• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan sumberdaya hutan termasuk satwaliar umumnya diarahkan atau identik dengan pengelolaan dari aspek ekologi, sedangkan aspek sosial terutama yang berhubungan dengan masyarakat sekitar hutan kurang mendapat perhatian. Hal tersebut telah berdampak pada sumberdaya hutan dan penurunan keragaman jenis akibat intervensi masyarakat ke dalam kawasan yang menimbulkan konflik, dengan demikian aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan termasuk pengelolaan konflik. Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah suatu situasi yang menunjukkan terjadinya penghilangan hak seseorang atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi konflik menurut (Malik et al. 2003) :

(a) Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi, budaya (tingkah laku) dan cara berkomunikasi.

(b) Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya, fisik, dan waktu), tata cara (sikap), dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan).

(c) Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi dan menyajikan data.

(d) Pemaksaan nilai dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut data.

Alikodra (2009) menyatakan bahwa banyak alasan yang menjadi sumber konflik, misalnya konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan kehutanan, yang disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak ditampung dalam kegiatan kehutanan. Padahal status lahan dan kegiatan mereka telah dianut lama secara turun temurun dan tertuang dalam norma adat mereka.

Teori penyebab konflik lainnya yaitu teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia berupa fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan

(Fisher et al. 2001). Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : membantu pihak- pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan- pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak adanya kehidupan. Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif ataupun negatif. Aspek positif konflik muncul, ketika konflik membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalah fahaman. Konflik juga akan bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan statusquo, maka sebuah pendekatan kreatif muncul. Sebaliknya konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Konflik yang tidak terselesaikan merupakan sumber kesalah fahaman, ketidak percayaan serta bias. Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya hambatan- hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai pihak (Johnson dan Duinker 1993; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009).

Perbedaan dan pertentangan kepentingan seringkali terjadi dan muncul dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan. Pertentangan ini seringkali merefleksikan perbedaan pandangan, ideologi, dan harapan. Hal tersebut merupakan tantangan bagi para pengelola lingkungan atau sumberdaya hutan untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan tersebut serta mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak (Zen 1979; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009). Hal tersebut telah dilakukan di Australia dengan membangun suatu kesepakatan antara pemerintah dan stakeholders yang menyarankan aturan-aturan baru dalam pengambilan keputusan untuk jangka panjang dalam penyelesaian konflik keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam (Brown 2002).

Konflik sangat terkait dengan value (nilai) yang difahami oleh masyarakat terhadap sumberdaya dan lingkungannya. Value mereka apakah dilandasi oleh

pemahaman mereka terhadap ekologi dalam atau pemahaman ekonomi jangka pendek (Alikodra 2009). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwaliar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwaliar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwaliar yang berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik yang dilakukan ( Kepmenhut, No. P.48/Menhut-II/2008).

Dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan satwaliar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Manusia dan satwaliar sama-sama penting; konflik manusia dan satwaliar menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwaliar yang terlibat konflik.

2. Site spesific; secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya habitat satwaliar yang disebabkan salah satunya karena aktifitas pembukaan areal dan konversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri. Disamping itu, berkurangnya satwa mangsa (khsususnya untuk harimau) karena perburuan liar, juga sering menimbulkan konflik. Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif di suatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya.

3. Tidak ada solusi tunggal; Konflik antara manusia dan satwaliar dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang komprehensif.

4. Skala lansekap; Satwaliar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation) .

5. Tanggungjawab multi pihak; Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan konflik antara manusia dan satwaliar ini harus melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggungjawab.

Beberapa contoh tahapan yang harus dilakukan dalam menghadapi konflik satwaliar harimau dan manusia di Sumatra (Tilson et al. 1994), diacu dalam (Nyhus & Tilson 2004 ) adalah: 1. Pengumpulan data observasi dan test hipotesis; 2. Diskusi antara stakeholders terkait dan 3. Jika terjadi konflik harus langsung direspons misalnya dengan translokasi, pemanfaatan dan menjinakkannya.

Dokumen terkait