BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkebunan
Perkebunan merupakan usaha pemanfaatan lahan kering dengan menanam
komoditi tertentu. Berdasarkan jenis tanamannya, perkebunan dapat dibedakan
menjadi perkebunan dengan tanaman musim, seperti perkebunan tembakau dan tebu,
serta perkebunan tanaman tahunan, seperti perkebunan kelapa sawit, karet, kakao,
kopi, cengkeh, dan pala. Berdasarkan pengelolaannya, perkebunan dapat dibagi
menjadi :
1. Perkebunan rakyat, yaitu suatu usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh
rakyat yang hasilnya sebagian besar untuk dijual, dengan area pengusahaan
dalam skala yang terbatas luasnya.
2. Perkebunan besar, yaitu suatu usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh
perusahaan yang berbadan hukum dikelola secara komersial dengan areal
pengusahaan yang sangat luas. Perkebunan Besar terdiri dari Perkebunan Besar
Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) Nasional/Asing.
Fungsi perkebunan menurut UU Perkebunan mencakup tiga hal, pertama, fungsi secara ekonomi yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta
penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional. Kedua, fungsi ekologi yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan
Secara spesifik tujuan pembangunan perkebunan, antara lain:
a. meningkatkan produksi komoditas perkebunan baik dari segi kuantitas,
kualitas, maupun kontinuitas penyediaannya dalam rangka mendorong
peningkatan konsumsi langsung oleh masyarakat, memenuhi bahan baku
industri dalam negeri, dan peningkatan ekspor non migas;
b. meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja, dan modal;
c. meningkatkan pendapatan kesejahteraan petani, karyawan, dan pengusaha
perkebunan;
d. meningkatkan nilai tambah komoditas perkebunan;
e. meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha;
f. ikut membantu program transmigrasi;
g. membantu pengembangan wilayah dan memperkecil ketimpangan
pertumbuhan ekonomi antar wilayah;
h. meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan, iklim, dan sumber daya
manusia serta sekaligus memelihara kelestarian alam dan lingkungannya;
i. ikut memantapkan Wawasan Nusantara serta meningkatkan ketahanan
nasional dan keamanan ketertiban masyarakat. (Syamsulbahri, 1996).
Pengembangan tanaman perkebunan pada masa mendatang mempunyai
tantangan dalam hal untuk mendapatkan jenis tanaman yang cocok dengan kondisi
daerah atau kondisi alamnya dan mempunyai prospek pemasaran yang baik untuk
masa mendatang. Tanaman perkebunan merupakan komoditi yang ditujukan untuk
mendukung industri dan sebagai salah satu sumber untuk meningkatkan devisa
negara serta untuk kemakmuran rakyat. Tentulah harapan dalam pengembangan
diusahakan baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat tidak dapat
dipungkiri selalu diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara sektor ekonomi dan lingkungan.
Strategi pengembangan peningkatan produksi perkebunan tidak lagi
diletakkan pada intensifikasi saja sebagai titik berat, tetapi secara simultan
berwawasan diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi serta rehabilitasi. Prospek
pengembangan tanaman perkebunan mengacu pada penggunaan lahan, upaya
meningkatkan produktivitas lahan tidak berbasis pada satu macam komoditi, tetapi
disesuaikan dengan potensi sumber daya alam pada setiap wilayah. Di samping itu
pula untuk menghindari kerugian yang fatal apabila terjadi kegagalan panen maupun
harga jual dari suatu komoditi tertentu, dan dengan penanaman aneka komoditi
tanaman perkebunan beresiko kerugian akan dapat ditekan. Oleh sebab itu potensi
suatu wilayah akan menentukan jenis tanaman perkebunan yang akan dibudidayakan.
Kenyataan ini akan memberikan peluang pasar yang dinamik, karena akan
menghindari peledakan hasil komoditi tertentu yang pada akhirnya ekonomi pasar
dalam negeri akan bergairah.
Secara keseluruhan volume dan nilai ekspor komoditas perkebunan
mempunyai peluang besar yang menggembirakan terutama bagi komoditas
2.2. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu tujuan pembangunan secara makro adalah meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berhubungan dengan proses
peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat dan dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menyangkut perkembangan dan peningkatan
hasil produksi dan pendapatan. Menurut Boediono (1999), pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan
ekonomi mencerminkan aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat
bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat
kegiatan ekonomi yang dicapai sekarang lebih tinggi daripada yang dicapai pada
masa sebelumnya. Pertumbuhan tercapai bila jumlah fisik barang-barang dan
jasa-jasa yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut bertambah besar jumlahnya dari
tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan produksi total oleh suatu perekonomian oleh
beberapa ahli ekonomi didefenisikan sebagai kenaikan PDRB/GNP riil suatu daerah
atau negara. (Siboro, 2004)
Beberapa ekonom berpendapat bahwa adanya kecenderungan menaik bagi
output per kapita saja tidak cukup, tapi kenaikan output harus bersumber dari proses
intern perekonomian tersebut. Dengan kata lain proses pertumbuhan ekonomi harus
bersifat self-generating, yang berarti bahwa proses pertumbuhan itu sendiri menghasilkan kekuatan bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan dalam
periode-periode selanjutnya.
Menurut Saptomo (2008), tolak ukur yang paling banyak digunakan untuk
pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik atas dasar harga
berlaku maupun berdasarkan atas dasar harga konstan. Ada beberapa alasan yang
mendasari pemilihan pertumbuhan ekonomi menggunakan PDRB bukan indikator
lainnya diantaranya adalah bahwa PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang
dihasilkan oleh seluruh aktifitas produksi di dalam perekenomian daerah. Data
PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengolah sumber daya
yang dimiliki menjadi suatu proses produksi.
Dalam teori ekonomi pembangunan, dikemukakan ada enam karakteristik
pertumbuhan ekonomi, yaitu :
1. Terdapatnya laju kenaikan produksi perkapita yang tinggi untuk
mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang cepat.
2. Semakin meningkatnya laju produksi perkapita terutama akibat adanya
perbaikan teknologi dan kualitas input yang digunakan.
3. Adanya perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri
dan jasa.
4. Meningkatnya jumlah penduduk yang berpindah dari pedesaan ke daeah
perkotaan (urbanisasi).
5. Pertumbuhan ekonomi terjadi akibat adanya ekspansi negara maju dan
adanya kekuatan hubungan internasional.
6. Meningkatnya arus barang dan modal dalam perdagangan internasional.
2.3. Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi
Di dalam ilmu ekonomi terdapat banyak teori pertumbuhan. Para ekonom
mempunyai pandangan atau persepsi yang tidak selalu sama mengenai proses
pertumbuhan suatu perekonomian. Teori-teori pertumbuhan ekonomi dapat
dikelompokkan kedalam beberapa teori sebagai berikut :
2.3.1. Teori Pertumbuhan Klasik
Teori pertumbuhan klasik dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo,
Malthus dan John Stuart Mill yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu luas tanah, jumlah penduduk, jumlah barang
modal dan teknologi yang digunakan. Para tokoh ini memfokuskan perhatiannya
pada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka
mengasumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami
perubahan.
Menurut teori klasik pertumbuhan ekonomi dilambangkan oleh fungsi :
Q = Y = f (K, L, R, T)
Dimana:
Q = Output
Y = Pendapatan
K = Kapital
L = Labor
R = Tanah
Adam Smith mengemukakan bahwa faktor manusia sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi. Manusia dengan melakukan spesialisasi akan meningkatkan
produktivitas. Smith bersama dengan Ricardo percaya bahwa batas dari pertumbuhan
ekonomi adalah ketersediaan tanah. Tanah bagi kaum klasik merupakan faktor yang
tetap.
Kaum klasik juga yakin bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung
akibat adanya pembentukan akumulasi modal. Akumulasi tercipta karena adanya
surplus dalam ekonomi. Namun David Ricardo pesimis bahwa tersedianya modal
dalam jangka panjang akan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi. Menurutnya
dengan hanya mengandalkan modal pada jangka panjang (long run) perekonomian akan menuju kepada keadaan yang stationer, yaitu dimana pertumbuhan ekonomi
tidak terjadi sama sekali.
Menurut Ricardo peranan teknologi akan dapat menghambat berjalannya the law of diminishing return, walaupun teknologi bersifat rigid (kaku), dan hanya dapat berubah dalam jangka panjang. Bagi kaum klasik, keadaan stationer merupakan
keadaan ekonomi yang sudah mapan dimana masyarakat sudah hidup sejahtera dan
tidak ada lagi pertumbuhan yang berarti.
2.3.2. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori pertumbuhan neo-klasik diwakili oleh teori pertumbuhan Joseph
Schumpeter, Alferd Marshal, Robert Solow dan Trevor Swan. Pendapat neo-klasik
tentang perkembangan ekonomi dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (Suryana, 2000)
a. Adanya akumulasi kapital merupakan faktor penting dalam pembangunan
ekonomi;
c. Perkembangan merupakan proses yang harmonis dan kumulatif;
d. Adanya pikiran yang optimis terhadap perkembangan;
e. Aspek Internasional merupakan faktor bagi perkembangan.
Menurut paham neo-klasik tingkat bunga dan tingkat pendapatan menentukan
tingginya tingkat tabungan. Pada tingkat tertentu, tingkat bunga akan menentukan
tingkat investasi. Apabila permintaan terhadap investasi berkurang maka akan
berakibat menurunnya tingkat bunga dan menyebabkan hasrat menabung masyarakat
juga akan menurun.
2.3.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern
Meliputi teori pertumbuhan Rostow, Kuznet, dan Teori Harrod-Domar.
Menurut Rostow (dalam Suryana, 2000) pembangunan ekonomi adalah suatu
transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Masyarakat tradisional (The traditional society); b. Prasyarat lepas landas (The precondition for take-off); c. Lepas landas (The take-off);
d. Tahap kematangan (The driven to maturity);
e. Masyarakat berkonsumsi tinggi (The age of high mass consumption).
Kuznet (dalam Suryana, 200) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang ekonomi yang
terus meningkat kepada masyarakat. Kemampuan ini tumbuh atas dasar kemajuan
teknologi, institusional dan ideologis yang diperlukannya.
Harrod-Domar (dalam Suryana, 2000) mengatakan bahwa agar suatu
a. Barang modal telah mencapai kapasitas penuh;
b. Tabungan adalah proporsional dengan pendapatan nasional;
c. Ratio modal produksi tetap;
d. Perekonomian terdiri dua sektor.
Sedangkan teori pertumbuhan ekonomi Solow-Swan menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi tergantung pada pertambahan penyediaan faktor-faktor
produksi (penduduk, tenaga kerja dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan
teknologi. Pandangan ini didasarkan analisis klasik, bahwa perekonomian akan tetap
mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu.
Selanjutnya menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio = COR) dapat berubah dan bersifat dinamis. Untuk menciptakan sejumlah output
tertentu, biasa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga
kerja yang jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan. Jika lebih
banyak modal yang digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit,
sebaliknya jika modal yang digunakan lebih sedikit maka lebih banyak tenaga kerja
yang digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai
kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga kerja
yang akan digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu.
2.4. Faktor-F aktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang
mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi jatuh atau bangunnya
merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi
mewujudkan pertumbuhan ekonomi adalah: tanah dan kekayaan alam lainnya,
jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja, barang-barang modal dan tingkat
teknologi, sistem sosial dan sikap masyarakat, dan luas pasar. (Sukirno, 2002)
Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
pada subsektor perkebunan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi :
1. Ekspor
2. Luas Lahan dan
3. Produksi
4. Kurs
5. Investasi
2.4.1. Ekspor
Menurut Amir (2004), ekspor adalah mengeluarkan barang-barang dari
peredaran dalam masyarakat dan mengirimkan ke luar negeri sesuai ketentuan
pemerintah dan mengharapkan pembayaran dalam bentuk valuta asing ataupun
ekspor merupakan upaya melakukan penjualan komoditi yang kita miliki kepada
bangsa lain atau negara asing, dengan mengharapkan bayaran dengan valuta asing.
Dalam definisi lain ekspor adalah arus keluar sejumlah barang dan jasa dari
suatu negara ke pasar internasional. Ekspor terjadi terutama karena kebutuhan akan
barang-barang atau jasa tertentu sudah tercukupi didalam negeri atau karena produksi
barang-barang atau jasa tadi bisa kompetitif baik harga maupun mutu dengan produk
sejenis di pasar internasional. Ekspor dengan sendirinya akan memberikan
pemasukan devisa bagi negara-negara yang bersangkutan yang nantinya digunakan
Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara
meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang
langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor
yang mana tanpa produk-produk tersebut maka negera-negara miskin tidak akan
mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor
juga dapat membantu semua negara dalam mengambil keuntungan dari skala
ekonomi yang mereka miliki. (Todaro dan Stephen, 2003)
Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara
memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya
menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output
yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan
ekonomi dapat ditingkatkan. (Jhingan, 2007)
Adapun tujuan ekspor antara lain yaitu : (Amir, 2004)
1. Meningkatkan laba perusahaan melalui perluasan pasar serta untuk
memperoleh harga jual yang lebih baik (optimalisasi laba).
2. Membuka pasar baru di luar negeri sebagai perluasan pasar domestik
(membuka pasar ekspor).
3. Memanfaatkan kelebihan kapasitas terpasang (idle capacity).
4. Membiasakan diri bersaing dalam pasar internasional sehingga terlatih dalam
persaingan yang ketat. (Amir, 2004)
Suatu komoditi yang memiliki potensi untuk ekspor memiliki ciri-ciri antara
1. Mempunyai surplus produksi dalam arti kata total produksi belum dapat
dikonsumsi seluruhnya di dalam negeri.
2. Mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu seperti langka, murah, mutu,
unik atau lainnya, bila dibandingkan dengan komoditi serupa dengan yang
diproduksi negara lain.
3. Komoditi sengaja diproduksi untuk tujuan ekspor (outward looking industries) atapun industri yang pindah lokasi (relocation industries).
4. Komoditi ini memperoleh izin pemerintah untuk diekspor. (Amir, 2004)
Menurut Darmansyah (dalam Soekartawi, 1995), faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan ekspor antara lain:
1. Harga internasional. Semakin besar selisih antara harga di pasar internasional
dengan harga domestik akan menyebabkan jumlah komoditi yang akan
diekspor menjadi bertambah banyak.
2. Nilai tukar (exchange rate). Semakin tinggi nilai tukar mata uang suatu negara maka harga ekspor negara itu di pasar internasional akan menjadi
lebih mahal. Sebaliknya, semakin rendah nilai mata uang suatu negara, harga
ekspor negara itu di pasar internasional menjadi lebih murah.
3. Quota ekspor-impor yakni kebijakan perdagangan internasional berupa
pembatasan kuantitas barang ekspor dan impor.
4. Kebijakan tarif dan non tarif. Kebijakan tarif adalah untuk menjaga harga
produk dalam negeri dalam tingkatan tertentu yang dianggap mampu atau
dapat mendorong pengembangan komoditi tersebut. Sedangkan kebijakan
Menurut model basis ekspor, pertumbuhan suatu daerah adalah tergantung
dari pertumbuhan industri-industri ekspornya dan kenaikan permintaan yang bersifat
ekstrim bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu pokok dari pertumbuhan
regional. Bertambah luasnya basis ekspor suatu daerah akan cenderung menaikkan
tingkat pertumbuhan ekonomi.
2.4.2. Luas Lahan
Lahan adalah tanah yang digunakan untuk usaha pertanian. Penggunaan lahan
sangat tergantung kepada keadaan dan lingkungan lahan berada. Masing-masing
keadaan akan menyebabkan cara penggunaan yang berbeda yang harus disesuaikan
dengan keadaan tersebut.
Jenis tanah di Sumatera Utara di dominasi oleh tanah litosol, podsolik dan
regosol, yaitu seluas 1.601.601 hektar atau sekitas 22.34 persen dari seluruh luas
wilayah Sumatera Utara yang tersebar di Kabupaten Asahan, Dairi, Deli Serdang,
Karo, Labuhan Batu, Langkat, Nias dan Tapanuli Selatan. Jenis tanah ini sesuai
untuk pengembangan komoditi perkebunan seperti karet, kelapa sawit dan tanaman
keras lainnya. (Kusuma, 2006).
Tanah sebagai salah satu faktor produksi adalah merupakan pabrik-pabrik
hasil pertanian, yaitu tempat dimana proses produksi berjalan dan dari mana
hasil-hasil produksi keluar. (Mubyarto, 1989). Pentingnya faktor produksi tanah dapat
dilihat dalam luas atau sempitnya lahan. Luas lahan pertanian akan mempengaruhi
skala usaha, yang akhirnya mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha
pertanian. (Soekartawi, 1995)
Menurut Sinaga (2010), peningkatan luas lahan perkebunan maka akan
dimiliki akan membuat semakin banyak bibit yang ditanam sehingga produktifitas
diharapkan nantinya semakin tinggi. Komoditi kelapa sawit, kakao dan kopi pada
umumnya mulai berproduksi 3 sampai 4 tahun sejak ditanam dilapangan. Sedangkan
untuk komoditi karet unggul bisa mulai berproduksi sekitar 4 sampai 5 tahun setelah
masa tananm.
Lahan adalah salah satu dari faktor produksi yang jumlahnya terbatas. Untuk
perkebunan banyak diusahakan di Sumatera (bahkan di tiga provinsi: Sumatera
Utara, Riau, Jambi mempunyai lahan seluas 1 juta ha lebih untuk perkebunan).
Dengan luas lahan yang terbatas yang telah tersedia, maka para petani pemilik
perkebunan akan menyeleksi tanaman perkebunan apa yang cocok dengan
lingkungan lahan mereka dengan keuntungan yang paling baik dan resiko yang
paling sedikit. Analisis yang dilakukan hanya pendeteksian prospek pasar saja karena
hasilnya telah cukup untuk mengetahui tanaman yang berprospek cerah. (Indrian,
1992).
Luas lahan menghasilkan adalah merupakan luas lahan tanaman pertanian
yang terdapat pokok-pokok yang mengeluarkan hasil. Luas lahan menghasilkan pada
satu periode ( jangka waktu ) tertentu adalah tergantung kepada keputusan untuk
menanam pada masa lalu.
Lahan pertanian semakin menyusut akibat adanya pengaruh dari
meningkatnya populasi penduduk. Dimana populasi penduduk yang terus bertambah
akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan manusia untuk lahan yang akan
digunakan untuk membuat pemukiman-pemukiman baru. Dalam pembangunan
pemukiman-pemukiman tersebut maka lahan-lahan pertanian menjadi
Dengan perkembangan populasi penduduk maka secara langsung juga dapat
mengakibatkan terjadinya pengurangan lahan perkebunan. Atau juga dapat
menambah jumlah luas lahannya karena alih fungsi lahan pertanian masyarakat ke
bidang perkebunan karena anggapan masyarakat sekarang ini berfikir bahwa
perkebunan terutama sawit lebih menguntungkan dari pada mengusahakan lahannya
untuk pertanian pangan, palawija dan hortikultura.
Dengan semakin pesatnya perkembangan industri dan populasi penduduk
maka akan membuat terjadinya konversi lahan-lahan pertanian. Dengan
meningkatnya konversi lahan pertanian tersebut maka mempengaruhi tingkat
perbandingan antara luas lahan dengan manusia (land man ratio). Semakin rendah tingkat land man ratio maka semakin besar pula konversi lahan yang terjadi sehingga banyak lahan pertanian yang akan dialihfungsikan. Hal ini akan membuat petani
kehilangan lahannya, sehingga petani dapat menjadi buruh di lahannya.
Dengan semakin rendahnya land man ratio maka lahan akan semakin berkurang terutama lahan pertanian itu sendiri sehingga akan membuat petani
kehilangan penghasilan utamanya. Dengan demikian maka pendapatan petani akan
terus berkurang karena jumlah lahan yang diusahakan berkurang juga. Disamping itu
dengan berkurangnya lahan pertanian maka secara otomatis akan mempengaruhi
jumlah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal ini karena lahan pertanian
yang semakin menyusut sehingga pendapatan asli daerah yang berasal dari
produk-produk pertanian akan terpengaruh. (Simanjuntak, 2008)
2.4.3. Produksi
Ditinjau dari segi ekonomi pengertian produksi merupakan suatu proses
yang baik kualitas dan kuantitasnya, terkelola dengan baik sehingga merupakan suatu
komoditi yang dapat diperdagangkan.
Suatu bangsa harus berproduksi untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Produksi harus dilakukan dalam keadaan apapun, oleh pemerintah atau swasta.
Produksi tentu saja tidak akan dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang
memungkinkan proses produksi itu sendiri untuk melakukan produksi, orang
memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya,
serta kecakapan. Semua unsur-unsur itu disebut faktor-faktor produksi (factors of productions). Jadi semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor produksi.
Seperti yang disebutkan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
terdiri atas:
1. Tanah
Hal yang dimaksud dengan tanah (land) di sini bukanlah sekedar tanah untuk ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk juga di dalamnya segala
sumber daya alam (natural resources). Itulah sebabnya faktor produksi yang pertama ini sering kali disebut dengan natural resources di samping juga sering disebut land. Dengan demikian istilah tanah ini maksudnya adalah segala sesuatu yang bisa menjadi faktor produksi dan berasal atau tersedia di alam mini tanpa
usaha manusia, yang antara lain meliputi:
a. Tenaga penumbuh yang ada di dalam tanah, baik untuk pertanian,
b. Tenaga air, baik untuk pengairan, pengaraman, maupun pelayaran, termasuk
juga di sini adalah, misalnya air yang dipakai sebagai bahan pokok oleh
Perusahaan Air Minum
c. Ikan mineral, baik ikan dan mineral darat (sungai, danau, tambak, kuala, dan
sebagainya)
d. Tanah yang di atasnya didirikan bangunan
e. Living stock, seperti ternak dan binatang-binatang lain yang bukan ternak dan lain- lainnya, seperti bebatuan dan kayu-kayuan.
Sehingga yang dimaksud dengan istilah tanah (land) di sini adalah egala sumber
asli yang tidak berasal dari kegiatan manusia, dan bisa diperjual belikan.
2. Tenaga Kerja
Dalam ilmu ekonomi, yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia (labor) bukanlah semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji,
bertukang, dan segala kegitatan fisik lainnya, tetapi lebih luas lagi, yaitu human resources (sumber daya manusia). Jadi, pengertian human resources adalah semua atribut atau kemampuan manusiawi yang dapat disumbangkan untuk
memungkinkan dilakukannya proses produksi barang dan jasa.
3. Modal
Faktor produksi modal ini sering juga disebut dengan real capital goods (barang- barang modal riil), yang meliputi semua jenis barang yang dibuat untuk
menunjang kegiatan produksi barang- barang lain serta jasa. Modal juga
mencakup arti uang yang tersedia di dalam perusahaan untuk membeli
mesin-mesin serta faktor produksi lainnya.
Kecakapan (skill) atau disebut dengan entrepreneurship. Entrepreneurship ini merupakan faktor produksi yang intangible (tidak dapat diraba), tetapi sekalipun demikian peranannya justru sangat menentukan.
Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu
sama lain. Jika salah satu faktor tidak tersedia, maka proses produksi tidak akan
berjalan, terutama tiga faktor utama, yaitu tanah, modal dan tenaga kerja. Bila hanya
tersedia tanah, modal dan manajemen saja, tentu proses produksi atau usahatani tidak
akan berjalan karena tidak ada tenaga kerja. Tanpa tenaga kerja, tidak ada yang dapat
dilakukan, begitu juga dengan faktor lainnya, seperti modal.
Dalam proses produksi pertanian/perkebunan, faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat
kesuburannya, bibit, varitas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagainya.
b. Faktor sosial ekonomi seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan,
tersedianya kredit, dan sebagainya. (Soekartawi, 1995).
Menurut Joesron dan Tati (2003), produksi merupakan hasil akhir dari proses
atau aktifitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input.
Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah
mengkombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output.
Hubungan teknis antara input produksi dengan output dapat dijelaskan dengan suatu
fungsi produksi.
Hubungan antara jumlah output (Q) dengan jumlah input dalam proses
Q = f (X1, X2, X3, ..., Xn)
Dimana : Q = output
X = input
Input produksi sangat banyak, dan dalam hal ini input produksi hanyalah
input yang tidak mengalami proses nilai tambah. Dengan demikian dalam fungsi
produksi di atas tidak bisa dimasukkan material sebab dalam fungsi produksi ada
substitusi antara faktor produksi.
2.4.4. Kurs
Nilai tukar, yang biasanya juga disebut dengan kurs adalah pertukaran antara
dua mata uang yang berbeda, dimana terdapat perbandingan nilai atau harga antara
kedua mata uang tersebut. Dalam perdagangan internasional pertukaran antara satu
mata uang suatu negara dengan negara lain menjadi hal yang terpenting untuk
mempermudah proses transaksi jual beli barang dan jasa. Dari pertukaran ini terdapat
perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut dan inilah yang
disebut dengan nilai tukar atau kurs. Jadi, secara umum kurs dapat diartikan sebagai
harga suatu mata uang suatu negara terhadap mata uang asing atau harga mata uang
luar negeri terhadap mata uang domestik.
Valuta asing (foreign exchange) sebagai mata uang asing dan alat pembayaran dan satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional
nilainya relatif tidak stabil dan sering mengalami depresiasi atau penurunan nilai
terhadap mata uang lainnya. Soft currency umumnya berasal dari negara-negara yang sedang berkembang seperti mata uang Indonesia (Rupiah), Philipina (Peso), Thailand
(Bath), dan India (Rupee).
Perbedaan tingkat kurs timbul karena beberapa hal :
a. Perbedaan antara kurs beli dan jual oleh para pedagang valuta asing atau
bank, dimana kurs beli adalah kurs yang dipakai apabila para pedagang valuta
asing atau bank membeli valuta asing, dan kurs jual apabila mereka menjual
valuta asing. Selisih kurs jual dan kurs beli merupakan keuntungan bagi para
pedagang.
b. Perbedaan kurs yang diakibatkan oleh perbedaan waktu pembayaran, dimana
kurs TT (telegraphic transfer) lebih tinggi karena lebih cepat dibanding dengan kurs MT (mail transfer)
Dalam mekanisme pasar, kurs dari suatu mata uang akan selalu mengalami
fluktuasi (perubahan-perubahan) yang berdampak langsung pada harga
barang-barang ekspor dan impor. Perubahan-perubahan yang dimaksud antara lain :
Apresiasi, yaitu peristiwa menguatnya nilai tukar mata uang secara otomatis akibat
bekerjanya kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan atas mata uang yang
bersangkutan dalam sistem pasar bebas. Sebagai akibat dari perubahan kurs
adalah harga produk negara itu bagi pihak luar negeri makin mahal, sedangkan
harga impor bagi penduduk domestik menjadi lebih murah.
Depresiasi, yaitu peristiwa penurunan nilai tukar mata uang secara otomatis akibat
bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran atas mata uang yang
adalah produk negara itu bagi pihak luar negara itu bagi pihak luar negeri
menjadi murah,sedangkan harga impor bagi penduduk domestik menjadi lebih
mahal.
Sistem kurs valas yang digunakan oleh beberapa negara berbeda – beda satu
sama lainnya. Sifat kurs valuta asing sangat tergantung dari sifat pasar. Apabila
transaksi jual beli valuta asing dapat dilakukan secara bebas di pasar, maka kurs
valuta asing akan berubah – ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan
penawaran. Apabila pemerintah menjalankan kebijakan stabilitasi kurs, tetapi tidak
dengan mempengaruhi transaksi swasta, maka kurs ini hanya akan berubah – ubah di
dalam batas yang kecil, meskipun batas – batas ini dapat diubah dari waktu ke waktu.
Pemerintah harus turut campur tangan dalam pasar valuta asing untuk menghindari
fluktuasi nilai kurs yang besar dan berlebihan. Dalam hal ini kurs tidak lagi
dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Sistem ini disebut exchange control.
Oleh karena itu, dalam jangka pendek ekspansi moneter akan mendorong perubahan
yang segera pada harga relatif dan daya saing. (Dornbusch dan Fischer, 1997).
Kegiatan stabilitas kurs dapat dijalankan dengan cara sebagai berikut :
apabila tendensi kurs valuta asing akan turun maka pemerintah membeli valuta asing
di pasar. Dengan tambahnya permintaan dari pemerintah maka tendensi kurs turun
dapat dicegah. Sebaliknya apabila tendensi kurs naik, maka pemerintah menjual
valuta asing di pasar sehingga penawaran valuta asing bertambah dan kenaikan kurs
dapat dicegah.
Misalnya, pemerintah Indonesia menghendaki supaya kurs stabil pada tingkat
US $1 = Rp. 670,00. Gambar (a) : karena sesuatu sebab (misalnya, kenaikan harga
S1 ke S2). Kalau permintaan tetap pada D1, kurs US$ cenderung turun menjadi
US$1 = Rp. 600,00. Untuk mencegah penurunan ini pemerintah membeli dolar di
pasar bebas. Pembelian ini akan mengakibatkan permintaan naik, yang ditunjukkan
dengan pergeseran kurva permintaan ke atas (dari D1 ke D2). Tindakan ini akan
terus dilakukan sampai kurs kembali pada tingkat US$1 = Rp. 670,00. Gambar (b)
karena kenaikan pendapatan atau inflasi di dalam negeri misalnya, impor akan naik,
kenaikan impor akan mengakibatkan permintaan valuta asing naik (ditunjukkan
dengan kurva permintaan ke atas dari D1 ke D2). Kalau penawarannya tetap kurs
akan naik menjadi US$1 = 730,00. Untuk menurunkan kembali pada tingkat semula,
pemerintah menjual dolar di pasar. Penjualan ini akan terus dilakukan sampai kurva
penawaran bergeser kekanan dari S1 ke S2.
Gambar berikut menjelaskan operasi stabilitasi kurs tersebut.
Gambar 2.1. Kebijaksanaan Stabilisasi Kurs
Usaha untuk mencegah kenaikan kurs valuta asing ini bagi pemerintah lebih
menyebabkan pemerintah tidak bisa sepenuhnya untuk mengembalikan kurs ke
tingkat yang dikehendaki. Sedangkan usaha untuk mencegah penurunan kurs lebih
mudah dijalankan sebab pembelian valuta asing oleh pemerintah dilakukan dengan
menggunakan cadangan mata uang sendiri. Besarnya cadangan mata uang sendiri di
bawah kekuasaan/pengawasan pemerintah, bahkan kalau kekurangan pemerintah
dapat mencetak uang.
2.4.5. Investasi
Todaro dan Stephen (2003), menyatakan bahwa sumber daya yang akan
digunakan untuk meningkatkan pendapatan dan konsumsi di masa yang akan datang
disebut sebagai investasi. Dengan demikian investasi dapat diartikan sebagai
pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk
membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk
menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia
dalam perekonomian sehingga investasi disebut juga dengan penanaman modal atau
pembentukan modal.
Menurut Samuelson dan Nordhaus (2005), modal merupakan faktor produksi
yang khusus. Modal (barang modal) merupakan faktor produksi buatan yang
merupakan input sekaligus output dari suatu perekonomian. Pembentukan modal
diartikan bahwa masyarakat tidak mempergunakan seluruh aktifitas produktifnya
saat ini untuk kebutuhan dan keinginan konsumsi, tetapi menggunakan sebagian saja
untuk pembuatan barang modal. Yang mana pembentukan modal juga mencakup
pembiayaan untuk pendidikan, rekreasi dan barang mewah yang memberikan
kesejahteraan dan produktivitas lebih pada individu dan semua pengeluaran
Dornbush dan Fischer (1997) menjelaskan bahwa investasi merupakan
pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan stok barang
modal (meliputi pabrik, mesin, kantor dan produk-produk tahun lama lainnya yang
digunakan dalam proses produksi) digolongkan atas investasi tetap perusahaan,
investasi tempat tinggal dan investasi persediaan. Investasi merupakan unsur PDB
yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran atas barang dan jasa turun selama
resesi, sebagian besar dari penurunan itu berkaitan dengan penurunan pengeluaran
investasi (Mankiw, 2000). Investasi sebagai suatu kegiatan penggunaan uang untuk
penyediaan barang-barang modal yang dipergunakan dalam suatu kegiatan ekonomi
untuk menghasilkan laba di masa yang akan datang. (Sukirno, 2002)
Investasi merupakan penanaman modal di mana penanaman modal tersebut
bisa berasal dari Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman
Modal Asing (PMA). Investasi ini merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia.
Dalam hal investasi, pemerintah Indonesia telah menetapkan suatu
kebijaksanaan tentang penanaman modal melalui UU No. 1 Tahun 1967 mengenai
Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 mengenai Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN). Kemudian disempurnakan dengan berlakunya
masing-masing UU No. 11 dan UU No. 12 Tahun 1970.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967, pengertian Penanaman
Modal Asing (PMA) adalah:
1. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan
devisa Indonesia yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk
2. Alat untuk perusahaan termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing
atau bahan-bahan yang dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah
Indonesia selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa
Indonesia.
3. Bagian dari perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967
ini diperkenankan ditransfer tetapi dipergunakan untuk membiayai
perusahaan Indonesia.
Penanaman modal asing sangat besar fungsinya terhadap pembangunan
karena:
1. Dengan adanya penanaman modal asing maka hal ini menciptakan lapangan
pekerjaan dan dapat pula meningkatkan pendapatan masyarakat.
2. Sumber modal asing dapat dimanfaatkan oleh negara yang sedang
berkembang sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan
ekonomi.
3. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka perlu diikuti dengan
perubahan struktural produksi dan perdagangan.
4. Modal asing berperan aktif dalam mobilisasi dan transformasi struktural.
Menurut Kotler (1998) investasi asing memperhatikan minimum empat ciri
daya tarik suatu negara bagi investasi asing, yaitu:
1. Keuntungan Komperatif dan Bersaing.
Menurut Michael Porter dalam Kotler (1998) bahwa daya tarik suatu bangsa untuk mengadakan investasi dalam suatu industri terletak dalam empat atribut
yang luas, yaitu:
Daya tarik suatu bangsa bagi investasi akan makin besar bila sumber daya
alamnya, lokasinya, tenaga kerjanya yang terampil dan prasarana dasar
makin baik.
b) Kondisi permintaan
Makin tinggi kecanggihan permintaan ditempatnya sendiri baik produk
dan pelayanan industri tersebut makin besar daya tarik suatu bangsa untuk
menanamkan modalnya.
c) Industri-industri terkait dan pendukung
Daya tarik suatu bangsa bagi investasi akan makin besar dengan makin
adanya industri yang terkait dan pendukung dalam bangsa tersebut.
d) Strategi, struktur dan persaingan yang tegas
Makin besar intensitas persaingan di dalam negeri, makin besar daya tarik
suatu bangsa bagi penanaman modal.
2. Stabilitas Ekonomi dan Politik Dalam Negeri
Situasi pemerintahan yang tidak stabil dan keadaan ekonmi yang
perkembangannya tidak menentu dapat mengakibatkan perusahaan bisnis
akan ragu-ragu untuk menanamkan modalnya di negara-negara lain. Stabilitas
ekonomi dan politik merupakan kunci keberhasilan dalam menarik investasi
asing langsung.
3. Perlindungan Hak Cipta
Adanya kepastian hukum dan kelembagaan yang menguasai investasi secara
langsung. Kepastian hukum dan kelembagaan ini hendaknya terbuka
untuk pengalihan keuntungan dan perolehan input hendaknya diterapkan,
arah penanaman modal asing sering kuatir untuk mempribumikan hak milik
atau nasionalisasi secara langsung.
4. Zona-Zona Perdagangan Asing
Salah satu cara untuk menarik investasi asing langsung adalah dengan
membangun zona perdagangan asing Foreign Trade Zone (FTZ) di mana perusahaan yang hanya mengekspor dapat didirikan bebas dari kebanyakan
perundang-undangan lokal. Multi National Corperation (MNC) diperbolehkan untuk beroperasi, mengimpor, membuat dan bahkan memiliki
secara keseluruhan suatu bisnis di dalam lingkungan FTZ.
Selama MNC tidak menjual barang-barang impornya di dalam negara tuan
rumah, tidak akan ada efek pada pasar setempat. Negara tuan rumah
mendapat untung dari penciptaan kerja, keterampilan yang dipakai angkatan
kerjanya, pengalihan teknologi dan pendapatan yang meningkat bagi
warganya. Zona perdagangan asing didirikan tidak hanya di negara-negara
yang sedang berkembang tetapi juga di negara-negara yang sudah
berkembang.
Berbagai kebijakan investasi PMA di atas harus didukung oleh PMDN yang
baik sehingga memberi hasil yang maksimal. Sedangkan menurut Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 pengertian Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah
sebagai berikut:
1. Bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda
baik yang dimiliki oleh negara atau swasta asing yang berdomisili di
tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan, pasal-pasal Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
2. Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut di dalam ayat 1
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1968 dapat terdiri atas perorangan dan
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), maka Indonesia memasuki era baru
dalam kebijaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan adanya
kebijaksanaan tersebut maka para investor asing dan swasta nasional berani
melakukan penanaman modal untuk kegiatan ekonomi.
Jenis - jenis investasi :
a. Investasi yang terdorong (induced investment) dan investasi otonom (Autonomous Investment).
Investasi yang terdorong yakni investasi yang dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan, baik pendapatan daerah ataupun pendapatan pusat atau nasional.
Investasi otonom adalah investasi yang dilakukan pemerintah karena
disamping biayanya yang sangat besar juga investasi ini kurang memberikan
keuntungan, dimana besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh pendapatan baik itu
pendapatan daerah maupun pendapatan nasional. Tetapi dapat berubah karena
adanya perubahan – perubahan faktor – faktor diluar pendapatan, seperti
tingkat teknologi, kebijaksanaan pemerintah, harapan para pengusaha dan
sebagainya.
Public investment adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah, yang
dimaksud pemerintah disini adalah pemerintah pusat atau daerah. Sedangkan
private investment adalah investasi yang dilakukan oleh swasta, dimana keuntungan menjadi prioritas utama, berbeda dengan public investment yang diarahkan untuk melayani dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
c. Domestic Investment dan Foreign Investment
Domestic investment adalah penanaman modal dalam negeri, sedangkan
foreign investment adalah penanaman modal asing. d. Gross Investment atau Net Investment
Gross investment adalah total seluruh investasi yang diadakan atau yang dilaksanakan pada suatu waktu. Net investment adalah selisih antara investasi bruto dengan penyusutan, misalnya investasi tahun ini adalah 25 juta
sedangkan penyusutan yang terjadi selama tahun yang lalu sebesar 10 juta
maka investasi netto adalah 15 juta.
Investasi yang ditanamkan pada suatu negara atau daerah, ditentukan oleh
beberapa faktor, yang antara lain : (Kelana, 1997)
a. Tingkat bunga
Tingkat bunga menentukan jenis – jenis investasi yang akan memberikan
keuntungan kepada para pemilik modal (investor). Para investor hanya akan
menanamkan modalnya apabila tingkat pengembalian modal dari modal yang
ditanamkan (return of investment), yaitu berupa presentase keuntungan netto (belum dikurangi dengan tingkat bunga yang dibayar) yang diterima lebih
besar dari tingkat bunga. Seorang investor mempunyai dua pilihan di dalam
membungakan uang tersebut (deposito), dan menggunakannya untuk investasi.
Dalam hal dimana pendapatan yang akan diperoleh adalah lebih besar dari
tingkat bunga, maka pilihan terbaik adalah mendepositokan uang tersebut dan
akan menggunakannya untuk investasi apabila tingkat keuntungan yang
diperoleh adalah lebih besar dari tingkat bunga yang akan dibayar.
b. Tingkat keuntungan investasi yang diramalkan
Ramalan mengenai keuntungan di masa depan akan memberikan gambaran
pada investor mengenai jenis usaha yang prospektif dan dapat dilaksanakan
dimasa depan dan besarnya investasi yang harus dilakukan untuk memenuhi
tambahan barang – barang modal yang diperlukan.
c. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan – perubahannya.
Dengan bertambahnya pendapatan nasional maka tingkat pendapatan
masyarakat akan meningkat, daya beli masyarakat juga meningkat, total
agregat demand meningkat yang pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya
investasi lain (induced investment)
d. Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan.
Semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan, maka akan mendorong
para investor untuk menyediakan sebahagian dari keuntungan yang diperoleh
untuk investasi – investasi baru.
e. Situasi politik
Kestabilan politik suatu negara akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi
investor asing untuk menanamkan modalnya. Mengingat bahwa investasi
yang ditanam dan memperoleh keuntungan sehingga stabilitas politik jangka
panjang akan sangat diharapkan oleh para investor.
f. Kemajuan teknologi
Dengan adanya temuan – temuan teknologi (inovasi), maka akan semakin
banyak kegiatan pembaharuan yang akan dilakukan oleh investor, sehingga
semakin tinggi tingkat investasi yang akan dicapai.
g. Kemudahan – kemudahan yang diberikan pemerintah
Tersedianya berbagai sarana dan prasarana awal, seperti jalan raya, listrik dan
sistem komunikasi akan mendorong para investor untuk menanamkan
modalnya di suatu daerah. Disamping itu adanya bentuk insentif yang
diberikan pemerintah seperti keringanan – keringanan di dalam perpajakan (tax holiday). Yaitu suatu keringanan di dalam pembebanan pajak yang diberikan kepada suatu perusahaan yang mau menanamkan kembali ke dalam bentuk
investasi baru atau jika perusahaan yang bersangkutan mau dan bersedia
menanamkan investasinya di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Penciptaan investasi membawa pengaruh kepada perkembangan suatu daerah.
Dampak tersebut disebut dengan spared effect yaitu apabila suatu investasi yang ditanamkan didalam suatu daerah membawa perkembangan baik/positif bagi daerah
lainnya, seperti tumbuhnya industri-industri pelengkap atau penunjang bagi industri
utama di daerah pusat investasi.
Kegiatan investasi akan menimbulkan dua efek, yaitu efek langsung terhadap
Efek 1, terjadi pada sisi permintaan agregat, yaitu bila pengeluaran investasi
meningkat, pengeluaran agregat di pasar uang akan meningkat, yang kemudian akan
menaikkan tingkat pendapatan nasional melalui proses multiplier.
Efek 2, terjadi pada sisi penawaran agregat dan efek ini bersifat jangka
panjang sehingga kenaikan pengeluaran investasi akan meningkatkan jumlah kapital.
Dengan meningkatnya jumlah kapital, produksi perekonomian meningkat yang
kemudian akan meningkatkan penawaran agregat.
2.5. Model Dinamik Komoditi Pertanian
Menurut Labys (1973) permintaan bagi suatu komoditi pertanian adalah
secara dinamik. Karena permintaan biasanya berinteraksi tidak secara serta merta
(cepat) terhadap faktor yang mempengaruhinya, misal harga dan pendapatan. Tetapi
biasanya pengaruh pemrintaan dibagi-bagi pada periode tertentu. Faktor institusi dan
keterbatasan teknologi (technological rigidities) sering menjadi penghambat terhadap cepatnya pengaruh faktor-faktor terhadap permintaan suatu produk, artinya ada
faktor time lag.
Menurut Afifuddin (1989), untuk menentukan bentuk suatu model bagi setiap
hubungan antar variabel ekonomi adalah sangat penting dalam suatu penelitian,
selain memenuhi ciri-ciri yang terdapat dalam memilih sutau model, sifat dan
konsep-konsep yang terdapat dalam suatu model itu perlu juga diambil perhatian
terutama sekali semasa menganalisis suatu model yang telah dibina (dibentuk) .
Keputusan produksi yang diambil pada waktu t yang didasarkan pada harga
saat itu (Pt) tidak akan terealisasi pada waktu t, melainkan pada waktu t+1. Oleh
terjadinya kolinieritas ganda antar peubah tenggang waktu tersebut. Dengan
demikian, diperlukan modifikasi model respon produksi
Model penyesuaian parsial Nerlove diterapkan untuk menganalisis perilaku
permintaan yang dinamis. Pendekatan ini dapat menjelaskan perbedaan perilaku
permintaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Asumsi dasar pada model
penyesuaian parsial Nerlove bahwa permintaan pada suatu periode tertentu (t)
menyesuaikan diri secara parsial terhadap permintaan yang diharapkan.
Terdapat beberapa cara mengklasifikasikan model komoditi. Pada umumnya
ada tujuh jenis metodologi yakni model pemasaran ekonometrik, model proses
ekonometrik, model keseimbangan ‘spatial’, model perdagangan internasional,
model rekursif, model perindustrian dinamik dan model sistem (Labys, 1973).
Model-model komoditi dapat juga diklasifikasikan pada bentuknya yang statis atau
dinamik, linier atau non linier, stokastik atau non stokastik, terbuka atau tertutup,
rekursif atau simultan (Afifuddin, 1989).
2.6. Penelitian Terdahulu
Situmorang (2010), melakukan penelitian untuk mengetahui keadaan ekspor
karet alam Sumatera Utara dan faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini
menggunakan analisis path dan berfokus pada studi pengaruh variabel kurs, inflasi,
dan harga karet alam ekspor Sumatera Utara terhadap ekspor karet alam Sumatera
Utara melalui produksi karet alam. Hasil analisis menunjukkan bahwa kurs, inflasi,
harga karet alam ekspor secara bersama-sama berpengaruh nyata positif terhadap
produksi karet alam Sumatera Utara. Secara parsial, kurs memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap produksi karet alam Sumatera Utara sedangkan inflasi dan harga
alam Sumatera Utara. Kurs, inflasi, harga karet alam ekspor, dan produksi karet
alam ekspor berpengaruh positif terhadap ekspor karet alam Sumatera Utara. Secara
parsial, kurs, harga karet alam ekspor, produksi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap ekspor karet alam Sumatera Utara dan inflasi memiliki pengaruh yang tidak
signifikan terhadap ekspor karet alam Sumatera Utara. Secara bersama-sama, kurs,
inflasi, harga karet alam ekspor, dan produksi karet alam berpengruh nyata terhadap
ekspor karet alam Sumatera Utara.
Putra (2011), melakukan penelitian pengaruh nilai tukar rupiah, harga pupuk
kelapa sawit, luas lahan kelapa sawit, dan harga ekspor minyak kelapa sawit terhadap
volume ekspor minyak kelapa sawit Sumatera Utara. Data penelitian diestimasi
dengan menggunakan regresi linier berganda dengan memakai metode Ordinary Least
Square. Hasil penelitian menunjukkan nilai tukar Rupiah, harga pupuk kelapa sawit, luas
lahan kelapa sawit, dan harga ekspor minyak kelapa sawit memiliki pengaruh positif
terhadap volume ekspor minyak kelapa sawit Sumatera Utara, dan luas lahan memiliki
pengaruh paling dominan.
Sumanjaya (2005), yang menganalisis faktor-faktor pertumbuhan ekonomi
Indonesia, menunjukkan bahwa ekspor dan investasi memiliki pengaruh yang positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara nilai tukar yang meningkat tajam, justru
mempunyai hubungan yang negatif dan bahkan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Inflasi sering meningkat sejalan dengan kebijaksanaan. Keseluruhan faktor di atas
memberikan pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Mahendra (2006), menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Hasil analisis menunjukkan bahwa
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Secara
parsial variabel ekspor dan variabel investasi tidak berpengaruh nyata terhadap
variabel pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. Sedangkan variabel tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara.
Nensy (2005), menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. Penelitian membahas tentang pengaruh
ekspor, investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi
Sumatera Utara. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel ekspor berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, sedangkan variabel
investasi dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. Hal ini disebabkan karena investasi yang
terjadi jumlahnya sedikit dan pengeluaran pemerintah untuk menyeimbangi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga sangat besar. Dimana secara bersama-sama
ketiga variabel tesebut mampu memberikan penjelasan tingkat variasi pertumbuhan
ekonomi Sumatera Utara sebesar 70,6% sedangkan sisanya 29,4% dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model estimasi.
Zai (2008), meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
ekspor karet Sumatera Utara (periode 1997 – 2006). Berdasarkan hasil analisis data
volume ekspor karet Sumatera Utara disimpulkan variabel nilai free of broad (FOB), produksi perkebunan karet rakyat dan total produksi PTPN II, PTPN III dan PTPN
IV mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor karet Sumatera
Utara. Ketiga variabel memberikan pengaruh yang positif terhadap volume ekspor
karet Sumatera Utara. Nilai koefisien determinasi adalah 0,774 sehingga dapat
free of broad (FOB), produksi perkebunan karet rakyat dan total produksi PTPN II,
PTPN III dan PTPN IV 77,4% sedangkan 22,6 % lagi dipengaruhi oleh faktor-faktor
lainnya.
Bakara (2005), melakukan analisis tentang pengaruh intervensi BI dalam
menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan analisis jalur dapat diambil
kesimpulan bahwa suku bunga SBI, Giro Wajib Minimum dan nilai tukar Rupiah
secara parsial dan simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai tukar
Rupiah. Penetapan suku bunga SBI dan Giro Wajib Minimum yang terlalu tinggi
ditetapkan Bank Indonesia akan mengakibatkan suku bunga pinjaman pada
bank-bank umum juga tinggi. Hal ini akan mengurangi iklim investasi dan loanable funds
yang diberikan kepada masayarakat. Kestabilan nilai tukar Rupiah mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini dapat dilihat pada krisis ekonomi yang
terjadi pada pertengahan tahun 1997, bahwa melemahnya nilai tukar Rupiah telah
menyebabkan mempengaruhi keadaan moneter dalam negeri serta mengganggu
seluruh aktifitas perekonomian Indonesia. Krisis nilai tukar Rupiah telah
menyebabkan harga barang-barang dan jasa meningkat secara tajam, laju inflasi yang
tinggi, fungsi sektor perbankan sebagai intermediary financial terganggu, sektor produksi terhambar sehingga jumlah pengangguran meningkat, yang pada akhirnya
menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan.
Afifuddin, dkk (1994) penelitiannya menganalisis faktor yang mempengaruhi
respon pekebun dalam menentukan keputusan untuk investasi. Dengan melihat
hubungan faktor harga kelapa sawit, harga karet, anggaran pembangunan pemerintah
penanaman kelapa sawit dengan menggunakan model luas lahan. Temuan mereka,
luas lahan menghasilkan dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit, investasi dan
tingkat upah buruh masing-masing time lag 4 tahun. Investasi dan tingkat upah,
masing-masing bermakna pada tingkat keyakinan 95% dan 99%. Harga minyak
kelapa sawit tidak signifikan dimasukkan kaerena hubungan sesuai teori.
2.7. Kerangka Konseptual
Keterkaitan antara variabel-variabel yang digunakan dalam penulisan ini
digambarkan dalam bentuk kerangka konseptual sebagai berikut :
Nilai Produksi Komoditi
Perkebunan (NP)
Luas Lahan Perkebunan
(LL)
Investasi (I)
Nilai Ekspor Komoditi
Perkebunan (NE)
Kurs (K)
Pertumbuhan Ekonomi
(PE)
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual
2.8. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual, maka hipotesis
yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Nilai produksi komoditi perkebunan memberikan pengaruh yang positif
b) Luas lahan perkebunan tahun t-4 memberikan pengaruh yang positif terhadap
nilai ekspor subsektor perkebunan Sumatera Utara, ceteris paribus.
c) Kurs memberikan pengaruh yang positif terhadap nilai ekspor subsektor
perkebunan Sumatera Utara, ceteris paribus.
d) Nilai produksi komoditi perkebunan, luas lahan perkebunan tahun t-4 dan
kurs secara bersama-sama berpengaruh terhadap nilai ekspor komoditi
perkebunan Sumatera Utara, ceteris paribus.
e) Nilai produksi komoditi perkebunan memberikan pengaruh yang positif
terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, ceteris paribus.
f) Luas lahan perkebunan tahun t-4 memberikan pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, ceteris paribus.
g) Kurs memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi
Sumatera Utara, ceteris paribus.
h) Nilai ekspor komoditi perkebunan memberikan pengaruh yang positif
terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, ceteris paribus.
i) Nilai investasi tahun t-4 pada subsektor perkebunan memberikan pengaruh
yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, ceteris paribus. j) Nilai produksi komoditi perkebunan, luas lahan perkebunan tahun t-4, kurs,
ekspor komoditi perkebunan, beserta nilai investasi tahun t-4 pada subsektor
perkebunan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara