• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan,yang untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan itu harus cukup menguraikan apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada hukum. Teori juga merupakan sebuah desain Iangkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu

kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus menunjukkan kebenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny. H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran teoritis.9

Menurut Kaelan M.S landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.10

Oleh sebab itu kerangka teoritis sebagai suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi; 3. Teori biasanya merupakan suatu iktisar daripada hal-hal yang diteliti;

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.11

9Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm.37.

10

Kaelan M. S, Metode Penelitian KualUatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Indispliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukumdan

Seni),Paradigma, Yogyakarta,2005,hlmn. 239.

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analitis dalam analisis. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam Analisis Yuridis Asas Hukum Peijanjian Dalam Perjanjian Leasing Dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak adalah menggunakan teori keadilan dari Aristoteles. Pandangan- pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanyanichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nichomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan" yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga negara adalah sama di depan hukum. Kesamaanproporsionalmemberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.12

Aristoteles dalam bukunya "Rethorica"mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh

12 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum PersfektifHistoris, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, haL24.

kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur yaitu dengan memberikan keadilan kepada setiap orang yang berhak ia terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi setiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan"Algemene Regel"(peraturan/ ketentuan umum) yang mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya.

b. Sifat Undang- Undang yang berlaku bagi siapa saja. Asas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak melakukan perjanjian dengan individu lain atau masyarakat lainnya. Namun demikian dalam praktek apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip kepastian hukum, kemudian apabila pada prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.13

Menurut Subekti, perianjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berianji melaksanakan sesuatu hal.14

Menurut R.Wirjono Prodjodikoro, mendefenisikan perianjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak

13Ibid

berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.15

Asas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perianjian merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak melakukan perjanjian dengan individu lain atau masyarakat lainnya.

Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUH Perdata Bab Kedua yang mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Pengertian kontrak dengan persetujuan adalah sama seperti terlihat yang didefenisikan pada Pasal 1313 KUH Perdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.16

Sekalipun demikian mungkin kontrak adalah bagian yang kurang menonjol dari Hukum yang hidup (Living Law) dibandingkan bidang lain yang berkembang berdasarkan hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.17

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia

Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang

15

R. Wirjono Prodjodikoro,Asas-asas Hukum Perjanjian,Sumur, Bandung, 1991 hal.9 16 Lawrence F. Friedman, American Law Introduction, Second Edition, Hukum Amerika sebuah pengantar (Penerjemah Wisnu Basuki), PT.TataNusa, Jakarta 200l,hal 195

penjabarannya18 Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk yang konkrit, misalnya "asas konsensualitas" yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu, "Sepakat mereka yang mengikatkan dirt". Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit.19

Dalam tulisannya Johannes Gunawan menyebutkan, ada asas-asas Hukum Kontrak yang tersirat dalam Kitab KUH Perdata yaitu, Asas kebebasan Berkontrak, Asas Mengikat Sebagai Undang-Undang, Asas Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik20

a. Asas Kebebasan Berkontrak(Freedom of Contract)

Latar Belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman Yunani yang kemudian diteruskan oleh kaum epicuristem dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui ajaran-ajaran antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rpusseau.21 Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang

18

J J.H. Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta),Refleksi Tentang Hukum,PT. Citra Adytia Bakti,

19

Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum, Liberty,Yogyakatta, 1999, Hai.34-35

20

Johannes Gunawan,Op. cit. hal47 dan juga lihat Mariam Darns Badrulzaman,KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,Alumni Bandung, 1993 Hal. 108

berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.22 Kebebasan berkontrak bukan berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya perjanjian, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

Pendekatan terhadap asas kebebasan berkontrak berdasarkan hukum alam, dikemukakan oleh Hugo de Groot dan Thomas Hobbes. Grotius sebagai penganjur terkemuka dari ajaran hukum alam berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi manusia. Ia beranggapan, suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang berjanji satu sama lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak lebih dari sekedar janji karena suatu janji tidak dapat memberikan hak kepada pihak lain atas pelaksanaan janji itu. Selanjutnya Hobbes menyatakan bahwa kebebasan berkontrak sebagai kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak adalah metode dimana hak-hak fundamental manusia dapat dialihkan.23

Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.24Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUH Perdata, pada intinya menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan.

22

Subekti,Op.cit.Hal.13

23 Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian,Institut Bankir Indonesia (IBI) Jakarta1993, Hal. 18-20

Subekti dalam bukunya pokok-pokok Hukum Perdata, menyebutkan orang leiuasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III karena Buku III merupakan "hukum pelengkap" (aanvulled recht) bukan hukum keras atau hukum yang memaksa25 meliputi lima macam kebebasan, yaitu:

a) Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.

b) Kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan tertutup kontrak. c) Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak

d) Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak.

e) Kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.

Menurut Felix.O.Soebagjio, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti dapat dilakukan bebas-sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.26 Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUH Perdata, akan tetapi bersifat universal.27

Sehubungan dengan itu, teori-teori hukum Common Law tertentu memperbolehkan untuk membatalkan kontrak-kontrak yang bersifat menindas atau

25

Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata,CetKe-XXXIII, PT. Intermasa, Jakarta 2005.Hal128.

26

Felix. O. Soebagjo,Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak Dalam Praktek Bisnis Selama 25 Tahun terakhir,Disampaikan dalam pertemuan Ilmiah "Perkembangan Hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia", diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Naslonal, Jakarta 18 dan 19 Februari 1993.

adanya unsur ketidakadilan sebagai bentuk adanya pembatasan kebebasan berkontrak, Dorongan pembatasan kebebasan berkontrak tampil kepermukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusialaan serta ketertiban umum. Karenanya kontrak merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.

b. Asas Mengikat Sebagai Undang undang.

Pacta Sunt Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.28 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain oleh Undang-Undang. Dan Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Suatu hal yang lebih penting yang patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.29 Asas hukum ini, telah meletakkan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat menjadi Undang-Undang baginya sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur tangan dalam perjanjian.

Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tak terbatas, karena tetap ada batasannya dan akan ada akibat hukum yang tirobul terhadap kebebasan yang terbatas itu.

28

C.S.T. Kansil,Pengantar Hukum Dan TataHukumIndonesia,PN Balai PustakaJakarta 1983, Hal. 48

29 1.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta 2000., Merancang suatu Kontrak(Contract Drafting),Kesaint Blanc, Jakarta2003 Hal.135

Sutan Remi Sjahdeini, menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak tersebut menjadi illegal. Public policy amat tergantung kepada nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat30

Asas ini tercantum dalam pasal yang sama dengan pasal yang berisi asas kebebasan berkontrak, yaitu pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa "Semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut". Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat sebagai Undang-Undang di dalam satu pasal yang sama, menurut logika hukum berarti:

1. Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya.

2. Kontrak baru akan mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatanhya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan.31

Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang, sehingga istilah Pacta Sunt Servanda berarti "Janji itu mengikat". Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada

30

Sutan Remi Sjahdeini,Op.citHal. 41.

31Johannes Gunawan,"Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia", (2003)Jurnal Hukum Bisnis, Volume22-No.6 Tahun 2008. Hal. 48

apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.32

c. Asas Konsensualitas(Consensualitas)

Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sebuah kontrak sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari kontrak tersebut. Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu.33Banyak pertanyaan, kapan saatnya kesepakatan dalam perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu akan timbul apabila pihak para yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu tempat dan disitulah terjadi kesepakatan itu. Akan tetapi dalam surat menyurat, sehingga juga timbul persoalan kapan kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dikarenakan untuk perjanjian-perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya perjanjian.34 Kekuatan mengikat dan suatu kontrak adalah lahir ketika telah adanya kata sepakat, atau dikenal dengan asas konsensualitas, dimana para pihak yang berjanji telah sepakat untuk meningkatkan dirinya dalam suatu perjanjian menurut hukum.

Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran(efferter)menerima yang termaktub dalam

32

MariamDarusBadrulzaman,dkk, Kompilasi Hukum Perikatan,PT. Citra AdytiaBakti, Bandung, 2001. Hal.88.

33

Johanes Gunawan,Op cit

34

surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.35

Menurut Wirjono Prodjodikoro sebagaimana yang dikutip oleh Riduan Syahrini,ontvangs theoriedanverneming theoriedapat dikawinkan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pada saat surat penerimaan sampai kepada alamat penawar (ontvangs theorie),tetapi dalam keadaan luar biasa kepada si penawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai dialamatnya, misalnya karena bepergian atau sakit keras.36

Asas ini juga dapat ditemukan dalam pasal 1338 KUH Perdata, dalam istilah "semua". Kata-kata "Semua" menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan (will) yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian37

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, Yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan "itikad baik". Akibatnya orang akan menemui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu sendiri. Karena itikad baik merupakan suatu

35

Subekti,HukumPerjanjian,Intermasa, Jakarta Get VI.1979,Hal.29-30

36Riduan Syahrini,Op.cit.Hal. 216

perjanjian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataanya sangat sulit untuk mendefenisikan itikad baik.38 Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatutan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat tertentu.39

Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negoisasi, karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau setelah negoisasi dilakukan. Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakuan asas itikad baik ini, Suharmoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawabkan berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.40

Subekti, dalam bukunya hukum perjanjian, menyebutkan bahwa itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam buku perjanjian.41

38

Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasaijana Fakultas Hukum Universitas Indonesiajakarta 2003,Hal 129-130

39Suharmoko,Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus,Prenada Media, Jakarta 2004, Hal. 5

40

Ibid, hal 8-9

41

Sehingganya Riduan Syahrani menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik(te goeder trouw)sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali.42 Pemikiran ini berpijak dari pemahaman bahwa itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan sebaik baiknya dan semestinya.

Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking vande goeder trouw).43Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini, karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam perdebatan dalam pelaksanaannya,

Pengertian itikad baik secara defenisi tidak ditemukan, begitu juga dalam KUHPerdata tidak dijelaskan secara terperinci tentang apa yang dimaksud dengan itikad baik, pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata hanyalah disebutkan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan "itikad baik".

42

Riduan Syahrani,Op.cit.Hal.259

Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik(te goeder trouw)yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu;

1) itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan

2) itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.44

Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna dari itikad baik itu. Itikad baik para pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat

Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif. Akan tetapi sebagaimana dikutip Riduan Syahrini dalam bukunya Wirjono prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hoftmann dan Volmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan