• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Landasan Teori

2.1.5 Kekerasan Simbolik

Fenomena kekerasan yang diketahui masyarakat biasanya merupakan kekerasan fisik dan psikis yang “mudah dikenali”, dan pengaruhnya juga mudah diamati. Meski demikian, masyarakat jarang menyadari bahwa bentuk kekerasan lain terjadi setiap hari, namun sulit untuk diidentifikasi tanpa observasi lebih lanjut. Bentuk

kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan simbolik. Bentuk kekerasan ini hampir tidak pernah menjadi perhatian semua pihak, bahkan jika kita amati bentuk kekerasan ini ternyata memiliki dampak yang cukup besar. Kekerasan semacam inipun ada dimana-mana, dan sering terjadi dalam kehidupan dalam berbagai bentuk dan strategi.

Konsep ini dikemukakan oleh sosiolog Prancis Pierre Felix Bordieu. Kelompok elit atau penguasa dalam masyarakat menggunakan konsep ini untuk "memaksakan"

ideologi, budaya, kebiasaan atau gaya hidup mereka kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya (Martono, 2018:5-6).

Kekerasan simbolik merupakan konsep penting dalam pemikiran teoritis Bordieu. Artinya yang dominan menerapkannya kepada yang dikuasai kemudian menjadi sesuatu yang dianggap wajar, bahkan makna yang terbentuk kemudian dianggap benar dan wajar oleh yang dikuasai (Martono, 2017:40). Kekerasan simbolik ini merupakan kekerasan yang paling sulit ditanggulangi, disebut sebagai kekerasan simbolik karena bagi orang yang terkena dampak kekerasan tidak terlihat dari luar.

Karena tidak ada luka yang terlihat, tidak ada konsekuensi traumatis, tidak ada ketakutan atau kecemasan. Bahkan para korban tidak merasa telah dikuasai dan dimanipulasi oleh para pelaku. Kekerasan simbolik terjadi karena ketidaktahuan yang didominasi karena kekerasan memang telah diatur sedemikian rupa (Haryatmoko, 2009: 136).

Menurut Bordieu, kekerasan simbolik adalah suatu yang lembut, tidak terlihat sebagai kekerasan, salah dikenali, tingkat pilihan yang diberikan kepadanya, kekakuan kepercayaan, kesetiaan pribadi, keramahtamahan, hadiah, hutang, pengakuan saleh atas semua kebajikan. Dalam kasus ini, kekerasan symbol bukan hanya sebuah bentuk dominasi yang dilakukan dengan melalui Bahasa dan media komunikasi, namun ia juga penggunaan dominasi yang dibuat sedemikian rupa, sehingga dominasi yang terjadi dapat diakui secara salah dan walaupun begitu dapat diakui sebagai (Piliang, 2005:201).

Kekerasan simbolik dilakukan secara paksa untuk memenuhi kepatuhan agar kelompok yang dikendalikan tidak merasakan dan menyadarinya sebagai paksaan berdasarkan harapan kerja keras dari keyakinan yang tertanam secara sosial.

Kekerasan simbolik dilakukan dengan proses “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki kemudian menjadi sesuatu yang diterima sebagai “apa yang seharusnya”

(Martono, 2017: 40). Kekerasan simbolik yang terjadi secara halus dan tidak kentara

membawa kita pada suatu mekanisme sosial, termasuk relasi komunikasi kekerasan dengan relasi kuasa (Piliang, 2005:144).

Menurut Bordieu (dalam Martono, 2017:39), kekerasan masih dalam lingkup kekuasaan. Artinya kekerasan merupakan hasil dari praktik penanaman kekuasaan.

Ketika satu kelas mendominasi yang lain, kekerasan akan terjadi dalam proses dominasi. Kekerasan muncul karena kelas penguasa berusaha mendominasi kekuasaan dalam struktur sosial. Oleh karena itu, kekuasaan dan kekerasan adalah dua konsep yang saling terkait. Masih dalam Martono dalam bukunya yang berjudul “Kekerasan Simbolik di Sekolah”, modal simboliklah yang menjadi medium yang membawa kekuasaan dan kekerasan ke titik dominasi. Pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya untuk diarahkan pada yang didominasi (kekuatan lemah), maka mereka yang didominasi akan berusaha mengubah tindakannya. Hal ini menunjukkan peran modal simbolik dalam terjadinya kekerasan simbolik. Dalam melakukan tindakannya, pihak dominan selalu melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sehingga tindakannya tidak mudah dikenali. Artinya, pelan tapi pasti, dan tanpa menggunakan kekerasan fisik. Sehingga kelas yang didominasi alam bawah sadar menjadi objek kekerasan (2017:39).

Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, manajemen, dan kehidupan sosial dan politik, hubungan antara kekuasaan dan kekerasan menjadi semakin kompleks. Artinya metode, teknik, trik dan taktik yang digunakan begitu kompleks sehingga kekerasan justru dibutuhkan untuk mempertahankan kekuasaan pihak tersebut, dan diproduksi sedemikian rupa sehingga seolah-olah kekerasan tidak pernah ada. Karena kekerasan tersebut ditutupi dengan berbagai topeng dan tirai, maka kekerasan tersebut seolah-olah dilakukan oleh beberapa orang. Tersembunyi di balik berbagai adegan atau skenario yang dibuat, yang kesemuanya pada akhirnya bermuara pada upaya mempertahankan kekuasaan (Piliang, 2005:113).

Kekerasan simbolik terjadi saat orang yang didominasi menerima sebuah symbol (konsep, gagasan, ide, kepercayaan, prinsip) yang memiliki bentuk yang faktanya sudah diputarbalikkan (terdistorsi), dan mengakui atas apa yang diterima secara distorsif, yang sebetulnya telah terjadi suatu hal yang dipaksa secara simbolik yang sangat halus, namun orang yang didominasi tidak menyadari adanya pemaksaan atau menerima hal tersebut sebagai sebuah common sense. Bahasa, symbol, media pada kenyataannya digunakan sebagai alat komunikasi sekaligus menjadi alat kekuasaan, terutama alat dominasi kekuasaan lewat kekerasan. Yang artinya, orang

yang berkuasa tidak hanya ingin didengar dan dimengerti, namun ingin juga dipercayai, dipatuhi, dihargai, dan diikuti oleh orang-orang yang dikuasai dengan cara yang sangat halus (Piliang, 2005:201-202).

Fenomena kekerasan simbolik, bisa terjadi pada isi bahasa, yaitu pada apa yang diucapkan, disampaikan, atau diekspresikan. Kekerasan pada isi bahasa cenderung berkaitan dengan bagaimana sebuah ucapan, sebuah kata-kata, sebuah ungkapan, pada tingkat simbolik menyahihkan berbagai bentuk kekerasan di dalam kehidupan sosial (kesadisan, kebrutalan, kekejaman). Siapa saja bisa melakukan bentuk kekerasan pada ucapan dan ekspresi bahasa, baik oleh penguasa atau orang yang dikuasai, tergantung pada konteks dan situasi komunikasi yang terjadi. Contohnya; kata-kata “libas”,

“habisi”, “bersihkan”, “darah mahasiswa halal”, “tentara anjing”, dsb.

Jenis kekerasan simbolik ini dapat kita lihat dalam bahasa dan ekspresi visual seperti dalam bahasa film, televisi, video, komputer, dll. Selain itu, arogansi, kecongkakan, atau ketidakpedulian yang melekat pada simbol, gambar, atau tanda, bisa juga disebut sebagai kekerasan simbolik (Piliang, 2005:204). Lebih jelasnya lagi, kekerasan simbolik adalah kekerasan yang halus dan tidak berwujud, yang tidak diketahui atau hanya diketahui dengan menyembunyikan mekanisme yang menjadi sandarannya. Konsep kekerasan simbolik membawa kita pada mekanisme sosial di mana komunikasi dan hubungan kekuasaan saling terkait (Piliang 2005:144).

Dalam melakukan praktik kekerasan simbolik, kelas dominan menggunakan dua cara Haryatmoko (dalam Martono 2017:40); pertama, eufemisme yaitu menjadi tak terlihat, berjalan secara halus, tak dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”.

Bentuknya seperti kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang, pahala, atau belas kasihan. Eufemisme bekerja atas dasar keharusan dan kebaikan.

Kepercayaan, kewajiban, dan kesediaan adalah wujud eufemisme yang diciptakan atas dasar keharusan. Mekanisme bekerja dengan menciptakan situasi kognitif bagi subjek dalam keadaan tanpa pilihan. Nilai-nilai kebaikan disusupkan untuk menegakkan pengaruh dan merebut atau memperkokoh kekuasaan. Kedua, secara mekanisme sensori yang membuat kekerasan simbolik terbentuk sebagai sebuah pelestarian dari seluruh bentuk nilai yang telah dianggap “moral kehormatan” dalam rangka melestarikan nilai, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan hal lain yang ditentang dengan “moral yang rendah”, seperti: kekerasan, criminal, ketidakpantasan, asusila.

Dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak dapat dilihat secara fisik, melalui berbagai cara seperti melalui bahasa, eufemisme, dan mekanisme sensori yang kerap terjadi di seluruh aspek kehidupan yang dibuat oleh agen yang mendominasi melalui simbol-simbol (konsep, gagasan, ide, kepercayaan, prinsip) yang di baliknya terdapat pemaksaan dominasi, yang yang menguntungkan pihak dominan. Kekerasan tersebut terjadi dengan sangat halus, sehingga pihak-pihak yang didominasi tidak menyadari akan adanya kekerasan tersebut karena sudah menjadi hal lumrah yang terjadi di masyarakat. Teori kekerasan simbolik merupakan teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, untuk pemecahan masalah yang terdapat di dalam rumusan serta tujuan masalah.

Dokumen terkait