• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam dokumen Oleh: MUHAMMAD FADHEL JAMALI A (Halaman 33-47)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Durianto et. al. (2001) menyebutkan bahwa ekuitas merek (brand equity) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula.

Kotler (2005) menyatakan bahwa merek berbeda-beda dalam jumlah kekuatan dan nilai yang dimilikinya di pasar. Pada satu sisi terdapat merek yang tidak dikenal sebagian besar pembeli. Kemudian, ada merek yang mempunyai tingkat kesadaran merek (brand awareness) yang agak tinggi. Tingkatan di atas ini adalah merek yang memiliki tingkat penerimaan merek (brand acceptability) yang tinggi. Kemudian, ada merek yang menikmati tingkat preferensi merek (brand preference) yang tinggi. Akhirnya, ada merek yang memiliki tingkat kesetiaan merek (brand loyalty) yang tinggi.

Aaker dalam Kotler (2005) membedakan lima tingkat sikap pelanggan terhadap merek, mulai dari yang terendah hingga tertinggi:

1) Pelanggan akan mengganti merek, khususnya karena alasan harga. Tidak ada kesetiaan merek.

3) Pelanggan merasa puas dan akan mengalami kerugian dengan berganti merek. 4) Pelanggan menghargai merek tersebut dan menganggapnya sebagai teman. 5) Pelanggan sangat setia dengan merek tersebut.

Ekuitas merek sangat terkait dengan berapa banyak pelanggan berada dalam kelompok 3, 4, atau 5. Ekuitas merek juga terkait dengan tingkat pengakuan nama merek, persepsi mutu merek, asosiasi mental dan emosional yang kuat, dan aset lain seperti paten, merek dagang, dan hubungan saluran distibusi.

Menurut Aaker dalam Durianto et. al. (2001), brand equity dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu:

1) Brand awareness (kesadaran merek): menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu.

2) Brand association (asosiasi merek): mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis, dan lain-lain. 3) Perceived quality (persepsi kualitas): mencerminkan persepsi pelanggan

terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapakan.

4) Brand loyalty (loyalitas merek): mencerminkan tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek produk.

5) Other proprietary brand assets (aset-aset merek lainnya).

Empat elemen brand equity di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang ke lima secara

langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. Konsep brand equity ini ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsep Brand Equity (Aaker dalam Durianto et. al., 2001) Menurut Durianto et. al. (2001), brand equity merupakan aset yang dapat memberikan nilai tersendiri di mata pelanggannya. Aset yang dikandungnya dapat membantu pelanggan dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. Brand equity dapat

Brand association Other proprietary brand assets Perceived quality Brand awareness Brand loyalty

Brand

equity

• Interpretasi/proses informasi

• Rasa percaya diri dalam pembelian

• Pencapaian kepuasan dari pelanggan Memberikan nilai kepada pelanggan dengan

memperkuat:

• Efisiensi dan efektivitas program pemasaran • Brand loyalty • Harga/laba • Perluasan merek • Peningkatan perdagangan • Keuntungan kompetitif Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat:

mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan kedekatan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek. Dalam kenyataannya, perceived quality dan

brand asociation dapat mempertinggi tingkat kepuasan konsumen.

Disamping memberi nilai bagi konsumen, brand equity dapat juga memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk:

1) Brand equity yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama. Promosi yang dilakukan akan lebih efektif jika merek dikenal. Brand equity yang kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek.

2) Empat dimensi brand equity: brand awareness, perceived quality, asosiasi-asosiasi, dan aset merek lainnya dapat mempengaruhi alasan pembelian konsumen. Bahkan seandainya brand awareness, perceived quality, dan asosiasi-asosiasi tidak begitu penting dalam proses pemilihan merek, ketiganya tetap dapat mengurangi keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba merek-merek lain.

3) Brand loyalty yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam merespon inovasi yang dilakukan pesaing. Brand loyalty adalah salah satu kategori

brand equity yang dipengaruhi oleh kategori brand equity lainnya.

Kategori-kategori brand equity lainnya juga berhubungan satu sama lain. Perceived

quality dapat dipengaruhi oleh brand awareness. Nama merek dapat

memberikan kesan bahwa produk yang dibuat dengan baik (perceived

quality), diyakinkan oleh asosiasi dan loyalitas (seorang konsumen yang loyal

4) Brand association juga sangat penting sebagai dasar strategi positioning maupun strategi perluasan produk. Suatu analisis terhadap portofolio merek sangat diperlukan untuk mengetahui efektifitas dari perluasan merek yang telah dilakukan.

5) Salah satu cara memperkuat brand equity adalah dengan melakukan promosi besar-besaran yang membutuhkan biaya besar. Brand equity yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh margin yang lebih tinggi dengan menetapkan premium price, dan mengurangi ketergantungan pada promosi sehingga diperoleh laba yang lebih tinggi.

6) Brand equity yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki brand equity tersebut.

7) Brand equity yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi. Toko, supermarket, dan tempat-tempat penjualan lainnya tidak akan ragu-ragu untuk menerima suatu produk dengan brand equity yang kuat dan sudah terkenal untuk dijual kepada konsumen. Produk dengan brand equity yang kuat akan dicari oleh pedagang karena mereka yakin bahwa produk dengan merek tersebut akan memberikan keuntungan bagi mereka. Dengan brand equity yang kuat, saluran distribusi dapat berkembang sehingga semakin banyak tempat penjualan yang pada akhirnya akan memperbesar volume penjualan produk tersebut.

8) Aset-aset brand equity lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya, bila dimensi utama dari brand equity yaitu brand awareness, brand

association, perceived quality, dan brand loyalty sudah sangat kuat, secara

otomatis aset brand equity lainnya juga akan kuat.

3.1.2. Brand Awareness

Menurut Durianto et. al. (2001), brand awareess adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Bagian dari suatu kategori produk perlu ditekankan karena terdapat suatu hubungan yang kuat antara kategori produk dengan merek yang dilibatkan.

Brand awareness membutuhkan continum ranging (jangkauan kontinum)

dari perasaan yang tidak pasti bahwa merek tersebut telah dikenal sebelumnya, sehingga konsumen yakin bahwa produk tersebut merupakan satu-satunya merek dalam suatu kelompok produk. Kontinum ini dapat terwakili dalam tingkatan

brand awareness yang berbeda yang dapat digambarkan dalam suatu piramida

seperti terlihat pada Gambar 3.

Peran brand awareness dalam brand equity tergantung pada tingkatan pencapaian kesadaran di benak konsumen. Tingkatan brand awareness yang paling rendah adalah brand recognition (pengetahuan merek) atau disebut juga sebagai tingkatan pengingatan kembali dengan bantuan (aided recall). Tingkatan berikutnya adalah tingkatan brand recall (pengingatan kembali merek) atau tingkatan pengingatan kembali merek tanpa bantuan (unaided recall) karena konsumen tidak perlu dibantu untuk mengingat merek. Tingkatan berikutnya adalah merek yang disebut pertama kali pada saat pengenalan merek tanpa bantuan yaitu top of mind (kesadaran puncak pikiran). top of mind adalah brand

awareness tertinggi yang merupakan pimpinan dari berbagai merek yang ada

dalam pikiran konsumen.

Gambar 3. Piramida Brand Awareness (Durianto et. al., 2001)

3.1.3. Brand Association

Menurut Durianto et. al. (2001), brand association (asosiasi merek) adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Kesan-kesan yang terkait dengan merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan suatu merek dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain.

Suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut

brand image. Semakin banyak asosiasi yang berhubungan, semakin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut.

Puncak pikiran (Top of mind)

Pengingatan kembali merek (Brand recall)

Pengenalan merek (Brand recognition)

Tidak menyadari merek (Brand unaware)

Asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut:

1) Atribut produk

Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi

positioning yang paling sering digunakan. Mengembangkan asosiasi semacam

ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek.

2) Atribut tak berwujud

Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif.

3) Manfaat bagi pelanggan

Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan maka biasanya terdapat hubungan antara keduanya. Manfaat bagi pelanggan terbagi menjadi dua, yaitu manfaat rasional dan manfaat psikologis. Manfaat rasional erat kaitannya dengan atribut dari prouk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional. Manfaat psikologis sering kali merupakan konsekuensi ekstrim dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut.

4) Harga relatif

Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini diawali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga. 5) Penggunaan

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.

6) Pengguna/pelanggan

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pengguna atau pelanggan dari produk tersebut.

7) Orang terkenal/khalayak

Mengaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut.

8) Gaya hidup/kepribadian

Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama.

9) Kelas produk

Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. 10) Para pesaing

Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing.

11) Negara/wilayah geografis

Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan.

Disamping beberapa acuan yang telah disebutkan, beberapa merek juga memiliki asosiasi dengan hal lain yang belum disebutkan di atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak semua merek produk memiliki semua asosiasi di atas.

Merek tertentu berasosiasi dengan beberapa hal di atas, dan merek lain berasosiasi dengan beberapa hal lain.

3.1.4. Perceived Quality

Menurut Durianto et. al. (2001), perceived quality didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan.

Perceived quality ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu produk di mata

pelanggan. Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu produk atau jasa dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas mereka terhadap merek. Perceived quality yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut. Sebaliknya, jika perceived quality pelanggan negatif, produk tidak akan disukai dan tidak akan bertahan lama di pasar.

Karena perceived quality merupakan persepsi dari pelanggan maka

perceived quality tidak dapat ditentukan secara objektif. Persepsi pelanggan akan

melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa.

Menurut Garvin dalam Durianto et. al. (2001), perceived quality dibagi dalam tujuh dimensi yaitu:

1) Kinerja: melibatkan berbagai karakteristik operasional utama. Karena faktor kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan mempunyai sikap yang berbeda dalam menilai atribut-atribut kinerja ini.

2) Pelayanan: mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan dalam produk tersebut.

3) Ketahanan: mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut.

4) Keandalan: konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya.

5) Karakteristik produk: bagian-bagian tambahan dari produk. Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggannya yang dinamis sesuai perkembangan.

6) Kesesuaian dengan spesifikasi: merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.

7) Hasil: mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan ”hasil akhir” produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas lain yang penting.

3.1.5. Brand Loyalty

Durianto et. al. (2001) menyatakan bahwa brand loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mapu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang lain, terutama jika merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain. Brand loyalty merupakan salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang

penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya.

Terdapat beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah sebagai berikut: 1) Switcher (berpindah-pindah)

Pelanggan yang ada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.

2) Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)

Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya, atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengonsumsi merek tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

Pada tingkatan ini pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mereka mungkin saja memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching

cost (biaya beralih) yang terkait dengan waktu, uang, atau risiko kinerja yang

melekat dengan tindakan mereka beralih merek. 4) Liking the brand (menyukai merek)

Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol atau rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived quality yang tinggi.

5) Comitted buyer (pembeli yang komit)

Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.

Tiap tingkatan brand loyalty mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga mewakili tipe aset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Bagi merek yang belum memiliki brand equity yang kuat, porsi terbesar dari konsumennya berada pada tingkatan switcher. Selanjutnya porsi terbesar kedua ditempati oleh konsumen yang berada pada taraf habitual buyer, dan seterusnya

hingga porsi yang terkecil ditempati oleh committed buyer seperti tampak pada Gambar 4.

Gambar 4. Piramida Loyalitas Umum (Durianto et. al., 2001)

Meskipun demikian, bagi merek dengan brand equity yang kuat, tingkatan dalam brand loyalty-nya diharapkan membentuk segitiga terbalik. Maksudnya, semakin ke atas makin melebar sehingga diperoleh jumlah committed buyer yang lebih besar daripada switcher seperti tampak pada Gambar 5.

Gambar 5. Piramida Loyalitas Harapan (Durianto et. al., 2001) committed

buyer

liking the brand satisfied buyer habitual buyer

switcher

Committed buyer liking the brand satisfied buyer habitual buyer

Dalam dokumen Oleh: MUHAMMAD FADHEL JAMALI A (Halaman 33-47)

Dokumen terkait