critique of Domination Peneliti Claudio Colaguori

Tahun 2010

Sumber https://ijcst.journals.yorku.ca/index.php/ijcst/article/view/

32143

(39)

Simpulan Konsep kekerasan simbolik Pierre Bourdieu mengikuti tradisi sosiologi kritis yang memusatkan perhatiannya pada kritik dominasi. Ini dapat diterapkan pada aspek-aspek tatanan sosial yang bermasalah sejauh mereka mengubah kekuasaan melalui perilaku manusia, tetapi tidak cukup dipahami oleh leksikon konsep kritis yang ada. Karena disiplin sosiologi harus dengan kebutuhan dipandu oleh kontingensi historis dan tidak terikat pada konsepsi statis tatanan sosial, konsep-konsepnya juga harus ditambahkan dan diciptakan kembali agar sesuai dengan sifat temporal yang berubah dari praktik sosial dan praktik sosial baru.

formasi kekuasaan. Fase krisis neoliberalisme saat ini – diperparah oleh kegagalan pasar, perang, dan tindakan otoriter lain yang mengganggu pasca era 9/11, tentunya merupakan saat ketika hak asasi manusia global berada di bawah tekanan yang meningkat. refleks kekuasaan tampaknya sangat penting jika kritik terhadap dominasi terus berlanjut.

Perbedaan Literatur review 11 membahas tentang kekerasan simbolik di dalam berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, dll) sedangkan peneliti memfokuskan penelitian tentang kekerasan simbolik dalam film.

Literature Review 12 (Jurnal)

Judul Kekerasan Simbolik Berbasis Gender Dalam Budaya Pop Indonesia

Peneliti Sindung Haryanto

Tahun 2017

Sumber http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article

=769456&val=12557&title=KEKERASAN%20SIMBOL IK%20BERBASIS%20GENDER%20DALAM%20BUD AYA%20POP%20INDONESIA

Gambar

Gambar 1.1 Grafik Jumlah KtP Tahun 2007-2018  (Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019)
Gambar 1.2 Grafik Jenis KtP di Ranah KDRT/RP 2019  (Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019)
Gambar 1.3 Poster Film Story Of Kale  (Sumber: Gramedia Post 2020)
Gambar 2.1 Two Order of Signification Roland Barthes  (Sumber: Prasetya. 2019. Analasis Semiotika Film dan Komunikasi)

Referensi

Dokumen terkait

Menerusi dapatan kajian ini, secara keseluruhannya didapati pelajar daripada sekolah agama tinggi (S-A-T) dan kerajaan akademik (K-A) adalah majoriti yang mempunyai kepekatan

menjelaskan pada ibu mengenai tanda-tanda persalinan yang terdiri dari perut sakit-sakit secara teratur, sakitnya sering dan lama, keluar lendir bercampur darah

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masyarakat Kecamatan Medan Polonia dalam menghadapi bencana pandemic berbasis

Pencitraan pada tikus wistar dengan menggunakan kamera gamma cukup jelas, pencitraan 99m Tc-EBI pada hewan tikus menggunakan kamera gamma bisa dilihat pada Gambar

Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan organisasi tidak berperan penting terhadap kompetensi kerja karyawan PT Bank X Malang dan bertentangan dengan penelitian

Form kartu persediaan adalah form yang digunakan untuk menampilkan laporan kartu persediaan yang berasal dari master barang berupa kuantitas barang yang masuk dan

employment kekuatan TNI Angkatan Laut di luar yurisdiksi nasional pada saat operasi pembebasan MV Sinar Kudus, secara tidak langsung juga telah melatih dan