III. KERANGKA PEMIKIRAN
4.2. Jenis dan Sumber Data
4.5.2. Permintaan Cabai Merah Besar Usaha Restoran
Model dibutuhkan untuk melihat hubungan antara variabel tidak bebas dengan variabel bebas. Model fungsi permintaan cabai merah oleh konsumen
lembaga adalah menggunakan model regresi linier berganda karena diduga ada
lebih dari satu faktor yang mempengaruhi permintaan cabai merah besar.
Pendugaan parameternya menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square)
atau metode kuadrat terkecil. Menurut Sitepu dan Sinaga (2006), dalam sebuah
37
Ordinary Least Squares (OLS) terdapat beberapa asumsi yang mendasarinya, yaitu :
1. Ui adalah sebuah variabel riil dan memiliki distribusi normal.
2. Nilai rata-rata dari Ui setiap periode tertentu sama dengan nol, dapat dituliskan dengan E(Ui) = 0.
3. Error term, Ui dan variabel yang menjelaskan, X, tidak berkorelasi, dapat dituliskan dengan cov (Ui, Xi) = 0.
4. Varian dari Ui adalah konstan setiap periode (homoscedasticity), dapat dituliskan dengan var (Ui2) = σ2 (σ2
= konstan).
5. Error term, U dari pengamatan yang berbeda-beda (Ui, Uj) tidak saling tergantung (independent), atau dapat dituliskan dengan cov (Ui, Uj) = 0. Hal ini dikenal dengan asumsi tidak ada autokorelasi.
6. Tidak ada hubungan linier antara variabel bebas dengan kata lain tidak ada
multicollinearity.
Untuk mempermudah pengolahan data, alat analisis dalam penelitian ini
dioperasikan melalui perangkat lunak Eviews 7.
4.5.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cabai Merah Besar Usaha Restoran Padang di Jakarta Selatan
Restoran Padang diduga memiliki enam faktor yang mempengaruhi
(variabel bebas) jumlah permintaan cabai merah besar (variabel tidak bebas).
Variabel-variabel bebas tersebut adalah: harga cabai merah besar (HCP), harga
beras (HBP), harga minyak goreng (HMGP), harga jual rata-rata masakan yang menggunakan cabai merah (HJRMP), rata-rata penerimaan restoran (RPR), dan
dummy skala usaha (SUP). Harga cabai merah besar diduga berpengaruh negatif terhadap permintaan cabai merah besar, yang berarti dengan meningkatnya harga
cabai merah besar akan menurunkan permintaan cabai merah besar. Harga beras
dan harga minyak goreng sebagai barang komplementer dan barang input
produksi dalam usaha Restoran Padang diduga berpengaruh negatif terhadap
permintaan cabai merah besar, yang berarti meningkatnya harga barang-barang
tersebut akan menurunkan permintaan cabai merah besar.
Harga jual rata-rata masakan diduga berpengaruh positif terhadap
permintaan cabai merah besar. Meningkatnya harga jual rata-rata masakan
mengakibatkan usaha Restoran Padang sebagai produsen dapat meningkatkan
jumlah masakan yang dihasilkan. Guna meningkatkan jumlah masakan yang
dihasilkan tentunya kebutuhan cabai merah besar sebagai salah satu komponen
penting dalam masakan juga semakin meningkat. Rata-rata penerimaan restoran
diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar. Besarnya
rata-rata penerimaan menunjukkan bahwa semakin banyak juga cabai merah besar
yang dapat dibeli oleh restoran tersebut. Dummy skala usaha diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar, yang berarti semakin besar usaha
Restoran Padang berarti semakin banyak juga kebutuhan cabai untuk
menghasilkan masakannya. Fungsi permintaan cabai merah besar usaha Restoran
Padang di Jakarta Selatan adalah sebagai berikut:
DCPi = β0 + β1 HCPi + β2 HJRMPi + β3 HBPi + β4 HMGPi + β5 RPRPi +
β6 SUPi +
e………...(4.1)
dimana:
DCPi = permintaan cabai merah besar usaha Restoran Padang di Jakarta Selatan (kg/bulan)
39
βi = parameter dugaan, dimana i = 1,2,3, …., 6 HCPi = harga cabai merah besar (rupiah/kg)
HJRMPi = harga jual rata-rata masakan yang menggunakan cabai merah besar (rupiah/porsi)
HBPi = harga beras (rupiah/kg)
HMGPi = harga minyak goreng (rupiah/kg)
RPRPi = rata-rata penerimaan restoran (rupiah/bulan)
SUPi = dummy skala usaha, 0 untuk Restoran Padang yang memiliki jumlah kursi sebanyak 21-50 kursi ; 1 untuk Restoran Padang yang memiliki jumlah kursi sebanyak >50 kursi
e = error
Nilai koefisien yang diharapkan : β1, β3, β4 < 0 ; β2, β5, β6 > 0.
Nilai koefisien negatif pada variabel HCP, HBP, dan HMGP menunjukan bahwa dengan meningkatnya harga cabai merah besar, harga beras, dan harga
minyak goreng maka diduga jumlah permintaan cabai merah besar akan menurun
(ceteris paribus). Nilai koefisien yang positif pada variabel HJRMP, RPRP, dan SUP berarti dengan meningkatnya harga jual rata-rata masakan, rata-rata
penerimaan restoran, dan nilai skala usaha yang sama dengan satu maka diduga
jumlah permintaan cabai merah besar juga akan meningkat.
4.5.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cabai Merah Besar Usaha Restoran Sunda di Jakarta Selatan
Restoran Sunda diduga memiliki tujuh faktor yang mempengaruhi
(variabel bebas) jumlah permintaan cabai merah besar (variabel tidak bebas).
Variabel-variabel bebas tersebut adalah: harga cabai merah besar (HCS), harga
minyak goreng (HMGS), harga gula pasir (HGS), harga jual rata-rata masakan yang menggunakan cabai merah besar (HJRMS), rata-rata penerimaan restoran
(RPRS), dummy skala usaha (SUS), dan dummy jarak lokasi (JLS). Harga cabai merah besar diduga berpengaruh negatif terhadap permintaan cabai merah besar.
Artinya dengan meningkatnya harga cabai merah besar akan menurunkan
permintaan cabai merah besar. Harga minyak goreng dan harga gula pasir sebagai
barang komplementer dan barang input produksi diduga berpengaruh negatif
terhadap permintaan cabai merah besar, yang berarti meningkatnya harga barang
tersebut akan menurunkan permintaan cabai merah besar.
Harga jual rata-rata masakan diduga berpengaruh positif terhadap
permintaan cabai merah besar. Meningkatnya harga jual rata-rata masakan
mengakibatkan usaha Restoran Sunda sebagai produsen dapat meningkatkan
jumlah masakan yang dihasilkan. Guna meningkatkan jumlah masakan yang
dihasilkan tentunya kebutuhan cabai merah besar sebagai salah satu komponen
penting dalam masakan juga semakin meningkat. Rata-rata penerimaan restoran
diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar. Besarnya
rata-rata penerimaan menunjukkan bahwa semakin banyak juga cabai merah besar
yang dapat dibeli oleh restoran tersebut. Dummy skala usaha diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar, yang berarti semakin besar usaha
Restoran Sunda berarti semakin banyak juga kebutuhan akan cabai untuk
menghasilkan masakannya. Dummy jarak lokasi restoran diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar. Semakin dekat lokasi restoran
dengan pusat wilayah Jakarta Selatan yang merupakan kawasan perkantoran,
pemukiman penduduk, dan perbelanjaan, maka semakin ramai juga pengunjung
41
merah besar untuk masakan restoran tersebut. Fungsi permintaan cabai merah
besar usaha Restoran Sunda di Jakarta Selatan adalah sebagai berikut:
DCSi = β0 + β1 HCSi + β2 HJRMSi + β3 HMGSi + β4 HGSi + β5 RPRSi
+
β6 SUSi + β7 JLSi +
e………...(4.2)
dimana:
DCSi = permintaan cabai merah besar usaha Restoran Sunda di Jakarta Selatan (kg/bulan)
β0 = intersep
βi = parameter dugaan, dimana i = 1,2,3, …., 7 HCSi = harga cabai merah besar (rupiah/kg)
HJRMSi = harga jual rata-rata masakan yang menggunakan cabai merah besar (rupiah/porsi)
HMGSi = harga minyak goreng (rupiah/kg) HGSi = harga gula pasir (rupiah/kg)
RPRSi = rata-rata penerimaan restoran (rupiah/bulan)
SUSi = dummy skala usaha, 0 untuk Restoran Sunda yang memiliki jumlah kursi sebanyak 21-50 kursi ; 1 untuk Restoran Sunda yang memiliki jumlah kursi sebanyak >50 kursi JLSi = dummy lokasi, 0 untuk Restoran Sunda yang berada di luar
pusat wilayah Jakarta Selatan (Kebayoran Baru); 1 untuk Restoran Sunda yang berada di pusat wilayah Jakarta Selatan (Kebayoran Baru)
e = error
Nilai koefisien yang diharapkan : β1, β3, β4 < 0 ; β2, β5, β6, β7> 0.
Nilai koefisien negatif pada variabel HCS, HMGS, dan HGS menunjukan bahwa dengan meningkatnya harga cabai merah besar, harga minyak goreng, dan
harga gula pasir maka diduga jumlah permintaan cabai merah besar akan menurun
(ceteris paribus). Nilai koefisien yang positif pada variabel HJRMS, RPRS, SUS, dan JLS berarti dengan meningkatnya harga jual rata-rata masakan, rata-rata
penerimaan restoran, serta nilai skala usaha dan jarak lokasi yang sama dengan
satu maka diduga jumlah permintaan cabai merah besar juga akan meningkat.
4.5.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cabai Merah Besar Usaha Restoran Ayam di Jakarta Selatan
Restoran Ayam diduga ada enam faktor yang mempengaruhi (variabel
bebas) jumlah permintaan cabai merah (variabel tidak bebas). Variabel-variabel
bebas tersebut adalah: harga cabai merah besar (HCA), harga minyak goreng
(HMGA), harga bawang merah (HBMA), harga jual rata-rata masakan yang menggunakan cabai merah besar (HJRMA), rata-rata penerimaan restoran
(RPRA), dan dummy skala usaha (SUA). Harga cabai merah besar diduga berpengaruh negatif terhadap permintaan cabai merah besar, yang berarti dengan
meningkatnya harga cabai merah besar akan menurunkan permintaan cabai merah
besar. Harga minyak goreng dan harga bawang merah sebagai barang
komplementer dan barang input produksi diduga berpengaruh negatif terhadap
permintaan cabai merah besar, yang berarti meningkatnya harga barang-barang
tersebut akan menurunkan permintaan cabai merah besar.
Harga jual rata-rata masakan diduga berpengaruh positif terhadap
permintaan cabai merah besar. Meningkatnya harga jual rata-rata masakan
mengakibatkan unit usaha restoran ayam sebagai produsen dapat meningkatkan
jumlah masakan yang dihasilkan. Untuk meningkatkan jumlah masakan yang
dihasilkan tentunya kebutuhan cabai merah besar sebagai salah satu komponen
43
diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar. Besarnya
rata-rata penerimaan menunjukkan bahwa semakin banyak juga cabai merah besar
yang dapat dibeli oleh restoran tersebut. Dummy skala usaha diduga berpengaruh positif terhadap permintaan cabai merah besar, yang berarti semakin besar unit
usaha restoran ayam berarti semakin banyak juga kebutuhan akan cabai untuk
menghasilkan masakannya. Fungsi permintaan cabai merah besar usaha Restoran
Ayam di Jakarta Selatan adalah sebagai berikut:
DCAi = β0 + β1 HCAi + β2 HJRMAi + β3 HMGAi + β4 HBMAi +
β5 RPRAi + β6 SUAi+
e………..(4.3)
dimana:
DCAi = permintaan cabai merah besar usaha Restoran Ayam di Jakarta Selatan (kg/bulan)
β0 = intersep
βi = parameter dugaan, dimana i = 1,2,3, …., 6 HCAi = harga cabai merah besar (rupiah/kg)
HJRMAi = harga jual rata-rata masakan yang menggunakan cabai merah besar (rupiah/porsi)
HMGAi = harga minyak goreng (rupiah/kg) HBMAi = harga bawang merah (rupiah/kg)
RPRAi = rata-rata penerimaan restoran (rupiah/bulan)
SUAi = dummy skala usaha, 0 untuk Restoran Ayam yang memiliki jumlah kursi sebanyak 21-50 kursi ; 1 untuk Restoran Ayam yang memiliki jumlah kursi sebanyak >50 kursi
e = error
Nilai koefisien negatif pada variabel HCA, HMGA, dan HBMA menunjukan bahwa dengan meningkatnya harga cabai merah besar, harga minyak
goreng, dan harga bawang merah maka diduga jumlah permintaan cabai merah
besar akan menurun (ceteris paribus). Nilai koefisien yang positif pada variabel HJRMA, RPRA, dan SUA berarti dengan meningkatnya harga jual rata-rata
masakan, rata-rata penerimaan restoran, dan nilai dummy skala usaha yang sama dengan satu diduga jumlah permintaan cabai merah besar juga akan meningkat.
4.5.2.4. Evaluasi Model Persamaan Penduga
Evaluasi model persamaan penduga yaitu memutuskan dasar kriteria
tertentu apakah model yang diduga baik dan dapat dipercaya. Evaluasi terdiri dari
memutuskan apakah model persamaan penduga secara teoritis bermakna dan
menurut statistik baik. Untuk itu digunakan berbagai kriteria yang diklasifikasikan
ke dalam tiga kelompok. Pertama kriteria ekonomi yang ditentukan oleh teori
ekonomi. Kedua, kriteria statistik ditentukan oleh teori statistik. Ketiga, kriteria
ekonometrika, ditentukan oleh teori ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977).
4.5.2.4.1. Kriteria Ekonomi
Menurut Sitepu dan Sinaga (2006), Ini ditentukan oleh prinsip-prinsip
yang sesuai dengan kriteria ekonomi, yang mengacu pada arah dan besaran (sign and magnitude). Contohnya jumlah permintaan (Y) yang dipengaruhi oleh harga (X) dimana hipotesis atau tanda yang diharapkan adalah negatif (slope koefisien
estimasi negatif). Hal yang mendasari bahwa dalam teori permintaan, jumlah yang
diminta akan menurun ketika harga komoditi tersebut meningkat. Jika koefisien
estimasi positif, maka hal ini melanggar prinsip ekonomi dan hasil estimasi
45
digunakan untuk menerangkan analisis penelitian ini adalah teori permintaan
turunan (derived demand) dan elastisitas.
4.5.2.4.2. Kriteria Statistik
Menurut Sitepu dan Sinaga (2006)), kriteria statistik ditentukan oleh
teori statistik dan membantu evaluasi model secara statistika yang dapat dipercaya
dari koefisien estimasi model. Kriteria statistik yang paling banyak digunakan
adalah correlation coefficient dan standard deviation atau standard error
estimasi. Parameter estimasi dapat ditolak jika yang terjadi pada mereka memiliki
tanda yang “salah” walaupun koefisien korelasi tinggi atau standard error diyakini
bahwa estimasi parameter secara statistik signifikan (berbeda nyata dengan nol).
Dalam banyak kasus secara statistis terpenuhi, tetapi secara teori tidak masuk akal
dari dasar kriteria ekonomi, sehingga perlu dilakukan respesifikasi model untuk
menyesuaikan dengan dalil ekonomi yang ada. Pada penelitian ini faktor yang
berpengaruh nyata dan tidak berpengaruh nyata akan ditentukan dengan pengujian
suatu model yang meliputi koefisien determinansi (R2) sebagai suatu ukuran kebaikan-suai (goodness of fit), R2 adjusted untuk mengatasi kelemahan R2, pengujian parameter secara keseluruhan (uji-F), dan uji pengaruh parameter
secara individual (uji-t).
Menurut Sitepu dan Sinaga (2006), untuk memeriksa model persamaan
regresi linier berganda, dapat dilihat seberapa dekat garis regresi yang terestimasi
dengan data aktualnya. Ukuran-ukuran yang biasa digunakan adalah koefisien
determinasi (R2). Formula koefisien determinasi ditentukan dengan formula: �2 = ���
Formula ini memiliki bentuk dan interpretasi yaitu proporsi variasi Y
yang dapat dijelaskan oleh hubungan dari Y dengan variabel X. Nilai R2 = 1 dikatakan bahwa seluruh variasi di dalam respon dijelaskan oleh model regresi.
Jika R2 = 0 yang berarti bahwa tidak ada variasi yang dijelaskan dalam model persamaan regresi. Pada kenyataannya 0 < R2 < 1, dan nilai R2 harus diinterpretasi relatif terhadap nilai ekstrim 0 dan 1.
Menurut Juanda (2009), R2 sering secara informal digunakan sebagai statistik untuk kebaikan model (goodness of fit), dan untuk membandingkan validitas hasil analisis model regresi. Akan tetapi ada beberapa masalah dengan
penggunaan R2 yaitu: (1) semua hasil analisis statistik berdasarkan asumsi awal bahwa model tersebut benar, tidak ada prosedur untuk membandingkan spesifikasi
alternatif, (2) R2 sensitif terhadap jumlah peubah bebas dalam model. Penambahan peubah bebas baru ke dalam persamaan regresi tidak pernah
mengurangi R2, bahkan cenderung menaikkan R2 (karena tidak menambah jumlah kuadrat total tapi cenderung menaikkan jumlah kuadrat regresi), (3) interpretasi
dan penggunaan R2 menjadi sulit jika suatu model diformulasikan mempunyai intersep = 0. Dalam kasus ini, nilai R2 dapat di luar selang 0 sampai dengan 1.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), kesulitan pada R2 sebagai ukuran kebaikan model adalah bahwa R2 berkaitan hanya untuk menjelaskan dan dijelaskan variasi pada Y dan karenanya tidak memperhitungkan jumlah derajat
kebebasan. Solusi alami adalah dengan menggunakan varian, bukan variasinya,
sehingga menghilangkan ketergantungan kebaikan model pada jumlah variabel
47
kebebasan. Ini didefinisikan sebagai �����, atau R2 2
adjusted. Berikut adalah rumus hubungan antara �2 dan �2adjusted
��2 = 1−(1− �2 )�−��−1……….(4.5) Berdasarkan persamaan (4.5) dapat disimpulkan bahwa (1) jika nilai k
sama dengan 1 maka nilai R2 sama dengan �����, (2) jika nilai k lebih besar dari 1 2
maka nilai R2 lebih besar atau sama dengan �����2, (3) �2 dapat bernilai negatif. �����2
memiliki sejumlah sifat yang membuatnya menjadi ukuran kebaikan model yang
lebih disukai daripada R2. Ketika variabel baru ditambahkan ke model regresi, R2 selalu meningkat, sedangkan ����� dapat naik atau turun. 2
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), uji statistik F dihitung dengan
program regresi yang paling dapat digunakan dalam model regresi berganda untuk
menguji signifikansi statistik R2. Uji statistik F dengan derajat kebebasan k-1 dan n-k memungkinkan untuk menguji hipotesis bahwa tidak ada variabel penjelas
membantu menjelaskan tentang arti variasi dari Y. Nilai tinggi dari statistik F
adalah alasan untuk menolak H0. Uji statistik F tidak berbeda nyata dari 0 memungkinkan kita menyimpulkan bahwa variabel penjelas secara serentak tidak
berpengaruh nyata terhadap arti variasi dari Y. Hipotesisnya dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = β7 = 0, variabel bebas (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar.
H1 : paling tidak salah satu βi ≠ 0, i = 1, 2, 3, …, 7, variabel bebas (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar.
��−1,�−� = � 2 1−�2.�−� �−1...(4.6) dimana : R2 = koefisien determinasi
k = jumlah parameter regresi (β1, ..., βi) n = jumlah pengamatan (n = 1, 2, 3, ..., n)
Keputusan pengujiannya adalah:
a. F-hitung < F-tabel maka terima H0, berarti semua variabel bebas tidak mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari permintaan cabai merah besar.
b. F-hitung > F-tabel maka tolak H0, berarti semua variabel bebas mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari permintaaan cabai merah besar.
Menurut Sitepu dan Sinaga (2006), Uji t digunakan sebagai suatu
pengujian secara individu variabel bebas. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998),
uji statistik untuk menolak hipotesis nol terkait dengan koefisien regresi biasanya
didasarkan pada distribusi t. Distribusi t relevan karena untuk pengujian statistik
kita perlu memanfaatkan perkiraan sampel dari varians kesalahan daripada nilai
sebenarnya. Hipotesisnya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
H0 : βi = 0, variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar.
H1: βi < 0 atau βi > 0, parameter regresi atau variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar. Berdasarkan hipotesis yang
digunakan, menurut Juanda (2009), rumus statistik uji yang digunakan adalah
sebagai berikut.
�ℎ�� = �� ��− �
49
dimana :
��� = estimasi nilai koefisien dugaan parameter �� = estimasi nilai koefisien regresi atau parameter
���� = estimasi standar kesalahan dugaan parameter
Pada penelitian ini, uji t dilakukan dengan melihat nilai probabilitas
masing-masing variabel bebas yang lebih kecil dari taraf α = 20 persen.
Keputusan pengujian adalah:
a. Nilai probabilitas t < α, maka tolak H0, artinya variabel bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar pada taraf α = 20
persen.
b. Nilai probabilitas t > α, maka terima H0, artinya variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar pada taraf α
= 20 persen.
4.5.2.4.3. Kriteria Ekonometrika
Menurut Koutsoyiannis (1977), kriteria ekonometrika diatur oleh teori
ekonometrik dan bertujuan pada penyelidikan apakah asumsi dari metode
ekonometrik yang digunakan memuaskan atau tidak dalam kasus tertentu. Kriteria
ekonometrika berfungsi sebagai urutan kedua pengujian (seperti tes dari uji
statistik): dengan kata lain ini menentukan keandalan kriteria statistik, dan
khususnya dari kesalahan standar parameter penduga. Ini membantu menentukan
apakah pendugaan memiliki sifat yang diinginkan dari ketidakbiasan, konsistensi,
dan lain-lain. Pengujian ekonometrik pada penelitian ini terdiri dari empat jenis
pengujian. Hal-hal yang dapat dilihat dalam kriteria ekonometrika adalah
1. Multikolinearitas
Kolinearitas ganda (multicolinearity) merupakan hubungan linear yang sama kuat antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda.
Adanya multikolinearitas ini menyebabkan pendugaan koefisien menjadi tidak
stabil. Pendeteksian terjadinya multikolinearitas dapat diketahui dengan melihat
nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF relatif kecil, artinya persamaan regresi tidak mengalami
multikolinearitas. Sebaliknya, jika nilai VIF relatif besar (lebih dari 10) artinya
persamaan regresi mengalami multikolinearitas (Juanda, 2009). Formula VIF
dapat dituliskan sebagai berikut :
��� = 1
1−��2 , i = 1, 2, 3, …., n………...(4.8)
2. Autokolerasi
Menurut Koutsoyiannis (1997), autokorelasi adalah kasus khusus dari
korelasi. Autokorelasi mengacu pada hubungan, bukan antara variabel yang
berbeda dua (atau lebih), tetapi antara nilai-nilai yang berurutan dari variabel yang
sama. Namun, mungkin ada autokorelasi, dan memang itu adalah fenomena
umum, variabel-variabel ekonomi sebagian. Untuk mendeteksi autokorelasi salah
satunya dapat dilakukan dengan uji Breusch-Godfrey. Menurut Widarjono (2007),
penentuan ada atau tidaknya masalah autokolerasi dapat dilihat dari nilai chi-squared uji Breusch-Godfrey. Jika nilai chi-squared hitung lebih besar dari nilai
chi-squared tabel yang digunakan maka tolak H0. Artinya model regresi tersebut ada masalah autokolerasi. Sebaliknya, jika nilai chi-squared hitung lebih kecil dari nilai chi-squared tabel yang digunakan maka terima H0 yang berarti model regresi bebas masalah autokolerasi.
51
3. Heteroskedastisitas
Menurut Juanda (2009), salah satu asumsi dari model regresi linear adalah
bahwa ragam sisaan (��) sama atau homogen. Pengertian lainnya, ��� (�� ) = �(��2) =�2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model
regresi. Asumsi ini disebut homoskedastisitas. Jika ragam sisaan tidak sama atau ��� (�� ) =�(��2) =��2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas
dalam model regresi, maka kita katakan ada masalah heteroskedastisitas. Masalah
heteroskedastisitas sering terjadi dalam data cross section. Cara mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode grafik atau dengan uji
Park, uji Glejser, uji Breush Pagan, uji Goldfeld-Quant, dan uji White.
Menurut Winarno (2009), uji White menggunakan residual kuadrat
sebagai variabel tidak bebas, dan variabel bebasnya terdiri atas variabel bebas
yang sudah ada, ditambah dengan perkalian dua variabel bebas. Penentuan ada
atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai probabilitas chi- squared uji White. Jika nilai probabilitas lebih besar dari nilai α yang digunakan
maka terima H0. Artinya model regresi tersebut homoskedastis. Sebaliknya, jika
nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α yang digunakan maka tolak H0 yang berarti model regresi bersifat heteroskedastis
4. Normalitas
Menurut Gujarati (1978), regresi linier normal klasik mengasumsikan
bahwa tiap ui didistribusikan secara normal.
Rata-rata: E(ui) = 0………(4.9)
Varians: E(ui2) = σ2
Cov (ui, uj): E (ui, uj) = 0 i ≠
j………...(4.11)
Asumsi ini secara ringkas dinyatakan sebagai berikut:
ui ~ N (0, σ2
)
Tanda ~ artinya “didistribusikan sebagai” dan tanda N artinya “distribusi normal”,
sedangkan unsur di dalam tanda kurung menyatakan dua parameter distribusi
normal, yaitu rata-rata dan varians.
Untuk mendeteksi suatu model berdistribusi normal atau tidak salah
satunya dapat dilakukan dengan uji Jarque-Bera. Menurut Winarno (2009),
Jarque-Bera adalah uji statistik untuk mengetahui apakah data berdistribusi
normal. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingan dengan apabila datanya bersifat normal. Rumus yang digunakan adalah
������ − ����= �−�
6 ��2+ (�−3)2
4 �...(4.12) S adalah skewness, K adalah kurtosis, s adalah standar deviasi dari variabel x dan k menggambarkan banyaknya koefisien yang digunakan dalam persaamaan.
Menurut Pyndick (1998), skewness adalah statistik yang menyediakan informasi yang berguna tentang simetri suatu distribusi probabilitas. S sama dengan nol untuk semua distribusi simetris termasuk normal. untuk distribusi non simetris,
statistik skewness yang positif ketika ekor atas distribusi lebih tebal dibanding ekor bagian bawahnya, dan negatif ketika ekor bawah lebih tebal. Kurtosis
memberikan ukuran dari "ketebalan" dari ekor distribusi. untuk K distribusi
normal sama dengan 3. ketika ekor distribusi lebih tebal dari normal, K akan lebih
53
Hipotesisnys, H0 bahwa data berdistribusi normal, uji Jarque-Bera didistribusi dengan chi-squared dengan derajat bebas sebesar 2. Peluang