• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberantasan praktek illegal fishing pada dasarnya diarahkan pada pertanggungjawab pelaku tindak pidana illegal fishing yang tidak dapat dipisahkan dari kriminalisasi.32 Kriminalisasi illegal fishing berlandaskan pada perangkat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan sebagai suatu kejahatan kekayaan negara dan berpengaruh pada perekonomian nasional. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan, oleh karena itu

32

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, (Semarang: Makalah dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988), hal. 22-23 bahwa syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social (public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbangan-pertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama, stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan (predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional.33 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan sebagai white collar crime34.

Selanjutnya Undang- Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagai kriminalisasi terhadap praktek illgeal fishing telah mengklasifikasi tindak pidana

“illegal fishing” adalah sebagai berikut :

“1). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

33

Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12, selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.

34

Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, (Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004), bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”.

2). Narkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 2 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 ( satu milliar dua ratus juta rupiah ).

3). Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab perusahaan perikanan, dan / atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan / atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 3 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milliar rupiah ).

4). Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan / atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau cara, dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milliar rupiah ).

5). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), ayat ( 4 ) adalah merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran.

6). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), dan ayat (4) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana masing- masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan.

7). Semua hasil perikanan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara.

Sanksi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah sebagai berikut :

1). Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.

2). Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan, serta pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan biodiversity laut / lingkungan ekosistem laut.

3). Setiap orang dilarang :

a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia dengan tidak sah / melanggar Undang-Undang.

b. Melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan menggunakan bahan-bahan kimia, bahan-bahan peledak dan juga alat yang dapat merusak ekosistem laut.

c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi ikan di kawasan perairan Republik Indonesia, tanpa izin.

d. Membawa alat-alat dan juga bahan-bahan kimia yang lazin dan patut diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan dan atau pembudidayaan perikanan tanpa izin dari pihak yang berwewenang. e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan

dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi laut ke dalam kawasan perairan. Peranan aparat penegakan hukum khusunya Polri terhadap penanggulangan tindak pidana illegal melalui tindakan pemberantasan pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana,35 artinya fungsionalisasi memegang peranan penting

35

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.

dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum.36 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang- undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.37

Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan hukum tindak pidana illegal fishing untuk mengukur profesionalisme penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari :38

Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

36

Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157. 37

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30

38 Ibid.

1. Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada Undang- Undang saja.

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum yang terpadu, hubungan kerja sama tersebut di atas akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan semua pihak.

Menyangkut tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illgal fishing tidak dapat dipisahkan dari kerangka pertanggungjawaban pidana sebagaimana dianut pada faham hukum pidana. Menurut Sudarto, bahwa di samping kemampuan bertanggung jawab, bahwa kesalahan (schuld) dan perbuatan melawan hukum (wederechtelijk) dijadikan sebagai syarat untuk pengenaan pidana, yaitu bahwa pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti pidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. ada suatu tindak pidana39 yang dilakukan oleh pembuat; 2. ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. ada pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. tidak ada alasan pemaaf.40

Selanjutnya menyangkut masalah pembuktian bagi aparat penegak hukum sebagai suatu tindakan refresif (sarana penal dalam kebijakan hukum pidana) terhadap pelaku tindak pidana illgal fishing di dasarkan pada unsur subjektif atau

mens rea dan unsur objektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan

yaitu knowledge (mengetaui atau patut menduga) dan intended (bermaksud).41 Penentuan unsur-unsur tindak pidana di bidang perikanan khusunya illegal fishing pada dasarnya mengalami kesulitan berupa beberapa masalah yang harus dibuktikan, yakni: Pertama, beban pembuktian yang signifikan bagi penyidikan terhadap pelaku dan Narkoda Kapal serta perusahaan perkapalan yang melakukan praktek illgeal

fishing. Kedua, harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui tentang atau maksud

39

Sesuai dengan Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. VI, (Bandung: PT. Eresco, 1989), hal. 55.

40

Hamzah Hatrik, Loc-Cit 41

Lihat, R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007), hal. 7 bahwa dalam hukum acara pidana dipakai yang dinamakan sistem negatif menurut undang-undang, sistem mana terkandung dalam padal 294 (1) RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada seorangpun dapat dihukum kecuali jika Hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya”. Sistem negatif menurut undang-undang tersebut diatas mempunyai maksud sebagai berikut:

a. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan dalam undang-undang.

b. Namun demikian biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam undang-undang tadi jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.

Jadi, dalam sistem tadi yang pada akhirnya menentukan nasibnya si terdakwa adalah keyakinan hakim. Jika biarpun bukti bertumpuk-tumpuk hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa itu, ia harus membebaskannya. Karena itu, maka dalam tiap-tiap putusan hakim pidana yang menjatuhkan hukuman dapat kita baca pertimbangan: “bahwa Hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan atas kesalahan terdakwa”.

untuk melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Pembuktian sebagai salah satu tindakan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice

system) tidak terlepas dari bekerjanya masing-masing sub sistem.

Berdasarkan naskah rancangan KUHP (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan42.

Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri43 sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam penanganan tindak pidana illegal fishing pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana44 adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem

42

Hamzah Hatrik, Azas pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Srict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 12.

43

Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

44

Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, yaitu adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, dimana yang disebut dengan kesalahan adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu patut dicela. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku kejahatan tentunya tidak dapat dilepaskan dari sistem pembuktian, Masalah pembuktian dalam rangka penegakan hukum pidana pada penanganan tindak pidana lingkungan hidup khususnya di bidang kehutanan tidak terlepas dari prinsip- prinsip pembuktian yang terdapat di dalam hukum acara pidana. Adapun prinsip yakni:45

1. Negatief Wettelijk Bewijsleer atau sistem pembuktian negatif, dalam sistem

pembuktian ini alat-alat pembuktian yang diatur dalam undang-undang saja belum cukup, masih dibutuhkan keyakinan hakim sehingga harus ada cukup alat-alat bukti yang diakui undang-undang dan keyakinan hakim.

2. Positief Wettelijk Bewijsleer yakni tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain dalam

hal ini keyakinan hakim, cara pembuktian banyak didasarkan pada alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang.

3. Conviction In Time (Bloot Gemoedelijkke Overtuiging) yakni sistem

pembuktian yang semata-mata pada keyakinan hakim dan tidak terikat dengan

45

alat-alat bukti yang ada. Sehingga pembuktian ini sangat subjektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang dilakukannya.

4. Conviction In Raissonee (Beredeneerde Overtuiging) yakni sistem yang

menerapkan bahwa pembuktian didasarkan pada keyakinan hakim dan alasan- alasannya yang menyebabkan keyakinan-keyakinan tersebut dalam pembuktian tidak terikat pada alat-alat pembuktian yang sah diakui undang- undang saja melainkan dapat mempergunakan alat-alat pembuktian yang lain yang ada di luar undang-undang sebagai alasan yang menguatkan hakim. Subyek hukum pidana yang dapat menjadi penanggung jawab terhadap peristiwa pidana dapat diklasifikasikan atas :

1. Penanggung jawab penuh

Penanggung jawab penuh ialah setiap orang yang menyebabkan (turut serta menyebabkan) peristiwa pidana yang diancam setinggi pidana pokoknya.

Dalam Pasal 55 KUHP disebutkan: (1) Dipidana sebagai pelaku pidana:

a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

b. Mereka yang dengan memberi bantuan atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau memberi kesempatan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya. Termasuk dalam kategori penanggung jawab penuh ialah:

a. Dader. Penanggung jawab mandiri, yaitu penangung jawab peristiwa

unsur yang disebut dalam perumusan peristiwa pidana. Dalam delik formiel46 terlihat apabila seseorang melanggar undang-undang. Dalam delik materiel terlihat apabila seseorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang.

b. Mededader dan medepleger, penanggung jawab bersama dan penanggung

jawab serta. Mengenai hal ini terdapat beberapa doktrin dari pada ahli hukum yaitu sebagai berikut :

Noyon yang diikuti oleh tresna di dalam bukunya Asas-asas Hukum

Pidana menyatakan bahwa mededader itu adalah orang-orang yang

menjadi kawan pelaku, sedangkan medepleger adalah orang-orang yang ikut serta melakukan peristiwa pidana. Perbedaannya terletak pada peranan orang-orang yang menciptakan/ menyebabkan peristiwa pidana tersebut47.

c. Doen pleger. penangung jawab penyuruh. Doen pleger ialah seseorang

menyuruh orang lain untuk melakukan peristiwa pidana. Dalam bentuk yuridis merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat (instrumen) belaka dari orang yang menyuruh. Orang yang menyuruh dalam ilmu hukum pidana disebut

manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra48.

d. Uitlokker: penanggung jawab pembujuk/perencana. Secara sederhana

pengertiannya adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah “menggerakkan” atau “membujuk” ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian I KUHP yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan49.

Antara Doen Pleger dan Uitlokker mempunyai persamaan dan perbedaan.50 Persamaannya adalah, kedua bentuk tersebut terdapat apabila seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Sedangkan Perbedaannya, doenpleger menyuruh orang yang tidak dapat dipidana (tidak mampu bertanggung jawab). Jadi hanya orang yang menyuruh melakukan saja yang

46

Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. I, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 237

47

Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Cet. I, (Jakarta: Kartini, 1989), hal. 84. 48

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 32.

49

Wina Armada, Loc-Cit. 50

dikenakan pidana. Pada bentuk “Uitlokken”, baik orang yang membujuk (uitlokker) maupun orang yang dibujuk (uitgelokte) sama-sama dapat dipidana.

2. Penanggung jawab sebagian

Penanggung jawab sebagian ialah apabila seseorang bertanggung jawab atas bantuan, percobaan suatu kejahatan, dan diancam dengan pidana sebesar 2/3 (dua pertiga) pidana kejahatan yang selesai. Termasuk dalam kategori ini ialah :

a. Poging

Poging adalah “een begin van uitsvoering van het misfrijf” atau pelaksanaan mula suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.51

b. Medeplichtige

Berdasarkan Pasal 56 KUHP, berbunyi bahwa dipidana sebagai pembantu kejahatan, yaitu:

(1) Mereka yang memberi bantuan waktu kejahatan dilakukan;

(2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

2. Kerangka Konsepsi

Pemberantasan diartikan sebagai bahagian dari penanggulangan tindak pidana. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal

51

Lebih lanjut lihat Pasal 53 KUHP yang menyebutkan 3 (tiga) syarat poging, yaitu : 1. orangnya mempunyai kehendak (voornemen) untuk melakukan kejahatan.

2. kehendak (voornemen) tersebut telah berwujud dalam suatu perbuatan permulaan pelaksanaan kejahatan.

3. pelaksanaan yang telah dimulai itu tidak selesai semata-mata disebabkan oleh hal-hal atau masalah-masalah yang tidak tergantung pada kehendaknya diluar kehendaknya tidak selsai

yang lebih menitiberatkan pada sifat represive (penindakan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitiberatkan sifat preventif (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.52

Pemberantasan pelaku tindak pidana illgal fishing diartikan sebagai dipidananya perbuatan pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr

van het feit) dengan menggunakan perangkat hukum yang diatur dalam Undang-

Undang maupun KUH Pidana, artinya bahwa penggunaan perangkat hukum merupakan penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”.

Dokumen terkait