• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis dimaksudkan untuk memberi gambaran atau batasan-batasan tentang teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan. Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian Pengelolaan Risiko Kredit untuk Meningkatkan Peran BPR sebagai LKM pada BPR X di Cirebon terdiri dari Teori Keseimbangan Pasar Kredit, Konsep Risiko Kredit, Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit, Kolektibilitas Kredit, Indikator Kinerja Keuangan Bank, Konsep Value at Risk , dan Pengelolaan Risiko Kredit. Konsep

Value at Risk dengan metode Credit Metric digunakan untuk menilai kerugian

maksimum yang dialami BPR X Cirebon akibat adanya risiko kredit pada tingkat keyakinan tertentu.

Teori Keseimbangan Pasar Kredit

Keseimbangan kredit terbentuk dariperpotongan antara kurva penawaran kredit (S0) dan permintaan kredit (D0). Keseimbangan tersebut menghasilkan tingkat suku bunga sebesar r0 dan kuantitas sebesar L0.

Suku Bunga

S0

D0

Kuantitas Kredit Gambar 1 Permintaan dan Penawaran Kredit

Sumber : Lipsey (1995)

Berdasarkan Gambar 1, penurunan penawaran kredit akan mengakibatkan pergeseran S0 ke kiri atas, dan sebaliknya jika terjadi peningkatan. Sementara bila terjadi penurunaan permintaan kredit akan mengakibatkan pergerseran D0 ke kiri bawah, dan juga sebaliknya. Menurut Keynes turunnya kredit yang disalurkan oleh perbankan dapat disebabkan oleh turunnya permintaan kredit dan turunnya penawaran kredit (Lipsey 1995).

a. Penurunan Kredit Akibat Turunnya Permintaan

Pergeseran permintaan kredit akibat lemahnya perekonomian akan menyebabkan kredit permintaan dari kredit yaitu D0 menurun menjadi D1, dengan asumsi penawaran yang tetap (Gambar 2). Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya penurunan pada tingkat suku bunga menjadi r1. Jika perubahan kredit didorong oleh faktor-faktor struktural mikroekonomi maka penurunan kurva permintaan kredit juga diikuti oleh semakin menajamnya kemiringan dari kurva permintaan yang mengakibatkan

L0 r0

16

menurunnya sensitivitas perubahan suku bunga terhadap permintaan kredit. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh kurva D2.

Suku Bunga

S0

Kuantitas Kredit Gambar 2 Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan

Sumber: Agung et al (2001)

b. Penurunan Kredit Akibat Turunnya Penawaran

Di sisi penawaran, penurunan kredit disebabkan oleh turunnya kemauan bank untuk memberikan pinjaman pada tingkat suku bunga yang berlaku. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan untuk memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal bank maupun faktor eksternal.

Faktor internal yaitu mengenai permasalahan seperti rendahnya kualitas dari jumlah aset yang dimiliki oleh perbankan, tingginya tingkat NPL dan turunnya modal yang dimiliki oleh bank akibat menurunnya tingkat keuntungan. Sisi eksternal permasalahan terjadi akibat lemahnya kondisi keuangan perusahaan serta bank tidak mengetahui secara pasti mengenai kondisi dari satu perusahaan serta kemampuannya untuk membayar pinjaman.

Suku Bunga

S2 S1

Kuantitas Kredit Gambar 3 Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran

Sumber: Agung et al (2001)

Penurunan jumlah kredit akibat perubahan faktor penawaran dapat dilihat dengan bergesernya kurva penawaran ke kiri atas dari S0 menjadi S1

D0 D1 D2 L r0 L1 r1 S0 D L r2 L2 r1

17 (Gambar 3). Implikasi dari pergeseran ini adalah kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan jumlah penyaluran kredit.

Ketidakinginan bank untuk menyalurkan kredit tidak diikuti dengan perubahan tingkat suku bunga. Hal ini menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kiri dan dan berubah menjadi vertikal (S2), dan kurva penawaran menjadi tidak sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga. Efek seperti ini disebut sebagai Non Price Credit Rationing.

Non Price Credit Rationing dapat dipahami sebagai akibat

memburuknya resiko kredit dunia usaha dan karena persoalan informasi yang membuat bank tidak dapat membedakan kualitas debitur. Persoalan ini lebih buruk lagi ketika ada pergantian manajemen didalam perbankan dengan orang baru karena hubungan bank dengan nasabah jangka panjang pergantian manajemen bank menyebabkan kurang mengertinya kondisi nasabah. Akibatnya, bank cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan tingkat suku bunga bukan hal utama dalam menyalurkan kredit, karena bank berpendapat bahwa hanya nasabah yang kualitas rendah yang bersedia membayar tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi (adverse

selection problem).

Konsep Risiko Kredit

Bank akan menghadapi suatu risiko ketika menyalurkan kreditnya yang disebut risiko kredit. Risiko kredit merupakan risiko yang paling rentan dihadapi oleh bank maupun lembaga keuangan lainnya yang memberikan jasa kredit. Risiko kredit yang paling berperan pada bank adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya baik berupa kewajiban bunga maupun angsuran pokok pinjamannyaseperti tertuang dalam kesepakatan, atau menurunkan kualitas debitur sehingga persepsi tentang kemungkinan gagal bayar semakin tinggi.

Definisi lain menurut Bessis (1998), risiko kredit merupakan kerugian yang disebabkan terjadinya gagal bayar dari debitur atau karena terjadinya penurunan kualitas kredit debitur. Pada saat terjadinya penurunan kualitas kredit, meskipun belum gagal bayar, sudah mencerminkan adanya kenaikan risiko kredit. Hal tersebut mencerminkan membesarnya peluang terjadi gagal bayar akibat turunya kualitas kredit.

Gambar 4 Kerangka risiko kredit

Sumber : Sutoyo (1994) Ambang batas kriteria

kesehatan tidak dipenuhi

Pelanggaran kontrak

Penurunan kinerja nasabah

Potensi pelanggaran kontrak

Kelemahan kontrak kredit

Penurunan peringkat nasabah

Potensi gagal bayar

Kesulitan keuangan nasabah

Gagal bayar

18

Risiko kredit terjadi karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 4.

Menurut Djohanputro (2004), risiko kredit merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya. Debitur akan menawarkan biaya/keuntungan dari suatu pinjaman berdasarkan dari risiko dan suku bunga yang dikenakan, namun suku bunga ini bukan hanya satu-satunya metode kompensasi untuk risiko yang dihadapi.

Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu risiko default, risiko exposure, dan risiko recovery (Djohanputro 2004).

1. Risiko Default, yaitu risiko dengan ukuran probabilitas terjadinya gagal bayar pada periode tertentu. Probabilitas pengukuran gagal bayar perusahaan dapat dilakukan dengan pemeringkatan (rating).

2. Risiko Exposure, yaitu risiko yang melekat pada besarnya kredit yang menghadapi risiko gagal bayar. Bagi perbankan, kredit merupakan komitmen dalam bentuk line of credit. Bagi perusahaan perdagangan, besarnya transaksi secara kredit merupakan besarnya exposure. Jenis-jenis status kredit yang berimplikasi terhadap besarnya exposureyaitu:

a. Kesepakan transaksi yang dapat dikembalikan, perusahaan dapat membatalkan transaksi tanpa menunggu kesepakatan dari konsumen. b. Kesepakatan bersifat irrevocable artinya perusahaan tidak dapat

membatalkan kesepakatan secara sepihak kecuali berdasarkan kesepakatan kedua pihak.

c. Status transaksi dan kredit dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini terjadi apabila konsumen sudah mentransfer pembayaran sedangkan perusahaan belum menerima pembayaran tersebut.

d. Status terselesaikan (settled). Hal ini terjadi apabila uang pembayaran telah masuk ke rekening perusahaan.

e. Status gagal (failed). Hal ini terjadi pada saat ditetapkan, ternyata konsumen gagal bayar.

3. Risiko Recovery, yaitu risiko yang berkaitan dengan terjadinya gagal bayar dari konsumen. Tingkat recovery adalah sejauh mana perusahaan dapat tetap mengupayakan agar nilai kredit dengan status gagal bayar tersebut dapat diupayakan berapapun nilai nominal yang dapat diperoleh. Semakin kecil kemungkinan perolehan dari kredit macet, semakin besar risiko

recovery. Risiko recovery dinyatakan dalam bentuk persentase

kemungkinan gagal bayar dari kredit macet. Risiko-risiko yang merupakan bagian dari risiko recovery yaitu:

a. Risiko Jaminan yaitu risiko yang terkait dengan kejelasan status hukum jaminan fluktuasi nilai likuidasi jaminan dan kemudahan eksekusi.

b. Risiko Jaminan Pihak Ketiga. Selain jaminan dalam bentuk aset, ada jaminan berupa kepercayaan. Jaminan ini memiliki kegagalan eksekusi yang sangat tinggi.

c. Risiko Hukum, risiko ini berkaitan dengan kemungkinan mengubah kontrak dan status pinjaman untuk mengakomodasi kepentingan dan

19 kemampuan perusahaan dan debitur. Perubahan kontrak berupa penjadwalan ulang pinjaman, pemotongan pinjaman, dan penukaran pinjaman menjadi setoran modal. Kegagalan untuk melakukan renegosiasi menyebabkan tindakan hukum harus ditempuh.

Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit

Analisis kelayakan calon debitur digunakan untuk mengantisipasi terjadinya risiko kredit, bank melakukan analisis terhadap calon debiturnya dengan menggunakan prinsip 5C (Djohanputro 2004). Adapun uraian prinsip 5C adalah sebagai berikut:

1. Character (karakter) ; prinsip ini berkaitan dengan perilaku debitur atau

pembeli secara kredit mengenai keinginan untuk membayar dan memenuhi kewajiban. Perusahaan menggunakan data masa lalu mengenai track record

calon debitur. Karakter dapat dikaitkan dengan pelanggaran moral (moral

hazard) yaitu kecenderungan seseorang dengan sengaja menyimpangkan

wewenang dan kemampuan untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain dan menggunakan kemampuan atau kekayaan orang lain.

2. Capacity (kapasitas) ; prinsip ini menunjukkan kemampuan calon debitur

atau pembeli secara kredit untuk membayar kewajiban pinjam meminjam. Potensi pembayaran kewajiban debitur dapat dilihat dari laporan keuangan historis dan kinerja berupa performa arus kas, neraca, dan laba rugi, rasio lancar dan rasio kas dapat menunjukkan kemampuan pemenuhan kewajiban.

3. Capital (modal); prinsip ini digunakan untuk mengetahui sumber-sumber

pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh bank. Modal dapat ditunjukkan oleh perbandingan antara pinjaman dan modal sendiri (ekuitas).

4. Collateral (jaminan); prinsip inimerupakan piranti pengaman pinjaman

yang terakhir. Jaminan akan dieksekusi apabila debitur atau pembeli secara kredit menyatakan tidak dapat membayar dan pinjaman tidak mungkin direstrukturisasi. Perusahaan kreditur perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan kredit karena faktor status hukum jaminan, nilai jaminan terhadap kewajiban, kemudahan likuidasi jaminan.

5. Condition (kondisi); prinsip ini mengacu kepada kondisi eksternal

perusahaan yang mempengaruhi kelangsungan perusahaan. Kondisi perusahaan berupa kondisi makro (ekonomi, politik, selera konsumen, dan lingkungan) dan intervensi pihak berkepentingan (stakeholders).

Kolektibilitas Kredit

Menurut Bank Indonesia (2009), kolektibilitas (pengembalian kredit) yaitu keadaan pembayaran pokok atau angsuran pokok dan bunga kredit oleh nasabah serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan dalam surat-surat berharga atau penanaman lainnya. Penetapan kolektibilitas kredit berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/9/PBI/2009 tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) adalah:

1. Lancar (L); kriteria golongan ini adalah kredit yang tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga tidak lebih dari tiga kali angsuran dan kredit belum jatuh tempo.

20

2. Kurang Lancar (KL); kriteria golongan ini adalah kredit yang terdapat tunggakan pokok dan atau bunga lebih dari tiga kali angsuran tetapi tidak lebih dari enam kali angsuran; kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari satu bulan.

3. Diragukan (D); kriteria golongan ini adalah kredit yang terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga lebih dari enam kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 kali angsuran; kredit telah jatuh tempo lebih dari satu bulan tetapi tidak lebih dari dua bulan.

4. Macet ( M ); kriteria golongan ini adalah kredit yang terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga lebih dari 12 kali angsuran; kredit telah jatuh tempo lebih dari dua bulan; kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN); kredit telah diajukan pengganti ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.

Kolektibilitas kredit yang selalu tidak mencapai target tentu akan membuat bank rugi. Hasil diskusi penulis dengan analis kredit BPR X Cirebon mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian kredit dan yang membedakan seorang debitur tergolong lancar atau tidak lancar dalam pengembalian kredit tersebut diduga adalah sebagai berikut :

1. Karakteristik personal yang terdiri dari faktor jenis kelamin, usia,tingkat pendidikan, status nasabah, dan jumlah tanggungan dalam keluarga yang merupakan karakteristik personal.

2. Karakteristik usaha meliputi pengalaman usaha, aset usaha, omset penjualan, dan total pendapatan usaha bersih.

3. Karakteristik kredit meliputi jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan, pengalaman kredit, jaminan kredit, dan tingkat suku bunga.

Indikator Kinerja Keuangan Bank

Indikator penampilan bank dapat dilihat dari penilaian tingkat kesehatan bank. Penilaian tingkat kesehatan bank menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tanggal 30 April 1997, penilaian kesehatan BPR mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMEL (Capital, Asset,

Management, Earnings, Liquidity) yang terdiri dari permodalan, asset,

manajemen, ekuitas, dan likuiditas. Selain melihat faktor CAMEL kesehatan bank juga dapat dilihat dari nilai NPL (Net Performing Loan).

Penilaian CAMEL dan NPL tidak hanya memperlihatkan kesehatan suatu bank tetapi juga sebagai Key Performance Indicators yang dapat melihat optimalisasi perannya sebagai Lembaga Keuangan.Tingkat kesehatan bank merupakan suatu indikasi untuk mengukur keberhasilan bank dalam menjalankan fungsinya.sanggupmemenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan baik berupa barang,uang ataupun jasa.

a. Permodalan (Capital)

Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal Bank untuk menutupi eksposur risiko saatini dan mengantisipasi eksposur risiko dimasa datang.Adapun mengukurnya, dapat menggunakan Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequancy Ratio (CAR). Capital Adequecy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan,

21 surat berharga, dan tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank (Hariani, 2010).

Penilaian terhadap faktor ini sangat penting karena penilaian ini menyangkut kemampuan bank dalam memenuhi kecukupan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku; komposisi permodalan, trend ke depan/proyeksi KPMM, aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal bank, kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan), akses kepada sumber permodalan, rencana permodalan bank untuk mendukung pertumbuhan usaha, dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan bank. Dengan demikian BPR dapat mengoptimalkan perannya dengan mengoptimalkan sumber permodalnnya.

b. Kualitas aset (Assets quality)

Pada penilaian faktor kualitas asset yang digunakan adalah rasio NPA. NPA disebut juga rasio Aktiva Produktif Bermasalah. Rasio ini digunakan untuk menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola Aktiva Produktif bermasalah terhadap Total Aktiva Produktif. Semakin tinggi rasio ini maka semakin buruk kualitas Aktiva Produktif. Aktiva Produktif Bermasalah adalah Aktiva Produktif dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Semakin tinggi rasio ini maka semakin buruk kualitas aktiva produktif.

c. Manajemen (Management)

Penilaian terhadap faktor manajemen penting dilakukan karena melalui penilaian ini dapat menilai kemampuan bank dalam mengelola manajemen umum, menerapkan sistem manajemen risiko, dan menilai kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.

Aspek manajemen pada penilaian kinerja BPR dalam penelitian ini tidak dapat menggunakan pola yang ditetapkan oleh BI tetapi sesuai dengan data yang tersedia diproyeksikan dengan Net Profit Margin. Semakin tinggi nilai NPM maka semakin baik kemampuan manajemen dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.

Dalam penelitian ini digunakan indikator NPM (Net Profit Margin). NPM merupakan sebuah alat analisis yang mengukur kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba. Selain sebagai bagian dari rasio profitabilitas perusahaan, Net Profit Margin (NPM) juga dapat mengukur kemampuan manajemen perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya dengan meminimalkan beban perusahaan dan memaksimalkan laba perusahaan. Dari kedua fungsi diatas, NPM dapat mempengaruhi nilai perusahaan yang ditunjukan dengan harga saham pada perusahaan tersebut.

d. Rentabilitas (Earnings)

Penilaian ini dilakukan secara kuantitatif. Kriteria yang digunakan dibatasi dalam penilaian: Rasio Return on Assets (ROA), Rasio Return on

Equity (ROE), Rasio Net Interest Margin (NIM), dan Rasio BOPO (Biaya

22

Retun on Assets digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen

bank dalam memperoleh keuntungan (Laba Sebelum Pajak) yang dihasilkan dari rata-rata total aset bank yang bersangkutan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Laba Sebelum Pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional sebelum pajak, sedangkan rata-rata total aset adalah rata-rata volume usaha atau aktiva.

Return on Equity (ROE) merupakan rasio yang digunakan untuk

mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelola modal yang tersedia untuk menghasilkan Laba Setelah Pajak. Semakin besar ROE, semakin besar tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Laba Setelah Pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional setelah dikurangi pajak sedangkan rata-rata total ekuitas adalah rata-rata modal inti yang dimiliki bank, perhitungan modal inti dilakukan berdasarkan ketentuan kewajiban modalminimum yang berlaku.

Return on Equity (ROE) juga digunakan untuk mengukur

kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan. Selanjutnya, kenaikan tersebut akan menyebabkan kenaikan harga saham bank.

Net Interest Margin (NIM) adalah rasio yang menggambarkan

tingkat keuntungan (laba) yang diperoleh bank dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari kegiatan operasionalnya. Net Interest

Margin adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan

manajemen bank dalam mengelola Aktiva Produktif untuk menghasilkan Pendapatan Bunga Bersih. Pendapatan Bunga Bersih diperoleh dari Pendapatan Bunga dikurangi Beban Bunga. Semakin besar rasio ini maka meningkatnya Pendapatan Bunga atas Aktiva Produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin kecil.

Rasio biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efiseinsi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional.

Biaya Operasional dihitung berdasarkan penjumlahan dari Total Beban Bunga dan Total Beban Operasional Lainnya. Pendapatan Operasional adalah penjumlahan dari total Pendapatan Bunga dan Total Pendapatan Operasional Lainnya .Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.

e. Likuiditas (Liquidity)

Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap deposit atau

23 membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Hal ini berarti LDR (Loan to Deposit Ratio) digunakan untuk menilai kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan untuk Dana Pihak Ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, setifikat deposito

f. Non Performing Loan (NPL).

Besarnya rasio NPL suatu BPR ditentukan oleh kolektibilitas kreditnya. Rasio NPL adalah perbandingan antara kredit yang tidak lancar dengan jumlah kredit yang diberikan. Menurut ketentuan Bank Indonesia, salah satu risiko yang menjadi sumber penilaian kesehatan suatu bank adalah dari sumber pembiayaan/kredit yang dimana suatu bank harus mempunyai nilai NPL (non performing loan)/kredit macet harus dibawah 5%. Angka ini menunjukkan berapa persen kredit yang bermasalah dari keseluruhan kredit yang mereka kucurkan ke masyarakat

Pengelolaan Risiko Kredit

Bessis (1998) menyatakan manajemen risiko kredit mencakup dua hal, yaitu risiko proses keputusan kredit, sebelum keputusan dibuat sampai menindaklanjuti komitmen kredit, ditambah risiko pemantauan dan proses laporan. Selanjutnya diperlukan pengukuran dari risiko kredit, antara lain menggunakan limit systems

and credit screening, risk quality and ratings, serta credit enhancement.

Menurut Peraturan Bank Indonesia (2009), dinyatakan bahwa proses manajemen risiko bank sekurang-kurangnya mencakup pendekatan pengukuran dan penilaian risiko, struktur limit dan pedoman serta parameter pengelolaan risiko, sistem informasi manajemen dan pelaporannya, serta evaluasi dan kaji ulang manajemen. Bank perlu melakukan manajemen terhadap risiko kredit yang melekat pada seluruh portofolio, yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan modal yang tersedia cukup, dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul.

Perlindungan tambahan dalam bentuk pembatasan sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pemberi pinjaman atas peminjam yaitu misalnya dalam bentuk :

1. Pembatasan terhadap debitur atas tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi keuangan debitur misalnya melakukan pembelian kembali saham, melakukan pembayaran deviden, atau melakukan peminjaman baru. 2. Kewenangan untuk melakukan pengawasan atas utang dengan cara

mensyaratkan adanya audit dan laporan keuangan bulanan.

3. Hak kepada kreditur untuk meminta pelunasan seketika atas utang yang diberikannya apabila terjadi suatu peristiwa khusus ataupun apabila rasio keuangan seperti utang/ekuitias menurun.

Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan

24

penataan kembali (restructuring). Dalam surat edaran tersebut yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui rescheduling, reconditioning, dan

restructuring adalah sebagai berikut:

1. Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.

2. Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi

Dokumen terkait