BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Perkembangan kota di segala bidang tidak hanya memberikan nuansa
positif bagi kehidupan masyarakat. Perkembangan kota melahirkan persaingan
hidup sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan.
Kota yang padat penduduk dan banyaknya keluarga yang bermasalah telah
membuat makin banyaknya anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang
pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk
bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup merdeka. Banyak kasus yang
menunjukkan meningkatnya penganiayaan terhadap anak-anak, mulai tekanan
batin, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual, baik oleh keluarga sendiri,
teman, maupun orang lain.
Kemiskinan perkotaan yang melanda kota-kota besar di Indonesia
disebabkan oleh gejolak ekonomi yang semakin menyengsarakan masyarakat
telah menimbulkan masalah-masalah baru yang cukup kompleks. Kemiskinan
kerap kali menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai. Mulai dari kesadaran
masyarakat hingga kemampuan pemerintah dalam menganalisis masalah dan
merencanakan program yang menjanjikan. Faktanya program itu hanya bersifat
aturan yang tertulis diatas kertas sedangkan keluh kesah warga keras terdengar di
telinga.
Fenomena keberadaan anak jalanan yanghingga kini masih menuai
masalah tanpa ada solusi yang tepat untuk mengatasinya merupakan salah satu
temui di sudut-sudut kota besar terutama Kota Medan. Mata kita sudah tidak asing
lagi melihat anak-anak yang mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu
merah. Mereka mendatangi warung-warung pinggir jalan menawarkan jasa atau
sekedar meminta sumbangan. Aktivitasnya dimulai dengan bermain musik,
menjual koran, menyemir sepatu hingga meminta sumbangan dengan kotak amal.
Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
31 Tahun 2013 tentang Koordinasi Penanggulangan Anak Jalanan, Gelandangan
dan Pengemis yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah dalam hal ini
telah banyak mengeluarkan kebijakan tentang bagaimana menangani keberadaan
anak jalanan. Koordinasi penanggulangan anak jalanan dalam Undang- Undang
ini, dilaksanakan melalui satu tim yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Tim
yang dimaksud dalam keputusan Presiden ini yaitu mempunyai tugas dalam
membantu Menteri Sosial dalam menetapkan kebijakan pemerintah di bidang
penanggulangan anak jalanan, gelandangan dan pengemis (Gepeng). Tim tersebut
bekerja dalam perumusan dan perincian kebijaksanaan pelaksanaan
penanggulangan anak jalanan.
Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat
menegaskan bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Republik Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang kemudian di turunkan dalam
undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 ayat (1) UUD 1945
disebutkan bahwa ”fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua
anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataannya
dipelihara oleh negara. Penanganan masalah masyarakat miskin yang bergantung
pada penghasilan di jalanan merupakan masalah yang harus dihadapi oleh semua
pihak, bukan hanya orang tua atau keluarga saja, tetapi juga setiap orang yang
berada dekat anak tersebut harus dapat membantu pertumbuhan anak dengan baik.
Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama
dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Keputusan Presiden RI
No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convension on the Right of the Child
(konvensi tentang hak-hak anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara
normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan
keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan,
pendidikan, rekreasi dan budaya dan perlindungan khusus.
Konvensi hak-hak anak merupakan komitmen dalam pemenuhan
kebutuhan dasar anak agar dapat tumbuh secara wajar. Kemudian, pemerintah
juga menerbitkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002,
sehingga konsekuensinya Pemerintah berkewajiban semaksimal mungkin
berupaya memenuhi hak-hak anak Indonesia namun, kenyataan menunjukkan
bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang
mengaturnya, belum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan tersebut. Orang tua
memang merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak tersebut, tetapi
karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung, maka peran
pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan
Berdasarkan data dari NGO (Non Goverment Organization) diketahui
bahwa Kota Jakarta merupakan wilayah terbanyak ditemukan nya anak terlantar
yaitu anak jalanan, gelandangan dan pengemis padahal pemerintah daerah telah
mencanangkan berbagi kebijakan baik melalui aturan, program dan berbagai
kegiatan untuk mengentaskan problema anak jalanan. Hal ini sungguh tidak wajar
dipandang, mengingat Kota Jakarta adalah ibukota dari Negara Indonesia yang
harus dijaga ketertibannya. Salah satu wujud nyata adalah Pemerintah Daerah
Kota Jakarta dalam keputusannya telah menetapkan suatu kebijakan mengenai
pembinaan khusus sebagai penerobosan untuk menyikapi keberadaan anak
jalanan. Peraturan Daerah No 8 Tahun 2013 tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) sudah disahkan oleh walikota Jakarta. Pada
kenyataannya yang terjadi hingga saat ini diketahui, masih banyak saja ditemukan
anak jalanan dan terlantar di kota Jakarta.
Terdapat program dan kegiatan yang dicantumkan dalam kebijakan pada
undang-undang perda Kota Jakarta. Program tersebut diantaranya yaitu: (1)
program pemberdayaan terhadap anak jalanan yaitu proses penguatan keluarga
yang dilakuan secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang
dimiliki tiap individu yang dibina; (2) program pembinaan yaitu terdapat bebarapa
indikator di dalamnya yakni pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, serta
rehabilitasi sosial; (3) program bimbingan yaitu salah satu cara pembinaan yang
dilakukan melalui kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan
sebelumnya.
Tujuan diadakannya berbagai program tersebut adalah untuk memudahkan
jumlah anak jalanan yang sudah sanga membanjiri kota kota besar ini. Pada
kenyataannya hal itu hanya legalisasi pelepasan tanggung jawab pemerintah,
padahal anak-anak jalanan dan kaum miskin perkotaan adalah tanggung jawab
negara. Saat ini masih banyak masyarakat miskin yang seharusnya mendapat
perhatian pemerintah, hingga saat ini banyak kita temukan di jalanan dan
tempat-tempat tertentu Kota Jakarta. Hal tersebut membuktikan bahwa keberhasilan dari
program dan kegiatan yang telah disusun ternyata belum mencapai target yang
diinginkan.
Berbeda dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kota ini
memang telah menunjukkan keistimewaannya. Penurunan populasi anak jalanan
berhasil dilakukan pada tahun 2014. Di tengah arus besar yang berlangsung di
hampir seluruh wilayah Indonesia yang selama ini menempatkan anak jalanan
sebagai pelaku kriminal (termasuk perkembangan beberapa tahun terakhir juga
mengkriminalisasi para pemberi uang kepada anak jalanan) dan karenanya jalan
yang banyak ditempuh menggunakan pendekatan represif, telah diubah dengan
pendekatan hak anak. Perubahan ini tercermin nyata dengan disahkannya
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
yang hidup di jalan pada tanggal 20 Januari 2014. Aturan berikutnya terkait
dengan implementasi atas perda tersebut yang tertuang pada Peraturan Gubernur
No. 31 tahun 2013, tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak
yang hidup di Jala
Tujuan yang terkandung dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta adalah
untuk perlindungan anak yang hidup di jalanan, terdapat pada pasal 3 yaitu; (1)
mengentaskan anak dari kehidupan di jalan; (2) menjamin pemenuhan hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; dan (3) memberikan
perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, demi terwujudnya anak
yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Program yang dilakukan,
terdapat pada pasal 6 yaitu: (1) program pencegahan; (2) program penjangkauan
(3) program pemenuhan hak; dan (4) program re-integrasi sosial.
Berdasarkan program yang telah dicanangkan pada perda Yogyakarta,
pada program penjangkauan anak jalanan, Tim Perlindungan Anak (TPA) yang
anggotanya mewakili berbagai unsur seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan,
Kepolisian, Satuan polisi Pamong Praja, dan juga unsur dari masyarakat sipil ikut
turun serta mengambil bagian. Program yang dilakukan dalam penjangkauan
mengedepankan pendekatan yang manusiawi, dengan mengenal, bermain
bersama, menjalin persahabatan dan menanamkan kepercayaan anak. TPA
melakukan wawancara untuk mengungkapkan masalah yang tengah dihadapi anak
kepada anak, orangtua atau orang terdekat. Pada kegiatan-kegiatannya, TPA juga
bisa melibatkan anak yang sudah mendapatkan pembinaan. Diketahui hasil yang
didapat bahwa dengan adanya program pemerintah daerah Kota Yogyakarta yang
efektif maka keberadaan populasi anak jalanan telah berkurang pada tahun 2014.
Kota Palembang juga merupakan salah satu kota besar di Sumatera Selatan
yang masih dibanjiri populasi anak jalanan di daerah-daerah keramaian. Sama
daerahnya. Pemerintah Kota Palembang juga telah mengeluarkan kebijakan
berupa aturan mengenai pembinaan anak jalanan. Peraturan Daerah Kota
Palembang terdapat pada Undang-Undang No 9 tahun 2013 tentang Pembinaan
dan Pengentasan Anak Jalanan. Dalam undang-undang tersebut terdapat berbagi
program yang mengatur anak jalanan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
pemerintah melaui Dinas Kesejahteraan dan Sosial Kota Palembang
menyebutkan: (1) kegiatan preventif yaitu kegiatan yang dilakukan di
tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis dan anak
jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik
daripada mengobati; (2) kegiatan dukungan; (3) kegiatan rehabilitatif yaitu
kegiatan yang dilakukan dengan penjangkauan seperti pemulangan anak jalanan
dan pemberian keterampilan.
Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan guna pengentasan anak
jalanan di Kota Palembang namun sepertinya kebijakan tersebut hanya sebatas
program yang tertuang dalam suatu peraturan. Aparatur pemerintah dan pihak
yang berwenang belum efektif melaksanakan tugasnya dan diketahui masih
banyak menggelandang anak jalanan di sudut-sudut Kota Palembang.
Disimpulkan bahwa keberhasilan kebijakan yang dilakukan masih belum dapat
direalisasikan sehingga masih membutuhkan pelaksanaan yang benar-benar
efektif dari pemerintah daerah Kota
Palemba
Kota Medan merupakan wilayah metropolitan terbesar di luar
Pulau
Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan mengatakan
bahwa laju pertumbuhan, penduduk Kota Medan mengalami pertumbuhan yang
fluktuatif. Berdasarkan data BPS diketahui pada tahun 2014, jumlah penduduk
Kota Medan diperkirakan meningkat menjadi 2.136.105 jiwa. Ada peningkatan
jumlah penduduk Kota Medan dari 2.109.156 jiwa pada tahun 2013 menjadi
2.136.105 jiwa pada tahun 2014 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar
0,91%. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tingkat kelahiran,
kematian dan arus urbanisasi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Medan
merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar.
Jumlah penduduk kota Medan yang semakin meningkat, berjalan seiring
dengan pertumbuhan jumlah anak. Bertambahnya anak disebabkan oleh tingginya
angka kelahiran yang terjadi. Seseorang dikatakan anak adalah yang berumur 0-18
tahun dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara mencatat jumlah
anak di Kota Medan tahun 2014 mencapai 956.442 jiwa sedangkan pada tahun
2013 tercatat, terdapat 894.334 jiwa pada tahun 2012 sejumlah 865.442 jiwa. Data
tersebut membuktikan adanya angka kenaikan jumlah anak di Kota Medan setiap
tahunnya.
Fenomena merebaknya anak jalanan merupakan persoalan sosial yang
kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak memiliki masa
depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi masalah bagi
jalanan tampaknya belum begitu besar karena mereka adalah saudara kita, mereka
juga adalah amanah Tuhan yang harus dilindungi dijamin hak-haknya, sehingga
tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan
bermasa depan cerah.
Anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan
menganggap bahwa mereka lebih baik bekerja dan mencari uang untuk jajan dari
pada pergi ke sekolah karena malas berfikir. Mereka bisa mendapatkan kurang
lebih Rp.20.000 sampai Rp.100.000 per hari dari bekerja di jalanan. Mereka
merasa betah berada di jalanan. Anak-anak jalanan menjadi malas jika diajak ke
habitat normal seperti anak seusia mereka pada
umumnya
sumut,
Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2014 lalu
terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di
Jakarta. Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data yang
dikeluarkan oleh Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan tahun 2014
terlihat bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di Kota Medan menduduki
jumlah yang tertinggi yaitu, mencapai 1.526 jiwa (50.26%) dari seluruh anak
jalanan yang berada di Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini
menunjukkan bahwa Kota Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat
jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain yang berada di Propinsi Sumatera
Utara.
Berdasarkan banyaknya jumlah anak di kota Medan, menurut data yang
diperoleh dari Yayasan Pusaka Indonesia, menaksir jumlah anak jalanan di
Sumatera Utara mencapai 4.500 anak dan 1.500 anak diantaranya berada di Kota
Medan. Perserikatan Perlindungan Anak (PPAI) Sumatera Utara menghimpun
angka yang lebih banyak, yaitu 5000 anak jalanan berada di Seluruh Sumatera
Utara dan 1.800 dari jumlah tersebut tiggal di Kota Medan. Menurut KKSP
(Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) ada sekitar 1.150 anak jalanan di seluruh
Sumatera Utara pada tahun 2014.
Aktivitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya
sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, tukang semir sepatu, dan
lain sebagainya. Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau
umumnya seperti di perempatan jalan, pusat-pusat pasar, stasiun/terminal bus,
pusat perbelanjaan serta rumah makan yang mengijinkan mereka masuk untuk
beroprasi seperti menyemir sepatu dan mengamen. Anak-anak yang hidup di
jalanan atau yang melakukan kegiatan di jalanan sangat rentan dengan perlakuan
kekerasan dan eksploitasi. Sudah menjadi hukum di jalanan, siapa yang kuat
merekalah yang menang. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan
dan kemanjaan, terpaksa harus berhadapan dengan dunia yang keras dan kejam
yaitu dunia jalanan.
Tidak jarang kita temukan, anak jalanan seringkali menjadi objek
dihadapi saat berada di jalanan. Resiko-resiko yang dapat diidentifikasi adalah
menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual,
penangkapan dan perampasan modal kerja), kelangsungan hidup terancam, kurang
gizi (miniman keras, penyalah gunaan obat, tindakan kriminal dan seks bebas),
ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta
keterkucilan dan stigmatisasi sosial (Huraerah, 2006:79).
Kahadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi
mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang memuat mereka bisa
bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, disisi lain
mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka
acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor,
mengganggu ketertiban di jalanan misalnya: memaksa pengemudi kendaraan
bermotor untuk memberi sejumlah uang (walaupun tidak seberapa) dan
melakukan tindakan kriminal lainnya.
Anak-anak yang hidup di jalan sangat berbeda dengan anak-anak yang
hidup dalam asuhan orang tuanya. Anak-anak dijalan hidup secara bebas. Mereka
bebas melakukan apa saja yang mungkin belum patut dilakukan anak-anak
seumuran mereka. Umumnya terlihat berpakaian lusuh, kumal, dandanan jauh dari
kesan rapi hingga tato menghiasi tubuh mereka. Rokok, minuman keras, dan
mabuk-mabukan sepertinya sudah umum dilakukan anak-anak seusia mereka
yang seharusnya mengenyam pendidikan di sekolah. Anak-anak di jalan sebagian
besar putus sekolah karena ketiadaan biaya. Akibatnya mereka seakan tidak
masyarakat mengasingkan mereka. Masyarakat tidak menganggap mereka bagian
dari warga masyarakat. Akibatnya terjadi penolakan di setiap kehadiran mereka.
Terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Utara No.6 Tahun
2003 tentang Gelandangan dan Pengemis merupakan bentuk konkrit kepedulian
pemerintah terhadap penanggulangan anak jalanan. Namun pada kenyataannya hal
itu hanya legalisasi pelepasan tanggung jawab pemerintah, padahal anak-anak
jalanan dan kaum miskin perkotaan adalah tanggung jawab negara. Pelayanan
yang diberikan terhadap anak jalanan masih tidak terarah.
Instrumen hukum dan kebijakan tersebut belum terimplementasi dengan
baik, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam
konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya belum sepenuhnya didapatkan oleh
anak jalanan, orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan
hak-hak kepada anaknya, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak
mendukung maka peran Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial
berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.
Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka
Pemerintah Daerah Kota Medan melalui Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota
Medan mengadakan Program Pembinaan Anak Jalanan, dimana dengan program
yang realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak
jalanan. Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang
dilakukan oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata dan yang paling
diharapkan oleh anak jalanan misalnya, dengan terciptanya lapangan pekerjaan,
bila memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu
sekolah dan bermain maka tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Anak akan terdidik melalui pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang
bertanggung jawab.
Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalanan, hal
terpenting yang juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan
terhadap keluarga anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga
yang kurang mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja
membantu orang tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus
dilakukan oleh Dinas Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang
menciptakan kemandirian , sehingga dengan berbagai program pembinaan yang
diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka
tidak kembali lagi ke jalanan dan akhirnya hal tersebut dapat meminimalisir
keberadaan anak jalanan di Kota Medan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, penulis
sangat tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini dalam
bentuk skripsi dengan judul : “Implementasi Program Pembinaan AnakJalanan di
Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan”.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka penulis
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana implementasi
program pembinaan anak jalanan di Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota
Medan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi program
pembinaan anak jalanan oleh Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap
keilmuan yang dikembangkan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan
dapat bermanfaat dalam pembuatan keputusan dan kebijakan dalam upaya
menyikapi masalah sosial.
2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan
karya ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan berpikir
penulis dalam menyikapidan menganalisis masalah-masalah sosial.
3. Secara praktis, dapat digunakan sebagai bahan masukan, pertimbangan dan
sebagai bahan evaluasi khususnya bagi Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan
Kota Medan dan bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum
guna meningkatkan pelaksanaan program yang diberikan kepada anak jalanan.
1.4Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan dan manfaat
penelitian.
Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan
dengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran,
definisi konsep dan definisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi
dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik
analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umum lokasi
penelitian serta data-data yang mendukung karya ilmiah.
BAB V : ANALISIS DATA
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian
beserta dengan analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian