• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.2. Kerangka Pemikiran

Pada saat ini semakin disadari bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam baik berupa kawasan maupun spesies tidak cukup hanya diputuskan oleh

lembaga-lembaga pemerintah dengan aturan-aturan yang dibuat secara sentralistik. Kebijakan yang sentralistik tidak menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kawasan maupun spesies. Hal tersebut dibuktikan dengan timbulnya berbagai konflik di hampir seluruh kawasan hutan termasuk kawasan konservasi. Sumber konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan pengelolaan hutan disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak tertampung dalam kegiatan pengelolaan hutan, sedangkan konflik satwaliar disebabkan karena keluarnya satwaliar dari kawasan konservasi ke wilayah kegiatan masyarakat (Alikodra 2009).

Mengatasi konflik di kawasan taman nasional dengan kebijakan yang sentralistik, perlu perubahan paradigma pengelolaan yaitu dari manajemen sentralistik ke manajemen kolaboratif. Manajemen kolaboratif adalah membangun atau menetapkan kesepakatan seluruh pihak terkait melalui kerjasama yang saling menguntungkan dengan mekanisme aturan-aturan yang disepakati oleh seluruh

stakeholders. Kolaborasi adalah suatu kondisi dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka serta membagi secara adil fungsi, hak dan tanggung jawab dari suatu pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang diberi mandat untuk dikelola (Borrini-Feyerabend et al. 2000).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan pengelolaan kolaborasi adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan dan menyetujui untuk berbagi fungsi/peran, wewenang dan tanggung jawab manajemen dalam mengelola sumberdaya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi. Pengelolaan kolaborasi yang akan dikaji yaitu pengelolaan berbasis kemitraan atau kerjasama antara pihak terkait melalui pembagian peran, wewenang, berbagi keuntungan serta pembangunan kapasitas melalui peningkatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan ada beberapa faktor pendukung manajemen kolaboratif (co-management) yaitu pembagian otoritas dan tanggung jawab, kerjasama, partisipasi, saling percaya dan menghargai, pembangunan kapasitas serta integrasi konservasi dan pembangunan. Di antara elemen penting yang terintegrasi dalam strategi pengelolaan kolaboratif adalah untuk tujuan sosial, budaya, dan ekonomi.

Konflik satwaliar banteng dan masyarakat di TNMB dan TNAP mulai memuncak sejak tahun 2003. Dalam kurun waktu tujuh tahun ditemukan 11 kasus kematian banteng di lokasi Perum Perhutani yang berbatasan dengan TNAP yaitu di blok Sumbergedang, blok Kepuhngantuk dan di Dusun Kuterejo Desa Kalipait (Murdyatmaka 2008). Di kawasan yang berbatasan dengan areal perkebunan Bandealit wilayah kerja Seksi Ambulu TNMB dalam kurun waktu empat tahun ditemukan enam kasus kematian banteng karena perburuan. Masyarakat dimaksud adalah masyarakat desa sekitar kawasan taman nasional dan perkebunan baik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah. Konflik terjadi karena masuknya banteng ke areal perkebunan dan kawasan perhutani serta kebun masyarakat , yang menyebabkan keterancaman banteng oleh perburuan.

Di TNAP banteng masuk dan merusak kawasan hutan produksi Perum Perhutani BKPH Blambangan yang menyebabkan matinya tanaman mahoni dibawah umur 5 tahun karena kulit batangnya dimakan banteng, selain itu merusak kebun masyarakat/pesanggem. Di TNMB banteng merusak kebun masyarakat/pesanggem dan perkebunan Bandealit yang menyebabkan rusaknya 10 ha tanaman vanili dan tanaman kopi.

Untuk mengetahui lebih jelas siapa saja yang terkait dalam konflik konservasi banteng dengan masyarakat serta bagaimana pengaruh dan kepentingannya perlu dilakukan suatu analisis stakeholders. Stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan dalam suatu sistem manajemen sumberdaya (Suporahardjo 2005). Stakeholders dapat berupa perorangan, komunitas, kelompok sosial, atau organisasi. Analisis stakeholders dapat digunakan secara progresif (cepat) untuk memberdayakan kelompok yang sebenarnya penting namun terpinggirkan serta untuk meningkatkan kebijakan dan lembaga (Suporahardjo 2005). Pendekatan penelitian manajemen konflik satwaliar banteng dan masyarakat menggunakan teori konflik dan teori co-management. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Coser 1956).

Pengelolaan kolaboratif adalah suatu kesepakatan dimana wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan

Stakeholder

lain Masyarakat*)

Taman Nasional Konservasi

Banteng *) Masyarakat sekitar kawasan Perum Perhutani Perkenunan Bandealit

stakeholders lain yang terkait dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam (NRTEE 1999). Pengelolaan kolaboratif dianggap paling ideal karena bersifat partisipatif, seluruh stakeholders dapat terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan hingga pengawasan (Suporahardjo 2005). Pengelolaan kolaboratif merupakan metode resolusi konflik yang menempatkan setiap

stakeholders sederajat (Tajudin 2000).

Teori konflik dan kolaboratif dipergunakan sebagai landasan untuk meredam konflik dengan memperhatikan secara detail berbagai aspek konservasi banteng, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan manajemen taman nasional (Gambar 1), diagram kerangka penelitian dan faktor yang perlu menjadi sasaran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Kerangka teoritis aspek penelitian manajemen konflik konservasi banteng (Coser 1956; Fisher et al. 2001; Knight dan Tighe 2003; UU No 5/1990 dan NRTEE 1999).

Gambar 2 menerangkan bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai dalam kawasan taman nasional maupun penataan pemanfaatan areal berupa

enclave dapat memicu timbulnya perubahan dan gangguan biofisik kawasan, yang berakibat pada perubahan ekologi kawasan dan banteng. Pemanfaatan lahan berupa enclave untuk pembangunan perkebunan, pertanian atau kegiatan penunjang ekonomi masyarakat lainnya dengan berbagai kebijakan sebelumnya dirasa kurang relevan dengan kebijakan dan aturan saat ini. Hal ini terlihat dari adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan lahan dan kawasan maupun konflik ekologis antara banteng dan masyarakat pengguna dan pengelola lahan (Fisher et al. 2001; Malik et al. 2003 ; Alikodra 2009).

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher et al. 2001; Alikodra 2009; Suporahardjo 2005. Mod.)

Sehubungan dengan adanya konflik dalam konservasi banteng yang diindikasikan dengan keluarnya banteng dari kawasan dan terjadinya perburuan yang mengancam populasi banteng, maka pihak taman nasional perlu mengelola konflik tersebut. Aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek kepentingan masyarakat , habitat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkait dengan persepsi masyarakat terhadap konservasi banteng melalui kelembagaan, seperti pada TN Ujung Kulon (TNUK), TN Way Kambas (TNWK) dan TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Adanya keterkaitan konflik dengan pemanfaatan sumberdaya lahan, sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat atau lembaga (stakeholders) yang terlibat, maka pengelolaan sumberdaya dan masyarakat di daerah penyangga memerlukan pengelolaan terpadu dalam bentuk kolaboratif ( IUCN 1997; Suporahardjo 2005).

Dokumen terkait