PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN PRAKTEK
ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
TESIS
Oleh
DEMAK OMPUSUNGGU 087005116/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN PRAKTEK
ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEMAK OMPUSUNGGU 087005116/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN
PRAKTEK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA Nama Mahasiswa : Demak Ompusunggu Nomor Pokok : 087005116
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 03 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 (5,17 %). Laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28 %) perairan kepulauan, serta 2,7 juta km2 (46,55 %) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Dalam rangka menjaga kekayaan nasional berupa sumber daya perikanan tentunya memerlukan tindakan pemerintah dalam menjaga sumber kekayaan alam yang dalam pendelagasian dari kewenangan negara ini diberikan kepada institusi Polri selaku institusi yang mempunyai tugas untuk mewujudkan keamanan dalam negari (Kamdagri) dan pemeliharaan Kamtibmas serta penegakan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Salah satu kewajiban Polri adalah pemberantasan praktek illegal fishing. Illegal fishing adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu: tindak pidana kejahatan di bidang perikanan (Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94) dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan (Pasal 87, 89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100). Permasalahan dalam penelitian tesis ini menyangkut karakteristik tindak pidana illegal fishing, peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal fishing dan hambatan Polri dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing terutama menyangkut peran Polri selaku penyidik..
Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif. Sifat penelitian deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya sekedar menggambarkan suatu keadaan atau gejala baik pada tatanan hukum positif maupun empiris tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen). Analisis data digunakan dengan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pemberantasan terhadap praktek illegal fishing yang dilakukan oleh Polri dirasakan masih lemahnya terutama menyangkut pengawasan (masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, sumber daya pengawasan yang masih belum memadai terutama dan sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak: hukum baik pusat maupun daerah, belum berkembangnya lembaga pengawasan, penerapan system yang belum optimal, belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya permalsuan izin) dan masih lemahnya "Law Enforcement" yang menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran.
dalam kerangka pertanggungjawaban pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het
verboden zijr van het feit) untuk menjerat perusahaan perikanan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan di dalam sistem peradilan pidana.
Kata Kunci: - Peran Polri
ABSTRACT
The Republic of Indonesia is an archipelago state with 17.508 islands, 81.000 km2 coastlines consisting of 0.3 millions km2 territorial water (5.17%), 2.8 millions
km2 insular water (48.28%), and 2.7 millions km2 Exclusive Economic Zone
(46.55%). This fact puts Indonesia on a strategic position and with big fishery resources potentials. To guard this national property in the form of fishery resources, the government needs to take an action and the authority to take the action is delegated to the Indonesian Police as an institution whose duties are to materialize the domestic security, to maintain the community security and order and to reinforce law as being instructed by Law No.2/2002. One of the duties of the Indonesian Police is to eliminate illegal fishing practice. Illegal fishing is an action of stealing conducted by catching fish without licenses called SIUP and SIPI, using the explosives, poisonous materials, dangerous materials, and any other material that can result in the damage and extinct of fishery resources. Law No.31/2004 on Fishery has classified fishery criminal act into 2 (two) kinds of criminal acts, namely, a crime in fishery (Articles 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, and 94) and violation in fishery (Articles 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, and 100). The research problems in this thesis concerns about the characteristics of the criminal act of illegal fishing, the role of the Indonesian Police in the system of criminal responsibility of the actor of the criminal act of illegal fishing, and the constraints faced by the Indonesian Police in dealing with the criminal act of illegal fishing especially the constraints related to the role of the Indonesian Police as the investigator.
This is a normative legal study with qualitative juridical approach. As an analytical descriptive study, this study not only describes a condition or good symptom in the system of positive or empirical law but also want to provide the rules as they should be (das sollen). The data obtained were analyzed based on the qualitative approach.
The result of this study showed that the elimination of illegal fishing practice which has been implemented by the Indonesian Police was still not optimal especially what was related to controlling activity (because the control facilities and infrastructures are limited, the inadequate quantity of controllers, the uncompleted regulations of legislation in the sector of fishery, fragile inter-law upholder coordination either in the central or local levels, the supervision institution is not well-developed, the system is not yet optimally applied, the license-issuing process is not in order that it is open to license counterfeiting) and the fragile “Law Enforcement” resulted in decreasing of the authority of law, less justice for the society, and increasing violation of law.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat dan kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun
topik penelitian menyangkut tentang ” PERAN POLRI DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI WILAYAH
PERAIRAN INDONESIA”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa
bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing
maupun penguji, baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor, atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universeitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang telah diberikan untuk
menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus
Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai
akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi
4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Anggota Pembimbing, atas
bimbingan dan dorongan yang telah memberikan banyak masukan dalam
melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.
5. Bapak Syafruddin S. Hasibuan SH, MH, DFM, selaku Anggota Pembimbing,
atas bimbngan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian
tesis.
6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Hukum juga sebagai Penguji, yang telah banyak memberikan dorongan
dalam penyelesaian tesis ini.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Penguji, terima kasih atas
masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.
8. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara beserta pada pejabat
utama Polda Sumatera Utara, Kepala Kepolisian Resor Pelabuhan Belawan dan
Kepala Kepolisia Resor Kota Medan yang telah memberikan kesempatan, dorongan
dan motivasi untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih penulis untuk saudara-saudaraku dan keluarga, yang
Kuasa, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya. Khusus untuk
anak-anakku dan Isteriku yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu
memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dalam menyelesaikan
studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan
mendoakan, penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala bantuan dan
perhatiannya.
Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih banyak kekurangan, untuk ini penulis memohon saran dan masukan kepada
kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan
bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya dalam pemberantasan
tindak Pidana Illegal Fshing di Wilayah Perairan Indonesia yang merugikan Negara
Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi dan memberkati kita semua.
Hormat penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Demak Ompusunggu
Tempat/tgl lahir : Silando, 27 Juli 1964
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan : 1. SD Negeri Silando (Lulus tahun 1976)
2. SMP Negeri Paranginan (Lulus tahun 1980)
3. SPG Negeri Tanjung Balai (Lulus tahun 1983)
4. S1 Hukum Universitas Amir Hamzah Medan (Lulus
tahun 2007)
5. S2 Hukum Ekonomi Program Studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN... 1
A.Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 18
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E.Keaslian Penulisan ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 20
G. Metode Penelitian... 33
BAB II KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING BERDASARKAN MODUS OPERANDI PELAKU DI WILAYAH ... 36
A. Pengaturan Wilayah Perairan Indonesia berkaitan dengan Praktek Illegal Fishing ... 36
B. Dampak Pencurian Ikan terhadap Ekosistem Kelautan ... 43
C. Illegal Fishing dan Pelanggaran Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 51
BAB III PERAN POLRI DALAM PENERAPAN SISTEM
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING SEBAGAI BAHAGIAN DARI SISTEM
PERADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM)... 59
A. Peran Polri Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pokok di Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia ... 59
B. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Fishing ... 62
C. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing ... 73
D. Pertanggunjawaban Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing... 79
BAB IV HAMBATAN PENYIDIK POLRI SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM) DALAM PENANGGULANGAN TIDAK PIDANA ILLEGAL FISHING ... 86
A. Hambatan dalam Tatanan Kebijakan Peraturan Perundang- undangan terkait Peraturan Perikanan... 86
B. Hambatan Penegakan Hukum oleh Polri terhadap Pemberantasan Praktek Illegal Fishing ... 92
1. Internal ... 93
2. Eksternal ... 96
C. Hambatan Penyidik dalam melakukan Rangkaian Kegiatan\ Penyhidikan Tindak Pidana Illegal Fishing ... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 112
ABSTRAK
Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 (5,17 %). Laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28 %) perairan kepulauan, serta 2,7 juta km2 (46,55 %) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Dalam rangka menjaga kekayaan nasional berupa sumber daya perikanan tentunya memerlukan tindakan pemerintah dalam menjaga sumber kekayaan alam yang dalam pendelagasian dari kewenangan negara ini diberikan kepada institusi Polri selaku institusi yang mempunyai tugas untuk mewujudkan keamanan dalam negari (Kamdagri) dan pemeliharaan Kamtibmas serta penegakan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Salah satu kewajiban Polri adalah pemberantasan praktek illegal fishing. Illegal fishing adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu: tindak pidana kejahatan di bidang perikanan (Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94) dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan (Pasal 87, 89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100). Permasalahan dalam penelitian tesis ini menyangkut karakteristik tindak pidana illegal fishing, peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal fishing dan hambatan Polri dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing terutama menyangkut peran Polri selaku penyidik..
Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif. Sifat penelitian deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya sekedar menggambarkan suatu keadaan atau gejala baik pada tatanan hukum positif maupun empiris tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen). Analisis data digunakan dengan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pemberantasan terhadap praktek illegal fishing yang dilakukan oleh Polri dirasakan masih lemahnya terutama menyangkut pengawasan (masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, sumber daya pengawasan yang masih belum memadai terutama dan sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak: hukum baik pusat maupun daerah, belum berkembangnya lembaga pengawasan, penerapan system yang belum optimal, belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya permalsuan izin) dan masih lemahnya "Law Enforcement" yang menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran.
dalam kerangka pertanggungjawaban pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het
verboden zijr van het feit) untuk menjerat perusahaan perikanan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan di dalam sistem peradilan pidana.
Kata Kunci: - Peran Polri
ABSTRACT
The Republic of Indonesia is an archipelago state with 17.508 islands, 81.000 km2 coastlines consisting of 0.3 millions km2 territorial water (5.17%), 2.8 millions
km2 insular water (48.28%), and 2.7 millions km2 Exclusive Economic Zone
(46.55%). This fact puts Indonesia on a strategic position and with big fishery resources potentials. To guard this national property in the form of fishery resources, the government needs to take an action and the authority to take the action is delegated to the Indonesian Police as an institution whose duties are to materialize the domestic security, to maintain the community security and order and to reinforce law as being instructed by Law No.2/2002. One of the duties of the Indonesian Police is to eliminate illegal fishing practice. Illegal fishing is an action of stealing conducted by catching fish without licenses called SIUP and SIPI, using the explosives, poisonous materials, dangerous materials, and any other material that can result in the damage and extinct of fishery resources. Law No.31/2004 on Fishery has classified fishery criminal act into 2 (two) kinds of criminal acts, namely, a crime in fishery (Articles 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, and 94) and violation in fishery (Articles 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, and 100). The research problems in this thesis concerns about the characteristics of the criminal act of illegal fishing, the role of the Indonesian Police in the system of criminal responsibility of the actor of the criminal act of illegal fishing, and the constraints faced by the Indonesian Police in dealing with the criminal act of illegal fishing especially the constraints related to the role of the Indonesian Police as the investigator.
This is a normative legal study with qualitative juridical approach. As an analytical descriptive study, this study not only describes a condition or good symptom in the system of positive or empirical law but also want to provide the rules as they should be (das sollen). The data obtained were analyzed based on the qualitative approach.
The result of this study showed that the elimination of illegal fishing practice which has been implemented by the Indonesian Police was still not optimal especially what was related to controlling activity (because the control facilities and infrastructures are limited, the inadequate quantity of controllers, the uncompleted regulations of legislation in the sector of fishery, fragile inter-law upholder coordination either in the central or local levels, the supervision institution is not well-developed, the system is not yet optimally applied, the license-issuing process is not in order that it is open to license counterfeiting) and the fragile “Law Enforcement” resulted in decreasing of the authority of law, less justice for the society, and increasing violation of law.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kejahatan yang berlangsung lintas negara baik yang merupakan kejahatan
terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan
yang cukup signifikan baik secara kualitas maupun kuantitas serta menjadi isu dalam
berbagai pertemuan regional maupun internasional. Beberapa aspek terkait dengan
perkembangan kejahatan, antara lain: 1munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru,
semakin kompleksnya modus operandi, semakin canggihnya peralatan yang
digunakan oleh pelaku kejahatan, semakin luasnya lingkup wilayah operasi
kejahatan, tidak terbatas pada satu negara akan tetapi juga lintas negara. Saat ini dan
masa mendatang, tidak ada satupun negara di dunia yang bebas dari ancaman
kejahatan lintas negara.
Kejahatan lintas negara di Indonesia tergolong sebagai kejahatan yang sangat
berpotensi terjadi, karena beberapa faktor sebagai berikut: Pertama, Bentuk Negara
Kepulauan dengan pantai terbuka. Kedua, Posisi silang wilayah Indonesia sebagai
jalur perlintasan perdagangan dunia. Ketiga, Jumlah penduduk Indonesia yang sangat
besar dan sebagai sumber pengirim Tenaga Kerja. Keempat, Sistem perdagangan
bebas yang semakin terbuka. Kelima, Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.2
Bentuk negara kepulauan dengan pantai terbuka wilayah perairan
mengandung arti bahwa wilayah Perairan Indonesia yang merupakan 2/3 bagian
1
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, perkembangan dan penanggulangan kejahatan Terhadap kekayaan negara dan Kejahatan transnasional, Jakarta september 2008, hal. 3
wilayah Indonesia sebagai Negara Kepulauan, mencakup perairan kedaulatan dan
yurisdiksi nasional, seluas kurang lebih 6 juta kilometer persegi.3 Upaya pengawasan
dan pengamanan melalui tindakan pemberantasan yang dilakukan oleh Polri terhadap
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut termasuk sumber daya perikanan
di wilayah perairan nasional, merupakan bagian penting dari upaya dukungan
terhadap pembangunan ekonomi nasional dan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berkaitan dengan pengawasan dan pengamanan tersebut, fokus upaya harus
mencakup: pemberantasan penangkapan ikan secara tidak sah (Tanpa Ijin,
Penyalahgunaan ijin meliputi daluwarsa, penangkapan ikan secara liar, alat tangkap),
pengangkutan hasil tangkapan (Entry Point dan Exit point, Transhipment),
bentuk-bentuk pelanggaran terkait lainnya (Undang-undang Pelayaran, Ketenagakerjaan,
Penyalahgunaan BBM bersubsidi).4
Trend perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun
nasional di perairan Indonesia dimaksud tentunya mengandung berbagai gangguan
keamanan yang dapat diprediksi akan semakin meningkat baik kuantitas maupun
kualitas yang tidak mengenal batas suatu negara. Pada perkembangan transnational
yang ditandai dengan revolusi teknologi terutama informasi dan transportasi di
samping berdampak pada pembangunan di berbagai bidang dan terintegrasinya sistem
perekonomian dan keuangan dunia, juga memiliki efek samping pada kemajuan
tindak kejahatan baik dari variasi modus operandi, pengorganisasian dan
3
http://www.google.co.id, Perairan dan kejahatan perikanan, diakses tanggal 18 Pebruari 2010
mobilitasnya.5 Berbagai bentuk ganguan Kamtibmas akan mewarnai dari skala
terendah sampai dengan skala tertinggi dan menimbulkan dampak yang berspektrum
luas di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan
keamanan. Kejahatan yang terjadi dapat merupakan kejahatan di wilayah perairan
terutama menyangkut tentang kejahatan terhadap kekayaan negara.6
Kejahatan terhadap kekayaan negara salah satunya adalah illegal fishing yang
dapat berlangsung lintas negara di samping sangat merugikan negara dan masyarakat
juga berpotensi merusak lingkungan yang membahayakan keberlangsungan tidak
hanya generasi sekarang, melainkan juga generasi mendatang. Penegakan hukum
melalui tindakan pemberantasan terhadap kejahatan kekayaan negara dan kejahatan
transnational merupakan wujud nyata penyelamatan kekayaan negara dan
membangun iklim persaingan usaha maupun investasi yang sehat yang pada akhirnya
akan bermuara pada meningkatnya kemakmuran rakyat dan citra Indonesia di dunia
internasional.7
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh
pemerintah Indonesia menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti
benang kusut. Kondisi ini dapat dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain.
Sebagai gambaran bahwa dapat dilihat negara Filipina yang merupakan negara
5 Ibid 6
Ibid,bahwa Polri membagi golongan Kejahatan ke dalam 4 (empat) golongan / jenis yaitu kejahatan konvensional, seperti kejahatan jalanan, premanisme, banditisme, perjudian dll; kejahatan transnasional, yaitu : terorrism, illicit drugs trafficking, trafficking in persons, money
loundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime and international economic crime; kejahatan terhadap kekayaan negara seperti korupsi, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, penyelundupan, penggelapan pajak, penyelundupan BBM, dll; dan Kejahatan yang berimplikasi kontijensi adalah : SARA, separatisme, konflik horizontal dan vertikal, unjuk rasa anarkis, dll.
mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya 70 persen tuna yang mereka ekspor itu
berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor
ikan kaleng. Namun, banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari
perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal. Di samping itu para pelaku illegal
fishing menggunakan BBM bersubsisdi di mana kerugian negara akibat
menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar. Hal ini tentunya memerlukan
penegakan hukum sebagai upaya pemberantasan yang profesional dan akuntabel
untuk melindungi kekayaan negara. Banyak faktor yang teridentifikasi sebagai
penyebab terjadinya illegal fishing antara lain luasnya potensi laut yang belum
terolah, peluang bisnis ikan yang menggiurkan dan kelemahan penagakan hukum.8
Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan terhadap praktek illegal
fishing di wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh Polri khususnya di selat
malaka merupakan suatu tindakan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku
dengan tujuan terselamatkanya kekayaan negara. Untuk dapat dimintakannya
pertanggungjawaban pelaku kejahatan illegal fishing tentunya harus dimulai dengan
kriminalisasi yang menyatakan bahwa perbuatan pelaku sebagai suatu tindak pidana
dan merupakan dasar untuk melakukan penyidikan dalam rangka penegakan hukum,
norma dasar penegkan hukum pidana yang dianut dalam konsepsi hukum pidana
Indonesia yakni berlandaskan KUHAP yang mensyaratkan suatu perbuatan tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada sebelum perbuatan dilakukan.9 Rumusan tersebut mengandung unsur antara lain:
8
Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, Kerugian Akibat Pencurian Ikan, http://www.google.co.id, diakses tanggal 14 Juli 2010
9
Pertama, hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, asas ini disebut asas
legalitas (lege), karena penguasa dalam melaksanakan tugas peradilan terkait
ketentuan perundang-undangan maka akan terhindar dari kesewenang-wenangan atau
penilaian pribadi seenaknya, hal ini berarti terdapat kepastian hukum bagi setiap
pencari keadilan yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut.
Kedua, asas bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut
(asas non retroaktif).
Arti pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal fishing
adalah tertanggulangi kejahatan terhadap kekayaan negara yang wajib untuk
dilindungi, namun dalam praktek penegakan hukum dibandingkan dengan jumlah
kerugian negara yang mencapai angka Rp. 30 Triliun per tahun kurang efektif.10
Adapun catatan penanganan kasus illegal fishing tergambar bahwa tindak pidana
illegal fishing yang diungkap sebanyak 429 kasus, diselesaikan 268 kasus. Kasus
dimaksud antara lain Kasus M.V.Golden Blessings (Bendera Philiphina), Putusan
Pengadila Negeri Jayapura 28 Februari 2007 denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan
penjara, barang bukti dikembalikan kepada pemilik (JPU banding), Putusan
Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor 24/Pid.B/2007/PT.JPR 5 Oktober 2007, pidana
denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan kurungan, Barang bukti Kapal beserta
kelengkapan dan uang hasil lelang ikan tuna 200 ton seharga Rp 210 Juta dirampas
untuk negara ( terrdakwa kasasi). Kasus M.V. Cheng long (Bendera Panama),
Putusan PN Surabaya Nomor 2180/Pid.B/PN.SBY tanggal 31 Oktober 2007, pidana
10
Perikanan dan Pelayaran, denda Rp 500 Juta, Subsider 4 bulan kurungan, BB kapal
dan kelengkapan serta BB lelang Ikan 459 ton seharga 2.181.160.000 dirampas untuk
negara (terdakwa banding). Kasus M.V.Piong Piong Hai-05099 ( Bendera China),
Putusan PN Manokwari Nomor 48/Pid.B/2007/PN Mkw 23 November 2007 pidana
Perikanan terdakwa 1 dan terdakwa 2 pidana penjara masing-masing 1 tahun dan
denda Rp 200 Juta, menetapkan para terdakwa tetap ditahan, BB 1 set jaring dan 3
ekor ikan hiu yang sudah mati dirampas negara untuk dimusnahkan (JPU banding ),
Putusan PT Jayapura Nomor 69/Pid/2007/PT.PJR 14 Desember 2007 pidana
masing-masing 5 tahun dan denda Rp 1 Milyar Subsider 1 Tahun kurungan dan BB kapal
beserta kelengkapan lainnya dirampas untuk negara. Kasus K.M. Thindo Mina 6
(Bendera Indonesia ), Putusan PN Tanjung Pinang Nomor 340/Pid.B/2007/PN TPI
trp tanggal 19 September 2007 dirampas untuk negara, dan 4 unit ALKAP
dimusnahkan (Inkrach).11 Lemahnya penegakan hukum di bidang pencurian ikan
(illegal fishing) dibandingkan dengan jumlah praktek illegal fishing ini sebagaimana
dikemukakan oleh Ansory sebagai berikut:12
“Kegiatan illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai saat ini begitu marak terjadi di Indonesia bahkan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang juga semakin beragam. Penyebabnya, antara lain dikarenakan adanya celah pada aturan (hukum) yang memberikan peluang illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Undang - Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 memungkinkan nelayan asing untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2) dinyatakan, kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang
11 Ibid 12
Ansory, Lemahnya Penegakan Hukum Trehadap Pelaku Illegal Fishing,
melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional. Penyebab illgela fishing lainnya lainnya adalah kurang tegasnya penanganan para pelaku. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illgeal fishing dimana para pelakunya dihukum sangat ringan. Padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illgel fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illgela fishing. Misalnya pada setiap tahun hampir terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya”.
Berdasarkan rumusan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
tindak pidana illegal fishing secara keseluruhan adalah menangkap ikan atau
memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang, mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal
dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang,
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat
keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan, membawa alat-alat dan
atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam penangkapan dan atau pengelolaan
perikanan di kawasan pengelolaan perikanan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Menyangkut sanksi pidana terhadap pelaku illegal fishing Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 khusunya pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang yang
dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat
merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 (satu
miliar dua ratus juta rupiah)”. Berdasarkan pengertian ini dapat diklasifikasi bahwa
pencurian ikan (ilegal fishing) adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap
ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan
berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya
ikan.
Menyangkut bentuk dan sanksi tindak pidana illegal fishing dapat dirumuskan
unsur bahwa pokok subyek dan obyeknya adalah : Setiap orang ; dengan sengaja
(termuat pada Pasal 8 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat (3), dan ayat(4 ). Dan karena
kelalaiannya ( termuat dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 )
melanggar ketent uan ( melawan hukum ) ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ), dan ayat ( 4 ). Tindak pidana illegal fishing juga
merupakan pelanggaran atas Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat ( 3 ) dan
aturan kepidanaannya dirumuskan dalam Pasal 262– 265 ayat ( 4 ) KUHP Tentang
Kejahatan Pencurian, dengan hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau pidana
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Berdasarkan
akibat yang ditimbulkan, maka pelaku tindak pidana illegal fishing juga dapat dijerat
Pasal 187 KUHP Tentang yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau
barang, dengan hukuman terberatnya pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun. Jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain
Modus operandi kejahatan illegal fishing mempunyai sifat spesifik
dibandingkan dengan kejahatan lainya berkaitan dengan kejahatan di wilayah
perairan negara Republik Indonesia baik yang dilakukan oleh orang perseorangan
ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization crime. Pencegahan
tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem termasuk sebagai sub
sistem adalah koordinasi terpadu antar lintas negara (transnational) maupun
lemabaga otoritas di bidang kelautan dan perikanan. Perkembangan kriminalitas yang
berkaitan dengan bidang kekayaan negara khususnya di bidang perikanan yang
memanfaatkan teknologi dalam penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia telah
mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan
pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta
pertanggungjawaban atas kesalahan13 berupa tindak pidana yang dilakukan,
melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi
dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi
kejahatan.
Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan pencurian ikan yang
dilakukan oleh Polri Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara bekerjasama
13
dengan pengawasan perikannan dapat dideskripsikan pada penanganan kasus
penangkapan ikan di jalur terlarang sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI)
dengan alat tangkap Purse Seine gandeng dua di perairan Kwala Batu bara Kabupaten
Batu bara Sumatera Utara dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 ayat (2) huruf c Subsider Pasal 100 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Adapun deskripsi kasus di atas dapat digambarkan sebagai
berikut:14
“ Pada hari kamis tanggal 06 Nopember 2008 pukul 11.30 wib Kapal Patroli Polisi Perairan 303 yang melakukan patroli bersama-sama dengan Pengawas Perikanan pada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan memergoki Kapal Ikan KM. Surya Mas I yang dinahkodai 1 (satu) orang nahkoda dengan 9 (sembilan) orang ABK warga negara Indonesia yang sedang melakukan penangkapan ikan di jalur –I, jalur terlarang sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), pada posisi 03° 18 ' 386 " LU- 99 ° 45 ' 847 " BT Perairan Kwala Batu Bara Kab. Batu Bara dengan alat tangkap Purse Seine gandeng dua. Sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) pada Kapal Ikan KM Surya Mas I jalur terlarang pada Jalur – I (Lambung Kapal Oranye) sesuai dengan SK Mentan Np. 392/Kpts/IK.120/4/1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan dan Pasal 7 ayat (2) huruf c Subsider Pasal 100 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kapal ikan tersebut tertangkap di 3 (tiga) mil dari pantai perairan Batu bara Kabupaten Batu bara. Alat tangkap yang ditemukan adalah Purse Seine (Gandeng Dua) sesuai yang tertulis dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang terdiri: ukuran pukat lebih kurang 60 meter, panjang kebawah lebih kurang 25 meter, panjang tali dari mulut jaring 35 meter, ukuran mata jaring tengah lebih kurang 1 ½ Inci, kantong ½ Inci, ukuran mata jaring dari jaring lebih kurang 25 Cm yang digunakan dengan cara diam atau kapal dalam keadaan lego jangkar dan digunakan atau menangkap ikan diluar jalur I”.
14
Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illegal fishing sebagaimana
dideskripsikan di atas diartikan sebagai dipidananya perbuatan pelaku (de
strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dengan menggunakan
perangkat hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perikanan maupun KUH
Pidana,15 artinya bahwa penggunaan perangkat hukum merupakan penjabaran dari
asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena,
sine pravia lege poenali”. Hal ini mengandung pengertian bahwa kebijakan
penanggulangan kejahatan illegal fishing tetap dilakukan secara integral yang berarti
segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan harus
merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana.16
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan illegal fishing
maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalah (schuld) pada pelaku
15
Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain.
16
yang mempunyai tiga tanda, yakni:17 Pertama, kemampuan bertanggung jawab dari
orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi). Kedua,
hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa
kesengajaan atau kealpaan. Ketiga, tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan
pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.18
Selanjutnya dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku illegal fishing
berupa kapal-kapal penangkapan ikan pada kasus-kasus di wilayah perairan Indonesia
yang biasanya dilakukan oleh korporasi yang bergerak dibidang perikanan maka asas
tindak pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku dalam hukum pidana
selama ini menghambat penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal fishing,
penyebabnya adalah perangkat hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana
materil masih mengalami kelemahan karena adanya prinsip pertanggungjawaban
karena adanya kesalahan (shuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat
untuk pengenaan pidana,19 tentunya berbeda dengan tindak pidana illegal fishing
yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kekayaan Negara dan transnational
crime,20 sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana sebagai tindak
17
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 34.
18 Ibid 19
Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, Op.cit, hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
20
pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat sebagaimana
dirumuskan oleh Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana,21 yakni: melakukan perbuatan pidana,
mampu bertanggungjawab, dengan kesengajaan atau kealpaan; dan tidak adanya
alasan pemaaf atau pembenar.
Asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam
pertanggungjawaban pidana, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang
benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai
pengertian kesalahan ini, Mezger mengatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan
syarat uang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat
pidana”.22 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan
itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara
kesengajaan dan kelalaian semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan
penghapusan kesalahan. Oleh sebab itu pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu
dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak
pidana. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan
dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Dalam hal ini batasan yang dapat dikemukakan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum tanpa menggunakan kekerasan bersifat melawan hukum yang hakekatnya mengandung unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan.
21
Lihat, Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Indonesia, Op.cit, hal. 30 bahwa dasar ada tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana.
22
kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan
sebagai berikut:23
1. Ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku:
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang;
3. Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta’
4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan pada
adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan
sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Kesalahan
berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara
tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asas tindak pidana tanpa
kesalahan dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”. Asas ini tidak dijumpai
pada KUH Pidana sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas
yang ada dalam hukum tidak tertulis.24 Prinsip hukum acara pidana yang didasarkan
kepada beberapa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia dalam rangka meminta
pertanggungjawbaan pelaku illegal fishing mengalami kendala apabila dihadapkan
pada penanggulangan illegal fishing.25 Pada sistem peradilan pidana Indonesia
23
Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 67.
24
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 3. 25
Satoehid Kartanegara dalam Tb. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, (Bandung: MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006), hal. 135-137, bahwa Masalah pembuktian dalam rangka penegakan hukum pidana pada penanganan tindak pidana pencucian uang tidak terlepas dari prinsip-prinsip pembuktian yang terdapat di dalam hukum acara pidana. Adapun prinsip-prinsip yakni:
mengandung pembuktian negatif lebih dominan untuk penanganan suatu peristiwa
pidana.26 Konsekuensi yang timbuh adalah penekanan pada alat bukti yang cukup
untuk dimulainya proses sistem peradilan pidana (penekanan pada pembebanan
pembuktian), sedangkan dalam praktek illegal fishing yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan perikanan dan perikanan sangat sulit menerapkan beban
pembuktian yang cukup untuk menjerat perusahanan-perusahaan yang melakukan
praktek illegal fishing.
Usaha untuk pencapaian ke arah penegak hukum terhadap praktek illegal
fishing yang efektif dirasakan dewasa ini mengalami kesulitan cukup signifikan yang
disebabkan antara lain sistem penyidikan untuk menjerat pelaku sebagai tindak
pidana maka terlebih dahulu harus membuktikan adanya unsur kesalahan menyangkut
adanya indikasi perbuatan pidana pencurian ikan sehingga dapat diminta
pertanggungjawaban (liability on fault or negligence atau fault liability).27 Hal ini
2. Positief Wettelijk Bewijsleer yakni tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain dalam hal ini keyakinan hakim, cara pembuktian banyak didasarkan pada alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang.
3. Conviction In Time (Bloot Gemoedelijkke Overtuiging) yakni sistem pembuktian yang semata-mata pada keyakinan hakim dan tidak terikat dengan alat-alat bukti yang ada. Sehingga pembuktian ini sangat subjektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang dilakukannya.
4. Conviction In Raissonee (Beredeneerde Overtuiging) yakni sistem yang menerapkan bahwa pembuktian didasarkan pada keyakinan hakim dan alasan-alasannya yang menyebabkan keyakinan-keyakinan tersebut dalam pembuktian tidak terikat pada alat-alat pembuktian yang sah diakui undang-undang saja melainkan dapat mempergunakan alat-alat pembuktian yang lain yang ada di luar undang-undang sebagai alasan yang menguatkan hakim.
26
Ketentuan ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
27
sebagaimana dimuat dalam asas hukum pidana materil bahwa pidana hanya
diberikan kepada orang yang bersalah (asas “culpabilitas”, tiada pidana tanpa
kesalahan).28 Selain itu dalam tatatan kontruksi melalui pemahaman hukum
ditemukan juga bahwa kerangka hukum yang digunakan melalui pendekatan hukum
administrasi sebagai suatu perbuatan pelanggaran perizinan. Untuk itu sangat
diharapkan adanya pemahaman aparat penegak hukum di bidang penegakan illegal
fishing secara signifikan berdasarkan modus opzet pelaku.
Penanggulangan kejahatan illegal fishing secara represif dengan
menggunakan kerangka KUH Pidana merupakan tindakan pemberantasan dan
sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana (crimal justice system). Penegakan hukum penanggulangan
kejahatan melalui tindakan represif dimulai dari tindakan pihak kepolisian yang
menempatkan Polri sebagai penyidik merupakan salah satu suatu proses dari
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah
merupakan “serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang
telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan dinamakan unsur subjektif. Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga adanya anggapan bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana. Menurut A. Z. Abidin, aliran monistis terhadap strafbaar feit penganutnya merupakan mayoritas di seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian dari strafbaar feit. Lihat, AZ. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 51
28
mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Dalam rangka menjerat pelaku
kejahatan illegal fishing mengharuskan terlebih dahulu penyidik dapat membuktikan
adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah atau tidaknya
seseorang tidak dapat dipisahkan dari perbuatan pidana yang dilakukannya, kesalahan
adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de veranttwoordelijkheid
rechtens).29
Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri30 sebagai sub-sistem
dari sistem peradilan pidana dalam penanganan illegal fishing pada hakekatnya
merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan
oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana31 adalah untuk mencari kebenaran
materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of
human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem
peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun
bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini
dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub
kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan
terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku
yang diperiksa dapat di identifikasikan.
29
Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan)
30
Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
31
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan
(problem) yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian Tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik tindak pidana illegal fishing berdasarkan modus operandi
pelaku di wilayah perairan?
2. Bagaimana peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pelaku tindak pidana
illegal fishing sebagai bahagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice
system)?
3. Bagaimana hambatan penyidik Polri sebagai sub sistem peradilan pidana
(criminal justice system) dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana illegal fishing berdasarkan modus
operandi pelaku di wilayah perairan.
2. Untuk mengetahui peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pelaku tindak
pidana illegal fishing sebagai bahagian dari sistem peradilan pidana (criminal
justice system).
3. Untuk mengetahui hambatan penyidik polri sebagai sub sistem peradilan pidana
D. Manfaat Penelitian
Dalam hal ini, penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis dan praktis.
Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk
penelitian lebih lanjut terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana
illegal fishing dalam rangka penegakan hukum pada sistem peradilan pidana
(criminal justice system) dan penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
salah satu acuan bagi kalangan akademisi hukum yang mendalami bidang
kajian penelitian ini, khsususnya diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan hukum pidana di bidang perikanan sebagai salah satu bentuk
kejahatan terhadap harta kekayaan negara dan transnational crime.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
aparat penegak hukum khususnya di bidang illegal fishing untuk menangani
dan menjerat pelaku tindak pidana illegal fishing. Selain itu, penelitian ini
dapat digunakan sebagai salah satu bahan dan gambaran menyangkut sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan di dalam praktek
penanganan kejahatan illegal fishing oleh Polri sebagai bahagian dari sistem
peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan
Illegal Fishing di Wilayah Perairan Indonesia” khususnya di Lingkungan Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum pernah dilakukan.
Dengan demikian penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka
untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan
permasalahan dlam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Pemberantasan praktek illegal fishing pada dasarnya diarahkan pada
pertanggungjawab pelaku tindak pidana illegal fishing yang tidak dapat dipisahkan
dari kriminalisasi.32 Kriminalisasi illegal fishing berlandaskan pada perangkat
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan
sebagai suatu kejahatan kekayaan negara dan berpengaruh pada perekonomian
nasional. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi dewasa
ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan, oleh karena itu
32
setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi supaya
sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama, stabilitas
(stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan
(predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah
yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama
kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan
tradisional.33 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan
sebagai white collar crime34.
Selanjutnya Undang- Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagai
kriminalisasi terhadap praktek illgeal fishing telah mengklasifikasi tindak pidana
“illegal fishing” adalah sebagai berikut :
“1). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
33
Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12, selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.
34
2). Narkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 2 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 ( satu milliar dua ratus juta rupiah ).
3). Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab perusahaan perikanan, dan / atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan / atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 3 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milliar rupiah ).
4). Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan / atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau cara, dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milliar rupiah ).
5). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), ayat ( 4 ) adalah merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran.
6). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), dan ayat (4) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana masing- masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan.
Sanksi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah
sebagai berikut :
1). Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.
2). Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan, serta pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan biodiversity laut / lingkungan ekosistem laut.
3). Setiap orang dilarang :
a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia dengan tidak sah / melanggar Undang-Undang.
b. Melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan menggunakan bahan-bahan kimia, bahan-bahan peledak dan juga alat yang dapat merusak ekosistem laut.
c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi ikan di kawasan perairan Republik Indonesia, tanpa izin.
d. Membawa alat-alat dan juga bahan-bahan kimia yang lazin dan patut diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan dan atau pembudidayaan perikanan tanpa izin dari pihak yang berwewenang.
e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi laut ke dalam kawasan perairan.
Peranan aparat penegakan hukum khusunya Polri terhadap penanggulangan
tindak pidana illegal melalui tindakan pemberantasan pada hakikatnya merupakan
fungsionalisasi hukum pidana,35 artinya fungsionalisasi memegang peranan penting
35
dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud
secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau
konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum.36
Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum
pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata.
Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi
hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam
fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif
sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat
perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh
penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan
oleh aparat eksekusi hukum.37
Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan
hukum tindak pidana illegal fishing untuk mengukur profesionalisme penegakan
hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor
tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari :38
Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
36
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157. 37
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30
1. Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada Undang-Undang saja.
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum yang terpadu, hubungan kerja sama tersebut di atas
akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan
memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub
sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan
satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan
semua pihak.
Menyangkut tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illgal fishing
tidak dapat dipisahkan dari kerangka pertanggungjawaban pidana sebagaimana dianut
pada faham hukum pidana. Menurut Sudarto, bahwa di samping kemampuan
bertanggung jawab, bahwa kesalahan (schuld) dan perbuatan melawan hukum
(wederechtelijk) dijadikan sebagai syarat untuk pengenaan pidana, yaitu bahwa
pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian, konsepsi
pertanggungjawaban pidana dalam arti pidananya pembuat, ada beberapa syarat yang