• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Menuurt Kerlinger, teori adalah ;“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena” (Teori adalah suatu rangkaian konsep, difinisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena).11

Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu

11 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal 140.

yang terjadi.12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori mengenal suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.13

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) dibidang pertanahan antara siapa dengan siapa, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan

dimaksud antara lain dapat diberikan respon/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).

Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori kepastian hukum kepemilikan tanah garapan. Teori kepastian hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu tanah garapan harus mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum.

Menurut Kelsen, hukum adalah “sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum”.14

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2010), hal 122

13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal 80

14Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.158.

sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux”

yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.15

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.16

Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.17

Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.18 Teori Kepastian adalah tentang kepastian hukum, yang mana artinya adalah setiap perbuatan hukum yang dilakukan seharusnya menjamin sebuah kepastian hukum.

15 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hal.59.

16 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal .23.

17 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:

Gunung Agung, 2002), hal.82-83.

18Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 49-50

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta”19

Persoalan tanah memang seakan tidak pernah tuntas untuk dibahas. Hal ini sejalan dengan bertambahnya populasi manusia sehingga mendongkrak angka kebutuhan akan tanah dan pemanfaatannya. Namun, berbanding terbalik dengan jumlah ketersediaan tanah yang sifatnya statis, sehingga tidak mengherankan jika kemudian kondisi tersebut mejadi salah satu pemicu tingginya potensi sengketa, konflik dan bahkan perkara pertanahan di muka peradilan

Fenomena tentang tanah garapan dan sengketa tanah garapan cendrung terjadi di wilayah-wilayah yang mayoritas dikuasai perkebunan-perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) seperti halnya di wilayah Sumatera Utara. Umumnya sengketa tanah garapan muncul seiring dengan berakhirnya jangka waktu HGU tersebut, klaim sebagai pihak yang berhak menguasai atas tanah garapan ini.

Kenyataannya, meski telah mendapat pengakuan hukum atas keberadaan tanah garapan ini, namun tidak serta merta atas tanah garapan dimaksud dapat didaftarkan haknya oleh masyarakat penggarap untuk mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang dikuasainya oleh karena masih terdaftar sebagai aset BUMN, sehingga keadaan ini memposisikan tanah tersebut menjadi status quo. Penegasan status hukum atas tanah garapan yang telah clear and clean (jernih dan bersih) adalah

19 Sudikno Mertoskusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2004). hal 136

solusi jitu untuk mempermudah pemerintah daerah dengan bantuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan kegiatan redistibusi tanah bagi para petani penggarap yang pada akhirnya adalah untuk memproleh kepatian hukum hak atas tanah bagi para petani penggarap.

2. Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata menyatakan abstrak yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.20

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Tanah garapan menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan dari yang berhak.

2. Persengketaan tanah garapan adalah terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat penggarap dengan masyarakat lain yang ingin menguasai dan menggarap tanah.

3. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) adalah perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

20Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal 3

4. Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.

Dokumen terkait