• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBINAAN

DINAS SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN

DI KOTA MEDAN

(STUDI PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh

MASDONI HUTASUHUT

(060921003)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM EXTENSION

MEDAN

(3)

ABSTRAK

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBINAAN DINAS SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN (STUDI PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA”)

Nama : Masdoni Hutasuhut

NIM : 060921003

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Pembimbing : Hatta Ridho, S.Sos, M.SP

Peningkatan jumlah anak jalanan di Kota Medan tidak disangka menjadi masalah besar bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan masyarakat pengguna jalan. Faktor utama meningkatnya keberadaan anak jalanan di Kota Medan ini lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi keluarga yang kurang sehingga keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan si anak, baik itu untuk kebutuhan hidup maupun kebutuhan biaya untuk sekolah, yang pada akhirnya dengan terpaksa si anak disuruh untuk bekerja ataupun atas inisiatif anak sendiri, karena melihat beban keluarganya yang sangat berat.

Melihat ketidakberdayaan keluarga tersebut, sudah selayaknya Pemerintah Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah ini atau paling tidak meminimalisasi keberadaan mereka dijalanan. Kebijakan yang dimaksud adalah melalui program pembinaan bagi anak jalanan, agar mereka mendapatkan hak-haknya kembali sehingga tidak akan berada di jalanan lagi untuk bekerja, karena mereka masih butuh pendidikan, waktu luang untuk bermain, berkreasi dan kasih sayang. Untuk itulah penulis ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan apakah telah terealisasi dengan baik atau tidak.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengungkapkan lebih mendalam, bagaimana implementasi program pembinaan dari Dinas Sosial maupun LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang menangani anak jalanan ini. Sedangkan data dianalisis secara deskriptif yang dikumpulkan melalui hasil wawancara terhadap informan kunci dan informan biasa secara tidak terstruktur atau terbuka.

(4)
(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Masdoni Hutasuhut

NIM : 060921003

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Implementasi Kebijakan Program Pembinaan

Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota

Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara)

Medan,

Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Hatta Ridho, S.Sos, MSP Dr. Marlon Sihombing, MA

NIP. 132 316 817 NIP. 131 568 391

Dekan

FISIP USU

Prof. Dr. M Arif Nasution, MA

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Departemen Ilmu

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Nama : Masdoni Hutasuhut

NIM : 060921003

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Implementasi Kebijakan Program Pembinaan

Dinas Sosial Terhadap Anak Jalanan di Kota

Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara)

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat :

Panitia Penguji

Ketua Penguji:

Anggota I:

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Syukur alhamdulillah, penulis ucapkan kepada Allah swt, Tuhan semesta

alam atas limpahan rahmat dan karunia-NYa sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah keharibaan Nabi

Muhammad saw, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dimana penulis mengambil

judul “Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap

Anak Jalanan di Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial Provinsi Sumatera

Utara).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari

semua pihak, mustahil skripsi ini dapat selesai, untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu

dengan segenap hati, baik moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan. Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menyampaikan

penghargaan yang tulus dan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak

yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. M Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Marlon Sihombing, MA selaku Ketua Departemen Ilmu

(9)

3. Bapak Hatta Ridho, S.Sos, MSP selaku Dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing serta mengarahkan

penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak

memberikan Ilmu Pengetahuan yang berguna dan tidak ternilai harganya

selama penulis menjalani pendiidkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara, terutama Ibu Mega dan Ibu Emi yang telah membantu penulis dalam

segala urusan administrasi selama menjalani pendidikan.

6. Ibu Ir. Ritma Lisda Lubis, M.Hum dari Badan Penelitian Pengembangan

Provinsi Sumatera Utara yang memberikan rekomendasi untuk melakukan

penelitian.

7. Bapak Drs. Nabari Ginting, M.Si selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi

Sumatera Utara yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan

penelitian di Dinas Sosial tersebut.

8. Bapak Mi’raj Harahap, S.Ag selaku Kasubbag Umum Dinas Sosial Provinsi

Sumatera Utara yang telah memberikan data-data yang penulis butuhkan

untuk penelitian ini.

9. Bapak Drs. H. Umur Ginting selaku Kasi Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban

Narkotika Dinas Sosial Sumatera Utara yang telah meluangkan waktunya

untuk membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang penulis

(10)

10.Bapak Zulfikar, Bapak Muammar dan Ibu Linda dari Yayasan Ekonom serta

anak-anak jalanan yang bersedia dengan senang hati untuk diwawancarai,

mudah-mudahan dengan adanya perhatian dari Pemerintah dan segenap

masyarakat, kalian tidak akan menjadi anak jalanan lagi dan semoga harapan

serta cita-cita yang ingin kalian raih setelah adanya pembinaan ini dapat

terwujud, amin…

11.Bapak Syamsul dari Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) yang

telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan juga

masukan-masukannya.

12.Terutama untuk kedua orang tua; Aya’ Bahar Hutasuhut dan Mama’ Nurasiah

Hutagalung, yang sa…..ngat banyak berkorban untuk kehidupan dan masa

depan penulis, semoga Allah swt membalas segala pengorbanan yang telah

kalian berikan selama ini dengan pahala yang berlipat ganda dan kelak

mengumpulkan kita sekeluarga di Surga-NYa, amin… ya Allah.

13.Abang Choirul Hutasuhut, Adik Sabaruddin Hutasuhut, Mauluddin Hutasuhut,

Sallimsah Hutasuhut dan Hanisah Hutasuhut, terima kasih atas kasih sayang

yang telah kalian berikan selama ini, mudah-mudahan kita dapat berkumpul

bersama lagi dan membahagiakan kedua orang tua kita tercinta.

14.Kak Hellina Qamariah yang telah penulis anggap sebagai kakak terdekat

penulis, terima kasih atas segala motivasi dan nasehat-nasehatnya yang sangat

berarti bagi kehidupan penulis, semoga jalinan hubungan pertemanan yang

(11)

15.Teman-teman dekat penulis; Melly, Lia, Mutia, Wahid, Pida, Teti dan

teman-teman satu kos penulis; Parida, Kak Irma, Indah, Afni, dll, teman-teman-teman-teman

Stambuk 2003 D-III Perhotelan, serta teman-teman Stambuk 2006 Ilmu

Administrasi Negara S-1 Ekstension yang tidak dapat penulis sebutkan

namanya satu persatu, walaupun kita tidak duduk dan bersenda gurau

bersama-sama lagi, tetapi semoga jalinan tali silaturrahim terus berjalan.

Akhir kata, semoga Allah swt dan Nabi Muhammad saw, meridhoi Ilmu

yang penulis peroleh sehingga bermanfaat untuk seluruh ummat, amin….

Medan, Mei 2008

Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II METODE PENELITIAN ... 46

2.1 Bentuk Penelitian... 46

2.2 Lokasi Penelitian ... 46

2.3 Informan Penelitian ... 46

2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 48

(13)

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 50

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 73

4.1 Isi Kebijakan ... 73

4.1.1 Kepentingan Siapa Saja yang Terlibat ... 74

4.1.2 Macam-Macam Manfaat... 76

4.1.3 Sejauh Mana Perubahan Akan Diwujudkan ... 79

4.1.4 Siapa yang Menjadi Implementor Agensi ... 81

4.1.5 Sumber Daya yang Disediakan ... 82

4.2 Konteks dari Implementasi ... 84

4.2.1 Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Para Aktor yang Terlibat ... 84

4.2.2 Sesuai Dengan Kaidah dan Tingkat Rensponsif ... 86

(14)
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Judul Skripsi.

2. Bukti Hadir di Seminar Proposal Penelitian Skripsi.

3. Penunjukan Dosen Pembimbing.

4. Undangan Seminar Proposal Usulan Penelitian Skripsi.

5. Jadwal Seminar Proposal Usulan Penelitian Skripsi.

6. Berita Acara Seminar Rencana Usulan Penelitian Skripsi.

7. Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal Rencana Usulan Penelitian Skripsi.

8. Surat Rekomendasi/Izin Penelitian dari FISIP USU.

9. Surat Rekomendasi/Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan

Provinsi Sumatera Utara.

(16)

ABSTRAK

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBINAAN DINAS SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN (STUDI PADA DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA”)

Nama : Masdoni Hutasuhut

NIM : 060921003

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Pembimbing : Hatta Ridho, S.Sos, M.SP

Peningkatan jumlah anak jalanan di Kota Medan tidak disangka menjadi masalah besar bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan masyarakat pengguna jalan. Faktor utama meningkatnya keberadaan anak jalanan di Kota Medan ini lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi keluarga yang kurang sehingga keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan si anak, baik itu untuk kebutuhan hidup maupun kebutuhan biaya untuk sekolah, yang pada akhirnya dengan terpaksa si anak disuruh untuk bekerja ataupun atas inisiatif anak sendiri, karena melihat beban keluarganya yang sangat berat.

Melihat ketidakberdayaan keluarga tersebut, sudah selayaknya Pemerintah Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah ini atau paling tidak meminimalisasi keberadaan mereka dijalanan. Kebijakan yang dimaksud adalah melalui program pembinaan bagi anak jalanan, agar mereka mendapatkan hak-haknya kembali sehingga tidak akan berada di jalanan lagi untuk bekerja, karena mereka masih butuh pendidikan, waktu luang untuk bermain, berkreasi dan kasih sayang. Untuk itulah penulis ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan apakah telah terealisasi dengan baik atau tidak.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengungkapkan lebih mendalam, bagaimana implementasi program pembinaan dari Dinas Sosial maupun LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang menangani anak jalanan ini. Sedangkan data dianalisis secara deskriptif yang dikumpulkan melalui hasil wawancara terhadap informan kunci dan informan biasa secara tidak terstruktur atau terbuka.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai

dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan menaikkan Bahan

Bakar Minyak (BBM) awal Maret 2005, mengakibatkan terjadinya peningkatan

jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kelompok ini disebut

juga oleh Suyanto sebagai “masa rentan, kelompok marjinal” atau masyarakat

miskin. Saat ini ada 37,4% dari total penduduk yang mencapai 227 juta jiwa lebih

berada di bawah garis kemiskinan. (Prosiding Seminar Program Pengembangan

Diri 2006 Bidang Ilmu Sosiologi, 2007: 180).

Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. KPAI

(Komisi Perlindungan Anak Indonesia) memperkirakan, pada Tahun 2006 lalu

terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di

Jakarta. Sementara pada Tahun 2007 di Sumatera Utara, Yayasan KKSP

(Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) memperkirakan jumlah anak jalanan di

seluruh 25 Kabupaten dan Kota sekitar 5000 anak jalanan.

(18)

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan

sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan

pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak

memiliki masa depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi

“masalah” bagi banyak pihak; keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian

terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar, padahal mereka

adalah saudara kita, mereka juga adalah amanah Allah yang harus dilindungi,

dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang

bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Dalam pandangan Soetarso (2004) yang dikutip dari (Huraerah, 2006: 78)

bahwa dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan

adalah:

1. Orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.

2. Pola pendidikan dan pengasuhan yang salah terhadap anak oleh orang tua

sehingga menyebabkan anak lari ke jalanan.

3. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang

sekolah.

4. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah

meningkat.

5. Timbul persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga terpuruk

melakukan pekerjaan berisiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi

(19)

6. Anak lebih lama berada di jalanan sehingga mengundang masalah lain.

7. Anak jalanan menjadi korban pemerasan dan eksploitasi seksual, terutama

terhadap anak jalanan perempuan.

Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak

terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Berdasarkan pra riset yang penulis

peroleh dari Dinas Sosial yakni, Bapak Umur Ginting selaku bagian penanganan

anak jalanan mengatakan bahwa konkritnya di Kota Medan ada tiga faktor umum

yang menjadi persoalan mengapa anak turun ke jalanan, yaitu:

1. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinan akibat krisis

ekonomi yang berkepanjangan.

2. Ketidakharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan si anak tidak betah

tinggal di rumah, dan

3. Akibat pengaruh lingkungan komunitas anak yang menyebabkan anak

terjerumus dalam kehidupan di jalanan.

Ternyata dari ketiga faktor tersebut, bahwa faktor kondisi ekonomi

keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinanlah yang menjadi masalah utama

seringkali orang tua memaksa anaknya untuk bekerja dan juga atas inisiatif si

anak tersebut mencari nafkah untuk membantu orang tuanya atau hidup mandiri di

jalanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan anak jalanan berikut yakni Rianto,

berusia 16 tahun yang merupakan salah seorang anak yang dibina oleh Yayasan

(20)

Saya turun ke jalanan untuk bekerja, karena saya ingin membantu

tambahan pendapatan orang tua. Pekerjaan Bapak saya pedagang asongan, saya

ada enam bersaudara dan itu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami, jadi

saya harus membantu Bapak untuk meringankan beban mereka”.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Yayasan KKSP (Kelompok

Kerja Sosial Perkotaan), pusat-pusat kegiatan anak jalanan di Kota Medan berada

pada sejumlah titik. Diantaranya, simpang Ramayana jalan Brigjen Katamso, jalan

Letda Sudjono, simpang jalan A.H Nasution, kawasan Titi Kuning, Café Harapan

di seputar jalan Imam Bonjol Medan. Kemudian di Terminal Terpadu Amplas di

jalan Panglima Denai, di seputar lapangan jalan Gajah Mada, simpang Sei

Kambing di jalan Kapten Muslim, simpang jalan Guru Patimpus, Pasar Pringgan,

Pasar Petisah dan Pusat Pasar.

Dari keseluruhan tempat tersebut, pendataan sementara Tahun 2007 yang

dilakukan oleh Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) keseluruhan

anak jalanan yang kerap beraktifitas di kawasan tersebut berjumlah 481 orang.

Namun, data ini selalu berubah-ubah, ada anak yang sudah mendapatkan

pekerjaan tetap atau pindah ke daerah lain, namun selalu muncul wajah baru.

Aktifitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya

sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, pembersih kaca mobil,

(21)

Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau umum

seperti di perempatan jalan (traffic light), pusat-pusat pasar, stasiun/terminal bus

dan pusat perbelanjaan. Menurut (Huraerah, 2006: 79), tidak jarang anak jalanan

seringkali menjadi objek kekerasan. Anak-anak jalanan ditantang oleh risiko yang

mau tidak mau harus dihadapi saat mereka berada di jalanan. Dengan mengacu

pada International Conference on Street Children yang diselenggarakan di

Yogyakarta tanggal 10-11 September 1996, risiko-risiko yang dapat diidentifikasi

adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiyaan, eksploitasi seksual,

penangkapan dan perampasan modal kerja); kelangsungan hidup terancam,

kurang/salah gizi; minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan

kriminal dan seks bebas); ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu

lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial.

Kehadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi

mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang membuat mereka bisa

bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, di sisi lain

mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka

acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor,

mengganggu ketertiban di jalanan misalnya; memaksa pengemudi kendaraan

bermotor untuk memberi sejumlah uang (walaupun tidak seberapa), merusak body

(22)

Mengapa sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara-cara yang

secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima? Menurut Farid dalam

(Sularto, 2000: 54), tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya

berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak

kasus, anak jalanan sering hidup berkembang di bawah tekanan dan stigma atau

dicap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka sebenarnya merupakan

konsekuensi logis dari stigma sosial keterasingan mereka dalam masyarakat.

Tidak ada yang berpihak kepada mereka dan justru perilaku mereka sebenarnya

mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka sebagai kelompok

masyarakat yang terpinggirkan.

Menurut UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 34 ayat (1) “Anak

terlantar itu dipelihara oleh Negara”, artinya Pemerintah mempunyai tanggung

jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak

jalanan. Beberapa perangkat hukum dan kebijakan telah dikeluarkan Pemerintah

sebagai upaya untuk menangani permasalahan anak jalanan tersebut. Di tingkat

Provinsi, memang Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara belum ada

mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Penetapan Program Pembinaan Anak

Jalanan, namun mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang

(23)

Sementara di tingkat Nasional, telah ada UU No. 1 Tahun 2000 tentang

Pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. UU No. 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak dan Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional

(RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Keputusan

Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of

the Child (Konvensi tentang hak Anak). Mereka perlu mendapatkan

hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan

kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan

pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan

kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya

(education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special

protection).

Akan tetapi, instrumen hukum dan kebijakan tersebut belum

terimplementasi dengan baik, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti

yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya belum

sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan, orang tua memang merupakan pihak

utama untuk memberikan hak-hak kepada anaknya, tetapi karena kondisi ekonomi

keluarga yang tidak mendukung maka peran Pemerintahlah khususnya melalui

(24)

Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka

Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Sosial harus

mengadakan program pembinaan anak jalanan, dimana dengan program yang

realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak jalanan.

Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang dilakukan

oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata, dan yang paling diharapkan

oleh anak jalanan misalnya dengan terciptanya lapangan pekerjaan, bila memang

pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu

membahayakan keselamatan jiwanya sehingga mereka tidak turun ke jalanan

untuk bekerja, serta masih mendapat kesempatan untuk sekolah dan bermain maka

tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak akan terdidik melalui

pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab.

Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalanan agar mereka

terampil dan mandiri dalam menuju kedewasaan nantinya, hal terpenting yang

juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan terhadap keluarga

anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang

mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja membantu orang

tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus dilakukan oleh Dinas

Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang menciptakan

kemandirian, sehingga akhirnya dengan berbagai program pembinaan yang

diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka

(25)

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, penulis ingin melihat

bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap

anak jalanan di Kota Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan

penelitian dirumuskan sebagai berikut:

“ Bagaimana Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Dinas Sosial Terhadap

Anak Jalanan di Kota Medan”.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan bagaimana implementasi kebijakan program

pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota Medan.

2. Untuk menggambarkan kendala-kendala atau hambatan implementasi

kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap anak jalanan di Kota

(26)

1.4 Manfaat Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan informasi tentang hal yang

diteliti serta mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui penulisan

karya ilmiah ini.

2. Secara praktis, dapat memberikan masukan dan informasi yang bermanfaat

terutama bagi Dinas Sosial dan bagi instansi terkait, LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat) serta masyarakat secara umum untuk lebih memperhatikan

keberadaan anak jalanan ini, karena bagaimanapun mereka adalah tanggung

jawab Pemerintah dan juga tanggung jawab kita bersama.

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Implementasi Kebijakan

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam oleh berbagai pakar.

Seperti Friedrick dalam (Winarno, 2002: 16) mendefenisikan kebijakan sebagai

“Suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah

dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan

kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan

dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu

(27)

Sedangkan menurut Anderson yang dikutip dari (Nurcholis, 2007: 263)

memandang kebijakan sebagai “Suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang

dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu

masalah”. Selanjutnya, Anderson mengklasifikasikan kebijakan (policy) menjadi

dua: subtantif dan prosedural. Kebijakan subtantif yaitu apa yang harus dikerjakan

oleh Pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana

kebijakan tersebut diselenggarakan.

Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dikutip dalam (Wahab,

1991: 12), kebijakan itu diartikan sebagai “Pedoman untuk bertindak”. Pedoman

itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau

sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif,

publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu

deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu,

suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana.

Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya dalam (Islamy,

2001: 17), yang memberikan defenisi kebijakan sebagai “Suatu taktik dan strategi

yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”, oleh karena itu suatu tujuan

kebijakan memuat tiga elemen yaitu:

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata

(28)

Selanjutnya Mustopadidjaja dalam (Nurcholis, 2007: 263), menjelaskan

bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan “Tindakan atau

kegiatan Pemerintah serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut

dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan-peraturan”.

Dari beberapa pengertian yang diuraikan oleh berbagai pakar tersebut,

dapatlah disimpulkan bahwa kebijakan merupakan “Segala tindakan atau kegiatan

yang mengarah pada tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan berbagai prosedur

dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk memecahkan berbagai masalah”.

1.5.1.2Tahapan Kebijakan

Pendekatan tahapan kebijakan merupakan siklus yang menjadi dasar untuk

menganalisis proses kebijakan. Berikut ini adalah deskripsi dari berbagai pakar

yang memperkenalkan tentang tahapan kebijakan yang dikutip dari (Wicaksono,

2006: 76), yakni sebagai berikut:

a. Simon, dalam bukunya Administrative Behaviour (1947):

1. Intelegensi. Merupakan tahapan dimana analis dituntut untuk peka dan

teliti dalam melihat situasi masalah yang ada. Dalam tahapan ini analis

dituntut untuk mampu mengorganisasi informasi dan data tentang masalah

yang menjadi fokus kajian. Oleh karenanya dibutuhkan pengetahuan yang

memadai agar proses penyusunan dan organisasi data dan informasi

(29)

2. Desain. Tahapan ini memperbincangkan tentang penyusunan rancangan

kegiatan yang menunjang pencapaian tujuan kebijakan. Desain ini

biasanya berupa kumpulan kegiatan berbeda yang saling berhubungan satu

dengan lainnya yakni pencapaian tujuan atau dapat pula berbentuk

kegiatan yang saling bertautan satu dengan lainnya (sekuensial).

3. Pilihan. Tahapan ini berfokus pada pengembangan alternatif pemecahan

masalah, dimana analis sedapat mungkin menghasilkan aneka alternatif

kebijakan yang diharapkan dapat memecahkan masalah. Lalu berdasarkan

analisis cost-benefit memilih salah satu alternatif terbaik yang dianggap

akurat dalam menyelesaikan fokus kajian masalah.

b. Lasswell, dalam bukunya Decision Making (1956):

1. Intelegensi, yaitu bagaimana informasi kebijakan yang menjadi perhatian

dari pembuat kebijakan dikumpulkan dan diproses.

2. Promosi, yaitu bagaimana rekomendasi kebijakan yang telah disusun

untuk memecahkan sebuah masalah ditawarkan kepada decision maker.

3. Preskripsi, yaitu bagaimana aturan umum dipakai atau disosialisasikan dan

siapa yang akan menggunakan.

4. Invokasi (Invocation), yaitu siapa yang menentukan apakah perilaku yang

ada bertentangan dengan peraturan atau hukum.

5. Aplikasi, yaitu bagaimana hukum atau peraturan sesungguhnya

dilaksanakan atau diterapkan.

6. Penghentian (Termination), yaitu bagaimana peraturan atau hukum

(30)

7. Penilaian (Appraisal), yaitu bagaimana peraturan dinilai atau dievaluasi

untuk mengukur tingkat keberhasilan atau ketidakberhasilan aturan

tersebut pada saat pelaksanaan.

c. R. Mack, dalam bukunya Planning and Uncertainty (1971):

1. Memutuskan untuk menetapkan: Pengenalan masalah. Pada tahap awal ini

analis kebijakan menetapkan titik fokus masalah yang akan diselesaikan.

2. Merumuskan alternatif dan kriteria: setelah masalah ditemukan, maka

analis menentukan aneka alternatif yang dianggap relevan dan akurat

untuk menyelesaikan masalah berdasarkan kriteria nilai sosial yang

diyakini dan dijadikan prioritas utama oleh masyarakat.

3. Menentukan keputusan yang tepat: Selanjutnya, alternatif yang tersedia

dianalisis kembali dan dibandingkan dengan alternatif yang lain

berdasarkan analisis cost-benefit, sehingga dihasilkan suatu keputusan atau

rekomendasi pemecahan masalah.

4. Akibat keputusan (Effectuation): Setelah rekomendasi keputusan

dilaksanakan, maka selanjutnya adalah melihat bagaimana hasil

pelaksanaan keputusan tersebut, apakah memang dampak yang

dimunculkannya sesuai dengan harapan yakni menyelesaikan masalah atau

malah sebaliknya.

5. Koreksi dan penambahan (Supplementation): Apabila dirasa perlu, maka

dilakukan koreksi terhadap keputusan yang dianggap kurang tepat dan

dilakukan penambahan terhadap keputusan tersebut untuk mereduksi

(31)

Dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya

perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan

dengan apa yang senyatanya ingin dicapai (sebagai hasil prestasi dari pelaksanaan

kebijakan), sehingga kebijakan yang ditetapkan sebenarnya mengandung resiko

untuk gagal. Hogwood dan Gunn dalam (Wahab, 1991: 47) telah membagi

pengertian kegagalan kebijakan (policy failute) ini dalam dua kategori, yaitu:

1) Tidak terimplementasikan (Non implementation), dalam hal ini mengandung

arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana,

mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau

bekerjasama atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah

hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau

kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya,

sehingga betapapun gigih usaha mereka hambatan-hambatan yang ada tidak

sanggup mereka tanggulangi, akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk

dipenuhi.

2) Implementasi yang tidak berhasil (Unsuccessful implementation), dalam hal

ini mengandung arti bahwa implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi

manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan dengan rencana, namun

mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan. Kebijakan

tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang

dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu

disebabkan oleh faktor-faktor berikut: pelaksanaannya jelek, kebijakannnya

(32)

Dengan demikian suatu kebijakan boleh jadi tidak dapat

diimplementasikan secara efektif sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan

sebagai pelaksanaan yang jelek, atau baik pembuat kebijakan maupun mereka

yang ditugasi untuk melaksanakannya sama-sama sepakat bahwa kondisi

eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi efektifitas implementasi.

1.5.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

Setiap perumusan suatu kebijakan apakah itu menyangkut program

maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau

implementasi, karena betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa

diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.

Dalam kamus Webster yang dikutip dari (Wahab, 1991: 50), merumuskan

secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the

means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to

give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Kalau

pandangan ini kita ikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai

“Suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif

(33)

Pressman dan Wildavsky dalam (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2002: 295),

merumuskan implementasi sebagai “Proses interaksi diantara perangkat tujuan

dan tindakan yang mampu untuk meraihnya”, dan “Serangkaian aktifitas langsung

yang diarahkan untuk menjadikan program berjalan”, dimana aktifitas tersebut

mencakup:

a. “Organisasi (Organization): pembentukan atau penataan kembali sumber

daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan;

b. “Interpretasi (Interpretation); menafsirkan agar program menjadi rencana dan

pengarahan yang tepat untuk dapat diterima dan dilaksanakan;

c. “Penerapan (Application); ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau

lainnya yang dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program”.

Mazmanian dan Sabatier yang dikutip dari (Wahab, 1991: 51),

mengatakan bahwa makna implementasi adalah “Memahami apa yang senyatanya

terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan

fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan

kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada

masyarakat atau kejadian-kejadian.

Menurut Edwards III, yang dikutip dari (Jurnal Analisis Administrasi dan

Kebijakan, 2006: 31) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah “Tahap

pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan

(34)

Sedangkan menurut Grindle dalam (Wahab, 1991: 45), implementsi

kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme

penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat

saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah

konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh

sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan

aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji dengan tegas

mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan

mungkin jauh lebih penting dari pada sekedar berupa impian atau rencana bagus

yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Lebih lanjut, menurut Grindle yang dikutip dalam (Syaukani, Gaffar dan

Rasyid, 2002: 296) mengidentifikasi bahwa ada dua hal yang sangat menentukan

keberhasilan dari implementasi, yakni:

1. Isi kebijakan (Content of Policy), yang meliputi:

a. Kepentingan siapa saja yang terlibat (Interests affected).

b. Macam-macam manfaat (Type of benefit).

c. Sejauhmana perubahan akan diwujudkan (Extent of change envisioned).

d. Tempat pembuatan keputusan (Site of decision making).

e. Siapa yang menjadi implementor agensi (Program implementers).

(35)

2. Konteks dari implementasi (Context of Implementation), yang meliputi:

a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (Power,

interest and strategy of actors involved).

b. Karakteristik lembaga dan rezim (Institutions and regime characteristics).

c. Sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif (Compliace and

responsiveness).

Untuk lebih jelasnya berikut diagram implementasi kebijakan yang

(36)

Tujuan-tujuan kebijakan

Tujuan tercapai

Kegiatan-kegiatan Hasil akhir: implementasi dipe-

Gambar: Diagram implementasi kebijakan oleh Grindle yang dikutip dalam

(37)

Dari apa yang disampaikan oleh Grindle, dapat dinyatakan bahwa

keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal,

terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalammya.

Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan oleh Grindle tersebut, maka

dengan demikian jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai

apabila tujuan-tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci,

program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan

untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Inilah syarat-syarat

pokok bagi implementasi kebijakan, tanpa adanya syarat-syarat tersebut maka

kebijakan yang ditetapkan hanya dianggap sekedar retorika politik atau selogan

politik.

Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial

dalam proses kebijakan. Dimana suatu program kebijakan harus

diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan, karena

implementasi kebijakan adalah salah satu variabel penting yang berpengaruh

terhadap keberhasilan suatu kebijakan didalam memecahkan persoalan-persoalan.

1.5.1.4 Model-Model Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program

menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan

tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu

berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi

(38)

Sekalipun banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang

implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa

model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi

berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.

Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli

yang dikutip dalam (Wahab, 1991: 57), yakni:

A. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn. Model mereka ini kerapkali oleh para ahli disebut sebagai “The top down

approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan

kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali

berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang

di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan

tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik. Adapula kemungkinan

hambatan-hambatan itu bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun

tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak

disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala

semacam ini cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa

(39)

Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator

ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu

dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.

2. Untuk pelaksana program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai.

Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam

pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat

eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis

tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang

biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu

pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan

lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian

tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya,

sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin

akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber

yang tidak memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, dalam artian

bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua

sumber-sumber yang diperlukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses

implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar

(40)

4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan

lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan

karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya. Penyebab dari kesemua

ini, kalau mau dicari tidak lain karena kebijakan itu telah disadari oleh tingkat

pemahaman lain karena tidak memadai mengenai persoalan yang akan

ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya atau

peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat

permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang

itu.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya.

Pada kebanyakan program Pemerintah, sesungguhnya teori yang

mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X

dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai hubungan kausalitasnya hanya sekedar

jika X, maka terjadi Y, dan jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam

hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa

kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat

panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang

mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal-balik diantara mata rantai

(41)

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya

terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya,

tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain atau kalaupun dalam

pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka

hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat

yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika

implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian

tahapan dan jalinan hubungan tertentu melainkan juga kesepakatan terhadap setiap

tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi

keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan

kemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh

mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan

yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi.

Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi

apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak

yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta

mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelasanaan program dapat

(42)

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah

menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan

untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas

yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran

untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita

sangsikan lagi. Disamping itu juga diperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat

dihindarkan keharusan adanya ruangan yang cukup bagi kebebasan bertindak dan

melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara

ketat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi

yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program.

Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang

sempurna barangkali diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal.

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Pernyataan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas

penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapa pun dalam

sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu

maka ia harus dapat diidentifikasi oleh kecanggihan sistem informasinya dan

(43)

B. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.

Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa

perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat

kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu

pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan

implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan

prestasi kerja. kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan,

kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam

prosedur-prosedur implementasi.

Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang

perlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi

dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauhkah tingkat

efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? (masalah

ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam

organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterikatan

masing-masing orang dalam organisasi? (hal ini menyangkut masalah kepatuhan). Atas

dasar pandangan seperti ini Meter dan Horn kemudian berusaha untuk membuat

tipologi kebijakan menurut:

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan.

b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak

(44)

Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan

dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa

implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki

relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang

mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.

Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang

menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah

variabel bebas (Independent variable) yang saling berkaitan.

Variabel-variabel bebas tersebut adalah:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan.

2. Sumber-sumber kebijakan.

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

Variabel-variabel kebijakan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang

telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada

badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedangkan

komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya

mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para

pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka

(45)

C. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier,

yang disebut kerangka analisis implementasi.

Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi

kebijakan ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi

tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kategori besar, yaitu:

1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.

2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses

implementasinya, dan

3. Pengaruh langsung berbagai variabel-variabel politik terhadap keseimbangan

dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

1.5.2 Program Pembinaan

1.5.2.1 Pengertian Program Pembinaan

Dalam pandangan (Wiriaatmadja, 1973: 68), mengemukakan bahwa

program diartikan sebagai “Suatu pernyataan yang dikeluarkan untuk

menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai suatu kegiatan”. Dan dalam

pernyataan itu akan terdapat:

a. Situasi dimana orang-orang itu berada.

(46)

c. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai bersangkutan dengan masalah-masalah

tersebut.

d. Rekomendasi cara-cara pencapaian tujuan-tujuan tersebut secara jangka

panjang (beberapa tahun) maupun secara jangka pendek (1 tahun atau kurang).

Jadi dalam suatu program itu tidak saja diuraikan tentang kegiatan apa,

tetapi juga mengenai mengapa dilakukan kegiatan tersebut.

Sedangkan menurut Stoner dalam (Ketaren, 1992: 114), program secara

harfiah diartikan sebagai “Rencana aktifitas atau rencana kegiatan dalam suatu

wadah tertentu”. Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh Stoner tersebut

maka program meliputi seperangkat kegiatan yang relatif luas dimana program ini

memperlihatkan:

1. Langkah utama diperlukan untuk mencapai tujuan.

2. Unit atau anggota yang bertanggung jawab untuk setiap langkah.

3. Ukuran atau pengaturan dari setiap langkah.

Penyusunan program itu tidak semudah yang diperkirakan banyak orang,

karena memerlukan waktu, uang dan pemikiran. Tidak saja dari orang-orang yang

membuatnya tetapi juga dari pihak-pihak yang akan terlibat dalam

pelaksanaannya kelak dikemudian hari. Lebih lanjut, (Wiriaatmadja, 1973: 69)

mengatakan bahwa dalam penyusunan program perlu diperhatikan azas-azas

seperti di bawah ini:

a. Disusun berdasarkan analisa fakta-fakta situasi.

(47)

c. Ditentukan tujuan-tujuan dan cara-cara pemecahannya yang akan memberikan

kepuasan kepada semua pihak.

d. Mempunyai kekekalan tetapi luwes (fleksibel).

e. Mempunyai keseimbangan-keseimbangan untuk keseluruhan masyarakat

tetapi dengan mengutamakan yang terpenting.

f. Ada rencana kerja yang jelas dan tetap.

g. Merupakan suatu proses yang terus-menerus.

h. Merupakan suatu proses pengajaran dan pembimbingan.

i. Merupakan suatu proses koordinasi.

j. Memberikan kesempatan untuk penilaian (evaluasi) hasil-hasil pekerjaan.

Menurut (Mangunhardjana, 1986: 37), pembinaan adalah ”Menekankan

pada pengembangan manusia dari segi praktis, yaitu pengembangan sikap,

kemampuan dan kecakapan”. Lebih lanjut Mangunhardjana mengatakan bahwa

dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu murni,

tetapi ilmu yang dipraktekkan, tidak dibantu untuk mendapatkan pengetahuan

demi pengetahuan tetapi pengetahuan untuk dijalankan.

Dalam pembinaan, orang terutama dilatih untuk mengenal kemampuan

dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang

hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah

mendapatkan sikap dan kecakapan. Dengan demikian pembinaan merupakan

proses belajar untuk melepaskan hal-hal yang dianggap sudah tidak berguna dan

(48)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembinaan

berfungsi untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan, merubah dan

mengembangkan sikap, memberikan latihan, mengembangkan kecakapan dan

keterampilan. Oleh sebab itu, menurut (Mangunhardjana, 1986: 37) apabila

pembinaan berjalan dengan baik maka seseorang yang telah mengikuti pembinaan

akan memiliki kemampuan untuk:

a. Melihat diri dan pelaksanaan hidup serta kerjanya.

b. Menganalisa situasi kehidupan dan kerjanya dari segi positif dan negatif.

c. Menemukan masalah-masalah dalam kehidupan serta berusaha mengatasinya.

d. Menemukan hal-hal yang sebaliknya diubah atau diperbaiki.

e. Merenungkan sasaran yang ingin dicapai dalam hidup setelah mengikuti

pembinaan.

Dalam (Thoha, 1993: 7), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan

pembinaan adalah “Suatu tindakan, proses hasil atau pernyataan menjadi lebih

baik”. Dalam hal ini menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, pertumbuhan,

evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang atau peningkatan atas sesuatu.

Ada dua unsur dari pengertian yang dikemukakan oleh Thoha, yakni pembinaan

itu sendiri, bisa berupa tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan dan

kedua pembinaan itu bisa menunjukkan kepada “perbaikan” atas sesuatu.

Sementara, (Suparlan, 1983: 95) memberikan pengertian pembinaan

sebagai “Segala usaha dan kegiatan mengenai perencanaan, pengorganisasian,

pembiayaan penyusunan pelaporan, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan

sesuatu pekerjaan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan hasil yang

(49)

Selanjutnya, program pembinaan menurut (Mangunhardjana, 1986: 16)

adalah “Prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan

kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan”.

Suatu pembinaan yang tidak mempunyai sasaran yang jelas dapat

mengandung bahaya yang besar karena kegiatan itu tidak akan memiliki arah dan

tujuan. Bila sasaran tidak dirumuskan maka sulit untuk dinilai berhasil atau

tidaknya program tersebut. Untuk itu sasaran perlu dirumuskan dengan jelas dan

tegas dan sasaran harus ada hubungannya dengan minat dan kebutuhan yang

dibina.

1.5.2.2 Sasaran Program Pembinaan Anak Jalanan

Menurut (Soedijar, 1990: 9) isi dari program pembinaan harus sesuai

dengan sasaran yang ingin dicapai, dengan demikian sasaran tersebut akan

menjadi jawaban dari permasalahan yang dihadapi para anak jalanan.

Dalam seminar advokasi anak jalanan yang dikutip oleh (Soedijar, 1990:

9) mengatakan bahwa sasaran pembinaan anak jalanan adalah:

1. Melindungi dan berusaha mengangkat derajat anak jalanan.

2. Memberikan pelayanan secara teliti sehingga kesehatan dan gizi mereka tetap

terjamin.

3. Menumbuhkan rasa sadar diri, semangat kerja dan mengangkat derajat hidup

mereka sendiri bahkan keluarga dan masyarakat sekitarnya.

4. Memberikan pengarahan pada waktu bermain, rekreasi dan pada saat waktu

(50)

Di dalam program pembinaan perlu juga diperhatikan integritas dari

seluruh program pembinaan, maka:

1) Perlu dijaga agar dalam seluruh program diciptakan variasi, metode dalam

mengolah kegiatan agar program berjalan lancar serta memikat dan tidak

monoton serta membosankan.

2) Perlu diketahui sikap, pengalaman dan keahlian Pembina dalam bidang

pembinaan. Sikap Pembina sangat menentukan cara pelaksanaan program.

(Soedijar, 1990: 9).

1.5.3 Keberadaan Anak Jalanan

1.5.3.1 Pengertian Anak Jalanan

Arti anak jalanan menurut peserta Lokakarya Nasional Anak Jalanan

dengan Departemen Sosial sebagai penyelenggara adalah “Anak yang sebagian

besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan

atau tempat-tempat umum lainnya”. (Departemen Sosial, 2006: 22).

Dalam tulisan Shalahuddin dan KHA (Konvensi Hak Anak) yang dikutip

dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) memberikan pengertian

anak jalanan sebagai “Satu kelompok anak yang berada dalam kesulitan khusus

(children in especially difficult circumtance) yang menjadi prioritas untuk segera

(51)

Sedangkan menurut Johanes dalam (Huraerah, 2006: 80) pada seminar

tentang pemberdayaan anak jalanan yang dilaksanakan Sekolah Tinggi

Kesejahteraan Sosial Bandung menyebutkan bahwa anak jalanan adalah “Anak

yang menghabiskan waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun tidak yang

terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga dan anak yang

mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga”.

Lebih lanjut, menurut Sudijar dalam (Jurnal Penelitian Kesejahteraan

Sosial, 2003: 65) mendefenisikan anak jalanan sebagai “Anak-anak usia 7-21

tahun yang bekerja di jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya yang dapat

mengganggu ketertiban dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya,

yang pada umumnya bekerja sebagai pengamen, penjual koran, penyemir sepatu,

pedagang asongan dan pemulung”.

Dari batasan pengertian tersebut, Sudijar mengemukakan bahwa ciri-ciri

anak jalanan yang dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 65)

yaitu:

1. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, tempat hiburan, terminal atau

stasiun).

2. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit sekali yang tamat

SD).

3. Berasal dari keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa

diantaranya tidak jelas keluarganya).

(52)

Sementara dalam pengertian Ilmu Sosiologi yang dikutip dari (Nugroho,

2003: 97) istilah anak jalanan menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang

keluyuran di jalan-jalan, orang awam mengatakan sebagai kenakalan anak dan

perilaku mereka dianggap mengganggu ketertiban sosial. Sedangkan dalam

pengertian Ilmu Ekonomi, istilah anak jalanan menunjuk pada aktifitas

sekelompok anak (pekerja anak) yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena

kondisi ekonomi orang tua yang miskin.

Dari beberapa defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan

adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk

melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan termasuk di lingkungan pasar dan

pusat-pusat keramaian lainnya.

1.5.3.2 Karakteristik Anak Jalanan

Menurut data (Departemen Sosial, 2006: 23) ciri anak jalanan terbagi

dalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak

jalanan yang mempunyai warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan,

kebanyakan berbadan kurus dan berpakaian kotor. Sedangkan ciri psikis adalah

mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan

pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, tidak berfikir

(53)

Masih menurut data Departemen Sosial, bahwa seorang anak dikatakan

anak jalanan bilamana mempunyai indikasi sebagai berikut:

1. Usia di bawah 18 tahun.

2. Orientasi hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya,

tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka:

a. Ada yang sama sekali tidak berhubungan dengan keluarganya.

b. Masih ada hubungan sosial secara teratur minimal dalam arti bertemu

sekali setiap hari.

c. Masih ada kontak dengan keluarganya, namun tidak teratur.

3. Orientasi waktu.

Mereka tidak mempunyai orientasi mendatang. Orientasi waktunya adalah

masa kini. Dan waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap

harinya.

4. Orientasi tempat tinggal.

a. Tinggal bersama orang tuanya.

b. Tinggal dengan teman-teman sekelompoknya.

c. Tidak mempunyai tempat tinggal, tidur disembarang tempat.

5. Orientasi tempat berkumpul mereka adalah tempat-tempat yang kumuh, kotor,

banyak makanan sisa, tempat berkumpulnya orang-orang, misalkan; pasar,

terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS,

perempatan jalan atau jalan raya, di kendaraan umum (mengamen) dan tempat

(54)

6. Orientasi aktifitas pekerjaan.

Aktifitas yang mereka kerjakan adalah aktifitasnya yang berorientasi pada

kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup, seperti;

menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran/majalah, mencuci

kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut dan menjadi

penghubung penjual jasa.

7. Pendanaan dalam aktifitasnya.

a. Modal sendiri.

b. Modal kelompok.

c. Modal majikan.

d. Stimulan/bantuan.

8. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

a. Korban eksploitasi sex.

b. Dikejar-kejar aparat.

c. Terlibat kriminal.

d. Konflik dengan kelompok lain atau teman dalam kelompok.

e. Potensi kecelakaan lalu lintas.

f. Ditolak masyarakat.

9. Kebutuhan-kebutuhan anak jalanan.

a. Haus kasih sayang.

b. Rasa aman.

(55)

d. Kebutuhan pendidikan.

e. Bimbingan keterampilan.

f. Bantuan usaha.

g. Harmonisasi hubungan sosial dengan keluarga, orang tua dan masyarakat.

Sedangkan menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang

dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) bahwa terdapat 3

(tiga) kategori dalam menilai seorang anak apakah anak jalanan atau tidak, yaitu:

1. Anak-anak jalanan yang betul-betul tinggal di jalanan, lepas sama sekali dari

orang tuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap gelandangan.

2. Anak-anak jalanan yang kadang-kadang saja kembali kepada orang tuanya.

Anak jalanan seperti ini umumnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar

rumah.

3. Anak-anak jalanan yang lain, yang tinggal jauh dari orang tuanya. Mereka ini

kehilangan kontak sama sekali dengan orang tuanya.

Disamping itu, Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) juga

memberikan karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan

diantaranya adalah:

1. Kelihatan kumuh atau kotor. Baik kotor tubuh maupun kotor pakaian

2. Memandang orang lain, yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat

dimintai uang.

3. Mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama

(56)

4. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan

orang yang bukan dari jalanan. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk

berinteraksi dan berbicara dengan siapa pun selama di jalanan.

5. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu

tidak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut,

mencuci pakaian dan menyimpan pakaian.

1.5.3.3 Model Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan

Sehubungan dengan masalah anak jalanan tersebut, maka menurut

(Departemen Sosial, 2006: 5) dalam Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan

mengembangkan 3 (tiga) model pelayanan sosial bagi anak jalanan yaitu:

1. Community Based Social Services

Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lingkungan

masyarakat dimana anak dan keluarga anak jalanan bertempat tinggal.

Pelayanan ini dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak dan keluarga

anak jalanan serta anggota masyarakat yang lainnya dalam proses pelayanan.

Tujuan pelayanan sosial ini adalah mencegah anak dari keluarga miskin

terutama anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk) menjadi

anak jalanan. Diupayakan agar mereka tidak mungkin mempunyai peluang

terjun ke jalan dan dimungkinkan untuk dikembalikan kepada keluarga

(57)

2. Street Based Social Services

Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lingkungan

jalanan atau tempat publik lainnya, dimana anak jalanan menjalani hidup di

jalan. Pelayanan ini dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak jalanan

dan para pihak yang bersinggungan dengan kehidupan anak jalanan dalam

proses pelayanan. Tujuan pelayanan sosial ini adalah mencegah anak jalanan

dengan kategori anak yang bekerja di jalan (children of the street) untuk tidak

terjerumus dan menjadi pelaku kejahatan. Diupayakan agar mereka menjalani

kehidupan seperti semula dan dapat dipertemukan kembali dengan keluarga

mereka.

3. Centre Based Social Services

Pelayanan sosial terhadap anak jalanan ini dikembangkan di lembaga

pelayanan khusus dalam bentuk panti atau yang sejenisnya. Anak diambil dari

lingkungan jalanan atau tempat publik lainnya. Mereka diberi fasilitas untuk

dapat menjalani hidup seperti semula. Selain itu, pelayanan ini dilakukan

untuk mengisolir mereka dari lingkungan yang dapat menjadikan diri mereka

berperilaku melanggar norma. Tujuan pelayanan ini adalah untuk

menyembuhkan anak jalanan dari luka-luka fisik maupun psikologis dan

sosial yang dialaminya. Mereka menerima pelayanan ini untuk jangka waktu

yang tidak terbatas dan setelah sembuh dari pengaruh kehidupan jalanan,

(58)

Masing-masing pendekatan tersebut, memiliki kelebihan dan kekurangan

yang saling melengkapi, sehingga dalam penggunaannya antara pelayanan sosial

yang satu dengan pelayanan sosial yang lain harus bersifat simultan. Pelayanan

ketiganya dapat dilakukan dalam bentuk program rumah singgah, pelayanan

keliling anak jalanan, pondok sosial, rumah perlindungan anak jalanan dan

pelayanan sosial alternatif lainnya.

1.6 Defenisi Konsep

Konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan

atas dasar generalisis dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan kelompok

atau individu. Oleh karena itu yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini

adalah:

1. Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

individu-individu atau kelompok-kelompok Pemerintah yang diarahkan untuk

mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan

kebijakan sebelumnya.

2. Program pembinaan adalah prosedur yang disediakan sebagai landasan untuk

menentukan isi dan urutan kegiatan pembinaan.

3. Anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian

besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan

Gambar

Gambar: Diagram implementasi kebijakan oleh Grindle yang dikutip dalam

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan yang telah dianalisis serta penelitian yang dilakukan peneliti di lapangan maka dapat disimpulkan bahwa implementasi

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pelaksanaan program perlindungan dan pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu sudah sesuai

Dalam perjalanan- nya, implementasi pembinaan melalui pelatihan kejuruan bagi anak jalanan telah terlaksana, berangkat dari kebu- tuhan lembaga PPSBR akan peserta pelatihan

Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak Jalanan di Kota Medan (studi kasus pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan).. Medan: Universitas

a) Pembinaan Anak Jalanan di Kota Pekanbaru yang secara tekhnis dilaksanakan oleh Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pekanbaru, ditinjau dari aspek pelayanannya

Anak ini, kondisi ekonomi dilingkungan sasaran kebijakan memaksa para anak jalanan kembali kejalanan, karena ekonomi dilingkungan sekitar masih masuk kategori

Kesimpulan: Hasil dari penelitian ini yaitu kualitas kebijakan belum jelas karena tidak ada aturan daerah yang mengatur tentang anak jalanan oleh karena itu perlu dibuat peraturan yang

Kesimpulan dalam penelitian ini Implementasi Pembinaan Anak Jalanan Melalui Kegiatan Support Group oleh Dinas Sosial Kota Tanjungpinang sudah terlaksanakan, meskipun masih ada beberapa