• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH GARAPAN DI DESA HELVETIA KECAMATAN LABUHAN DELI KABUPATEN DELI SERDANG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH GARAPAN DI DESA HELVETIA KECAMATAN LABUHAN DELI KABUPATEN DELI SERDANG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS Oleh

YUSRIANSYAH RAMADHAN 137011017/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUSRIANSYAH RAMADHAN 137011017/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

Nama Mahasiswa : YUSRIANSYAH RAMADHAN Nomor Pokok : 137011017

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Dr. Edy Ikhsan, SH, MA)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 02 Februari 2016

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

2. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA

3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 4. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum

(5)

Nim : 137011017

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH GARAPAN DI DESA HELVETIA KECAMATAN LABUHAN DELI KABUPATEN DELI SERDANG

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

537.K/Pdt/2011)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : YUSRIANSYAH RAMADHAN Nim : 137011017

(6)

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011.

Permasalahan penelitian ini, adalah keabsahaan pelepasan hak dan ganti kerugian tanah garapan berdasarkan pertimbangan hakim dan akibat hukum kepemilikan tanah garapan, serta penyelesaian perkara terhadap sengketa tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 telah memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriftif analisis. Deskripsi adalah penelitian bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat. Jadi penelitian bersifat deskriftif analitis adalah suatu penelitian menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian.

Hasil penelitian bahwa keabsahan pelepasan hak dan ganti kerugian atas tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011, telah sesuai dengan prosedur dan peralihan hak atas tanah garapan atas penerapan hukum oleh lembaga pengadilan di bawah Makamah Agung. Putusan Mahkamah Agung ini bukan sebagai putusan peralihan hak atas tanah garapan, tetapi untuk menentukan apa ada salah penerapan hukum yang dilakukan Pengadilan Tinggi. Akibat hukum kepemilikan tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 berdasarkan dali-dalil sengketa tanah garapan, penggugat tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, yaitu gugatan penggugat tak sempurna dan tidak jelas karena penggugat tidak menguraikan, letak, ukuran dan batas-batas tanah dalam sengketa. Dengan demikian gugatan penggugat harus ditolak atau setidak- tidaknya harus dinyatakan tidak dapat terima. Hal ini sesuai dengan Yuriprudensi Mahkamah Agung RI No. 1149 K/Sip/1975 tenggal 17 April 1979 menyatakan bahwa “karena dalam surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas batas-batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”. Selain itu berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung RI No. 1391 K/Sip/1975, tanggal 26 April 1979 yang berbunyi

“karena gugatan dari penggugat tidak jelas batas-batas dasar sengketa yang digugat, gugatan penggugat tidak dapat diterima”. Penyelesaian perkara terhadap sengketa tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 telah memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya, disebabkan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak permohonan kasasi: Nila Kesuma, dan menyatakan tanah garapan yang disengketakan adalah sah menjadi hak tanah tergugat atau termohon kasasi.

Kata kunci: Sengketa, Kepemilikan, Tanah Garapan

(7)

The problems of research were whether or not the renunciation of rights and the compensation for tilled land were legitimate based on the judge’s consideration and the legal consequence for the tilled land ownership; and, how about the settlement for the tilled land dispute based on the Supreme Court’s Ruling No.

537.K/Pdt/2011 which had given a legal certainty to the owner.

This research applied descriptive analysis design which was aimed to provide a systematical, factual, and accurate description. A descriptive analytical research describes, reviews, explains, and analyzes laws both theoretically and practically in the research results.

The results showed that the legitimacy of the renunciation of rights, the compensation for the tilled land, and the transfer of rights of the tilled land based on the Supreme Court’s Ruling No. 537.K/Pdt/2011 had been in line with the procedures. The Supreme Court’s Ruling was not given to decide the transfer of rights of the tilled land, but to decide whether or not there was any misapplication of law performed by the Court of Appeal. The legal consequence of the tilled land ownership, based on the Supreme Court’s Ruling No. 537.K/Pdt/2011 and on the arguments for the tilled land dispute, was that the plaintiff did not manage to prove his arguments; his claim was imperfect and unclear because he did not explain the site, size and borders of the land in dispute. Therefore, his claim had to be rejected or at least be stated unacceptable. It was in line with the Supreme Court’s Jurisprudence No. 1149 K/Sip/1975 dated on April 17th, 1979 which stated that

“since the claim does not clearly mention the borders of the land in dispute, it cannot be accepted,” also, based on the Supreme Court’s Jurisprudence No. 1391 K/Sip/1975 dated on April 26th, 1979 which stated that, “since the claim from the plaintiff did not clearly explain the borders of the land in dispute, it cannot be accepted.” As for the settlement to the tilled land dispute case, the Supreme Court’s Ruling No. 537.K/Pdt/2011 has given a legal certainty for the land owner because the panel of judges of the Supreme Court of Republic of Indonesia rejected the cassation appeal of Nila Kesuma, and stated that the tilled land in dispute legally belongs to the defendant.

Keywords: Dispute, Ownership, Tilled Land

(8)

keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki untuk dapat menyelesaikan Tesis dengan judul: “Analisis Yuridis Sengketa Kepemilikan Tanah Garapan Di Desa Helvetian Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang (Studi Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan Tesis ini banyak pihak yang memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., dan Dr. Edy Ikhsan, SH., MA., selaku dosen pembimbing. Juga kepada dosen penguji Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS., dan Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum., atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulis Tesis ini.

Selanjutnya diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dekan Fakultas Hukum Medan.

(9)

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Seluruh dosen dan para pegawai/karyawan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

5. Kepada semua rekan-rekan peserta Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan semangat dalam penulisan Tesis ini.

Teristimewah dengan ketulusan hati diucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yang selalu mengasihi, ayahanda Syamsudin dan Ibunda Dania yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk selalu berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis. Demikian juga kepada istri tercinta Sukmawati Pertiwi dan putri tersayang Aura Hafifa Putri yang telah menjadi motivasi untuk menyelesaikan studi dalam penulisan Tesis ini.

Medan, Pebruari 2016 Penulis,

YUSRIANSYAH RAMADHAN

(10)

Tempat/Tanggal Lahir : Helvetia, 02 Juni 1983 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Banten Dusun IX A No.178 Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang

II. KELUARGA

Nama Ayah : Syamsudin

Nama Ibu : Dania

III. PENDIDIKAN

SD : SD Negeri NO. 101786 (1990-1996)

SMP : SMP Negeri 1 Labuhan Deli (1996-1999) SMU : SMU Negeri 9 Labuhan Medan (1999-2002) Strata 1 : Ilmu Hukum Universitas Dharmawangsa (2003-

2007)

Strata 2 : Magister Kenotariatan USU (2013-2016)

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR ISTILAH ASING... viii

DAFTAR SINGKATAN... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian. ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi... 18

G. Metode Penelitian... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data Penelitian ... 20

3. Tehnik dan Alat Metode Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 22

BAB II KEABSAHAN PELEPASAN HAK DAN GANTI RUGI TANAH GARAPAN BERDASARKAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN MAKAMAH AGUNG No. 537.K/Pdt/2011 ... 23

A. Pengertian Pelepasan Hak dan Ganti Rugi... 23

B. Tujuan dan Manfaat Pelepasan Hak dan Ganti Rugi ... 29

(12)

BERDASARKAN PUTUSAN MAKAMAH AGUNG No.

537.K/Pdt/2011 ... 42

A. Pengertian Tanah Garapan ... 42

B. Faktor-Penyebab Terjadinya Tanah Garapan... 48

C. Kepemilikan Atas Tanah Garapan ... 56

D. Bentuk-bentuk Alas Hak Tanah Garapan ... 66

E. Akibat Hukum Kepemilikan Tanah Garapan Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011... 73

BAB IV PENYELESAIAN PERKARA TERHADAP SENGKATA TANAH GARAPAN ... 78

A. Posisi Kasus ... 78

B. Pengertian Penyelesaian Perkara... 81

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011... 88

D. Analisis Hukum Perkara Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 ... 97

E. Penyelesaian Perkara Sengketa Tanah Garapan Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan... 107

B. Saran... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(13)

untuk menyelesaikan sengketa Advis planning : Rencana peta pembangunan

A quo : Perkara bersangkutan

Arbitration : Kedua belah pihak ketiga yakni arbitrator/arbiter untuk menyelesaikan sengketa dan sejak semula sepakat akan menerima keputusan arbitratos Avoidance : Para pihak yang merasa dirugikan memilih untuk

tidak berhubungan lagi dengan pihak merugikan

Causal : Sebab musabab

Clear and clean : Jernih dan bersih

Coercion : Satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain

Conflict of interest : Benturan kepentingan

Credietverband : Pengikatan agunan berupa tanah

Droit de suite : Suatu hak yang terus mengikuti pemilik benda

Fiktif : Tidak ada

Form : Bentuk

Hypotheek : Suatu hak kebendaan atas benda

Idle : Nganggur

Inbreng : Pemasukan dalam modal perusahaan

Kosten : Biaya yang dikeluarkan

In krach van gewijsde : Kekuatan hukum yang pasti atau tetap

Lebensraum : Hak suatu bangsa atas ruang hidup untuk dapat menjamin kesejahteraan dan keamanannya

(14)

sengketa tanpa memperdulikan bahwa kedua belah pihak bersengketa meminta bantuan atau tidak.

Negotiation : Dua pihak berhadapan merupakan cara pengambil keputusan

Obligatoir : Perjanjian yang menyebabkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu

Owner : Pemilik

Schaden : Kerugian harta benda

Uitspraak : Putusan yang diucapkan di persidangan Welfare state : Konsep negara kesejahteraan

Winstderving : Keuntungan diperoleh seandainya si berhutang tidak lalai

Vonnis : Putusan Tertulis di persidangan

(15)

BPN : Badan Pertanahan Nasional BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara

BW : Burgelijke Wetbook

GS : Gambar Situasi

HGU : Hak Guna Usaha

HTN : Hak Atas Tanah

IMB : Izin Mendirikan Bangunan

KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata NJOP : Nilai Jual Obyek Pajak

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

PJN : Peraturan Jabatan Notaris PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPT : Panitia Pengadaan Tanah

PT : Perseroan Terbatas

RUTRK : Rencana Umum Tata Ruang Kota

SK : Surat Keputusan

SPLG : Surat Perjanjian Lahan Garapan

SPPHT : Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah

TUN : Tata Usaha Negara

UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris USU : Univeristas Sumatera Utara UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

(16)

A. Latar Belakang Masalah

Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting.

Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya.

Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa tanah merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan produksi pada setiap fase peradaban. Tanah memiliki nilai-nilai, baik ekonomis yang tinggi, filosofis, politik, sosial, kultural, dan ekologis yang menjadikan tanah sebagai sebuah harta berharga yang sangat dibutuhkan dan ada banyak kepentingan yang membutuhkannya, sehingga terus- menerus dan bahkan dapat memicu berbagai masalah sosial yang rumit dikarenakan perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah dan oleh karena adanya ketimpangan dari struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya.

Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia, di mana kebutuhan manusia akan tanah selalu bertambah, dan ketersediaan akan tanah terbatas. Kebutuhan tanah tersebut baik dari segi ekonomi, sosial maupun segi teknologi. Tanah juga merupakan tempat dimana manusia hidup dan berkembang, serta sumber bagi kepentingan hidup manusia pada umumnya. Oleh karena terbatasnya tanah maka berdampak kepada nilai jual tanah yang semakin tinggi

(17)

karena didasarkan pada semakin banyaknya permintaan atas tanah untuk pembuatan sarana umum, seperti hotel, rumah sakit, dan rumah makan ataupun sarana pribadi seperti rumah, villa dan lain-lain.1

Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya.2

Menurut Limbong menyatakan bahwa “tanah dan lahan pada ranah akademis berbeda makna dalam penggunaannya bila dibandingkan pada ranah pemerintah ataupun diskusi sehari-hari. Kaum akademisi lebih cenderung memilih kata lahan apabila membahas permukaan bumi secara keruangan, sedangkan masyarakat awam lebih akrab dengan kata tanah”.3

Menurut Sumarja, pengertian “tanah secara yuridis adalah permukaan bumi, termasuk bagian tubuh bumi serta ruang di atasnya, sampai batas tertentu yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, sedangkan hak atas tanah adalah sebagian tertentu permukaan bumi, yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum”.4

Menurut Sumardjono, “mengutip dari Penjelasan Umum Angka II (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, didefinisikan sebagai hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh

1Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang:

Bayumedia, 2007), hal 1.

2Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal 172.

3Bernhard Limbong, Politik Pertanahan , (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2014), hal 23.

4 FX. Sumarja, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing, (Bandar Lampung:

Indepth Publishing, 2012), hal 14.

(18)

bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.5

Tanah menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah “permukaan bumi yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Pasal 4 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa tanah-tanah yang dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan yang lebih tinggi”.6

Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Manusia diberikan kepercayaan untuk mengelola dan memelihara fungsi dan kegunaan tanah, sebab manusia diciptakan sebagai mahluk yang sempurna yang memiliki akal pikiran, sehingga Tuhan Yang Maha Esa menundukan alam semesta ini termasuk tanah dibawah penguasaan dan pengelolaan manusia.

Dalam konsep Hak Atas Tanah (HTN) dalam hubungan antara subjek hak dan tanah sebagai objek hak dikenal pengertian tanah negara dan tanah hak. Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah.7 Menurut Ali Chomzah Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.8

5Maria SW Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya , (Jakarta: Kompas, 2009), hal 128.

6Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), hal 111

7Maria SW Sumardjono, Op.Cit, hal 144.

8Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan III-Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV-Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), hal 1

(19)

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat.

Masalah pertanahan bukan saja merupakan suatu masalah yang hanya mempunyai satu segi atau sisi saja, tetapi juga merupakan suatu masalah bersifat lintas sektoral, sehingga apabila tidak ditangani secara cermat, teliti dan profesional dapat menimbulkan berbagai benturan kepentingan. Benturan kepentingan ini, antara lain disebabkan karena tidak jelasnya hubungan antara pihak-pihak yang menguasai atau menggarap tanah garapan yang belum diselesaikan oleh pemerintah, sedangkan di lain pihak kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat dan kritis.

Setiap tahun selalu saja ada sengketa tanah yang diproses baik melalui pengadilan maupun yang diselesaikan secara musyawarah atau mufakat oleh masyarakat, itu dikarenakan karena pengaruh tanah di kehidupan masyarakat Indonesia sangat besar, baik untuk tanah pertanian dan perkebunan maupun untuk permukiman penduduk. Begitupun dengan tanah-tanah yang terletak di daerah pesisir pantai, sungai dan danau selalu saja timbul sengketa dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai pengaturan tentang tanah.

(20)

Setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat berwenang seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai landasan hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga pencapaian hasil tidak menimbulkan masalah atau sengketa baru.

Masalah tanah selalu muncul di Negara Republik Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah garapan. Untuk mengatasi hal tersebut, negara mengatur tentang penerbitan status dan penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum, salah satu caranya dengan pemberian sertifikat kepemilikan hak-hak atas tanah tersebut

Tanah garapan menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.

Istilah tanah garapan tidak dikenal dalam UUPA, sedangkan peraturan perundang-undangan tidak menentukan khusus mengenai perolehan suatu tanah garapan. Yang jelas dalam memperoleh tanah garapan harus dengan persetujuan atau tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang. Sehingga peraturan perundang- undangan tidak mempunyai standar tertentu dalam memperoleh suatu tanah garapan.9

9Aldi, Tata Cara Memperoleh Tanah Garapan, http://www.gultomlawconsultants. com/tata- cara-memperoleh-tanah- garapan/# diakses tanggal 17 Maret 2015

(21)

Mayoritas pemohon tanah garapan adalah rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah dan berlatar belakang ekonomi lemah. Disamping itu tanah juga bisa diberikan kepada penduduk yang telah lama mendiami dan mengerjakan suatu bidang tanah yang merupakan tanah negara yang berada suatu kawasan tertentu.

Tanah garapan yang sudah dilekati dengan sesuatu hak, jika hak tersebut adalah hak milik tentunya tidak bisa didaftarkan menjadi hak milik oleh penggarap.Karena sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) UUPA hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh. Kecuali hak milik tanah tersebut sudah jatuh kepada negara sesuai dengan Pasal 27 huruf a UUPA.10

Peralihan hak tanah garapan berhubungan dengan menggarap atau izin menggarap, status obyek yang diperjanjikan akan menimbulkan permasalahan tersendiri, hal tersebut dikarenakan cara peralihan hak atau izin menggarap, dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak menggarap atau izin menggarap. Apabila status obyek diperjanjikan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah.

Masalah tanah garapan seringkali terjadi persengketaan dalam lingkungan masyarakat. Hal ini terjadi persengketaan tanah garapan di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 terjadi sengketa tanah garapan antara Nila Kesuma bertempat tinggal di Jalan Karya Ujung No. 20 Medan (penggugat) melawan Merawaty

10 Maulana, Apakah atas Tanah Garapan Bisa Diterbitkan SHM?, http://www.hukumonline.

com/klinik/detail/lt522fd8dbd7ba3/apakah-atas-tanah-garapan-bisa-diterbitkan-shm?, diakses tanggal 16 Maret 2015.

(22)

(tergugat I), Sri Hayati (tergugat II), Mariani (tergugat III), Sofyan Hadi (tergugat IV), Rahmadsyah (tergugat V) dan Machdian Agus (tergugat VI).

Sengketa tanah garapan antara penggugat dan tergugat, berawal pada tahun 1980 tanah seluas ± 5.600 m² (lima ribu enam ratus meter persegi) yang terletak di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, tidak diperpanjang lagi oleh PTPN II Perkebunan Helvetia. Hal tersebut membuat tanah kembali menjadi milik negara. Melihat tanah terlantar, maka suami tergugat melayangkan permohonan untuk memiliki tanah tersebut yang ditujukan kepada administratur perkebunan Helvetia pada tanggal 26 November 1982 diketahui oleh Kepala Pengamanan Perkebunan Helvetia dan disetujui oleh administratur perkebunan, yang lokasinya berada diluar sertifikat HGU No. 1/1984 dan tanah dimaksud untuk digarap.

Lahan garapan yang terletak di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang seluas ± 5.600 m² (lima ribu enam ratus meter persegi) seluruhnya bukanlah milik suami tergugat I, dengan dasar adanya surat keterangan ganti rugi masing-masing 12 orang penggugat dengan M Sabaruddin, tertanggal 12 April 1989, ganti rugi antara M Sabaruddin dengan Irwan Santoso, Tiomas Hasibuan, tertanggal 14 Juli 1989, ganti rugi dengan Nila Kesumah (penggugat), Nuraifah, Nurlila, Tunut, Sarmadan Hr, Rasimin dan Intan, tertanggal 20 Juni 1989 ganti rugi dengan Merawaty (penggugat) dan Hayatun yang kemudian diterbitkan SK Camat Kecamatan Labuhan Deli No. 016/900/DH/H/1991 tertanggal 7 Maret 1991.

(23)

Tak berapa lama sesudah suami/ayah tergugat meninggal dunia tanpa setahu sebagaimana surat keterangan No. 016/900/DH/H/1991 hilang. Untuk itu tergugat membuat pengumuman di surat kabar dan membuat laporan hilang ke polisi dengan laporan polisi No. SKHT:B/130/VII/K-3/1997 tanggal 21 Juli 1997. Karena tergugat tidak cakap mengurus tanah tersebut, lalu mempercayakan pengurusan tanah kepada Syamsuddin dan Dollah dan untuk itu Kepala Desa menerbitkan surat keterangan No.

592.1/070/VIII/1997 tanggal 21 Agustus 1997.

Ternyata Dollah mengkhianati apa yang dipercayakan oleh tergugat kepadanya dan membuat surat kepada Kepala Desa pada tanggal 12 April 2000, tanah seluas ± 5.600 m² (lima ribu enam ratus meter persegi) adalah kepunyaan Marwoto Sapon, Rakiyo, Kusrinaldi dan Idris. Namun, setelah adanya putusan PTUN, ternyata yang dinyatakan Kepala Desa Helvetia dan Dollah tidak terbukti. Sedangkan Syamsuddin dengan ikhlas menyerahkan kembali tanah tersebut kepada tergugat.

Karena Dollah telah berkhianat, maka surat keterangan No. 592.1/070/VIII/1997 dicabut sehingga secara yuridis surat keterangan tersebut cacat hukum. Untuk itu tergugat mengajukan permohonan kepada Kepala Desa Helvetia agar membuat surat keterangan yang baru atas tanah tersebut atas nama tergugat sebagai ahli waris yang sah dari almarhum Sabaruddin.

Tergugat telah mengajukan permohonan sebanyak tiga kali, namun tidak dihiraukan oleh Kepala Desa. Oleh sebab itu, tergugat I mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dengan Register No. 86/G/2000/PTUN-Mdn.

(24)

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan telah mengabulkan gugatan tergugat yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan No.

76/BDG.G-MD/PT.TUN-MDN/2001 tanggal 19 September 2001 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 139.K/TUN/2004, selanjutnya berdasarkan surat Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. W2.D.A.T.04.10- 426/2005 maka terbitlah surat keterangan No. 592.2/015771/II/2006 dan dilegalisasi oleh Camat Kecamatan Labuhan Deli dengan Registrasi No.

592.2/046/II/SKT/LD/2006 tanggal 23 Februari 2006. Namun setelah terbitnya surat pengganti yang hilang tersebut terjadi gugatan yang dilakukan oleh Nila Kesuma dalam hal ini penggugat terhadap tergugat dengan dasar gugatan bahwa penggugat memiliki segahagian dari tanah tersebut yaitu seluas ± 3.800 m² (tiga ribu delapan ratus meter persegi) berdasarkan surat keterangan pengakuan ganti rugi/menggarap yang diketahui oleh Kepala Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli dan juga diketahui oleh Camat Kecamatan Labuhan Deli tertanggal 12 Desember 1983. Yang mana penggugat dalam gugatannya juga menyatakan bahwa surat keterangan ganti rugi tanah yang hilang milik tergugat tersebut yakni No.016/900/DH/H/1991 adalah surat keterangan ganti rugi formalitas terhadap tanah garapan yang disengketakan tersebut oleh pihak penggugat.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini menarik untuk diangkat dalam penelitian tesis dengan judul “Analisis Yuridis Sengketa Kepemilikan Tanah Garapan Di Desa Helvetian Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang (Studi Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011)”

(25)

B. Perumusan Masalah

Permasalahan merupakan suatu persoalan harus dicari pemecahannya, guna memudahkan pembahasan agar tidak menyimpang dari materi pokok dalam penulisan tesis. Permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keabsahaan pelepasan hak dan ganti kerugian tanah garapan berdasarkan pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011?

2. Bagaimana akibat hukum kepemilikan tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011?

3. Apakah penyelesaian perkara terhadap sengketa tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 telah memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji keabsahaan pelepasan hak dan ganti kerugian tanah garapan berdasarkan pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011.

2. Untuk mengkaji akibat hukum kepemilikan tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011.

(26)

3. Untuk mengkaji penyelesaian perkara terhadap sengketa tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 dalam memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum di bidang kenotariatan yang berkaitan sengketa tanah garapan.

2. Manfaat praktis

a. Dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa pertanahan mengenai sengketa tanah garapan.

b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah hukum agraria khususnya mengenai penyelesaian sengketa tanah garapan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, di Magister Kenotariatan Univeristas Sumatera Utara (USU), belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Analisis Yuridis Sengketa Kepemilikan Tanah Garapan Di

(27)

Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang (Studi Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011)”, untuk melengkapi sebagai persyaratan kelulusan Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan pada Univeristas Sumatera Utara (USU).

Tesis ini adalah asli, dan bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari bentuk karya ilmiah sejenis atau bentuk lainnya yang telah dipublikasikan. Tesis ini belum pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di lingkungan Univeristas Sumatera Utara (USU). atau instansi lainnya.

Judul-judul tesis yang berkaitan dengan masalah sengketa tanah juga pernah ditulis sebelumnya, antara lain :

1. Christina Carolyn, NIM: 107011071, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul

“Hambatan -hambatan hokum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II kebun Helvetia (atas adanya SK KBPN nomor 42/HGU/BPN/2002) ”.

Permasalahan:

a. Bagaimana perkembangan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

b. Bagaimana bentuk penyelesaian garapan yang dilakukan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

c. Apa hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

(28)

2. Natal Ria Argentina Br Surbakti, NIM: 077011051, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis yuridis terhadap penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan (Studi di kantor pertanahan Kabupaten Langkat)”.

Permasalahan:

a. Apakah faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada masyarakat di Kabupaten Langkat?

b. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat?

c. Apakah hambatan-hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat?

3. Ali Umri Nasution, NIM: 097011083. Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan judul

“Tinjauan Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Milik Diatas Tanah Yang Dikuasai Pihak Lain (Studi Kasus Atas Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No.39/G.TUN/2006/PTUN.MDN ”.

Permasalahan:

a. Bagaimanakah prosedur pemberian Sertipikat Hak Milik atas tanah?

b. Apakah Faktor-faktor penyebab terbitnya sertipikat Hak Milik diatas tanah yang dikuasai pihak lain?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang Sertipikat Hak Milik diatas tanah yang dikuasai pihak lain?

(29)

Bahwa tesis-tesis diuraikan diatas sangat berbeda dengan penulisan tesis ini yaitu dengan judul “Analisis Yuridis Sengketa Kepemilikan Tanah Garapan Di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang (Studi Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011)” dengan permasalahan:

1. Bagaimana keabsahaan pelepasan hak dan ganti kerugian tanah garapan berdasarkan pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011

2. Bagaimana akibat hukum kepemilikan tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011.

3. Apakah penyelesaian perkara terhadap sengketa tanah garapan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.537.K/Pdt/2011 telah memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menuurt Kerlinger, teori adalah ;“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena” (Teori adalah suatu rangkaian konsep, difinisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena).11

Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu

11 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal 140.

(30)

yang terjadi.12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori mengenal suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.13

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) dibidang pertanahan antara siapa dengan siapa, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan

dimaksud antara lain dapat diberikan respon/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).

Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori kepastian hukum kepemilikan tanah garapan. Teori kepastian hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu tanah garapan harus mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum.

Menurut Kelsen, hukum adalah “sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan- aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum”.14

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI- Press), 2010), hal 122

13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal 80

14Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.158.

(31)

sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux”

yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.15

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.16

Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.17

Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh- sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.18 Teori Kepastian adalah tentang kepastian hukum, yang mana artinya adalah setiap perbuatan hukum yang dilakukan seharusnya menjamin sebuah kepastian hukum.

15 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hal.59.

16 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal .23.

17 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:

Gunung Agung, 2002), hal.82-83.

18Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 49-50

(32)

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta”19

Persoalan tanah memang seakan tidak pernah tuntas untuk dibahas. Hal ini sejalan dengan bertambahnya populasi manusia sehingga mendongkrak angka kebutuhan akan tanah dan pemanfaatannya. Namun, berbanding terbalik dengan jumlah ketersediaan tanah yang sifatnya statis, sehingga tidak mengherankan jika kemudian kondisi tersebut mejadi salah satu pemicu tingginya potensi sengketa, konflik dan bahkan perkara pertanahan di muka peradilan

Fenomena tentang tanah garapan dan sengketa tanah garapan cendrung terjadi di wilayah-wilayah yang mayoritas dikuasai perkebunan-perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) seperti halnya di wilayah Sumatera Utara. Umumnya sengketa tanah garapan muncul seiring dengan berakhirnya jangka waktu HGU tersebut, klaim sebagai pihak yang berhak menguasai atas tanah garapan ini.

Kenyataannya, meski telah mendapat pengakuan hukum atas keberadaan tanah garapan ini, namun tidak serta merta atas tanah garapan dimaksud dapat didaftarkan haknya oleh masyarakat penggarap untuk mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang dikuasainya oleh karena masih terdaftar sebagai aset BUMN, sehingga keadaan ini memposisikan tanah tersebut menjadi status quo. Penegasan status hukum atas tanah garapan yang telah clear and clean (jernih dan bersih) adalah

19 Sudikno Mertoskusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2004). hal 136

(33)

solusi jitu untuk mempermudah pemerintah daerah dengan bantuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan kegiatan redistibusi tanah bagi para petani penggarap yang pada akhirnya adalah untuk memproleh kepatian hukum hak atas tanah bagi para petani penggarap.

2. Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata menyatakan abstrak yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.20

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Tanah garapan menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan dari yang berhak.

2. Persengketaan tanah garapan adalah terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat penggarap dengan masyarakat lain yang ingin menguasai dan menggarap tanah.

3. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) adalah perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

20Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal 3

(34)

4. Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, hal ini karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematik, metodelogis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.21

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam menyusun tesis ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji hukum sebagai norma. Dengan kata lain penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder lainnya, yang berkaitan dengan obyek penelitian. Suatu penelitian hukum normatif, bermaksud meneliti masalah hukum tentang sengketa tanah garapan.

Sementara itu, sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriftif analitis. Deskriptif maksudnya adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan

21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal 1

(35)

akurat.22 Jadi penelitian bersifat deskriftif analitis adalah suatu penelitian menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian.23

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam suatu penelitian dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disebut juga dengan sumber data dasar atau empiris sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur yang berkaitan dengan objek penelitian.

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini, antara lain:

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan.24

Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan antara lain:

a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

22 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 36

23Soerjono Soekanto, Loc.Cit

24Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), hal 84

(36)

d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah 2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik.

3) Bahan hukum tertier

Selain menggunakan bahan hukum primer dan hukum sekunder, penelitian ini juga akan menggunakan bahan hukum tertier. Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisa terhadap suatu permasalahan. Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel-artikel hukum maupun artikel lain yang terkait dengan penelitian.

3. Tehnik dan Alat Metode Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen dokumen, data-data dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian. Jenis penelitian digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian ini, untuk menganalisa permasalahan hukum yang berpedoman pada landasan hukum yaitu peraturan bidang pertanahan, yang terkait dengan permasalahan hukum yang ada. Penelitian bermaksud meneliti bahan-bahan

(37)

hukum yang ada dalam rangka menjawab masalah tentang sengketa tanah garapan.

4. Analisis Data

Pada penelitian ini bahan hukum yang telah dikumpulkan akan diolah secara sistematis dengan melakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis. Bahan hukum yang telah diolah secara sistematis tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif evaluatif, artinya memaparkan, menafsirkan, menjelaskan, menilai dan menganalisa asas, norma atau kaidah-kaidah, untuk menemukan konsep-konsep hukum yang dapat dipergunakan dalam mengkaji masalah yang diteliti.

(38)

BAB II

KEABSAHAN PELEPASAN HAK DAN GANTI RUGI TANAH GARAPAN BERDASARKAN PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM PUTUSAN MAKAMAH AGUNG No. 537.K/Pdt/2011

A. Pengertian Pelepasan Hak dan Ganti Rugi

Sebagai wujud nyata dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria ini disebutkan bahwa: “Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Hak menguasai dari Negara maka Negara selaku badan penguasa akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada, yaitu dalam lingkup penguasaan secara yuridis yang beraspek publik.25

Pengertian pelepasan hak adalah pelepasan hubungan hukum antara sebidang tanah hak dengan pemiliknya, yang dilaksanakan melalui musyawarah yang selanjutnya disertai pemberian imbalan yang layak. proses pelepasan hak di buktikan dengan akta pelepasan hak atau surat pernyataan pelepasan hak.26

25Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), (Yogyakarta: Citra Media, 2007), hal 5

26 Patria Sitorus, Pembebasan Hak, triasitorus.blogspot.co.id/2011/03/pembebasan-hak- pelepasan-hak.html, diakses tanggal 20 Oktober 2015

(39)

Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.27Pelepasan hak atas tanah adalah suatu penyerahan kembali hak itu kepada Negara dengan sukarela.28

Sedangkan menurut Boedi Harsono, yang dimaksud pelepasan hak atas tanah adalah setiap perbuatan yang dimaksud langsung maupun tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi yang berhak atau penguasa tanah itu.29

Dengan adanya masalah pelepasan atau penyerahan hak atas tanah untuk kepentingan umum diharapkan pemilik atau pemegang hak tidak mengalami kemunduran baik dalam tingkat ekonomi maupun sosial. Pengadaan tanah bagi pembangunan Untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan cara musyawarah yang dilakukan antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik hak atas tanah.

Ganti rugi merupakan sebagai upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk Kepentingan Umum harus bersifat adil, terutama bagi pemilik tanah yang sah.

Sebagaimana asas fungsi sosial hak atas tanah disamping mengandung makna bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga

27 Djumialdi, Hukum Pembangunan Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek Dan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal 48

28John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 33.

29Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2006), hal 898.

(40)

bermanfaat bagi si pemegang hak dan tujuan haknya juga berarti bahwa harus terdapat antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Kepentingan perseorangan yang dikorbankan demi kepentingan umum harus diakui dan dihormati.

Hal ini semakin dirasakan dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Bahwa dalam masalah ganti rugi walaupun untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum tidak mudah, namun bagaimanapun harus tetap dilakukan.

Istilah ganti rugi atau penggantian kerugian biasanya dipakai dalam bidang keperdataan, baik itu mengenai ingkar janji (wanprestasi), pelanggaran hukum maupun bidang penggantian pertanggungan kerugian. Setiawan, mengatakan bahwa

“ganti rugi dapat berupa penggantian dari pada prestasi, tetapi dapat berdiri sendiri disamping prestasi”.30

Sedangkan Subekti, mengatakan “seorang debitur telah diperingatkan dengan tegas dan ditagih janjinya, apabila tetap tidak melaksanakan prestasinya maka dinyatakan lalai atau alpa dan kepadanya diberikan sanksi-sanksi yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko. Demikian juga beliau menyatakan bahwa Undang-undang pertanggungan merupakan suatu perjanjian, dimana penanggung menerima premi dengan kesanggupan mengganti kerugian keuntungan yang ditangung atau yang mungkin diderita sebagai akibat tertentu.31

Dilihat dari pendapat sebagaimana tersebut bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dinyatakan dengan uang. Dan selanjutnya timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi tersebut. Istilah ganti rugi biasanya terjadi akibat adanya ingkar janji dan perbuatan melanggar hukum. Dalam pemenuhan

30R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta,2007), hal 18.

31R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 2014), hal 163.

(41)

prestasi kewajiban terletak pada debitur, sehingga apabila debitur tidak melaksanakan kewajiban tersebut bukan karena keadaan memaksa, maka si debitur dinyatakan lalai.

Sehubungan dengan dibedakan ingkar janji seperti di atas timbul persoalan apakah debitur yang tidak memenuhi prestasi tepat pada waktunya harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi prestasi sama sekali. Dalam hal debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasinya, maka debitur tidak memenuhi prestasinya sama sekali. Sedangkan jika prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan kedalam terlambat memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi secara tidak baik, ia dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.

dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama

sekali.

Tuntutan ganti rugi karena wanprestasi ketentuan yang dipergunakan adalah Pasal 1365 KUH perdata, pada dasarnya untuk tuntutan karena wanprestasi harus dapat dibuktikan dahulu bahwa kreditur telah menderita kerugian dan beberapa jumlah kerugian itu. Sedangkan pada Pasal 1246 KUH Perdata disebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat menentukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi yaitu kerugian yang nyata diderita dan keuntungan yang harus diperoleh.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas apabila ganti rugi ditafsirkan secara luas yaitu suatu perjanjian atau perikatan yang diadakan antara debitur dan kreditur yang mengikat secara hukum dimana salah satu pihak (debitur) melakukan kelalaian

(42)

atau alpa karena sesuatu hal tertentu yang karena keadaan memaksa yang menyebabkan pihak lain (kreditur) mengalami kerugian dan dengan kejadian itu pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pemenuhan prestasinya.

Dengan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yaitu:

1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:

a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau Nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun berjalan berdasarkan Penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh Panitia.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pembangunan.

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab dibidang pertanian.

2) Dalam rangka penetapan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Propinsi.

Sedangkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya kurang dari satu hektar menurut Pasal 59 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, yaitu:

(43)

(1) Bentuk dan/atau besarnya ganti rugi pengadaan tanah secara langsung ditetapkan berdasarkan musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik.

(2) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berpedoman pada NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan di sekitar lokasi.

Harga dasar dan harga umum setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah. Dikatakan harga dasar atau NJOP maka harus menjadi dasar untuk menentukan harga tanah/uang ganti rugi untuk tanah. Sedangkan harga umum setempat diartikan suatu harga tanah yang terdapat secara umum dalam rangka transaksi tanah di suatu tempat.32

Dapat dikatakan harga umum yaitu setempat atau harga pasaran adalah hasil rata-rata harga penjualan pada suatu waktu tertentu, sedangkan tempat berarti suatu wilayah/lokasi didalam suatu kabupaten/kota dapat saja bervariasi menurut keadaan tanah, harga dasar yang tumbuh dari dan berakar pada harga umum setempat, ditinjau harga umum tahun berjalan. Hak milik atas tanah yang diperlukan itu dilepaskan oleh pemiliknya setelah ia menerima uang ganti kerugian dari pihak yang mengadakan pembebasan, ganti rugi tersebut sudah barang tentu sama dengan harga tanah sebenarnya.

Dari uraian di atas yang menjadi subtansi ganti rugi harus didasarkan diantaranya:

32John Salindeho, Loc.Cit

(44)

1. Didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur. didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur.

2. Ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusan final musyawarah.

3. Mencakup bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung berdasarkan tolak ukur yang telah disepakati.

4. Wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Pelepasan tanah ini hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan kesepakatan dari pihak pemegang hak baik mengenai teknik pelaksanaannya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi yang akan diberikan terhadap tanahnya.

B. Tujuan dan Manfaat Pelepasan Hak dan Ganti Rugi

Pelepasan hak atas tanah dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak baik mengenai teknis pelaksanaannya maupun bentuk atau besar ganti rugi kalau si pemegang hak tidak bersedia melepaskan atau menyerahkan tanahnya maka pemerintah melalui musyawarah baik dengan instansi terkait serta para pemilik tanah yang terkena proyek pembangunan pembuatan pelebaran jalan umum dengan

(45)

diberikan ganti rugi agar tanah tersebut bisa digunakan proyek tersebut. umum dengan diberikan ganti rugi agar tanah tersebut bisa digunakan

proyek tersebut.

Untuk itu, dalam acara pelepasan hak dilihat dari para pemegang hak yaitu melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama diberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan harga dasar yang ditentukan pada tempat proyek pembangunan tersebut dilaksanakan.

Namun untuk pembebasan hak atas tanah apabila dikaitkan dengan kepentingan umum para pemegang hak atas tanah dituntut kesadaran lain tidak hanya terdapat pertimbangan harga ganti rugi yang telah diberikan para pihak yang memerlukan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, karena maksud dan tujuan pelepasanan hak atas tanah tersebut sekedar melihat dari pandangan kepentingan individu saja melainkan dihubungkan dengan kepentingan umum.

Dilihat dari sudut pelepasan hak atas tanah adalah melepaskan hak dari pemilik kepada para pihak yang memerlukannya dengan dasar memberikan ganti rugi hak atas tanah yang diperlukan oleh para pihak yang membutuhkan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum.

Tujuan melakukan pelepasan hak tersebut adalah:

1. Untuk meningkatkan tertib administrasi pelaksanaan pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara ganti rugi atau dengan cara tukar menukar (ruilslag/tukar guling) dalam rangka pengamanan barang milik daerah.

2. Mencegah terjadinya kerugian daerah.

(46)

3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah untuk kepentingan daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.33

Dalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Hal ini bukan berarti hak perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Untuk itu bagi orang atau badan hukum yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum, maka mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak. Dengan demikian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat akan terjadi keseimbangan sehingga pada akhirnya diharapkan akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat.

Sanksi ganti kerugian, merupakan suatu sanksi yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdat a saja.

33 Amin Jaya, Pelepasan Hak Atas Tanah dan Bangunan Milik Pemerintah Daerah, https://forbaginfo.wordpress.com/2010/09/16/pelepasan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-milik-

pemerintah -daerah/diakses 21 Oktober 2015

(47)

Ganti rugi telah menjadi konsep hukum, sehingga pengertian ganti rugi adalah penggantian berupa uang atau barang lain kepada seseorang yang merasa dirugikan karena harta miliknya diambil dan dipakai untuk kepentingan orang banyak.

Misalnya, untuk pembangunan jalan tol, gedung sekolah, kanal banjir dan sebagainya. Kadang-kadang penggantian itu lebih mahal dan besar nilainya daripada harga sebenarnya. Oleh karena itu, pada suatu saat istilah ganti rugi hendak diubah dengan ganti untung. Rugi dan untung selalu diukur secara finansial dan bukan secara psikologis dan sosiologis.34

Ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah juga harus mampu memenuhi rasa keadilan dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan upaya terakhir apabila semua upaya damai telah ditempuh dan tidak diperoleh kata sepakat.

Meskipun dilakukan pencabutan hak namun tetap diberikan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun pencabutan hak atas tanah tidaklah mudah, pemerintah harus tetap mengedepankan musyawarah agar tercapai mufakat. Di samping itu pemerintah juga harus memperhatikan aspek keadilan, dengan pemberian ganti kerugian yang diberikan, dan pemberian ganti kerugian dimaksud haruslah tetap menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Sehingga pemilik atau pemegang yang menyerahkan atau melepaskan hak atas tanahnya merasakan betul manfaat dari ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah.

Subekti menyatakan bahwa “yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda piutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen),

34 Baihaqi, Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Jurnal: International Journal Indexed, 2014), hal 137

(48)

yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving).”35

C. Akibat Hukum Pelepasan Hak dan Ganti Rugi

Menurut ketentuan Pasal 16 UUPA dikenal beberapa macam hak atas tanah.

Hak-hak yang dimaksud adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

Pengertian hak atas tanah-tanah yang belum bersertipikat lebih mengacu kepada hak seseorang yang telah memperoleh manfaat dari tanah yang dikuasai oleh negara. Dalam hal ini tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang dapat menggarapnya untuk diusahakan dengan izin mengelola.

Tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya setelah terlebih dahulu dimohonkan haknya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat sehingga tanah tersebut beralih menjadi tanah hak milik. Seseorang yang telah menjadi pemegang hak atas tanah tidak dapat memberikan hak miliknya kepada orang lain dengan begitu saja karena hak tersebut merupakan kewenangannya namun yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya.

Dengan melepaskan haknya itu, tanah yang terlibat menjadi tanah negara, yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas tanah tesebut.36

35R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2008), hal 148.

(49)

Dalam kehidupan sehari-hari, sering orang membuat surat tanah untuk dipergunakan dengan maksud mendapatkan kepastian hukum mengenai suatu perbuatan atau peristiwa yang dilakukan. Surat atau tulisan tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti yang disebut dengan akta.

Akta sengaja dibuat untuk dapat dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani. Hal ini sesuai dengan Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut : ”pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan- tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata tersebut di atas maka akta dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindari sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.

Menurut Achmad Rubaie, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan melalui musyawarah berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.37

Dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, maka terputus sudah hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya.

Terputusnya hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan hak atas tanah

36 AP. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, (Bandung:

Mandar Maju, 1997), hal. 135.

37Achmad Rubaie, Loc.Cit

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian menunjukkan: (1) Eksekusi Putusan Badan Aribitrase Syariah Nasional (Basyarnas) non eksekutabel oleh Mahkamah Agung Nomor 3071 K/Pdt/2013, Mahkamah

Pertimbangan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung tersebut merupakan bantahan terhadap pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memberikan pertimbangan dalam

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui putusan Mahkamah Agung Nomor 570/K/Pdt/1999 apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional dan

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG TERBITNYA IMB DI ATAS TANAH YANG MASIH SENGKETA A. Keputusan Mahkamah

Dalam putusan Mahkamah Agung nomor 2221 K/Pdt/2010, hakim tidak membatalkan penetapan pengampuannya dengan pertimbangan bahwa tidak ada bukti-bukti yang otentik yang

Akibat hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009 adalah menguatkan putusan kasasi sehingga Sertipikat Hak Milik Nomor 6036/Cilandak yang dimiliki penggugat

Akibat hukum dari putusan Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009 adalah menguatkan putusan kasasi sehingga Sertipikat Hak Milik Nomor 6036/Cilandak yang dimiliki

Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung belum memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum dalam melindungi hak merek terkenal di Indonesia karena perlindungan terhadap