• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran

Dalam dokumen Perkembangan Confucius Institute di Amer (Halaman 35-45)

Pada latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, penulis menjelaskan bahwa Confucius Institute merupakan salah satu bentuk dari diplomasi budaya china yang ditujukan secara global yang mana hampir semua negara di dunia menjadi target dari Confucius Institute itu sendiri. Aktivitas internasionalisasi pendidikan bahasa dan budaya China dijalankan oleh Confucius Institut dalam proses diplomasi budaya tersebut. Definisi dari diplomasi budaya adalah seperangkat aksi yang dilakukan oleh aktor tertentu ke satu atau lebih aktor lain dengan berdasarkan dan memanfaatkan pertukaran ide, nilai, tradisi dan aspek identitas atau budaya lain yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar aktor, memperkuat kooperasi sosial ekonomi, dan menjalankan kepentingan aktor tertentu.32 Dalam aplikasi nya, konsep internasionalisasi termasuk ke dalam dimensi diplomasi budaya kemudian menjadi salah satu cara yang digunakan oleh aktor untuk menyebarkan suatu hal yang sudah ada dalam negaranya ke satu atau lebih negara lain pada level global.33

32Institute For Cultural Diplomacy. T.t. “What Is Cultural Diplomacy? What is

Soft Power?”. [daring]. Tersedia di:

http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en_culturaldiplomacy. Diakses pada 15 januari 2017.

33Okabe, Maki et al. 2013. “”Germany in Europe”, “Japan and Asia”: National Commitments to Cultural Relations Within Regional Frameworks”. Searching for Cultural Diplomacy. Berghahn Books Publisher. New York – Oxford. Pp 215.

Terdapat berbagai definisi dari apa yang dimaksud dengan internasionalisasi. Internasionalisasi cenderung dekat dengan aktifitas bisnis internasional yang mana sebuah perusahaan berupaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menanamkan Foreign Direct Investment ke luar negeri. Konsep internasionalisasi tidak hanya menjelaskan tentang aktifitas bisnis maupun ekonomi saja, namun juga segala hal yang berhubungan dengan interaksi interdependensi antar negara.34 Aktifitas internasionalisasi berkembang dan mulai populer pada akhir Perang Dingin bersamaan dengan munculnya tren diplomasi publik dan budaya, pergeseran dari kontestasi politik militeristik ke sosial budaya dan ekonomi menjadikan negara-negara mulai tidak terlalu fokus pada hard power dan mulai beralih ke soft power yang mengandalkan interaksi yang koeksis dan relatif stabil. Muncul tren internasionalisasi yang dilakukan oleh banyak negara yang berfokus pada penyebaran pendidikan bahasa dan budaya. Hal ini dibuktikan oleh perkembangan institusi budaya dan bahasa yang dibentuk dan disponsori oleh negara-negara.35 Penulis kemudian mengambil konsep internasionalisasi pendidikan tinggi untuk menjelaskan strategi yang dijalankan Confucius Institute di Amerika Serikat. Definisi dari internasionalisasi pendidikan tinggi sendiri adalah seperti yang dituliskan oleh Knight & de Wit yaitu: “The process of integrating an international/intercultural dimension into the teaching, research and service function of the institution”.36

34Scholte, J. A. 2001. “The Globalization of World Politics”. In J. Baylis, & S. Smtih, The Globalization of World Politics (pp. 13-34). Oxford University Press. 35Sarwark, Robert. 2015. “What Are Irternational Cultural Promotion

Organization”. [daring]. Tersedia dil:

https://publish.illinois.edu/iaslibrary/2015/04/15/icpo/. Diakses pada 20 Juni 2016.

36Knight, J. and de Wit, H. (1995). Strategies for internationalization of higher education: historical and conceptual perspectives. In H. de Wit (Ed.), Strategies for the Internationalisation of Higher Education: A Comparative Study of Australia,Canada, Europe and the United States of America.

Meskipun segala bentuk internasionalisasi pada dasarnya dilatar belakangi dengan berbagai macam kepetingan atau tujuan yang ingin dicapai. Namun perlu diperhatikan bahwa tujuan dari internasionalisasi pendidikan tinggi berbeda dengan internasionalisasi dalam konteks bisnis.Jika internasionalisasi dalam konteks bisnis maka tujuan akhir perusahaan atau institusi tersebut dalam melakukan aktifitas internasionalisasinya pasti untuk mencari keuntungan atau laba yang bersifat riil. Berbeda dengan internasionalisasi pendidikan tinggi, dalam hal ini adalah internasionalisasi pendidikan bahasa dan budaya asingyang cenderung dikelola negara tentu tujuan utama bukan pada mencari keuntungan yang materialistik atau non-profit meskipun pendorong utama negara melakukan internasionalisasi pendidikan tinggi adalah ekonomi, namun cenderung terlatar belakangi dalam tiga hal, yaitu; (1) kepentingan dalam keamanan internasional; (2) memelihara daya saing ekonomi, dan; (3) membangun pemahaman manusia antar negara.37

Selanjutnya peneliti melihat perkembangan dinamika hubungan China dengan Amerika Serikat sebagai home country dan host country dalam aktifitas internasionalisasi tersebut. Penulis menilai bahwa dinamika politik China dengan Amerika Serikat juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan Institusi Confucius Institute dalam pasar lembaga bahasa di Amerika Serikat. Ditambah lagi Confucius Institute merupakan institusi yang dinaungi langsung oleh kementrian pendidikan China sehingga tentunya ada relasi antara hubungan antar pemerintah China dan Amerika Serikat dalam aplikasi strategi internasionalisasi pendidikan yang dilakukan Confucius Institute di Amerika

Amsterdam, Netherlands: EAIE Secretariat.

37Aigner, J. S., Nelson, P. & Stimpfl, J. R. (1992) Internationalizing the University: making it work. Springfield: CBIS Federal.

Serikat. Hubungan pemerintah kedua negara sangat menentukan posisi perusahaan atau institusi di negara host country.38 Oleh karena itu penulis mengkaji hubungan antara dua negara tersebut dengan menggunakan bargaining modelyang mana Confucius Institute merupakan aktor industri lembaga bahasa asing milik China di Amerika Serikat. Grosse dan Jack kemudian menjelaskan tujuan suatu negara untuk melakukan bargain bahwa:

“Primarily in politic and economy [Gilpin, 1975], but also in business fields [Moran, 1974; Gladwin and Walter, 1980; Behrman and Grosse, 1990], the theory of inter-organization bargaining has been used to characterize and analyse business and government negotiation, policy-making and behaviour. That theory in broad terms focuses on the relative bargaining resources and the stakes of each participant in a bargaining situation, drawing both political and economic/commercial conclusions from the analysis.”39

Dalam bargaining model ini, dapat dilihat upaya yang dilakukan oleh institusi atau perusahaan home country untuk mencapai kepentingannya di host country dan vice versa. Terdapat dua macam dalam bargaining model, yaitu one-tier bargaining model dan two-tier bargaining model. One-tier bargaining model

adalah suatu kondisi yang mana pemerintahhome countrymenjalin hubungan koorperatif serta aktif bernegosiasi dengan pemerintahhost countrydengan tujuan memperlancar kepentingan antar dua pihak terkait aktifitas institusi atau perusahaan tersebut.40 Dengan kata lain, institusi atau perusahaan tersebut telah diwakilkan oleh pemerintah home country sehingga tidak perlu melakukan

38Robert Grosse dan Jack N.Behrman, “Theory in International Business,” Transnational Corporations Vol I, No.1. (1992) : 101. [PDF]. Tersedia di:http://unctad.org/en/docs/iteiitv1n1a6_en.pdf. Diakses 28 Maret, 2016.

39Ibid, 1992: 98

40Li, Jing. 2013. “The Two-Tier Bargaining Model Revisited: Theory and Evidence from China's Natural Resource Investments in Africa,” Global Strategy Journa.

aktifitas negosiasi dengan host country. Hal ini tertuang pada pernyataan Jing Li dalam penelitiannya mengenai badan usaha milik negara China di Afrika yaitu:

“Considerable evidence suggests that the Chinese government bargains with the host country government in Africa to create a friendly investment environment for Chinese firms that conduct business in Africa through, for example, trade and investment agreements. This is the so-called tier-one bargaining stage (government bargaining between home and host countries) in the twotier bargaining model proposed in Ramamurti (2001)”.41

Sedangkan Two tier bargaining model yang dijelaskan oleh Ramamurti mengedepankan pada hubungan yang lebih kompleks antara perusahaan, home country dan host country. Tidak hanya aktifitas home country dan host country

saja, namun ada aktifitas kooperatif juga antara perusahaan denganhost countrymelalui berbagai kerjasama dan kontrak-kontrak tertentu.42 Penulis kemudian menilaibahwa two tier bargaining model lebih tepat untuk menjelaskan interaksi yang terjadi terhadap Confucius Institute di Amerika Serikat. Bagaimanapun meski bukan badan lembaga yang berorientasi pada profit material, untuk dapat berkembang dengan pesat dalam periode yang cukup singkat di Amerika Serikat tentu kedua negara dan Confucius Institute telah melakukan kooperasi dan negosiasi yang sesuai untuk menciptakan iklim yang mendukung bagi Confucius Institute untuk berkembang. Sehingga one-tier dalam

bargaining model yang hanya merujuk pada hubungan pemerintah antara home country dan host country saja tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan Confucius Institute di Amerika Serikat

Internasionalisasi tidak hanya berhenti pada proses bargain antar negara yang terlibat.Masyarakat host country sebagai konsumen yang menggunakan

41Ibid, 2013: 12 42Ibid, 2013: 4

produk atau jasa yang dihasilkan dari perusahaan atau industri merupakan faktor penting yang tidak dapat dipandang sebelah mata sekaligus yang menentukan keberhasilan perusahaan tersebut. Diperlukan strategi pemasaran yang tepat dengan perhitungan tertentu agar menarik minat konsumen, sehingga produk atau jasa yang ditawarkan di suatu negara dapat diterima dan menciptakan nilai tambah tersendiri di mata konsumen dan penjualanpun diharapkan dapat meningkat melalui strategi pemasaran tersebut.

Definisi dari strategi pemasaran internasional sendiri merupakan mekanisme perencanaan dalam bidang pemasaran antardua negara atau lebih sebagai upaya pemenuhan kebutuhan calon konsumen pada produk atau jasa yang diharapkan sehingga diharapkan kepuasan konsumen meningkat dengan berbanding lurus pada tingkat penjualan pula.43 Dalam beberapa kajian strategi pemasaran, terdapat sebuah konsep tradisional yang dikenal dengan istilahMarketing Mix4P’s.

Marketing Mix4P’s merupakan sebuah konsep strategi pemasaran yang mengkolaborasikan berberapa aspek, yaitu; (1) product merujuk pada hasil produksi, baik barang maupun jasa yang akan ditawarkan kepada konsumen; (2)

price merujuk pada penentuan harga secara tepat,(3) place yang merujuk pada proses distribusi hingga produk dapat sampai ke tangan konsumen, dan (4)

promotion atau kegiatan atau cara untu mengenalkan produk kepada konsumen agar konsumen memahami, percaya, dan tertarik terhadap produk tersebut.44 Oleh karena itulah 4P’s juga dikenal dengan istilah marketing mix. Dalam hal ini,

43Cole Ehmke et al. 2005. “Marketing’s Four P’s : First Steps for New Enterpreneurs,” Purdue Extension. [daring]. Tersedia di: https://www.extension.purdue.edu/extmedia/ec/ec-730.pdf. Diakses pada 20 Juli 2016.

perusahaan harus memperhatikan keempat variabel tersebut sebagai indikator perhitungan dalam strategi pemasaran.

Dalam perkembangannya, teori strategi marketing mix ini kemudian berkembang menjadi beberapa macam, seperti marketing mix 7P’s yang dikembangkan oleh E. Jerome McCarthy pada tahun 1964 dengan menambahkan tiga variabel sepertiPeople yang merujuk pada teknik pemasaran dengan memanfaatkan kekuatan hubungan dengan pelanggan sehingga menciptakan kenyamanan dan kepercayaan pelanggan dalam membeli atau menggunakan produk atau jasa yang dihasilkan, Pyshical Evidence yaitu teknik pemasaran dengan menggunakan karakteristik fisik yang secara indrawi dapat dirasakan seperti dekorasi, ruangan, aroma, cahaya, cuaca maupun kondisi topografibangunan tersebut berdiri, dan Process yang menunjukkan kegiatan, prosedur atau mekanisme dalam menghasilkan atau penyediaan produk atau jasa kepada konsumen.45 Terdapat juga marketing mix 9P’s yang dikembangkan oleh Bryan K. Law dengan penambahan variabel Packagingyang merujuk pada mekanisme pengemasan suatu produk dengan memperhatikan desain, evaluasi, dan bentuk kemasan yang sesuai dengan image dari perusahaan atau institusi, danPaymentyang menunjukan pilihan-pilihan mekanisme pembayaran suatu produk atau jasa, seperti pembayaran melalui cash, kertas cek, kartu kredit/debit, barter, hingga penggunaan poin pada program-program tertentu. 46

Dari macam-macam bentuk marketing mix tersebut, penulis kemudian memilah variabel yang kurang tepat digunakan dalam penelitian ini. Variabel

45Chan, Gladys. T.t. “The 9 Ps in Marketing Mix”. [daring]. Tersedia di:

http://www.foxbusinessjournal.com/mkt/9Ps.html. Diakses pada 20 Oktober 2016.

packagingpada 9P’s hingga saat ini cenderung berlaku pada pemasaran suatu produk benda, meski tidak menampik kemungkinan dapat digunakan dalam bidang jasa. Sedangkan pada 7P’s terdapat physical evidenceyangtidak dapat diukur secara umum bagi subsidiaris yang memiliki sebagian wewenang dalam operasionalisasi pemasaran, seperti Confucius Institute yang dinaungi oleh Hanban, Universitas Host Country dan Universitas Home Country yang melakukan aktifitas keseharian secara koordinatif. Dari eliminasi tersebut disimpulkan bahwa penulis tidak menggunakan marketing mix7P’s dan 9P’s.Namun penulis menyadari bahwa marketing mix 4P’s saja juga tidak cukup kuat untuk menjelaskan aktifitas marketing suatu perusahaan atau institusi yang bergerak dalam bidang jasa, terutama yang aktifitas kesehariannya berinteraksi langsung dengan konsumen seperti Confucius Institute. Hal ini juga berdasarkan bahwa selama ini marketing mix 4P’s hanya berfokus pada sudut pandang perusahaan dengan kurang memperhatikan analisa sudut pandang konsumen, terutama dari segi kebutuhan dan kepuasan pelanggan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Paul Simister dalam kritiknya mengenai marketing mix 4P’s:

“It is completely internally focused on what the business wants. If marketing is about meeting customer needs, then surely the customer and their issues should come into the most popular framework for marketing.” 47

Oleh karena itu, penulis menggunakan teori marketing mix4P’s& 4C’s. Teori ini menggunakan dua sudut pandang analisa, yaitu perusahaan dengan 4P’s nya dan konsumen dengan 4C’s nya, 4C’s sendiri terkolerasi dari variabel 4P’s

47Paul, Simister. 2009. “The Four P's of Marketing: Criticism Of The Marketing

Mix”. [daring]. Tersedia di:

http://businesscoaching.typepad.com/small_business_marketing/2009/07/the-four-ps-of-marketing-critism-of-the-marketing-mix.html. Diakses 4 November 2016.

yang saling berkesinambungan.Customer yang berasal dari variabelProduct, Cost

yang merujuk pada Price, Convenienceyang berasal dariPlace, dan

Communication yang terbentuk dari Promotion. Dari kesinambungan antar variabel tersebut dapat dilihat bagaimana strategi pemasaran yang dijalankan, dan apakah strategi yang dijalankan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan daya unggul bagi masyarakat sebagai konsumen yang menggunakan jasa. Hal ini berangkat dari analisis yang dilakukan oleh Ren Jianting dan Gao Feng dalam meneliti perkembangan Goethe Institute secara global melalui teori marketing mix

4P’s dan 4C’s.48Menurutnya, meskipun Goethe Institute bukan institusi yang berorientasi langsung terhadap laba, namun suatu institusi bahasa asing untuk dapat berkembang diperlukan suatu upaya pemasaran terutama ketika institusi tersebut melakukan internasionalisasi ke negara-negara lain yang berbeda budaya dan bahasa yang menjadi tantangan tersendiri. Dalam aplikasi teori marketing mix

4P’s dan 4C’snya , Ren Jianting dan Gao Feng menilai untuk tidak hanya berfokus pada bagaimana produk jasa itu dipasarkan, namun juga harus memperhatikan kebutuhan, selera dan kepuasan konsumen.49

Pada dasarnya, marketing mix lebih berfokus pada upaya pemasaran domestik di suatu negara, namun dalam operasionalisasinya strategi pemasaran domestik dapat diterapkan juga untuk strategi pemasaran internasional. Hanya saja, dalam upaya internasionalisasi, strategi pemasaran dihadapkan pada sebuah

48Jianting, Ren &Gao Feng. T.t. “Marketing Mix Analysis for Goethe Institute Based on 4P and 4C Theory”. [PDF]. Di download di:

http://www.fis.psu.ac.th/jis_file/JIS_Vol2_No1/JIS_Vol.2_No.1_5.pdf. Diakses pada 25 Oktober 2016.

pilihan yaitu standarisasi atau adaptasi.50 Seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut:

“In fact, standardizing marketing strategy and mix can assure a strong, unique and consistent brand image across markets… associated with greater esteem… perceived quality and brand prestige…Nevertheless, this [added value for consumers] is minor when considering the demand side of the standardization/adaptation issue, where cultural differences are still the main barrier to global branding.”51

Kutipan tersebut menjelaskan mengenai pentingnya pemilihan kebijakan standarisasi dan adaptasi dalam implementasi strategi pemasaran suatu produk atau jasa yang dihasilkan, yang nantinya menghasilkan output yang berbeda. Namun perbedaan budaya dan tantangan yang ada menjadi faktor penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku awal pelanggan dalam menggunakan produk atau jasa, sehingga menjadi hal yang patut diperhitungkan dalam penentuan kebijakan antara adaptasi atau standarisasi serta kebijakan marketing yang akan dilakukan. Proses tersebut nantinya berdampak pada value yang konsumen berikan terhadap produk atau jasa yang ditawarkan.52

Dalam penelitian ini, telah dijelaskan di latar belakang bahwa internasionalisasi Confucius Institute menemui resiko kultural yang tinggi. Jarak geografis yang jauh serta perbedaan budaya, ditambah minat pendidikan bahasa China yang rendah pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pengambilan

50Perusahaan cenderung akan dihadapkan pada pilihan, yaitu standarisasi dengan menerapkan ketentuan produk dan aturan yang sama dengan negara induk, atau beradaptasi sesuai dengan kondisi yang ada di negara subsidiaris. Contoh perusahaan yang melakukan standarisasi adalah unilever yang di semua negara memiliki produk yang sama.

51Nabil Ghantous, “Brand Internationalization Strategy Beyond The Standarization/Adaptation Dichotomy,” in Thought Leaders International Conference on Brand Management, 15-16 April, 2008, Birmingham-UK (Prancis : Paul Cézanne University, 2008), http://www.cirmap-fea.org/fichiers/ghantous %5B1%5D.birmingham.08.pdf”

keputusan masyarakat untuk mendaftar. Terlebih ketika berbicara mengenai pendidikan bahasa asing, maka aspek budaya menjadi semakin sensitif. Hal ini dapat disimpulkan bahwa upaya marketing mix yang dijalankan harus merupakan bentuk adaptasi Confucius Institute dalam menyesuaikan segala bentuk kondisi yang berbeda, terutama dalam hal budaya. Sehingga sistem standarisasi tidak mungkin untuk digunakan.

Dari berbagai penjabaran teoritik diatas penulis kemudian membentuk suatu kerangka pemikiran yang dapat digunakan dalam menjawab rumusan permasalahan penelitian ini. Penulis berfokus dalam dua bahasan,yaitu dinamika hubungan kerjasama China dan Amerika Serikat, dan hubungan antara Confucius Institute dengan pemerintah Amerika Serikat, serta strategi pemasaran yang diterapkan oleh Confucius Institute di Amerika Serikat.

1. 5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, penulis berpendapat bahwa keberhasilan Confucius Institute dalam upaya internasionalisasi pendidikan bahasa dan budaya China di Amerika Serikatdisebabkan olehdua hal; Pertama,terjalinnya hubungan two-tier modified bargainmodelantara China dengan Amerika Serikat, dan Confucius Institute dengan Amerika Serikat; Kedua, aplikasistrategi marketing mix4P’s dan 4C’syang dijalankan Confucius Institute sebagai langkah adaptasi pemasaran di Amerika Serikat

Dalam dokumen Perkembangan Confucius Institute di Amer (Halaman 35-45)

Dokumen terkait