• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5.1 Implementasi Kebijakan

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam oleh berbagai pakar. Seperti Friedrick dalam (Winarno, 2002: 16) mendefenisikan kebijakan sebagai “Suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran ataupun maksud tertentu”.

Sedangkan menurut Anderson yang dikutip dari (Nurcholis, 2007: 263) memandang kebijakan sebagai “Suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah”. Selanjutnya, Anderson mengklasifikasikan kebijakan (policy) menjadi dua: subtantif dan prosedural. Kebijakan subtantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan.

Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dikutip dalam (Wahab, 1991: 12), kebijakan itu diartikan sebagai “Pedoman untuk bertindak”. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana.

Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya dalam (Islamy, 2001: 17), yang memberikan defenisi kebijakan sebagai “Suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”, oleh karena itu suatu tujuan kebijakan memuat tiga elemen yaitu:

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Selanjutnya Mustopadidjaja dalam (Nurcholis, 2007: 263), menjelaskan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan “Tindakan atau kegiatan Pemerintah serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan-peraturan”.

Dari beberapa pengertian yang diuraikan oleh berbagai pakar tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kebijakan merupakan “Segala tindakan atau kegiatan yang mengarah pada tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan berbagai prosedur dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk memecahkan berbagai masalah”.

1.5.1.2Tahapan Kebijakan

Pendekatan tahapan kebijakan merupakan siklus yang menjadi dasar untuk menganalisis proses kebijakan. Berikut ini adalah deskripsi dari berbagai pakar yang memperkenalkan tentang tahapan kebijakan yang dikutip dari (Wicaksono, 2006: 76), yakni sebagai berikut:

a. Simon, dalam bukunya Administrative Behaviour (1947):

1. Intelegensi. Merupakan tahapan dimana analis dituntut untuk peka dan teliti dalam melihat situasi masalah yang ada. Dalam tahapan ini analis dituntut untuk mampu mengorganisasi informasi dan data tentang masalah yang menjadi fokus kajian. Oleh karenanya dibutuhkan pengetahuan yang memadai agar proses penyusunan dan organisasi data dan informasi menjadi lebih sistematis dan membantu analis dalam membuat keputusan.

2. Desain. Tahapan ini memperbincangkan tentang penyusunan rancangan kegiatan yang menunjang pencapaian tujuan kebijakan. Desain ini biasanya berupa kumpulan kegiatan berbeda yang saling berhubungan satu dengan lainnya yakni pencapaian tujuan atau dapat pula berbentuk kegiatan yang saling bertautan satu dengan lainnya (sekuensial).

3. Pilihan. Tahapan ini berfokus pada pengembangan alternatif pemecahan masalah, dimana analis sedapat mungkin menghasilkan aneka alternatif kebijakan yang diharapkan dapat memecahkan masalah. Lalu berdasarkan analisis cost-benefit memilih salah satu alternatif terbaik yang dianggap akurat dalam menyelesaikan fokus kajian masalah.

b. Lasswell, dalam bukunya Decision Making (1956):

1. Intelegensi, yaitu bagaimana informasi kebijakan yang menjadi perhatian dari pembuat kebijakan dikumpulkan dan diproses.

2. Promosi, yaitu bagaimana rekomendasi kebijakan yang telah disusun untuk memecahkan sebuah masalah ditawarkan kepada decision maker.

3. Preskripsi, yaitu bagaimana aturan umum dipakai atau disosialisasikan dan siapa yang akan menggunakan.

4. Invokasi (Invocation), yaitu siapa yang menentukan apakah perilaku yang ada bertentangan dengan peraturan atau hukum.

5. Aplikasi, yaitu bagaimana hukum atau peraturan sesungguhnya dilaksanakan atau diterapkan.

6. Penghentian (Termination), yaitu bagaimana peraturan atau hukum dihentikan atau diteruskan dengan bentuk yang diubah atau diperbaiki.

7. Penilaian (Appraisal), yaitu bagaimana peraturan dinilai atau dievaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan atau ketidakberhasilan aturan tersebut pada saat pelaksanaan.

c. R. Mack, dalam bukunya Planning and Uncertainty (1971):

1. Memutuskan untuk menetapkan: Pengenalan masalah. Pada tahap awal ini analis kebijakan menetapkan titik fokus masalah yang akan diselesaikan. 2. Merumuskan alternatif dan kriteria: setelah masalah ditemukan, maka

analis menentukan aneka alternatif yang dianggap relevan dan akurat untuk menyelesaikan masalah berdasarkan kriteria nilai sosial yang diyakini dan dijadikan prioritas utama oleh masyarakat.

3. Menentukan keputusan yang tepat: Selanjutnya, alternatif yang tersedia dianalisis kembali dan dibandingkan dengan alternatif yang lain berdasarkan analisis cost-benefit, sehingga dihasilkan suatu keputusan atau rekomendasi pemecahan masalah.

4. Akibat keputusan (Effectuation): Setelah rekomendasi keputusan dilaksanakan, maka selanjutnya adalah melihat bagaimana hasil pelaksanaan keputusan tersebut, apakah memang dampak yang dimunculkannya sesuai dengan harapan yakni menyelesaikan masalah atau malah sebaliknya.

5. Koreksi dan penambahan (Supplementation): Apabila dirasa perlu, maka dilakukan koreksi terhadap keputusan yang dianggap kurang tepat dan dilakukan penambahan terhadap keputusan tersebut untuk mereduksi kelemahan dari keputusan tersebut.

Dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya ingin dicapai (sebagai hasil prestasi dari pelaksanaan kebijakan), sehingga kebijakan yang ditetapkan sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hogwood dan Gunn dalam (Wahab, 1991: 47) telah membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failute) ini dalam dua kategori, yaitu: 1) Tidak terimplementasikan (Non implementation), dalam hal ini mengandung

arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi, akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.

2) Implementasi yang tidak berhasil (Unsuccessful implementation), dalam hal ini mengandung arti bahwa implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan. Kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan oleh faktor-faktor berikut: pelaksanaannya jelek, kebijakannnya sendiri memang jelek atau kebijakan itu memang bernasib jelek.

Dengan demikian suatu kebijakan boleh jadi tidak dapat diimplementasikan secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek, atau baik pembuat kebijakan maupun mereka yang ditugasi untuk melaksanakannya sama-sama sepakat bahwa kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi efektifitas implementasi.

1.5.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

Setiap perumusan suatu kebijakan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi, karena betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.

Dalam kamus Webster yang dikutip dari (Wahab, 1991: 50), merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai “Suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau dekrit Presiden”).

Pressman dan Wildavsky dalam (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 295), merumuskan implementasi sebagai “Proses interaksi diantara perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya”, dan “Serangkaian aktifitas langsung yang diarahkan untuk menjadikan program berjalan”, dimana aktifitas tersebut mencakup:

a. “Organisasi (Organization): pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan;

b. “Interpretasi (Interpretation); menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat untuk dapat diterima dan dilaksanakan;

c. “Penerapan (Application); ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program”.

Mazmanian dan Sabatier yang dikutip dari (Wahab, 1991: 51), mengatakan bahwa makna implementasi adalah “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Menurut Edwards III, yang dikutip dari (Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, 2006: 31) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah “Tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya”.

Sedangkan menurut Grindle dalam (Wahab, 1991: 45), implementsi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Lebih lanjut, menurut Grindle yang dikutip dalam (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 296) mengidentifikasi bahwa ada dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dari implementasi, yakni:

1. Isi kebijakan (Content of Policy), yang meliputi:

a. Kepentingan siapa saja yang terlibat (Interests affected). b. Macam-macam manfaat (Type of benefit).

c. Sejauhmana perubahan akan diwujudkan (Extent of change envisioned). d. Tempat pembuatan keputusan (Site of decision making).

e. Siapa yang menjadi implementor agensi (Program implementers). f. Sumber daya yang disediakan (Resources committed).

2. Konteks dari implementasi (Context of Implementation), yang meliputi:

a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (Power, interest and strategy of actors involved).

b. Karakteristik lembaga dan rezim (Institutions and regime characteristics). c. Sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif (Compliace and

responsiveness).

Untuk lebih jelasnya berikut diagram implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle.

Tujuan-tujuan kebijakan

Tujuan tercapai

Kegiatan-kegiatan Hasil akhir: implementasi dipe-

ngaruhi oleh: a. Dampaknya terhadap a. Konten kebijakan: masyarakat, Program- 1. Pihak yang ke- perseorangan program aksi pentingannya dan kelompok- dan proyek- dipengaruhi kelompok proyek ter- 2. Jenis manfaat b. Tingkat peru- tentu di- yang bisa di- bahan dan rancang dan peroleh penerimaannya. dibiayai. 3. Jangkauan peru-

bahan yang di harapkan 4. Letak pengam- bilan keputusan 5. Pelaksana-pelak Program- sana program program disampai- 6. Sumber-sumber kan sesuai yang dapat di- dengan rancangan. sediakan.

b. Konteks implementasi: 1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi-strategi dari para aktor yang terlibat 2. Ciri-ciri kelembagaan dan regim

3. Konsistensi dan daya tanggap

PENGUKURAN KEBERHASILAN

Gambar: Diagram implementasi kebijakan oleh Grindle yang dikutip dalam (Wahab, 1990: 126).

Dari apa yang disampaikan oleh Grindle, dapat dinyatakan bahwa keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalammya. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan oleh Grindle tersebut, maka dengan demikian jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Inilah syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan, tanpa adanya syarat-syarat tersebut maka kebijakan yang ditetapkan hanya dianggap sekedar retorika politik atau selogan politik.

Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan. Dimana suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan, karena implementasi kebijakan adalah salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan didalam memecahkan persoalan-persoalan.

1.5.1.4 Model-Model Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.

Sekalipun banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.

Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli yang dikutip dalam (Wahab, 1991: 57), yakni:

A. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn. Model mereka ini kerapkali oleh para ahli disebut sebagai “The top down

approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan

kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik. Adapula kemungkinan hambatan-hambatan itu bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam ini cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para administrator guna mengatasinya.

Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.

2. Untuk pelaksana program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan.

4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya. Penyebab dari kesemua ini, kalau mau dicari tidak lain karena kebijakan itu telah disadari oleh tingkat pemahaman lain karena tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

Pada kebanyakan program Pemerintah, sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai hubungan kausalitasnya hanya sekedar jika X, maka terjadi Y, dan jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal-balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu melainkan juga kesepakatan terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelasanaan program dapat dimonitor.

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita sangsikan lagi. Disamping itu juga diperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat dihindarkan keharusan adanya ruangan yang cukup bagi kebebasan bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal.

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Pernyataan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapa pun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka ia harus dapat diidentifikasi oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh sistem pengendalian yang handal.

B. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.

Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja. kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.

Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? (masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi? (hal ini menyangkut masalah kepatuhan). Atas dasar pandangan seperti ini Meter dan Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut:

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan.

b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.

Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (Independent variable) yang saling berkaitan.

Variabel-variabel bebas tersebut adalah: 1. Ukuran dan tujuan kebijakan.

2. Sumber-sumber kebijakan.

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. 5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

Variabel-variabel kebijakan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.

C. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier, yang disebut kerangka analisis implementasi.

Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Dokumen terkait