• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Manajemen Kolaborasi dalam Upaya Konservasi Banteng

5.4.1. Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaboras

Dari hasil pengamatan terhadap aspek ekologi, sosial ekonomi, identifikasi dan

pemetaan stakeholders, persepsi dan kepentingan stakeholders yang terkait dengan

konflik banteng serta wawancara dengan stakeholders yang tidak terkait konflik

diketahui alternatif program kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan

bersama. Penentuan prioritas kegiatan dan tingkat/bentuk kolaborasi dipilih oleh

stakeholders dan para pakar konservasi, yang terdiri dari pakar konservasi jenis dan konservasi kawasan, pakar tersebut berasal dari Perguruan Tinggi IPB satu orang, Badan Litbang Kehutanan dua orang, dan dari Ditjen PHKA empat orang. Berdasarkan hasil analisis diketahui struktur hierarki dengan bobot kepentingan yang menunjukkan prioritas program kegiatan dan bentuk kolaborasi yang dipilih dalam rangka konservasi banteng seperti Gambar 34.

Gambar 34 Struktur hierarki co-management konservasi banteng di TNAP (Mod. Saaty 1993)

   

Dari hasil analisis secara keseluruhan peran aktor dalam program kegiatan untuk tujuan konservasi banteng dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35 Tingkat peranan aktor terhadap pelaksanaan program kegiatan konservasi banteng di TNAP.

Pada Gambar 35 diketahui bahwa prioritas aktor yang berperan penting dalam pelaksanaan program konservasi banteng di TNAP secara berturut-turut yaitu Balai TNAP (67,90%), masyarakat (11,90%), Perum Perhutani (10,20%) dan LSM (9,90%). Balai TNAP menjadi yang pertama karena sesuai dengan keadaan di lapangan bahwa dalam pengelolaan banteng peran Balai TNAP

adalah yang paling dominan. Sedangkan stakeholders lainnya belum

dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan TN, khususnya pengelolaan

banteng karena belum dilakukan kerjasama antar stakeholders. Dalam

kenyataannya Perum Perhutani sebagai pemangku pengelola hutan produksi kawasannya digunakan banteng sebagai bagian dari wilayah jelajahnya, tetapi Perum Perhutani belum dilibatkan dalam perencanaan kebijakan pengelolaan taman nasional dan banteng. Dalam upaya konservasi banteng secara kolaboratif Balai TNAP harus mulai berbagi peran dan kewenangan dengan

stakeholders terkait untuk tercapainya upaya konservasi banteng.

Pada level alternatif kegiatan faktor terhadap aktor, urutan prioritas yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu faktor ekologi (62,90%), faktor ekonomi (19,10%) dan faktor sosial (18,00%). Data tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan konservasi banteng secara kolaboratif faktor ekologi merupakan faktor yang paling

penting untuk diperhatikan demi keberlangsungan sumberdaya. Hal tersebut selaras dengan tujuan utama pengelolaan kolaboratif yang salah satu elemen pentingnya yaitu mempertahankan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya (Claridge and O’ Callaghan 1995). Namun demikian dalam pengelolaan sumberdaya alam faktor ekonomi harus dipertimbangkan juga khususnya yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Pembangunan ekonomi tersebut harus berwawasan lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Jika masyarakat sekitar kawasan sejahtera diharapkan gangguan terhadap ekosistem dan sumberdaya kawasan dapat ditekan.

MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan

kawasan yang dilindungi banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya. Jika kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, masyarakat setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi jika pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat, masyarakat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari pengembangan yang membahayakan.

Pada level alternatif terhadap faktor yang berupa alternatif kegiatan secara kolaboratif untuk meminimalisir konflik, urutan prioritas yang paling penting yaitu peningkatan kualitas habitat banteng (41,50%), pengembangan penangkaran banteng (24,30%), pengembangan ekowisata (22,50%) dan pengembangan tanaman obat dan buah (11,70%). Urutan prioritas kegiatan peningkatan kualitas habitat banteng adalah pilihan yang sangat sesuai dengan keadaan di lapang. Berdasarkan hasil pengukuran potensi habitat pakan diketahui bahwa habitat padang penggembalaan dalam kawasan taman nasional tidak memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini yang menyebabkan banteng keluar kawasan memakan tanaman ladang masyarakat seperti jagung, padi dan kacang kedelai serta tanaman Perum Perhutani seperti kulit batang mahoni yang menyebabkan kematian pohon tersebut.

   

Pengembangan penangkaran banteng yang menjadi prioritas kedua perlu dipertimbangkan khususnya dalam pemanfaatkan semen banteng untuk peningkatan genetik sapi bali melalui inseminasi buatan, sehingga salah satu tujuan konservasi yaitu pemanfaatan plasma nuftah dapat diwujudkan. Pengembangan tanaman obat dan buah perlu ditingkatkan dan dipertimbangkan walaupun tidak menjadi prioritas utama karena masyarakat sekitar kawasan umumnya sudah mengembangkan kegiatan tersebut pada kawasan bekas penyangga TNAP.

Hasil analisis secara keseluruhan bentuk/tipe co-management terhadap

alternatif program dapat dilihat pada Gambar 36.

Gambar 36 Prioritas tingkat co-management konservasi banteng di TNAP

Berdasarkan hasil analisis bentuk co-management terhadap alternatif

program kegiatan secara keseluruhan diketahui bahwa prioritas yang terpilih

adalah tingkat/tipe co-management instruktif (25,50%), pendampingan (21,50%),

konsultatif (21,10%), kooperatif (20,09%), dan informatif (11,00%). Dari hasil

analisis tersebut terlihat bahwa bentuk co-management instruktif, pendampingan,

konsultatif dan kooperatif nilainya hampir tidak berbeda yaitu antara 20% - 25%. Setelah dilakukan analisis AHP terhadap tiap alternatif kegiatan (Lampiran 6)

diketahui bahwa tipe co-management yang dipilih untuk tiap program kegiatan

yaitu pengembangan habitat dengan tipe kolaborasi instruktif (35,1%), pengembangan penangkaran banteng tipe kolaborasi kooperatif (25,2%), pengembangan ekowisata pendampingan (34,2%) dan pengembangan tanaman obat dan buah tipe kolaborasi kooperatif (36,2%).

Hasil analisis seluruh alternatif bentuk co-management secara instruktif merupakan pilihan yang tinggi bobot nilainya dibanding yang lainnya (Gambar 36). Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa pengelolaan taman nasional secara umum masih bersifat instruktif. Inisiatif kebijakan pengelolaan

selalu berasal dari pemerintah (BTN), masyarakat dan stakeholders lain tidak

dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan kawasan secara umum dan pengelolaan banteng secara khusus. Peran pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional (BTN) yang dominan disebabkan oleh fungsi dan otoritas regulasi formal yang hanya dapat diperankan oleh pihak pemerintah (BTN). Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa tingkat/tipe pengelolaan kolaboratif secara instruktif pemerintah sangat berperan dalam banyak hal, sedangkan masyarakat hanya menerima apa yang direncanakan dan diatur oleh pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Perum Perhutani dan masyarakat yang berkepentingan tinggi khususnya di kawasan bekas penyangga tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan TNAP. Kepentingan Perum Perhutani pada pengelolaan kawasan bekas penyangga seluas 1309 ha, karena kawasan tersebut sudah menjadi hutan produksi jati sejak tahun 1964. Perum Perhutani ingin memanfaatkan kayu pada kawasan bekas penyangga melalui penebangan dan penanaman kembali, hal yang harus dipertimbangkan bahwa kawasan bekas penyangga merupakan koridor habitat banteng, sehingga dalam pemanfaatannya harus mempertimbangkan kepentingan banteng.

5.4.2 Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng di TNMB

Dari hasil analisis seperti yang dilakukan di TNAP diketahui kepentingan,

pengaruh dan kebutuhan para stakeholders di TNMB dan dapat dijadikan

program kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan bersama. Struktur hierarki dan bobot kepentingan atau prioritas dalam pengelolaan banteng secara kolaborasi di TNMB disajikan dalam Gambar 37.

   

Gambar 37 Struktur hierarki co-management konservasi banteng di TNMB

(Mod. Saaty 1993)

Hasil AHP menunjukkan bahwa prioritas aktor yang mempunyai tingkat peranan penting dalam konservasi banteng secara berturut-turut yaitu Balai TNMB (68,10%), Perkebunan Bandealit (13%), LSM (11%) dan masyarakat (7,90%). Balai Taman Nasional Meru Betiri menjadi aktor prioritas seperti di TNAP, hal ini sesuai dengan tupoksinya yang memegang mandat dalam pengelolaan taman nasional. Pada level faktor urutan prioritas yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu faktor ekologi (61,10%), faktor ekonomi (20,10%) dan faktor sosial (18,80%).

Pada level alternatif program kegiatan di TNMB, urutan prioritas yaitu peningkatan kualitas habitat banteng (40,40%), pengembangan penangkaran banteng (23,50%), pengembangan ekowisata (20,30%) dan pengembangan tanaman obat dan buah (15,90%). Padang perumputan di kawasan TNMB tidak dapat menampung populasi banteng dan banteng memilih areal perkebunan untuk melakukan aktivitas hariannya, sehingga dibutuhkan peningkatan kualitas

Co-Management Balai TNMB 0,681 Perkebunan 0,130 LSM 0,110 Masyarakat 0,079 Sosial 0,188 Ekonomi 0,201 Ekologi 0,611 Pengembangan Wisata 0,203 Pengembangan Tanaman obat/buah 0,159 Pengembangan Penangkaran Banteng 0,235 Konsultatif 0,201 Instruktif 0,278 Kooperatif 0,223 Informatif  0,106 Advokatif  0,183 Fokus Aktor Faktor Peningkatan Kualitas Habitat Banteng 0,404 Alternatif Program tingkat Kolaborasi

padang penggembalaan. Peningkatan kualitas atau pembinaan habitat padang penggembalaan akan menstimulasi kehidupan banteng (Alikodra 2010). Djuwantoko (1986) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk

mendapatkan makanan, air dan naungan (cover). Jika salah satu dari komponen

habitat tersebut tidak terpenuhi populasi banteng akan terancam.

Dari hasil analisis secara keseluruhan tingkat/bentuk/tipe pengelolaan

kolaboratif (co-management) terhadap alternatif program kegiatan disajikan

dalam Gambar 38.

Gambar 38 Prioritas tingkat co-management konservasi banteng di TNMB

Pada Gambar 38 menunjukkan bahwa prioritas bentuk/tipe pengelolaan kolaboratif adalah bentuk instruktif (27,80%), selanjutnya kooperatif (22,30%),

konsultatif (20,10%), pendampingan (19,30%), dan informatif (10,60%).

Bentuk pengelolaan secara kooperatif yang menjadi prioritas kedua merupakan

bentuk pengelolaan kolaboratif yang sesungguhnya, yaitu antar stakeholders

dapat bekerjasama sebagai mitra yang setara mulai dari pengambilan keputusan sampai implementasi di lapangan. Pengelolaan kolaboratif disebut sebagai

round-table management, share management, pengelolaan bersama atau pengelolaan multi-pihak. Pengelolaan kolaboratif adalah pembuatan keputusan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat tentang satu atau lebih aspek- aspek pemanfaatan sumberdaya alam (Castro dan Nielson 2001). Pengelolaan

   

kolaboratif sudah diterapkan dalam bidang perikanan, taman nasional, kawasan dilindungi, kehutanan, satwaliar, lokasi penggembalaan, dan sumberdaya air (Conley and moote 2001). Pola pengelolaan secara kolaboratif untuk kawasan konservasi adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan yang menyetujui berbagai fungsi, wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan

kawasan konservasi (Borrini-Feyerabend et al.2000).

Bentuk/tingkat/tipe co-management untuk masing-masing alternatif

program di TNMB (Lampiran 7) menunjukkan bahwa bentuk co-management

yang dipilih untuk kegiatan peningkatan kualitas habitat adalah instruktif (39,4%), pengembangan penangkaran kooperatif (30,7%), pengembangan ekowisata pendampingan (34,2%) dan pengembangan tanaman obat dan buah kooperatif (30,7%) . Kegiatan peningkatan kualitas habitat sesuai dengan PP No. 7 tahun 1999 bahwa pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional bertanggung jawab dalam melaksanakan pembinaan habitat dan populasi jenis satwa dan tumbuhan dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitat, dalam pelaksanaan kegiatannya dapat dikerjasamakan dengan masyarakat (stakeholders), Peraturan Pemerintah tersebut menyiratkan bahwa kegiatan pembinaan habitat dapat dikolaborasikan.

Bentuk pengelolaan kooperatif yang dipilih dalam program kegiatan pengembangan penangkaran banteng dan pengembangan tanaman obat dan buah, pemerintah dapat berkontribusi dalam bentuk dukungan legal terhadap

aturan-aturan yang ditetapkan dan disepakati bersama. Tingkat kooperatif

merupakan bentuk pengelolaan kolaborasi yang sesungguhnya dimana

pemerintah dan semua stakeholders yang berkepentingan bekerja sama dalam

hubungan kemitraan yang sejajar dalam pembuatan keputusan, implementasi, pengawasan dan pemantauan (Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002).

Dalam kegiatan pengembangan ekowisata bentuk yang dipilih yaitu pendampingan (advokasi). Bentuk kolaborasi ini kewenangan pemerintah berkurang karena usul, ide, inovasi dan inisiasi dalam pengambilan keputusan

ada pada stakeholders dan pemerintah menerima usulan yang diajukan

stakeholders, tetapi pemerintah tetap melakukan pengawasan, pemantauan serta penegakan hukum. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara kolaboratif harus ada inisiatif dan inisiatif boleh datang dari masyarakat maupun dari pemerintah. Efektifitas pengelolaan secara kolaboratif akan meningkat jika inisiatif datang dari pemerintah, dan masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh proses kegiatan mulai dari perencanaan sampai implementasi

(Tadjudin 2000). Hal tersebut diperkuat oleh (McKinnon et al. 1993) yang

menyatakan bahwa pengelolaan kawasan hutan tanpa melibatkan masyarakat akan tidak efektif.

Dokumen terkait