IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBINAAN
DINAS SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN
DI KOTA MEDAN
(STUDI PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun Oleh
MASDONI HUTASUHUT
(060921003)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM EXTENSION
MEDAN
ABSTRAK
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBINAAN DINAS SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN (STUDI PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA”)
Nama : Masdoni Hutasuhut
NIM : 060921003
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Pembimbing : Hatta Ridho, S.Sos, M.SP
Peningkatan jumlah anak jalanan di Kota Medan tidak disangka menjadi masalah besar bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan masyarakat pengguna jalan. Faktor utama meningkatnya keberadaan anak jalanan di Kota Medan ini lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi keluarga yang kurang sehingga keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan si anak, baik itu untuk kebutuhan hidup maupun kebutuhan biaya untuk sekolah, yang pada akhirnya dengan terpaksa si anak disuruh untuk bekerja ataupun atas inisiatif anak sendiri, karena melihat beban keluarganya yang sangat berat.
Melihat ketidakberdayaan keluarga tersebut, sudah selayaknya Pemerintah Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah ini atau paling tidak meminimalisasi keberadaan mereka dijalanan. Kebijakan yang dimaksud adalah melalui program pembinaan bagi anak jalanan, agar mereka mendapatkan hak-haknya kembali sehingga tidak akan berada di jalanan lagi untuk bekerja, karena mereka masih butuh pendidikan, waktu luang untuk bermain, berkreasi dan kasih sayang. Untuk itulah penulis ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan apakah telah terealisasi dengan baik atau tidak.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengungkapkan lebih mendalam, bagaimana implementasi program pembinaan dari Dinas Sosial maupun LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang menangani anak jalanan ini. Sedangkan data dianalisis secara deskriptif yang dikumpulkan melalui hasil wawancara terhadap informan kunci dan informan biasa secara tidak terstruktur atau terbuka.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Masdoni Hutasuhut
NIM : 060921003
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Implementasi Kebijakan Program Pembinaan
Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota
Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara)
Medan,
Pembimbing Ketua Departemen
Ilmu Administrasi Negara
Hatta Ridho, S.Sos, MSP Dr. Marlon Sihombing, MA
NIP. 132 316 817 NIP. 131 568 391
Dekan
FISIP USU
Prof. Dr. M Arif Nasution, MA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Departemen Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Nama : Masdoni Hutasuhut
NIM : 060921003
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Implementasi Kebijakan Program Pembinaan
Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota
Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara)
Dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Panitia Penguji
Ketua Penguji:
Anggota I:
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Syukur alhamdulillah, penulis ucapkan kepada Allah swt, Tuhan semesta
alam atas limpahan rahmat dan karunia-NYa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah keharibaan Nabi
Muhammad saw, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dimana penulis mengambil
judul “Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap
Anak Jalanan di Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera
Utara).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari
semua pihak, mustahil skripsi ini dapat selesai, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu
dengan segenap hati, baik moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menyampaikan
penghargaan yang tulus dan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak
yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
1. Bapak Prof. Dr. M Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Marlon Sihombing, MA selaku Ketua Departemen Ilmu
3. Bapak Hatta Ridho, S.Sos, MSP selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing serta mengarahkan
penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak
memberikan Ilmu Pengetahuan yang berguna dan tidak ternilai harganya
selama penulis menjalani pendiidkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara, terutama Ibu Mega dan Ibu Emi yang telah membantu penulis dalam
segala urusan administrasi selama menjalani pendidikan.
6. Ibu Ir. Ritma Lisda Lubis, M.Hum dari Badan Penelitian Pengembangan
Provinsi Sumatera Utara yang memberikan rekomendasi untuk melakukan
penelitian.
7. Bapak Drs. Nabari Ginting, M.Si selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi
Sumatera Utara yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian di Dinas Sosial tersebut.
8. Bapak Mi’raj Harahap, S.Ag selaku Kasubbag Umum Dinas Sosial Provinsi
Sumatera Utara yang telah memberikan data-data yang penulis butuhkan
untuk penelitian ini.
9. Bapak Drs. H. Umur Ginting selaku Kasi Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban
Narkotika Dinas Sosial Sumatera Utara yang telah meluangkan waktunya
untuk membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang penulis
10.Bapak Zulfikar, Bapak Muammar dan Ibu Linda dari Yayasan Ekonom serta
anak-anak jalanan yang bersedia dengan senang hati untuk diwawancarai,
mudah-mudahan dengan adanya perhatian dari Pemerintah dan segenap
masyarakat, kalian tidak akan menjadi anak jalanan lagi dan semoga harapan
serta cita-cita yang ingin kalian raih setelah adanya pembinaan ini dapat
terwujud, amin…
11.Bapak Syamsul dari Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) yang
telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan juga
masukan-masukannya.
12.Terutama untuk kedua orang tua; Aya’ Bahar Hutasuhut dan Mama’ Nurasiah
Hutagalung, yang sa…..ngat banyak berkorban untuk kehidupan dan masa
depan penulis, semoga Allah swt membalas segala pengorbanan yang telah
kalian berikan selama ini dengan pahala yang berlipat ganda dan kelak
mengumpulkan kita sekeluarga di Surga-NYa, amin… ya Allah.
13.Abang Choirul Hutasuhut, Adik Sabaruddin Hutasuhut, Mauluddin Hutasuhut,
Sallimsah Hutasuhut dan Hanisah Hutasuhut, terima kasih atas kasih sayang
yang telah kalian berikan selama ini, mudah-mudahan kita dapat berkumpul
bersama lagi dan membahagiakan kedua orang tua kita tercinta.
14.Kak Hellina Qamariah yang telah penulis anggap sebagai kakak terdekat
penulis, terima kasih atas segala motivasi dan nasehat-nasehatnya yang sangat
berarti bagi kehidupan penulis, semoga jalinan hubungan pertemanan yang
15.Teman-teman dekat penulis; Melly, Lia, Mutia, Wahid, Pida, Teti dan
teman-teman satu kos penulis; Parida, Kak Irma, Indah, Afni, dll, teman-teman-teman-teman
Stambuk 2003 D-III Perhotelan, serta teman-teman Stambuk 2006 Ilmu
Administrasi Negara S-1 Ekstension yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu persatu, walaupun kita tidak duduk dan bersenda gurau
bersama-sama lagi, tetapi semoga jalinan tali silaturrahim terus berjalan.
Akhir kata, semoga Allah swt dan Nabi Muhammad saw, meridhoi Ilmu
yang penulis peroleh sehingga bermanfaat untuk seluruh ummat, amin….
Medan, Mei 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
ABSTRAK ... viii
BAB II METODE PENELITIAN ... 46
2.1 Bentuk Penelitian... 46
2.2 Lokasi Penelitian ... 46
2.3 Informan Penelitian ... 46
2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 48
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 50
BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 73
4.1 Isi Kebijakan ... 73
4.1.1 Kepentingan Siapa Saja yang Terlibat ... 74
4.1.2 Macam-Macam Manfaat... 76
4.1.3 Sejauh Mana Perubahan Akan Diwujudkan ... 79
4.1.4 Siapa yang Menjadi Implementor Agensi ... 81
4.1.5 Sumber Daya yang Disediakan ... 82
4.2 Konteks dari Implementasi ... 84
4.2.1 Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Para Aktor yang Terlibat ... 84
4.2.2 Sesuai Dengan Kaidah dan Tingkat Rensponsif ... 86
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Judul Skripsi.
2. Bukti Hadir di Seminar Proposal Penelitian Skripsi.
3. Penunjukan Dosen Pembimbing.
4. Undangan Seminar Proposal Usulan Penelitian Skripsi.
5. Jadwal Seminar Proposal Usulan Penelitian Skripsi.
6. Berita Acara Seminar Rencana Usulan Penelitian Skripsi.
7. Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal Rencana Usulan Penelitian Skripsi.
8. Surat Rekomendasi/Izin Penelitian dari FISIP USU.
9. Surat Rekomendasi/Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Provinsi Sumatera Utara.
ABSTRAK
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBINAAN DINAS SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN (STUDI PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA”)
Nama : Masdoni Hutasuhut
NIM : 060921003
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Pembimbing : Hatta Ridho, S.Sos, M.SP
Peningkatan jumlah anak jalanan di Kota Medan tidak disangka menjadi masalah besar bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan masyarakat pengguna jalan. Faktor utama meningkatnya keberadaan anak jalanan di Kota Medan ini lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi keluarga yang kurang sehingga keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan si anak, baik itu untuk kebutuhan hidup maupun kebutuhan biaya untuk sekolah, yang pada akhirnya dengan terpaksa si anak disuruh untuk bekerja ataupun atas inisiatif anak sendiri, karena melihat beban keluarganya yang sangat berat.
Melihat ketidakberdayaan keluarga tersebut, sudah selayaknya Pemerintah Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah ini atau paling tidak meminimalisasi keberadaan mereka dijalanan. Kebijakan yang dimaksud adalah melalui program pembinaan bagi anak jalanan, agar mereka mendapatkan hak-haknya kembali sehingga tidak akan berada di jalanan lagi untuk bekerja, karena mereka masih butuh pendidikan, waktu luang untuk bermain, berkreasi dan kasih sayang. Untuk itulah penulis ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan apakah telah terealisasi dengan baik atau tidak.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengungkapkan lebih mendalam, bagaimana implementasi program pembinaan dari Dinas Sosial maupun LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang menangani anak jalanan ini. Sedangkan data dianalisis secara deskriptif yang dikumpulkan melalui hasil wawancara terhadap informan kunci dan informan biasa secara tidak terstruktur atau terbuka.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai
dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan menaikkan Bahan
Bakar Minyak (BBM) awal Maret 2005, mengakibatkan terjadinya peningkatan
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kelompok ini disebut
juga oleh Suyanto sebagai “masa rentan, kelompok marjinal” atau masyarakat
miskin. Saat ini ada 37,4% dari total penduduk yang mencapai 227 juta jiwa lebih
berada di bawah garis kemiskinan. (Prosiding Seminar Program Pengembangan
Diri 2006 Bidang Ilmu Sosiologi, 2007: 180).
Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. KPAI
(Komisi Perlindungan Anak Indonesia) memperkirakan, pada Tahun 2006 lalu
terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di
Jakarta. Sementara pada Tahun 2007 di Sumatera Utara, Yayasan KKSP
(Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) memperkirakan jumlah anak jalanan di
seluruh 25 Kabupaten dan Kota sekitar 5000 anak jalanan.
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan
sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan
pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak
memiliki masa depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi
“masalah” bagi banyak pihak; keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian
terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar, padahal mereka
adalah saudara kita, mereka juga adalah amanah Allah yang harus dilindungi,
dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang
bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Dalam pandangan Soetarso (2004) yang dikutip dari (Huraerah, 2006: 78)
bahwa dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan
adalah:
1. Orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.
2. Pola pendidikan dan pengasuhan yang salah terhadap anak oleh orang tua
sehingga menyebabkan anak lari ke jalanan.
3. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang
sekolah.
4. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah
meningkat.
5. Timbul persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga terpuruk
melakukan pekerjaan berisiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi
6. Anak lebih lama berada di jalanan sehingga mengundang masalah lain.
7. Anak jalanan menjadi korban pemerasan dan eksploitasi seksual, terutama
terhadap anak jalanan perempuan.
Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak
terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Berdasarkan pra riset yang penulis
peroleh dari Dinas Sosial yakni, Bapak Umur Ginting selaku bagian penanganan
anak jalanan mengatakan bahwa konkritnya di Kota Medan ada tiga faktor umum
yang menjadi persoalan mengapa anak turun ke jalanan, yaitu:
1. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinan akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan.
2. Ketidakharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan si anak tidak betah
tinggal di rumah, dan
3. Akibat pengaruh lingkungan komunitas anak yang menyebabkan anak
terjerumus dalam kehidupan di jalanan.
Ternyata dari ketiga faktor tersebut, bahwa faktor kondisi ekonomi
keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinanlah yang menjadi masalah utama
seringkali orang tua memaksa anaknya untuk bekerja dan juga atas inisiatif si
anak tersebut mencari nafkah untuk membantu orang tuanya atau hidup mandiri di
jalanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan anak jalanan berikut yakni Rianto,
berusia 16 tahun yang merupakan salah seorang anak yang dibina oleh Yayasan
“Saya turun ke jalanan untuk bekerja, karena saya ingin membantu
tambahan pendapatan orang tua. Pekerjaan Bapak saya pedagang asongan, saya
ada enam bersaudara dan itu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami, jadi
saya harus membantu Bapak untuk meringankan beban mereka”.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Yayasan KKSP (Kelompok
Kerja Sosial Perkotaan), pusat-pusat kegiatan anak jalanan di Kota Medan berada
pada sejumlah titik. Diantaranya, simpang Ramayana jalan Brigjen Katamso, jalan
Letda Sudjono, simpang jalan A.H Nasution, kawasan Titi Kuning, Café Harapan
di seputar jalan Imam Bonjol Medan. Kemudian di Terminal Terpadu Amplas di
jalan Panglima Denai, di seputar lapangan jalan Gajah Mada, simpang Sei
Kambing di jalan Kapten Muslim, simpang jalan Guru Patimpus, Pasar Pringgan,
Pasar Petisah dan Pusat Pasar.
Dari keseluruhan tempat tersebut, pendataan sementara Tahun 2007 yang
dilakukan oleh Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) keseluruhan
anak jalanan yang kerap beraktifitas di kawasan tersebut berjumlah 481 orang.
Namun, data ini selalu berubah-ubah, ada anak yang sudah mendapatkan
pekerjaan tetap atau pindah ke daerah lain, namun selalu muncul wajah baru.
Aktifitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya
sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, pembersih kaca mobil,
Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau umum
seperti di perempatan jalan (traffic light), pusat-pusat pasar, stasiun/terminal bus
dan pusat perbelanjaan. Menurut (Huraerah, 2006: 79), tidak jarang anak jalanan
seringkali menjadi objek kekerasan. Anak-anak jalanan ditantang oleh risiko yang
mau tidak mau harus dihadapi saat mereka berada di jalanan. Dengan mengacu
pada International Conference on Street Children yang diselenggarakan di
Yogyakarta tanggal 10-11 September 1996, risiko-risiko yang dapat diidentifikasi
adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiyaan, eksploitasi seksual,
penangkapan dan perampasan modal kerja); kelangsungan hidup terancam,
kurang/salah gizi; minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan
kriminal dan seks bebas); ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu
lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial.
Kehadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi
mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang membuat mereka bisa
bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, di sisi lain
mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka
acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor,
mengganggu ketertiban di jalanan misalnya; memaksa pengemudi kendaraan
bermotor untuk memberi sejumlah uang (walaupun tidak seberapa), merusak body
Mengapa sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara-cara yang
secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima? Menurut Farid dalam
(Sularto, 2000: 54), tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya
berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak
kasus, anak jalanan sering hidup berkembang di bawah tekanan dan stigma atau
dicap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari stigma sosial keterasingan mereka dalam masyarakat.
Tidak ada yang berpihak kepada mereka dan justru perilaku mereka sebenarnya
mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka sebagai kelompok
masyarakat yang terpinggirkan.
Menurut UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 34 ayat (1) “Anak
terlantar itu dipelihara oleh Negara”, artinya Pemerintah mempunyai tanggung
jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak
jalanan. Beberapa perangkat hukum dan kebijakan telah dikeluarkan Pemerintah
sebagai upaya untuk menangani permasalahan anak jalanan tersebut. Di tingkat
Provinsi, memang Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara belum ada
mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Penetapan Program Pembinaan Anak
Jalanan, namun mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang
Sementara di tingkat Nasional, telah ada UU No. 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. UU No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
(RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Keputusan
Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of
the Child (Konvensi tentang hak Anak). Mereka perlu mendapatkan
hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan
kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan
pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan
kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya
(education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special
protection).
Akan tetapi, instrumen hukum dan kebijakan tersebut belum
terimplementasi dengan baik, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti
yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya belum
sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan, orang tua memang merupakan pihak
utama untuk memberikan hak-hak kepada anaknya, tetapi karena kondisi ekonomi
keluarga yang tidak mendukung maka peran Pemerintahlah khususnya melalui
Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Sosial harus
mengadakan program pembinaan anak jalanan, dimana dengan program yang
realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak jalanan.
Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang dilakukan
oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata, dan yang paling diharapkan
oleh anak jalanan misalnya dengan terciptanya lapangan pekerjaan, bila memang
pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu
membahayakan keselamatan jiwanya sehingga mereka tidak turun ke jalanan
untuk bekerja, serta masih mendapat kesempatan untuk sekolah dan bermain maka
tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak akan terdidik melalui
pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalanan agar mereka
terampil dan mandiri dalam menuju kedewasaan nantinya, hal terpenting yang
juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan terhadap keluarga
anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang
mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja membantu orang
tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus dilakukan oleh Dinas
Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang menciptakan
kemandirian, sehingga akhirnya dengan berbagai program pembinaan yang
diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, penulis ingin melihat
bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap
anak jalanan di Kota Medan.
1.2 Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
“ Bagaimana Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap
Anak Jalanan di Kota Medan”.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menggambarkan bagaimana implementasi kebijakan program
pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan.
2. Untuk menggambarkan kendala-kendala atau hambatan implementasi
kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota
1.4 Manfaat Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan informasi tentang hal yang
diteliti serta mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui penulisan
karya ilmiah ini.
2. Secara praktis, dapat memberikan masukan dan informasi yang bermanfaat
terutama bagi Dinas Sosial dan bagi instansi terkait, LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) serta masyarakat secara umum untuk lebih memperhatikan
keberadaan anak jalanan ini, karena bagaimanapun mereka adalah tanggung
jawab Pemerintah dan juga tanggung jawab kita bersama.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Implementasi Kebijakan
1.5.1.1 Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam oleh berbagai pakar.
Seperti Friedrick dalam (Winarno, 2002: 16) mendefenisikan kebijakan sebagai
“Suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan
dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu
Sedangkan menurut Anderson yang dikutip dari (Nurcholis, 2007: 263)
memandang kebijakan sebagai “Suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang
dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu
masalah”. Selanjutnya, Anderson mengklasifikasikan kebijakan (policy) menjadi
dua: subtantif dan prosedural. Kebijakan subtantif yaitu apa yang harus dikerjakan
oleh Pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana
kebijakan tersebut diselenggarakan.
Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dikutip dalam (Wahab,
1991: 12), kebijakan itu diartikan sebagai “Pedoman untuk bertindak”. Pedoman
itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau
sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif,
publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu
deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu,
suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana.
Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya dalam (Islamy,
2001: 17), yang memberikan defenisi kebijakan sebagai “Suatu taktik dan strategi
yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”, oleh karena itu suatu tujuan
kebijakan memuat tiga elemen yaitu:
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata
Selanjutnya Mustopadidjaja dalam (Nurcholis, 2007: 263), menjelaskan
bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan “Tindakan atau
kegiatan Pemerintah serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan-peraturan”.
Dari beberapa pengertian yang diuraikan oleh berbagai pakar tersebut,
dapatlah disimpulkan bahwa kebijakan merupakan “Segala tindakan atau kegiatan
yang mengarah pada tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan berbagai prosedur
dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk memecahkan berbagai masalah”.
1.5.1.2Tahapan Kebijakan
Pendekatan tahapan kebijakan merupakan siklus yang menjadi dasar untuk
menganalisis proses kebijakan. Berikut ini adalah deskripsi dari berbagai pakar
yang memperkenalkan tentang tahapan kebijakan yang dikutip dari (Wicaksono,
2006: 76), yakni sebagai berikut:
a. Simon, dalam bukunya Administrative Behaviour (1947):
1. Intelegensi. Merupakan tahapan dimana analis dituntut untuk peka dan
teliti dalam melihat situasi masalah yang ada. Dalam tahapan ini analis
dituntut untuk mampu mengorganisasi informasi dan data tentang masalah
yang menjadi fokus kajian. Oleh karenanya dibutuhkan pengetahuan yang
memadai agar proses penyusunan dan organisasi data dan informasi
2. Desain. Tahapan ini memperbincangkan tentang penyusunan rancangan
kegiatan yang menunjang pencapaian tujuan kebijakan. Desain ini
biasanya berupa kumpulan kegiatan berbeda yang saling berhubungan satu
dengan lainnya yakni pencapaian tujuan atau dapat pula berbentuk
kegiatan yang saling bertautan satu dengan lainnya (sekuensial).
3. Pilihan. Tahapan ini berfokus pada pengembangan alternatif pemecahan
masalah, dimana analis sedapat mungkin menghasilkan aneka alternatif
kebijakan yang diharapkan dapat memecahkan masalah. Lalu berdasarkan
analisis cost-benefit memilih salah satu alternatif terbaik yang dianggap
akurat dalam menyelesaikan fokus kajian masalah.
b. Lasswell, dalam bukunya Decision Making (1956):
1. Intelegensi, yaitu bagaimana informasi kebijakan yang menjadi perhatian
dari pembuat kebijakan dikumpulkan dan diproses.
2. Promosi, yaitu bagaimana rekomendasi kebijakan yang telah disusun
untuk memecahkan sebuah masalah ditawarkan kepada decision maker.
3. Preskripsi, yaitu bagaimana aturan umum dipakai atau disosialisasikan dan
siapa yang akan menggunakan.
4. Invokasi (Invocation), yaitu siapa yang menentukan apakah perilaku yang
ada bertentangan dengan peraturan atau hukum.
5. Aplikasi, yaitu bagaimana hukum atau peraturan sesungguhnya
dilaksanakan atau diterapkan.
6. Penghentian (Termination), yaitu bagaimana peraturan atau hukum
7. Penilaian (Appraisal), yaitu bagaimana peraturan dinilai atau dievaluasi
untuk mengukur tingkat keberhasilan atau ketidakberhasilan aturan
tersebut pada saat pelaksanaan.
c. R. Mack, dalam bukunya Planning and Uncertainty (1971):
1. Memutuskan untuk menetapkan: Pengenalan masalah. Pada tahap awal ini
analis kebijakan menetapkan titik fokus masalah yang akan diselesaikan.
2. Merumuskan alternatif dan kriteria: setelah masalah ditemukan, maka
analis menentukan aneka alternatif yang dianggap relevan dan akurat
untuk menyelesaikan masalah berdasarkan kriteria nilai sosial yang
diyakini dan dijadikan prioritas utama oleh masyarakat.
3. Menentukan keputusan yang tepat: Selanjutnya, alternatif yang tersedia
dianalisis kembali dan dibandingkan dengan alternatif yang lain
berdasarkan analisis cost-benefit, sehingga dihasilkan suatu keputusan atau
rekomendasi pemecahan masalah.
4. Akibat keputusan (Effectuation): Setelah rekomendasi keputusan
dilaksanakan, maka selanjutnya adalah melihat bagaimana hasil
pelaksanaan keputusan tersebut, apakah memang dampak yang
dimunculkannya sesuai dengan harapan yakni menyelesaikan masalah atau
malah sebaliknya.
5. Koreksi dan penambahan (Supplementation): Apabila dirasa perlu, maka
dilakukan koreksi terhadap keputusan yang dianggap kurang tepat dan
dilakukan penambahan terhadap keputusan tersebut untuk mereduksi
Dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya
perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan
dengan apa yang senyatanya ingin dicapai (sebagai hasil prestasi dari pelaksanaan
kebijakan), sehingga kebijakan yang ditetapkan sebenarnya mengandung resiko
untuk gagal. Hogwood dan Gunn dalam (Wahab, 1991: 47) telah membagi
pengertian kegagalan kebijakan (policy failute) ini dalam dua kategori, yaitu:
1) Tidak terimplementasikan (Non implementation), dalam hal ini mengandung
arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana,
mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau
bekerjasama atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah
hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau
kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya,
sehingga betapapun gigih usaha mereka hambatan-hambatan yang ada tidak
sanggup mereka tanggulangi, akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk
dipenuhi.
2) Implementasi yang tidak berhasil (Unsuccessful implementation), dalam hal
ini mengandung arti bahwa implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi
manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan dengan rencana, namun
mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan. Kebijakan
tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang
dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu
disebabkan oleh faktor-faktor berikut: pelaksanaannya jelek, kebijakannnya
Dengan demikian suatu kebijakan boleh jadi tidak dapat
diimplementasikan secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan
sebagai pelaksanaan yang jelek, atau baik pembuat kebijakan maupun mereka
yang ditugasi untuk melaksanakannya sama-sama sepakat bahwa kondisi
eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi efektifitas implementasi.
1.5.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan
Setiap perumusan suatu kebijakan apakah itu menyangkut program
maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau
implementasi, karena betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa
diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.
Dalam kamus Webster yang dikutip dari (Wahab, 1991: 50), merumuskan
secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the
means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to
give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Kalau
pandangan ini kita ikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai
“Suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif
Pressman dan Wildavsky dalam (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 295),
merumuskan implementasi sebagai “Proses interaksi diantara perangkat tujuan
dan tindakan yang mampu untuk meraihnya”, dan “Serangkaian aktifitas langsung
yang diarahkan untuk menjadikan program berjalan”, dimana aktifitas tersebut
mencakup:
a. “Organisasi (Organization): pembentukan atau penataan kembali sumber
daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan;
b. “Interpretasi (Interpretation); menafsirkan agar program menjadi rencana dan
pengarahan yang tepat untuk dapat diterima dan dilaksanakan;
c. “Penerapan (Application); ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau
lainnya yang dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program”.
Mazmanian dan Sabatier yang dikutip dari (Wahab, 1991: 51),
mengatakan bahwa makna implementasi adalah “Memahami apa yang senyatanya
terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan
fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan
kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada
masyarakat atau kejadian-kejadian.
Menurut Edwards III, yang dikutip dari (Jurnal Analisis Administrasi dan
Kebijakan, 2006: 31) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah “Tahap
pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan
Sedangkan menurut Grindle dalam (Wahab, 1991: 45), implementsi
kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah
konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh
sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan
aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji dengan tegas
mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan
mungkin jauh lebih penting dari pada sekedar berupa impian atau rencana bagus
yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
Lebih lanjut, menurut Grindle yang dikutip dalam (Syaukani, Gaffar dan
Rasyid, 2002: 296) mengidentifikasi bahwa ada dua hal yang sangat menentukan
keberhasilan dari implementasi, yakni:
1. Isi kebijakan (Content of Policy), yang meliputi:
a. Kepentingan siapa saja yang terlibat (Interests affected).
b. Macam-macam manfaat (Type of benefit).
c. Sejauhmana perubahan akan diwujudkan (Extent of change envisioned).
d. Tempat pembuatan keputusan (Site of decision making).
e. Siapa yang menjadi implementor agensi (Program implementers).
2. Konteks dari implementasi (Context of Implementation), yang meliputi:
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (Power,
interest and strategy of actors involved).
b. Karakteristik lembaga dan rezim (Institutions and regime characteristics).
c. Sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif (Compliace and
responsiveness).
Untuk lebih jelasnya berikut diagram implementasi kebijakan yang
Tujuan-tujuan kebijakan
Tujuan tercapai
Kegiatan-kegiatan Hasil akhir: implementasi dipe-
Gambar: Diagram implementasi kebijakan oleh Grindle yang dikutip dalam
Dari apa yang disampaikan oleh Grindle, dapat dinyatakan bahwa
keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal,
terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalammya.
Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan oleh Grindle tersebut, maka
dengan demikian jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai
apabila tujuan-tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci,
program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan
untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Inilah syarat-syarat
pokok bagi implementasi kebijakan, tanpa adanya syarat-syarat tersebut maka
kebijakan yang ditetapkan hanya dianggap sekedar retorika politik atau selogan
politik.
Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial
dalam proses kebijakan. Dimana suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan, karena
implementasi kebijakan adalah salah satu variabel penting yang berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu kebijakan didalam memecahkan persoalan-persoalan.
1.5.1.4 Model-Model Implementasi Kebijakan
Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program
menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan
tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu
berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi
Sekalipun banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang
implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa
model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi
berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.
Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli
yang dikutip dalam (Wahab, 1991: 57), yakni:
A. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn. Model mereka ini kerapkali oleh para ahli disebut sebagai “The top down
approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali
berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang
di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan
tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik. Adapula kemungkinan
hambatan-hambatan itu bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak
disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala
semacam ini cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa
Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator
ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu
dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.
2. Untuk pelaksana program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai.
Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam
pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat
eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis
tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang
biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu
pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan
lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian
tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya,
sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin
akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber
yang tidak memadai.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, dalam artian
bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua
sumber-sumber yang diperlukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses
implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar
4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal.
Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan
lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan
karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya. Penyebab dari kesemua
ini, kalau mau dicari tidak lain karena kebijakan itu telah disadari oleh tingkat
pemahaman lain karena tidak memadai mengenai persoalan yang akan
ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya atau
peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat
permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang
itu.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya.
Pada kebanyakan program Pemerintah, sesungguhnya teori yang
mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X
dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai hubungan kausalitasnya hanya sekedar
jika X, maka terjadi Y, dan jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam
hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa
kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat
panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang
mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal-balik diantara mata rantai
6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya
terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya,
tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain atau kalaupun dalam
pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka
hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat
yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika
implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian
tahapan dan jalinan hubungan tertentu melainkan juga kesepakatan terhadap setiap
tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi
keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan
kemungkinan akan semakin berkurang.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh
mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan
yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi.
Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi
apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak
yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta
mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelasanaan program dapat
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah
menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan
untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas
yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran
untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita
sangsikan lagi. Disamping itu juga diperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat
dihindarkan keharusan adanya ruangan yang cukup bagi kebebasan bertindak dan
melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara
ketat.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi
yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program.
Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang
sempurna barangkali diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal.
10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Pernyataan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas
penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapa pun dalam
sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu
maka ia harus dapat diidentifikasi oleh kecanggihan sistem informasinya dan
B. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.
Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa
perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat
kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu
pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
prestasi kerja. kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan,
kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam
prosedur-prosedur implementasi.
Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang
perlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi
dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauhkah tingkat
efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? (masalah
ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam
organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterikatan
masing-masing orang dalam organisasi? (hal ini menyangkut masalah kepatuhan). Atas
dasar pandangan seperti ini Meter dan Horn kemudian berusaha untuk membuat
tipologi kebijakan menurut:
a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan.
b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak
Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan
dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa
implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki
relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang
mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.
Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang
menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah
variabel bebas (Independent variable) yang saling berkaitan.
Variabel-variabel bebas tersebut adalah:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan.
2. Sumber-sumber kebijakan.
3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana.
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
5. Sikap para pelaksana, dan
6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Variabel-variabel kebijakan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang
telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada
badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedangkan
komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya
mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para
pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka
C. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier,
yang disebut kerangka analisis implementasi.
Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi
kebijakan ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi
tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.
Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori besar, yaitu:
1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.
2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya, dan
3. Pengaruh langsung berbagai variabel-variabel politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.
1.5.2 Program Pembinaan
1.5.2.1 Pengertian Program Pembinaan
Dalam pandangan (Wiriaatmadja, 1973: 68), mengemukakan bahwa
program diartikan sebagai “Suatu pernyataan yang dikeluarkan untuk
menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai suatu kegiatan”. Dan dalam
pernyataan itu akan terdapat:
a. Situasi dimana orang-orang itu berada.
c. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai bersangkutan dengan masalah-masalah
tersebut.
d. Rekomendasi cara-cara pencapaian tujuan-tujuan tersebut secara jangka
panjang (beberapa tahun) maupun secara jangka pendek (1 tahun atau kurang).
Jadi dalam suatu program itu tidak saja diuraikan tentang kegiatan apa,
tetapi juga mengenai mengapa dilakukan kegiatan tersebut.
Sedangkan menurut Stoner dalam (Ketaren, 1992: 114), program secara
harfiah diartikan sebagai “Rencana aktifitas atau rencana kegiatan dalam suatu
wadah tertentu”. Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh Stoner tersebut
maka program meliputi seperangkat kegiatan yang relatif luas dimana program ini
memperlihatkan:
1. Langkah utama diperlukan untuk mencapai tujuan.
2. Unit atau anggota yang bertanggung jawab untuk setiap langkah.
3. Ukuran atau pengaturan dari setiap langkah.
Penyusunan program itu tidak semudah yang diperkirakan banyak orang,
karena memerlukan waktu, uang dan pemikiran. Tidak saja dari orang-orang yang
membuatnya tetapi juga dari pihak-pihak yang akan terlibat dalam
pelaksanaannya kelak dikemudian hari. Lebih lanjut, (Wiriaatmadja, 1973: 69)
mengatakan bahwa dalam penyusunan program perlu diperhatikan azas-azas
seperti di bawah ini:
a. Disusun berdasarkan analisa fakta-fakta situasi.
c. Ditentukan tujuan-tujuan dan cara-cara pemecahannya yang akan memberikan
kepuasan kepada semua pihak.
d. Mempunyai kekekalan tetapi luwes (fleksibel).
e. Mempunyai keseimbangan-keseimbangan untuk keseluruhan masyarakat
tetapi dengan mengutamakan yang terpenting.
f. Ada rencana kerja yang jelas dan tetap.
g. Merupakan suatu proses yang terus-menerus.
h. Merupakan suatu proses pengajaran dan pembimbingan.
i. Merupakan suatu proses koordinasi.
j. Memberikan kesempatan untuk penilaian (evaluasi) hasil-hasil pekerjaan.
Menurut (Mangunhardjana, 1986: 37), pembinaan adalah ”Menekankan
pada pengembangan manusia dari segi praktis, yaitu pengembangan sikap,
kemampuan dan kecakapan”. Lebih lanjut Mangunhardjana mengatakan bahwa
dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu murni,
tetapi ilmu yang dipraktekkan, tidak dibantu untuk mendapatkan pengetahuan
demi pengetahuan tetapi pengetahuan untuk dijalankan.
Dalam pembinaan, orang terutama dilatih untuk mengenal kemampuan
dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang
hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah
mendapatkan sikap dan kecakapan. Dengan demikian pembinaan merupakan
proses belajar untuk melepaskan hal-hal yang dianggap sudah tidak berguna dan
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembinaan
berfungsi untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan, merubah dan
mengembangkan sikap, memberikan latihan, mengembangkan kecakapan dan
keterampilan. Oleh sebab itu, menurut (Mangunhardjana, 1986: 37) apabila
pembinaan berjalan dengan baik maka seseorang yang telah mengikuti pembinaan
akan memiliki kemampuan untuk:
a. Melihat diri dan pelaksanaan hidup serta kerjanya.
b. Menganalisa situasi kehidupan dan kerjanya dari segi positif dan negatif.
c. Menemukan masalah-masalah dalam kehidupan serta berusaha mengatasinya.
d. Menemukan hal-hal yang sebaliknya diubah atau diperbaiki.
e. Merenungkan sasaran yang ingin dicapai dalam hidup setelah mengikuti
pembinaan.
Dalam (Thoha, 1993: 7), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
pembinaan adalah “Suatu tindakan, proses hasil atau pernyataan menjadi lebih
baik”. Dalam hal ini menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, pertumbuhan,
evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang atau peningkatan atas sesuatu.
Ada dua unsur dari pengertian yang dikemukakan oleh Thoha, yakni pembinaan
itu sendiri, bisa berupa tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan dan
kedua pembinaan itu bisa menunjukkan kepada “perbaikan” atas sesuatu.
Sementara, (Suparlan, 1983: 95) memberikan pengertian pembinaan
sebagai “Segala usaha dan kegiatan mengenai perencanaan, pengorganisasian,
pembiayaan penyusunan pelaporan, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan
sesuatu pekerjaan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan hasil yang
Selanjutnya, program pembinaan menurut (Mangunhardjana, 1986: 16)
adalah “Prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan
kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan”.
Suatu pembinaan yang tidak mempunyai sasaran yang jelas dapat
mengandung bahaya yang besar karena kegiatan itu tidak akan memiliki arah dan
tujuan. Bila sasaran tidak dirumuskan maka sulit untuk dinilai berhasil atau
tidaknya program tersebut. Untuk itu sasaran perlu dirumuskan dengan jelas dan
tegas dan sasaran harus ada hubungannya dengan minat dan kebutuhan yang
dibina.
1.5.2.2 Sasaran Program Pembinaan Anak Jalanan
Menurut (Soedijar, 1990: 9) isi dari program pembinaan harus sesuai
dengan sasaran yang ingin dicapai, dengan demikian sasaran tersebut akan
menjadi jawaban dari permasalahan yang dihadapi para anak jalanan.
Dalam seminar advokasi anak jalanan yang dikutip oleh (Soedijar, 1990:
9) mengatakan bahwa sasaran pembinaan anak jalanan adalah:
1. Melindungi dan berusaha mengangkat derajat anak jalanan.
2. Memberikan pelayanan secara teliti sehingga kesehatan dan gizi mereka tetap
terjamin.
3. Menumbuhkan rasa sadar diri, semangat kerja dan mengangkat derajat hidup
mereka sendiri bahkan keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Memberikan pengarahan pada waktu bermain, rekreasi dan pada saat waktu
Di dalam program pembinaan perlu juga diperhatikan integritas dari
seluruh program pembinaan, maka:
1) Perlu dijaga agar dalam seluruh program diciptakan variasi, metode dalam
mengolah kegiatan agar program berjalan lancar serta memikat dan tidak
monoton serta membosankan.
2) Perlu diketahui sikap, pengalaman dan keahlian Pembina dalam bidang
pembinaan. Sikap Pembina sangat menentukan cara pelaksanaan program.
(Soedijar, 1990: 9).
1.5.3 Keberadaan Anak Jalanan
1.5.3.1 Pengertian Anak Jalanan
Arti anak jalanan menurut peserta Lokakarya Nasional Anak Jalanan
dengan Departemen Sosial sebagai penyelenggara adalah “Anak yang sebagian
besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan
atau tempat-tempat umum lainnya”. (Departemen Sosial, 2006: 22).
Dalam tulisan Shalahuddin dan KHA (Konvensi Hak Anak) yang dikutip
dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) memberikan pengertian
anak jalanan sebagai “Satu kelompok anak yang berada dalam kesulitan khusus
(children in especially difficult circumtance) yang menjadi prioritas untuk segera
Sedangkan menurut Johanes dalam (Huraerah, 2006: 80) pada seminar
tentang pemberdayaan anak jalanan yang dilaksanakan Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial Bandung menyebutkan bahwa anak jalanan adalah “Anak
yang menghabiskan waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun tidak yang
terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga dan anak yang
mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga”.
Lebih lanjut, menurut Sudijar dalam (Jurnal Penelitian Kesejahteraan
Sosial, 2003: 65) mendefenisikan anak jalanan sebagai “Anak-anak usia 7-21
tahun yang bekerja di jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya yang dapat
mengganggu ketertiban dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya,
yang pada umumnya bekerja sebagai pengamen, penjual koran, penyemir sepatu,
pedagang asongan dan pemulung”.
Dari batasan pengertian tersebut, Sudijar mengemukakan bahwa ciri-ciri
anak jalanan yang dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 65)
yaitu:
1. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, tempat hiburan, terminal atau
stasiun).
2. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit sekali yang tamat
SD).
3. Berasal dari keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa
diantaranya tidak jelas keluarganya).
Sementara dalam pengertian Ilmu Sosiologi yang dikutip dari (Nugroho,
2003: 97) istilah anak jalanan menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang
keluyuran di jalan-jalan, orang awam mengatakan sebagai kenakalan anak dan
perilaku mereka dianggap mengganggu ketertiban sosial. Sedangkan dalam
pengertian Ilmu Ekonomi, istilah anak jalanan menunjuk pada aktifitas
sekelompok anak (pekerja anak) yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena
kondisi ekonomi orang tua yang miskin.
Dari beberapa defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan
adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan termasuk di lingkungan pasar dan
pusat-pusat keramaian lainnya.
1.5.3.2 Karakteristik Anak Jalanan
Menurut data (Departemen Sosial, 2006: 23) ciri anak jalanan terbagi
dalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak
jalanan yang mempunyai warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan,
kebanyakan berbadan kurus dan berpakaian kotor. Sedangkan ciri psikis adalah
mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan
pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, tidak berfikir
Masih menurut data Departemen Sosial, bahwa seorang anak dikatakan
anak jalanan bilamana mempunyai indikasi sebagai berikut:
1. Usia di bawah 18 tahun.
2. Orientasi hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya,
tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka:
a. Ada yang sama sekali tidak berhubungan dengan keluarganya.
b. Masih ada hubungan sosial secara teratur minimal dalam arti bertemu
sekali setiap hari.
c. Masih ada kontak dengan keluarganya, namun tidak teratur.
3. Orientasi waktu.
Mereka tidak mempunyai orientasi mendatang. Orientasi waktunya adalah
masa kini. Dan waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap
harinya.
4. Orientasi tempat tinggal.
a. Tinggal bersama orang tuanya.
b. Tinggal dengan teman-teman sekelompoknya.
c. Tidak mempunyai tempat tinggal, tidur disembarang tempat.
5. Orientasi tempat berkumpul mereka adalah tempat-tempat yang kumuh, kotor,
banyak makanan sisa, tempat berkumpulnya orang-orang, misalkan; pasar,
terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS,
perempatan jalan atau jalan raya, di kendaraan umum (mengamen) dan tempat
6. Orientasi aktifitas pekerjaan.
Aktifitas yang mereka kerjakan adalah aktifitasnya yang berorientasi pada
kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup, seperti;
menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran/majalah, mencuci
kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut dan menjadi
penghubung penjual jasa.
7. Pendanaan dalam aktifitasnya.
a. Modal sendiri.
b. Modal kelompok.
c. Modal majikan.
d. Stimulan/bantuan.
8. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
a. Korban eksploitasi sex.
b. Dikejar-kejar aparat.
c. Terlibat kriminal.
d. Konflik dengan kelompok lain atau teman dalam kelompok.
e. Potensi kecelakaan lalu lintas.
f. Ditolak masyarakat.
9. Kebutuhan-kebutuhan anak jalanan.
a. Haus kasih sayang.
b. Rasa aman.
d. Kebutuhan pendidikan.
e. Bimbingan keterampilan.
f. Bantuan usaha.
g. Harmonisasi hubungan sosial dengan keluarga, orang tua dan masyarakat.
Sedangkan menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang
dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) bahwa terdapat 3
(tiga) kategori dalam menilai seorang anak apakah anak jalanan atau tidak, yaitu:
1. Anak-anak jalanan yang betul-betul tinggal di jalanan, lepas sama sekali dari
orang tuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap gelandangan.
2. Anak-anak jalanan yang kadang-kadang saja kembali kepada orang tuanya.
Anak jalanan seperti ini umumnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar
rumah.
3. Anak-anak jalanan yang lain, yang tinggal jauh dari orang tuanya. Mereka ini
kehilangan kontak sama sekali dengan orang tuanya.
Disamping itu, Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) juga
memberikan karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan
diantaranya adalah:
1. Kelihatan kumuh atau kotor. Baik kotor tubuh maupun kotor pakaian
2. Memandang orang lain, yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat
dimintai uang.
3. Mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama
4. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan
orang yang bukan dari jalanan. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk
berinteraksi dan berbicara dengan siapa pun selama di jalanan.
5. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu
tidak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut,
mencuci pakaian dan menyimpan pakaian.
1.5.3.3 Model Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan
Sehubungan dengan masalah anak jalanan tersebut, maka menurut
(Departemen Sosial, 2006: 5) dalam Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan
mengembangkan 3 (tiga) model pelayanan sosial bagi anak jalanan yaitu:
1. Community Based Social Services
Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lingkungan
masyarakat dimana anak dan keluarga anak jalanan bertempat tinggal.
Pelayanan ini dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak dan keluarga
anak jalanan serta anggota masyarakat yang lainnya dalam proses pelayanan.
Tujuan pelayanan sosial ini adalah mencegah anak dari keluarga miskin
terutama anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk) menjadi
anak jalanan. Diupayakan agar mereka tidak mungkin mempunyai peluang
terjun ke jalan dan dimungkinkan untuk dikembalikan kepada keluarga
2. Street Based Social Services
Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lingkungan
jalanan atau tempat publik lainnya, dimana anak jalanan menjalani hidup di
jalan. Pelayanan ini dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak jalanan
dan para pihak yang bersinggungan dengan kehidupan anak jalanan dalam
proses pelayanan. Tujuan pelayanan sosial ini adalah mencegah anak jalanan
dengan kategori anak yang bekerja di jalan (children of the street) untuk tidak
terjerumus dan menjadi pelaku kejahatan. Diupayakan agar mereka menjalani
kehidupan seperti semula dan dapat dipertemukan kembali dengan keluarga
mereka.
3. Centre Based Social Services
Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lembaga
pelayanan khusus dalam bentuk panti atau yang sejenisnya. Anak diambil dari
lingkungan jalanan atau tempat publik lainnya. Mereka diberi fasilitas untuk
dapat menjalani hidup seperti semula. Selain itu, pelayanan ini dilakukan
untuk mengisolir mereka dari lingkungan yang dapat menjadikan diri mereka
berperilaku melanggar norma. Tujuan pelayanan ini adalah untuk
menyembuhkan anak jalanan dari luka-luka fisik maupun psikologis dan
sosial yang dialaminya. Mereka menerima pelayanan ini untuk jangka waktu
yang tidak terbatas dan setelah sembuh dari pengaruh kehidupan jalanan,
Masing-masing pendekatan tersebut, memiliki kelebihan dan kekurangan
yang saling melengkapi, sehingga dalam penggunaannya antara pelayanan sosial
yang satu dengan pelayanan sosial yang lain harus bersifat simultan. Pelayanan
ketiganya dapat dilakukan dalam bentuk program rumah singgah, pelayanan
keliling anak jalanan, pondok sosial, rumah perlindungan anak jalanan dan
pelayanan sosial alternatif lainnya.
1.6 Defenisi Konsep
Konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan
atas dasar generalisis dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan kelompok
atau individu. Oleh karena itu yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini
adalah:
1. Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu atau kelompok-kelompok Pemerintah yang diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
kebijakan sebelumnya.
2. Program pembinaan adalah prosedur yang disediakan sebagai landasan untuk
menentukan isi dan urutan kegiatan pembinaan.
3. Anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian
besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan