• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Konteks Internasionalisasi Pendidikan Oleh: Muhammad Syaifudin *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Konteks Internasionalisasi Pendidikan Oleh: Muhammad Syaifudin *"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Muhammad Syaifudin *

Abstrak

Dalam konteks internasionalisasi pendidikan, maka tantangan globalisasi yang dihadapkan kepada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai salah satu sistem dalam sistem pendidikan nasional, adalah mampukah pendidikan nasional menciptakan manusia-manusia berkualitas yang mampu memenangkan persaingan antarbangsa (atau setidaknya survive) dalam era globalisasi ini? Untuk itu, PTAI perlu memiliki strategi pengembangan yang komprehensif antara lain: Pertama, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengarah kepada universitas riset. Idealnya, setiap PTAI memiliki pusat penelitian. Akan tetapi, dalam praktiknya, lembaga tersebut sangat terbatas, cakupannya lokal, atau maksimal nasional. Dibandingkan dengan negara maju, Amerika, misalnya, universitas itu disiapkan untuk mencetuskan masterpiesece dan penemuan ilmiah di bidangnya. Universitas Chicago, misalnya, mampu meraih 68 hadiah nobel karena temuan ilmiahnya. Kedua, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertaraf internasional seiring dengan meningkatnya globalisasi dan pasar bebas. Di beberapa negara berpenduduk Muslim seperti Malaysia dan Pakistan saja, telah tedapat universitas internasional. Tenaga edukatifnya dapat dijalin kerjasama dengan pihak universitas luar negeri yang dipandang sesuai dengan kapasitas dan bidangnya. Kehadiran universitas yang khusus dipersiapkan untuk menampung peserta mancanegara dengan kurikulum dan silabi yang spesifik sebagaimana layaknya universitas internasional, merupakan konsekuensi globalisasi sekaligus tuntutan pengembangan perguruan tinggi di Indonesia pada masa mendatang agar perguruan tinggi Indonesia tampil ke pentas nasional. Ketiga, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menerapkan otonomi kampus seiring dengan proses reformasi dan otonomi daerah. Kemandirian akademik, kebebasan mimbar, kurikulum lokal, pemberdayaan potensi sumber daya kampus, dan lain sebagainya akan muncul bilamana kebijakan pendidikan mengacu pada konsep perguruan tinggi with wider mandate (mandat yang diperluas). Ketiga agenda tersebut merupakan tuntutan bagi PTAI yang mampu go public dan karena desakan internasionalisasi pendidikan yang memang mengarah ke sana. Prospek dan problematika PTAI menantang para "elite pendidikan" untuk menghadapinya secara serius.

Kata kunci: internasionalisasi, prospek, PTAI

* Doktor Pendidikan Islam dan bertugas sebagai Dosen Tetap pada Fakultas

(2)

A. Pendahuluan

Intenasionalisasi pendidikan yang berjalan di dunia Islam membawa

konsekuensi perjumpaan dengan dunia Barat,1 sebagaimana dunia Islam

telah pernah mengalami perjumpaan dengan Yunani. Buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan, disalin, atau dikembangkan oleh para

filosof Muslim,2 kemudian diterima di belahan dunia Barat sedemikian

rupa hingga pada abad ke-14 sampai abad ke-16, Barat mengalami Renaissance. Masa ini menandai kebangkitan baru dunia Barat setelah sekian lama berada dalam Dark Ages. Berangkat dari sini, mulai bermunculan gagasan baru di bidang pendidikan internasional.

Internasionalisasi pendidikan sangat erat kaitannya dengan globalisasi yang merupakan proses mendunia akibat kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa Indonesia, salah satunya adalah dunia pendidikan. Karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk membentuk generasi muda agar menjadi manusia sesungguhnya, maka tantangan globalisasi yang dihadapkan kepada pendidikan nasional, termasuk lembaga perguruan tinggi (PT) sebagai salah satu sistem dalam sistem pendidikan nasional, adalah mampukah pendidikan nasional menciptakan manusia-manusia berkualitas yang

1

Perjumpaan bangsa Indonesia dengan Eropa baru terjadi mulai abad ke-15, ketika Portugis datang ke Maluku dan Ternate, lalu tiggal selama hampir satu abad, disusul kemudian dengan Spanyol, Inggris dan Kolonialisme Belanda selama tiga setengah abad (1596-1942), lalu pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun (1942-1945), hingga tercapai kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agsutus 1945. Selama masa kolonialisme tersebut praktik pendidikan bagi bangsa Indonesia berjalan secara tradisional dan sangat sederhana yang disebabkan tekanan dari pihak penjajah. Pendidikan nasional baru menampakkkan perubahan mendasar setelah Indonesia merdeka.

2

Upaya penerjemahan buku-buku pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada saat Bani Abbasiyah memegang kendali pemerintahan. Beberapa khalifah yang mendukung upaya ini adalah Harun al-Rasyid, Al-Makmun, dan Al-Mansur. Di masa Harun al-Rasyid, didirikan Bait al-Hikmah yang merupakan perpustakaan sekaligus sebagai lembaga pendidikan yang bersifat internasional. Dikatakan internasional karena para pelajarnya berasal dari berbagai kota atau negara lain. Prestasi Harun al-Rasyid dengan Bait al-Hikmah ini, meskipun setelah masa kemundurannya tidak berkembang lebih lanjut, telah melangsungkan proses intenasionalisasi pendidikan, suatu titik tolak munculnya perbandingan pendidikan antarnegara di kemudian hari. Pendidikan internasional dikenal sebagai usaha dalam forum internasional untuk mewujudkan harmoni dan perdamaian dunia melalui pendidikan. Lihat Abd. Rahman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), pp. 12-13.

(3)

mampu memenangkan persaingan antarbangsa (atau setidaknya survive) dalam era globalisasi ini?

Dalam konteks Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus diajukan kepada para pimpinan PTAI yaitu: kemana PTAI akan anda bawa? Pertanyaan ini menyangkut arah kebijakan dan berkaitan dengan visi ke depan. Ada beberapa pertanyaan yang terkait dengan jawaban atas pertanyaan tersebut antara lain: Apa kewajiban pemerintah di bidang pendidikan tinggi agama? Untuk apa PTAI didirikan? Apa permasalahan utama yang dihadapi oleh PTAI saat ini? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mutu lulusan? Dan apa solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut? Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab, maka akan diketahui ke arah mana pengelola pendidikan agama harus melangkah.

B. Kewajiban Pemerintah di Bidang Pendidikan Tinggi Agama Kewajiban pemerintah di bidang pendidikan tinggi agama tidak terlepas dari kewajiban pemerintah di bidang pendidikan secara umum. Secara ringkas, kewajiban pemerintah di bidang pendidikan ada dua, yaitu: Pertama, memberikan layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau kepada rakyat (masyarakat). Jika dikaitkan dengan pendidikan agama, maka kewajiban pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama RI) di bidang pendidikan agama adalah memberikan layanan pendidikan tinggi agama yang bermutu dan terjangkau kepada masyarakat. Kewajiban ini telah dilaksanakan oleh Departemen Agama RI dengan menyelenggarakan PTAIN (UIN/IAIN/STAIN) yang tersebar di beberapa tempat di seluruh Indonesia yang berjumlah 47.

Kedua, melindungi kepentingan rakyat (masyarakat) dari

kemungkinan menderita akibat terjadinya ‘mal-praktik’3di bidang

pendidikan. Kewajiban ini dilaksanakan dengan melakukan pengawasan terhadap layanan pendidikan yang diberikan oleh PTAI. Tujuan pengawasan ini adalah untuk menjamin bahwa masyarakat memperoleh layanan pendidikan tinggi agama Islam yang bermutu sehingga dana, tenaga, fikiran, dan waktu yang telah mereka korbankan untuk memperoleh kompetensi yang mereka inginkan dari PTAI tersebut tidak sia-sia (mubadzir).

Lembaga pendidikan yang hanya memberikan ijazah dan gelar tanpa mendidik adalah salah satu contok ‘mal-praktik’ (praktik yang keliru) di bidang pendidikan. Dosen yang masuk kelas, memberi kuliah selama 90

3

‘Mal-praktik’ berarti praktik yang keliru. Istilah ini popular di dunia kesehatan tetapi dapat juga diterapkan di dunia pendidikan.

(4)

menit tetapi isi kuliahnya tidak jelas dan tidak relevan dengan tujuan mata kuliah yang ingin dicapai juga merupakan contoh ‘mal-praktik’ di bidang pendidikan. Apalagi dosen yang jarang masuk kelas.

C. Tujuan Pendidikan Tinggi Agama Islam

Hal kedua yang perlu kita ketahui adalah tujuan pendidikan tinggi. Untuk apa perguruan tinggi didirikan? Apakah untuk memberi tempat kepada orang-orang yang ingin menjadi Rektor atau Ketua Sekolah Tinggi? Ataukah untuk menampung alumni Perguruan Tinggi yang kesulitan mencari pekerjaan? Ataukah Perguruan Tinggi didirikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi? Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang secara formal diserahi tugas dan tanggungjawab mempersiapkan mahasiswa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengisi kebutuhan masyarakat akan tersedianya tenaga ahli dan tenaga terampil dengan tingkat dan jenis kemampuan yang

sangat beragam.4 Berdasarkan hal tersebut, struktur perguruan tinggi di

Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu: Pertama,

perguruan tinggi umum (PTU)5 yang dikelola oleh Departemen

Pendidikan Nasional. Kedua, perguruan tinggi agama Islam (PTAI)6 yang

dikelola oleh Departemen Agama.

Pengelompokkan seperti ini berimbas kepada jenis penyelenggaraan pendidikan agama yang dibedakan antara dua program dengan tujuan. Pertama, pendidikan agama dengan tujuan mencetak para ahli agama (ulama) dalam semua tingkat (desa, lokal, sampai nasional). Kedua, pendidikan agama dengan maksud memenuhi kewajiban setiap orang

4

Suwito & Fauzan (ed.), Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara: Studi Perkembangan Sejarah Abad 13 hingga Abad 20 M, ( Bandung: Angkasa, 2004), p. 252. Lihat juga UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 19. tentang pendidikan tinggi.

5

Berdasarkan catatan sejarah, dinyatakan bahwa Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang berdiri pada tanggal 19 Desember 1949 dan Universitas Indonesia (UI) Jakarta yang berdiri pada tanggal 2 Februari 1950 adalah perguruan tinggi umum tertua di Indonesia. Suwito, Perkembangan.., p. 252.

6

Sedangkan pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak saat itu telah terjadi dinamika dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia berawal dari lahirnya STI kemudian STI berubah menjadi UII, fakultas agama UII dinegerikan menjadi PTAIN, kemudian muncul IAIN dan STAIN, selain itu muncul pula pendidikan tinggi Islam swasta baik yang berbentuk universitas maupun sekolah tinggi. Lihat Daulay, Pendidikan…, p. 133.

(5)

mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk.7 Dari sini dapat dipahami bahwa jenis yang pertama adalah pendidikan agama yang diselenggarakan oleh PTAI dan jenis yang kedua diselenggarakan oleh PTU.

Dalam PP 60 Tahun 1999 disebutkan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah sebagai berikut: Pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenia; Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk mningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Jika tujuan tersebut diterapkan pada PTAI, maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan PTAI adalah (a) menghasilkan lulusan yang bermutu secara akademik dan/atau professional di bidang ilmu agama dan kebudayaan Islam serta yang akan bermanfaat bagi masyarakat; (b) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu agama dan kebudayaan Islam bagi kemaslahatan masyarakat. Selain itu, PTAI sebagai bagian dari

pendidikan Islam,8 berkembang seiring dengan dinamika dan perubahan

pranata sosial. Jika ia mampu mengikuti irama perubahan, maka ia akan “survive”. Sebaliknya jika lamban, maka cepat atau lambat ia akan tertinggal dan ditinggalkan di landasan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa eksistensi pendidikan Islam merupakan salah satu syarat

7

Nurcholish Madjid, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed.), "Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam", (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), p. 40.

8

Kata pendidikan, yang dalam bahasa Inggeris “education”, dalam bahasa Arab disebut “tarbiyah”. Kata tarbiyah, berasal dari kata dasar “rabba-yurabbi” menjadi “tarbiyah”, yang berarti tumbuh dan berkembang. Lihat Abu Luwis al-Yasu’i, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi al-A’lam, Cet.23 (Beirut: Dar al-Masyriq, tt.). Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiaannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Tim Dosen FIP IKIP Malang, Kapita Selekta-Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Malang: IKIP Malang, 1981), p. 2. Bagi umat Islam, agama merupakan dasar utama dalam mendidik anak-anaknya melalui sarana-sarana pendidikan. Karena dengan menanamkan nilai-nilai agama akan sangat membantu terbentuknya sikap dan kepribadian anak kelak pada masa dewasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai denga ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Zuharaini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 152.

(6)

yang mendasar dalam meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia. Hal ini disebabkan karena pendidikan Islam, sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, memegang amanat untuk membina dan membangun

manusia Indonesia seutuhnya.9 Bahkan secara tegas dinyatakan dalam

amanat pasal 31 UUD1945 dan perubahannya.10

Secara yuridis, posisi pendidikan Islam berada pada posisi yang strategis, baik pada UUSPN No. 2 Tahun 1989 maupun UUSPN No. 20

Tahun 2003.11 Mencermati pasal-pasal yang terdapat pada UUSPN

tersebut, terlihat bahwa pendidikan agama (Islam)12 tidak hanya

menekankan pada pengembangan IQ, tetapi EQ dan SQ secara harmonis. Artinya, bahwa pendidikan Islam harus mampu melahirkan insan yang beriman-takwa, berakhlak mulia, dan memiliki kualitas intelektual yang tinggi. Urutan prioritas pendidikan Islam dalam upaya pembentukan kepribadian muslim, sebagaimana diilustrasikan berturut-turut dalam al-Qur’an surat Luqman, mulai ayat 13 dan seterusnya adalah: (1) Pendidikan

9

Sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945; “Untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lihat UUD 1945 Hasil Amandemen, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2002), p. 3.

10

Amanat pasal 31 UUD1945 tersebut dan perubahannya menyebutkan bahwa; “(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Ibid., p. 25.

11

Sebagaimana yang terlihat pada pasal 1 ayat 5 UUSPN 2003 yang menyebutkan bahwa: “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Lihat Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Eko Jaya, 2003), hal. 5. dan pasal 4 UUSPN 2003, yaitu: “Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi mulia, sehat, berilmu, kompeten, terampil, kreatif, mandiri, estetis, demokratis, dan memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan”. Serta pada pasal 13 ayat 1 huruf A UUSPN 2003, yaitu: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

12

Pendidikan agama berbeda dengan pendidikan Islam sekalipun ia mmempertahankan sisa-sisa lembaga pendidikan Islam. Dengan memisahkan pengetahuan “wahyu” dan pengetahuan “manusia”, prinsip al-Qur’an ditransformasi menjadi aturan hokum dan moral serta ritual yang terumuskan, yang menciptakan dikotomi dalam pemikiran Islam. Demikian juga makna dictum Nabi “faqqihhu fi al-din” (Shahih Muslim) mengalami transformasi, dari mengajar di dalam pandangan-dunia Islam ke mengajar Islam seperti yang ditafsirkan oleh berbagai mazhab fikih.

(7)

keimanan kepada Allah s.w.t., (2) Pendidikan Akhlak Karimah, dan (3)

Pendidikan Ibadah.13

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan suatu PTAI seharusnya diukur berdasarkan pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

D. Masalah Utama yang Dihadapi oleh PTAI saat ini

Untuk dapat menyusun program kerja yang efektif dan efisien guna mewujudkan visi dan menjalankan misi tersebut di atas, terlebih dahulu perlu dilihat di mana posisi PTAI saat ini dan apa persoalan utama yang harus segera diatasi. Berdasarkan pengamatan serta diskusi berbagai pihak yang terkait erat dengan masalah ini, dapat disimpulkan bahwa problema utama yang dihadapi oleh sebagian besar PTAI adalah rendahnya citra mereka di mata masyarakat. Citra yang rendah ini mengakibatkan banyaknya lulusan terbaik Sekolah Menengah Tingkat Atas (baik Sekolah

13

Lihat Q.S. Luqman ayat 13 artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Pendidikan yang pertama dan utama untuk dilakukan adalah pembentukan keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak didik. Dan ayat 14,18 dan 19 yang artinya: “ Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ayah ibunya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang ayah ibumu, hanya kepada-Ku lah kembalimu. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. Akhlak termasuk di antara makna yang terpenting dalam hidup ini. Tingkatnya berada sesudah keimanan/kepercayaan keapada Allah, malaikat-Nya, Rasul-Nya, hari akhirat yang terkandung hasyar, hisab, balasan akhirat dan kada dan kadar Allah. Juga terletak sebuah ibadat kepada Allah, mentaati-Nya, ikhlas Nya, dan menyerahkan diri kepada-Nya. Apabila keimanan berkaitan erat dengan hubungan hamba dengan Tuhan-Nya, maka akhlak berkaitan erat dengan hubungan manusia dengan sesama, bahkan dengan segala yang terdapat dalam wujud dan kehidupan ini. Dan selanjutnya ayat 17 yang artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikianlah itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah”. Ibadah yang secara awam diartikan sesembahan, pengabdian, sebenarnya adalah istilah yang paling luas dan mencakup tidak hanya penyembahan, tetapi juga berhubungan dengan laku manusia meliputi kehidupan. Yang paling beradab, dari segi pandangan spiritual, adalah mereka yang mematuhi dengan sangat rapat kemauan Tuhan, di dalam semua perbuatan-perbuatan mereka.

(8)

Umum maupun Madrasah Aliyah) kurang tertarik belajar di PTAI. Ini berlaku untuk PTAIN sebagai pembawa bendera maupun untuk PTAI. Mereka beranggapan bahwa PTAI tidak dapat memberikan prospek masa depan yang baik bagi mereka.

Citra yang rendah ini diperkuat oleh kenyataan banyaknya lulusan PTAI yang, meskipun memiliki ijazah dan gelar sarjana, mutunya dianggap masih dibawa standar harapan masyarakat. Karena rendahnya mutu lulusan inilah maka banyak lulusan PTAI yang tidak dapat dimanfaatkan oeh masyarakat, baik sebagai guru agama maupun sebagai da’i. Orientasi lulusan untuk menjadi pegawai negeri di masa pengangkatan pegawai negeri amat dikurangi ini membuat semakin banyak lulusan PTAI yang ‘menganggur’.

Kurangnya minat lulusan SMTA terbaik untuk belajar di PTAI ini telah memaksa PTAI untuk menerima calon mahasiswa dengan kualitas rendah demi mendapatkan mahasiswa dalam jumlah yang cukup ekonomis (istilah lain “masuk kepala masuk badan”, artinya jika daftar nama saja pasti lulus tes). Tidak jarang ada PTAI yang menerima lebih dari 100% dari jumlah peserta tes di tempatnya. Ini dilakukan dengan jalan mengirim surat penerimaan kepada calon mahasiswa yang tidak lulus tes masuk di PTU atau PTAI lainnya. Rendahnya kualitas input mahasiswa ini tentu saja akan membuat proses pendidikan di PTAI yang bersangkutan menjadi semakin sulit.

Rendahnya mutu input mahasiswa ini semakin sering tidak diimbangi dengan proses pendidikan (perkuliahan) yang lebih baik. Proses perkuliahan yang diberikan kepada mahasiswa yang berkualitas rendah sama dengan yang diberikan kepada mahasiswa dengan kualitas lebih baik. Mahasiswa yang bermutu rendah ini tidak disiapkan dulu agar mereka dapat menerima pendidikan/penelitian yang telah direncanakan. Akibatnya kegagalan proses pendidikan ini menjadi semakin besar pula. Hasil akhirnya adalah lulusan yang rendah mutunya.

Lingkaran setan ini harus segera dipecahkan dan dipotong dari simpul mutu lulusan, dengan alas an bahwa denga mutu lulusan yang semakin bagus, citra PTAI sebagai perguruan tinggi akan meningkat dan itu diharapkan akan meningkatkan minat lulusan terbaik SMTA untuk memilih belajar di PTAI. Banyaknya peminat akan memungkinkan PTAI untuk menseleksi calon mahasiswa sehingga diharapkan akan diperoleh input mahasiswa yang berkualitas baik. Banyaknya peminat juga akan meningkatkan pemasukan dana operasional, sehingga PTAI yang bersangkutan akan mampu menggaji dosen yang berkualitas pula. Dosen berkualitas, pada gilirannya, akan mampu memberikan layanan pendidikan yang berkualitas pula, ditambah lagi dengan input mahasiswa yang memang

(9)

berkualitas, maka proses pendidikan akan lebih mudah untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas pula.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Lulusan PTAI

Di dalam pendekatan sistem di bidang pendidikan dikenal adanya tiga unsur utama: input–proses–output. Dalam konteks PTAI, input adalah calon mahasiswa yang masuk ke PTAI, proses adalah apa yang dilakukan PTAI tersebut untuk mendidik mahasiswa, dan output adalah alumni atau lulusan yang dikeluarkan oleh PTAI tersebut. Baik-buruknya mutu lulusan (Produk) PTAI akan ditentukan oleh mutu input dan mutu proses yang diterapkan pada input tersebut. Proses pendidikan di PTAI merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak komponen yang saling tergantung antar satu dengan yang lainnya. Dengan mengetahui komponen-komponen tersebut, maka kita akan dapat meningkatkan kualitas komponen-komponen tersebut serta pola interaksinya guna memperoleh output yang lebih baik.

Adapun komponen-komponen yang dianggap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap baik-buruknya kualitas lulusan antara lain:

1. Kurikulum

Kurikulum dianggap sebagai komponen yang penting karena ia merupakan rencana program pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa. Ibarat orang membangun rumah, maka kurikulum adalah blue print (gambar cetak biru)nya. Apabila desain dalam gambar cetak biru itu bagus, maka rumah jadinya juga akan bagus (tentu saja dipengaruhi oleh kualitas tukang dan bahannya). Deasin cetak biru yang kurang serasi mungkin tidak akan menghasilkan hasil rumah jadi yang serasi (kecuali kalau tukang yang ahli tidak mau mengikuti gambar cetak biru tersebut).

Kelemahan kurikulum PTAI saat ini adalah strukturnya yang tidak jelas. Kurikulum kita saat ini hanya berupa deretan nama mata kuliah dengan tujuan kurikuler yang terlalu umum. Setiap orang akan dapat menafsirkan maksud kurikulum itu berdasarkan pandangan masing-masing. Dalam proses pendidikan, di mana semua orang (pimpinan, dosen, karyawan, pustakawan, laboran, dan sebagainya) harus bekerja sama sebagai satu tim, perbedaan persepsi mengenai rencana program pendidikan ini akan sangat menyulitkan pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang jelas bagi semua orang yang terlibat dan berkepentingan dengannya. Profil lulusan yang diharapkan akan muncul sebagai akibat dari penerapan kurikulum tergambar dengan jelas bagi semua orang yang membacanya. Demikian

(10)

pula dengan ciri-cirinya sehingga orang mudah mengukur ketercapaian tujuan tersebut. Kejelasan ketercapaian tujuan kurikuler ini sangat diperlukan oleh pimpinan perguruan tinggi, senat, mahasiswa, dan masyarakat pengguna (stake holder). Dalam kurikulum itu juga harus jelas tergambar kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan apa yang harus dikembangkan melalui program studi tersebut serta bagaimana semua itu diintegrasikan dalam setiap mata kuliah.

2. Silabus

Silabus adalah penjabaran kurikulum menjadi rencana induk untuk setiap mata kuliah. Seperti halnya kurikulum, silabus inipun harus jelas tujuan dan profil lulusannya. Harus tergambar jelas kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan apa yang harus dikuasai oleh mahasiswa sebagai akibat mengikuti mata kuliah tersebut dan apa indikator bahwa mereka telah menguasai hal itu atau belum. Dalam silabus ini akan tercantum topik-topik yang diberikan dan kaitannya satu sama lain dalam upaya mewujudkan tujuan mata kuliah harus pula jelas. Kriteria penilaian dan contoh evaluasi yang akan diberikan juga perlu dicantumkan dalam silabus ini. Silabus ini dibuat oleh setiap dosen pengampu mata kuliah.

3. Proses Pembelajaran (Perkuliahan)

Proses pembelajaran ini juga merupakan unsur penting yang menetukan kualitas lulusan. Proses ini harus sesuai denga tujuan yang ingin dicapai oleh kurikulum secara keseluruhan. Tujuan kurikulum yang menyatakan ingin menghasilkan lulusan yang kreatif dan mampu memecahkan masalah tidak akan mungkin tercapai kalau proses pembelajarannya dilakukan dengan ceramah belaka tanpa ada latihan berfikir kreatif dan memecahkan persoalan. Biasanya, proses pembelajaran ini secara umum ditulis dalam kurikulum atau silabus. Masalah metode pembelajaran harus sesuai dengan tuntutan intelektual mahasiswa yang relatif tinggi. Pembahasan yang kritis dan kaya dengan bahan perbandingan tidak saja menarik, bahkan akan lebih menjamin pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, selain model konvensional, ada tiga metode pembelajaran, yaitu: Pertama, sistem Modul yaitu topik bahasan disusun dalam modul-modul untuk kemudian pembahasannya dilakukan dengan diskusi; Kedua, sistem Asistensi yaitu pemberian materi kajian di luar waktu sks yang tersedia, yang dilakukan secara berkelompok dengan dibimbing oleh seorang tutor; Ketiga, Penugasan (Asssignment) yaitu

(11)

mahasiswa ditugaskan untuk menyusun topik bahasan tertentu, sejalan

dengan pengembangan topik bahasan yang ada dalam kurikulum.14

Seiring dengan gambaran butir-butir di atas, idealnya metodologi pembelajaran harus bersifat rasional, menantang dan membuka pemikiran mahasiswa untuk berfikir ke depan dan merasa terpanggil untuk menghadirkan agama dalam kehidupan modern dengan bahasa modern. Agama diidealkan mampu mencari dan menemukan kebenaran dan menembus kegelapan. Ia tidak hanya benar dalam tatanan ideologis atau iman, tetapi ia juga benar dalam tatanan empirik dalam kehidupan keseharian.

Dalam kenyataannya, metodologi pembelajaran yang ditempuh masih lebih banyak top down atau deduktif dan membawakan kebenaran agama dari atas tanpa menghiraukan kenyataan-kenyataan yang unik dan melibatkan dengan kebutuhan keseharian. Dosen agama belum mampu menanamkan dan mengembangkan pemahaman agama dari “bawah ke atas” atau dari induktif ke deduktif. Padahal, sering terjadi penanaman iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa justru menjadi lebih berkesan dan memasuki daerah hati nurani yang paling dalam, jika melalui kejadian-kejadian nyata yang langsung dialami. Selain itu, dosen PTAI juga terkesan belum mampu memberikan wawasan yang holistik, integral dan komprehensif, tetapi masih dalam pendekatan yang sifatnya parsial sehingga masih terkesan mencari pembenaran, bukan kebenaran dan belum mampu mengembangkan model pemikiran yang benar-benar Islami.

4. Dosen (Tenaga Edukatif)

Pengajar atau Dosen15 adalah unsur yang sangat penting dalam

menentukan kualitas lulusan karena merekalah yang melaksanakan semua rencana pendidikan yang tertulis dalam kurikulum itu. Dosen harus memahami benar akan tujuan yang ingin dicapai oleh program pendidikan (kurikulum) dan bagaimana cara yang diharapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Dosen dibutuhkan (dan karena itu dibayar) karena dua hal yang

14

Ahmad Watik Pratiknya, Pengembangan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed.), "Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam", (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), p. 97.

15

Dosen adalah pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Lihat Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), p. 3. Sedangkan pada Pasal 3 Ayat 1 dijelaskan bahwa Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(12)

ia dimiliki, yaitu: ilmu pengetahuan atau keahlian yang dimiliki (sesuai dengan mata kuliah) dan kemampuan dia untuk mendidik mahasiswa sehingga mereka juga menguasai pengetahuan atau keahlian tersebut.

Idealnya, dosen PTAI adalah ahli agama Islam, berpendidikan minimal S2. atau jika memungkinkan S3. Selain itu, diharapkan mereka yang benar-benar memiliki rasa keterpanggilan tugas, lengkap dengan profesionalismenya dan penuh dengan kreativitas, inovatif dan kepercayaan diri sebagai dosen. Di masa-masa mendatang sangat didambakan dosen yang mampu menciptakan dan mengembangkan kurikulum yang sifatnya tersamar atau tersembunyi, yang sewaktu-waktu muncul berbagai masalah yang sifatnya krusial, mendesak, dan unik atau tidak akan muncul lagi, dan tidak terduga.

Dilihat dari segi latarbelakang pendidikan, dosen PTAI sudah memenuhi syarat. Sebagian mereka sudah memiliki gelar S-2, baik yang diperoleh dari perguruan tinggi negeri maupun swasta. Namun, yang diperlukan adalah dosen yang di samping memiliki kedalaman ilmu, juga mampu mendidik mahasiswa menjadi ilmuwan yang berakhlak mulia sesuai dengan arah kurikulum yang telah ditetapkan. Dalam hal kedua ini, sebagian dosen PTAI tampaknya masih lemah.

5. Lingkungan Belajar

PTAI adalah suatu lembaga pendidikan tinggi yang bernafaskan Islam. Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah kalau lingkungan kampus PTAI juga mencerminkan kedua ciri khas tersebut, yaitu: keilmuan dan keislaman. Sebagai perguruan tinggi, suasana kampus PTAI hendaknya sarat dengan suasana pencarian ilmu, diskusi-diskusi imiah dan kependidikan. Demikian juga dengan terbitnya jurnal-jurnal atau majalah ilmiah. Inilah sebenarnya hakikat sebutan ‘civitas akademika’ untuk sebuah kampus bukan ‘civitas politika’ yang banyak berkembang akhir-akhir ini di banyak perguruan tinggi. Sebagai perguruan tinggi Islam, sudah sewajarnyalah kalau PTAI memiliki suasana ketawadhu’an, kesalehan, akhlak karimah di seluruh kampusnya. Sebagian PTAI (terutama di lingkungan pesantren) sudah mencerminkan suasana keagamaan ini, tetapi sebagian lagi (terutama di PTAIN) tampaknya masih perlu dibenahi.

Idealnya, dimiliki kampus akademik yang religius, di mana perilaku keagamaan dalam kampus menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademika. Mahasiswa khususnya, dan sivitas akademika pada umumnya, terdorong untuk mempelajari agama Islam dalam rangka mengembangkan konsep-konsep keilmuan bidang studinya, sehingga bidang keahlian yang ditekuni oleh mahasiswa benar-benar bersumber dan dipandu oleh imtak kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(13)

6. Fasilitas Belajar

Fasilitas belajar yang dimaksud adalah fasilitas dasar yang meliputi ruang kelas untuk kuliah, laboratorium untuk mengkaji ilmu lebih dalam, perpustakaan, dan fasilitas administrasi seperti kantor. Dalam hal ini yang lebih penting adalah isi dan fungsinya, bukan sekedar gedung bagus. Perpustakaan yang baik, misalnya, adalah perpustakaan yang memiliki koleksi buku yang cukup lengkap dan relevan dengan kebutuhan pengkajian dan pengembangan ilmu, bukan yang gedungnya ber-AC (walau ini juga perlu) tetapi bukunya tidak begitu lengkap.

Pengamatan selama ini memberikan indikasi bahwa perhatian pimpinan sebagian PTAI terhadap fasilitas belajar yang langsung berpengaruh kepada mutu lulusan juga masih rendah. Kebanyakan mereka lebih mementingkan tempat, fisik gedung, terutama kantor pimpinan, dan bukan pada perpustakaan, laboratorium, tempat belajar, atau asrama mahasiswa. Fasilitas guna menunjang kesehatan mahasiswa, seperti poliklinik dan saranan olahraga, tampaknya juga kurang mendapat perhatian dari pimpinan sebagian PTAI.

7. Mutu Input Mahasiswa

Mahasiswa adalah unsur yang paling pokok dalam suatu proses pendidikan. Tanpa ada mahasiswa tidak mungkin proses pendidikan di perguruan tinggi itu ada. Keberhasilan proses pendidikan di perguruan tinggi juga diukur dari apakah ada perbedaan yang siginifikan antara komepetensi mahasiswa sebelum mengikuti pendidikan dengan sesudahnya. Adanya perbedaan signifikan antara kedua situasi tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan di lembaga pendidikan itu telah berhasil menyebabkan perubahan tersebut. Demikian pula sebaliknya, tidak adanya perubahan yang mencolok pada diri mahasiswa menunjukkan bahwa proses pendidikan di lembaga tersebut kurang berhasil.

Sampai saat ini, mutu input calon mahasiswa masih merupakan masalah yang pelik. Rendahnya citra PTAI sebagai perguruan tinggi yang tidak menjanjikan prospek masa depan cerah bagi lulusannya telah membuat sebagian PTAI kurang mampu untuk menarik minat lulusan SMU/MA yang berprestasi. Akibatnya, lulusan SMU/MA yang masuk ke sebagian PTAI adalah mereka yang kebanyakan berada di ranking lulusan bawah. Hal ini tentunya semakin memperberat tugas dalam mendidik mereka. Apalagi, rendahnya mutu input calon mahasiswa ini tidak disertai dengan upaya remedial untuk membuat mahasiswa tersebut siap menerima kuliah setaraf dengan tingkat perguruan tinggi.

8. Kecukupan Dana Operasional

Dana operasional merupakan permasalahan klasik yang sering dianggap paling pokok. Tidak ada program sebagus apapun yang akan

(14)

dapat terlaksana dengan baik apabila dana anggarannya tidak mencukupi. Hal ini terutama dirasakan oleh PTAI yang terpaksa harus memutar otak untuk mencari pendanaan program-program pendidikannya. Di PTAIN, yang memiliki dana otomatis setiap tahunnya juga sering terdengar keluhan yang mengatakan bahwa dana tidak cukup. Namun, seorang pemimpin yang memiliki jiwa interpreneur pasti akan dapat memanfaatkan anggaran yang sedikit itu untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dianggap strategis demi memajukan perguruan tinggi di masa yang depan.

Anggaran yang terasa sedikit tersebut jangan diperparah lagi dengan kurang tajamnya perioritas penggunaan dana bagi peningkatan mutu lulusan. Harus selalu diingat bahwa lembaga pendidikan dapat dianggap sebagai lembaga yang menjual jasa (layanan pendidikan) kepada masyarakat. Apabila jasa layanan pendidikan itu memuaskan masyarakat, mereka pasti akan berbondong-bondong memilih lembaga pendidikan itu sebagai tempat mereka belajar, berapapun biaya yang harus mereka keluarkan untuk itu.

9. Kepemimpinan dan Manajemen

Faktor ini sebenarnya adalah faktor yang utama karena pimpinan diibaratkan sebagai nahkoda kapal. Dia atau merekalah yang menentukan arah perjalanan kapal itu. Dia (mereka) harus memiliki gambaran yang jelas mengenai tujuan yang ingin dicapai kapal tersebut dan melalui rute mana. Ia (mereka) harus memiliki peta yang jelas dan akurat pula. Nahkoda harus juga mengetahui di mana tonggak-tonggak manajerial harus dipancangkan. Pimpinan PTAI harus menjadikan dirinya sebagai pemimpin pendidikan (educational leader) dan bukan hanya sebagai kepala kantor. Dia harus dapat menciptakan suasana akademis dan islami di kampusnya. Ukuran keberhasilan pekerjaan dia adalah apakah lembaga yang ia pimpin itu dapat menghasilkan ilmuwan-ilmuwan (untuk jalur akademis, program S-1 dan D-IV) yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Ukuran keberhasilan utama mereka sebenarnya bukanlah dari jumlah mahasiswa (yang asal terima saja) ataupun jumlah alumni (yang tidak jelas kualitasnya), apalagi hanya dari bagusnya gedung dan fasilitas yang digunakan oleh para pimpinannya. Jika hal ini yang terus mengemuka, jelas sebuah kemunduran dalam memahami peta masalah yang dihadapi oleh PTAI.

F. Strategi Pengembangan PTAI

Dewasa ini, secara kuantitas, jumlah perguruan tinggi agama Islam mengalami pertumbuhan yang signifikan. Ada sekitar 500-an PTAI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas, dan sebagainya. Tentu saja jumlah tersebut, dilihat dari segi

(15)

kuantitasnya, patutlah disyukuri. Namun demikian, perlu juga dipertanyakan sejauh manakah kualitas sebagian PTAI tersebut. Apakah mereka sudah benar-benar menjadi perguruan tinggi, atau hanya sekedar lembaga "penjual ijazah" yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (acceptability) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan makro PTAI sekarang ini, strategi pengembangan PTAI menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, apalagi jika dikaitkan dengan tugas pemerintah (dalam hal ini Depag RI ) untuk mengembangkan PTAI.

Sebagaimana diketahui bahwa tugas pemerintah dalam pendidikan agama Islam adalah memberikan layanan pendidikan tinggi di bidang ilmu agama yang bermutu dan terjangkau. Peran ini bisaanya dilakukan oleh PTAIN dan dibantu oleh lembaga pendidikan masyarakat, yaitu PTAI, dalam rangka ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, tugas pemerintah yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kemungkinan menderita kerugian

adanya 'malpraktik' dalam bidang pendidikan tinggi.16 Oleh sebab itu,

pengawasan menjadi bagian yang urgen dan tidak terpisahkan dalam upayanya melindungi kepentingan masyarakat dan meminimalisir terjadinya malpraktik dalam bidang pendidikan. Untuk itu, perlu diketahui kriteria apa saja suatu PTAI dapat dikategorikan mempunyai standar yang bermutu menurut versi masyarakat dan bermutu sebagaimana yang diinginkan pemerintah.

Untuk melihat apakah suatu PTAI bermutu atau tidak, maka setidaknya dapat dilihat dari adanya pengakuan atau judgement, yaitu pengakuan dari pemerintah dan masyarakat, sebagai salah satu tolok ukurnya. Pada umumnya, baik masyarakat maupun pemerintah mengindikasikan bahwa PTAI yang bagus adalah PTAI yang otonom

dalam menentukan kebijakan akademis, mandiri dalam pendanaan,17

memberikan layanan pendidikan bermutu, dan menghasilkan lulusan yang

accountable.18 Dengan demikian, lembaga pendidikan dapat dikatakan

bermutu apabila: Pertama, dapat menghasilkan lulusan yang bermanfaat

16

Lihat Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia; Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), pp. 177-178.

17

Mandiri dalam pendanaan tentu saja sudah menjadi kenyataan bagi PTAI sampai saat ini. Mereka mencari dana sendiri melalui yayasan, sumbangan mahasiswa, dan donator lainnya untuk membiayai kegiatan pendidikan yang berlangsung di PTAI tersebut.

18

Accountable yang dimaksud di sini adalah bahwa lulusan yang dihasilkan oleh PTAI memiliki kemampuan untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama studi dan diterima oleh masyarakat pengguna jasanya dikarenakan masyarakat merasa mendapat manfaat dari kehadirannya.

(16)

bagi masyarakat sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya. Kedua, lulusannya dapat mengamalkan ilmu dan mempunyai sikap dan keterampilan yang berguna demi kemaslahatan masyarakat. Artinya, setelah lulus, mereka dapat mengamalkan keterampilan ilmunya untuk masyarakat.

G. Internasionalisasi Perguruan Tinggi Agama Islam

Seperti halnya di banyak negara lain, di Indonesia juga dikenal adanya perguruan tinggi negeri yang dikelola langsung oleh pemerintah dan perguruan tinggi swasta yang dikelola oleh masyarakat. Di lingkungan Departemen Agama RI, dikenal Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) seperti UIN, IAIN, dan STAIN. Selain itu juga dikenal Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAI) seperti STAI, STIT, STID, STIQ, STEI, dan lain-lain. Realitasnya, pelajar di Indonesia banyak yang mendaftar ke PTAIN terlebih dahulu, baru menetapkan cadangannya pada PTAIS. Kesan PTAIN pasti lebih unggul dan absah dari pada PTAIS serta dianggap lebih mudah mendapat pekerjaan masih melekat dan banyak diyakini oleh masyarakat. Padahal, setelah peraturan Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk perguruan tinggi diberlakukan dengan status terakreditasi dan nonterakreditasi, sebenarnya PTAIN dan PTAIS diperlakukan sama. Bahkan, bisa jadi PTAIS mendapat nilai yang lebih

baik dari pada PTAIN.19 Soal unggul dan jaminan kerja merupakan

sesuatu yang relatif. PTAI sekedar menyiapkan pesertanya untuk bermasyarakat, sedangkan keberhasilan itu dipengaruhi oleh banyak faktor. PTAI diharapkan berfungsi sebagai agent of change bagi pola kehidupan masyarakat yang modern. Untuk itu, PTAI perlu memiliki Strategi pengembangan yang komprehensif antara lain:

Pertama, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengarah kepada universitas riset. Fungsi universitas riset adalah untuk pengembangan dan kajian ilmiah secara mendalam, dan ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Pendidikan dilangsungkan dalam bentuk perkuliahan di ruang kelas, penelitian atau riset dilakukan terutama oleh mahasiswa semester akhir sebelum diwisuda (berupa penulisan skripsi, tesis atau disertasi);

19

Kasus di Propinsi Riau, satu-satunya PTAI yang mendapat akreditasi dengan nilai A adalah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Auliaurrasyidin Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir. Sementara Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau, saat ini belum mendapatkan nilai seperti yang diraih oleh PTAI. Menurut hemat penulis, fasilitas yang harus diperoleh STAI Auliaurrasyidin adalah sebagai pelaksana Sertifikasi Guru yang ada di lingkungan Departemen Agama. Namun, kebijakan Depag RI justeru mengalihkan Fakultas Tarbiyah IAIN Padang sebagai pelaksananya.

(17)

pengabdian dilakukan dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang kegiatannya adalah praktik mengajar di sekolah tertentu selama lebih kurang tiga bulan. Memang, idealnya setiap PTAI memiliki Pusat Penelitian. Akan tetapi, dalam praktiknya, lembaga tersebut sangat terbatas, cakupannya lokal, atau maksimal nasional. Dibandingkan dengan negara maju, Amerika, misalnya, universitas itu disiapkan untuk mencetuskan masterpiece dan penemuan ilmiah di bidangnya. Universitas Chicago misalnya, mampu meraih 68 hadiah nobel karena temuan ilmiahnya. Di Jepang, riset dan pengembangan (Research and Development) bukan hanya dilakukan oleh perguruan tinggi, melainkan hamper semua perusahaan besar, seperti Honda Astra, Toyota, Mitsubishi, dan juga Hitachi, menyisihkan dana grant bagi para peneliti untuk melakukan riset terhadap bidang tertentu. The Toyota Foundation misalnya, telah melakukan kerjasama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) di Indonesia dalam bidang penelitian. Setiap tahun, Yayasan ini menawarkan beasiswa bagi peneliti muda untuk melakukan riset dengan tema pilihan sesui dengan ketentuan yayasan. Rendahnya penelitian di lingkungan perguruan tinggi, tanpa terkecuali PTAI, tercermin dari sedikitnya karya imiah yang dipublikasikan dan dalam jumlah judul yang terbit setiap tahunnya, atau bila dilakukan penelitian, sebagaimana diakui oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyeleksi proposal riset dari para peserta se Indonesia, umumnya kurang berbobot.

Kedua, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertaraf internasional seiring dengan meningkatnya globalisasi dan pasar bebas. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Pakistan saja, telah tedapat universitas internasional. Menjelang berakhirnya masa jabatan Mendikbud Wardiman Djojonegoro pada tahun 1998, wacana investasi perguruan tinggi asing rmai dibicarakan di berbagai masa. Oleh karena itu, sebaiknya universitas internasional tersebut didirikan oleh yayasan atas nama pemerintah untuk peserta nasionaldan mancanegara. Sedangkan tenaga edukatifnya dapat dijalin kerjasama dengan pihak universitas luar negeri yang dipandang sesuai dengan kapasitas dan bidangnya. Sejauh ini masih melekat dalam kesan khalayak bahwa kuliah ke luar negeri itu lebih bergengsi dan bonafide. Beberapa universitas di Indonesia sebenarnya telah menerima mahasiswa mancanegara untuk kuliah, tetapi selama ini mahasiswa yang kuliah tersebut masih bersifat sporadik, dan bisa jadi atas inisiatif individual. Kehadiran universitas yang khusus dipersiapkan untuk menampung peserta mancanegara dengan kurikulum dan silabi yang spesifik sebgaimana layaknya universitas internasional, merupakan konsekuensi

(18)

globalisasi sekaligus tuntutan pengembangan perguruan tinggi di Indonesia pada masa mendatang agar perguruan tinggi kita tampil ke atas pentas nasional. Merealisasikan gagasan ini memang tidak mudah, tetapi harus diingat bahwa kemajuan suatu negara selalu dibarengi dengan kemajuan di bidang pendidikan.

Ketiga, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menerapkan otonomi kampus seiring dengan proses reformasi dan otonomi daerah. Walaupun hal ini muncul sejalan dengan proses reformasi, tuntutan ke arah otonomi kampus merupakan keharusan historis. Sistem sentralisasi dan keseragaman yang telah diberlakukan selama ini terbukti tidak mampu mewujudkan perguruan tinggi yang independen, dinamis, dan inovatif. Kemandirian akademik, kebebasan mimbar, kurikulum lokal, pemberdayaan potensi sumber daya kampus, dan lain sebagainya akan muncul bilamana kebijakan pendidikan mengacu pada konsep perguruan tinggi with wider mandate (mandat yang diperluas). Politik pendidikan yang demokratis akan menyehatkan iklim perkembangan ilmiah bagi akademisi dan pihak kampus walaupun tidak

dipungkiri kebijakan otonomi kampus tersebut kemungkinan

memunculkan kompetisi antarkampus yang kadang kala tidak sehat. Pemberdayaan internal kampus menjadi tuntutan utama sebelum membenhi kampus itu sendiri. Padahal, SDM perguruan tinggi di Indonesia masih memprihatinkan bila dibandingkan dengan negara lain. Dalam satu juta penduduk di Indonesia hanya terdapat 65 doktor; sementara Mesir 400; India 1.250; Jerman 4000; Perancis 5000; Jepang dan

Amerika Serikat masing-masing 6.500; dan Israel 16.500 doktor.20

Ketiga agenda tersebut merupakan tuntutan bagi PTAI yang mampu go public dan karena desakan internasionalisasi pendidikan yang memang mengarah ke sana. Prospek dan problematika PTAI menantang para "elite pendidikan" untuk menghadapinya secara serius.

H. Penutup

Dalam konteks internasionalisasi pendidikan, maka Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diharapkan mampu memenangkan persaingan antarbangsa (atau setidaknya survive) dalam era globalisasi ini. Untuk itu, PTAI perlu memiliki Strategi pengembangan yang komprehensif antara lain: Pertama, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengarah kepada universitas riset. Idealnya setiap PTAI memiliki Pusat Penelitian. Akan tetapi, dalam praktiknya, lembaga tersebut sangat terbatas, skopnya lokal, atau paling banter nasional.

20

(19)

Dibandingkan dengan negara maju, Amerika, misalnya, universitas itu disiapkan untuk mencetuskan masterpiesece dan penemuan ilmiah di bidangnya. Universitas Chicago, meraih banyak hadiah nobel karena temuan ilmiahnya. Kedua, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertaraf internasional seiring dengan meningkatnya globalisasi dan pasar bebas. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Pakistan saja, telah tedapat universitas internasional. Tenaga edukatifnya dapat dijalin kerjasama dengan pihak universitas luar negeri yang dipandang sesuai dengan kapasitas dan bidangnya. Kehadiran universitas yang khusus dipersiapkan untuk menampung peserta mancanegara dengan kurikulum dan silabi yang spesifik sebagaimana layaknya universitas internasional, merupakan konsekuensi globalisasi sekaligus tuntutan pengembangan perguruan tinggi di Indonesia pada masa mendatang agar perguruan tinggi kita tampil ke pentas nasional. Ketiga, menjadikan PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menerapkan otonomi kampus seiring dengan proses reformasi dan otonomi daerah. Kemandirian akademik, kebebasan mimbar, kurikulum lokal, pemberdayaan potensi sumber daya kampus, dan lain sebagainya akan muncul bilamana kebijakan pendidikan mengacu pada konsep perguruan tinggi with wider mandate (mandat yang diperluas). Ketiga agenda tersebut merupakan tuntutan bagi PTAI yang mampu go public dan karena desakan internasionalisasi pendidikan yang memang mengarah ke sana. Prospek dan problematika PTAI menantang para "elite pendidikan" untuk menghadapinya secara serius.

Demikianlah, tulisan ini sekedar memberikan refleksi dan sumbangan pemikiran untuk membuka jalan bagi kerja besar tersebut. Semoga menjadi bahan renungan bagi para pimpinan dan pengelola PTAI baik yang negeri maupun yang swasta serta seluruh umat Islam yang memiliki perhatian terhadap eksistensi PTAI sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Mudah-mudahan kita lebih cerdas menangkap isyarat zaman. Wallahu a’lam.

(20)

Daftar Pustaka

al-Yasu’i, Abu Luwis, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi al-A’lam, Cet. 23, Beirut: Dar al-Masyriq, t.t.

Assegaf, Abd. Rahman, Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media, 2003.

Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia; Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI, Yogyakarta: Gama Media, 2004. Madjid, Nurcholish, "Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi

Umum", dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Pratiknya, Ahmad Watik, "Pengembangan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum", dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Suwito & Fauzan (ed.), Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara: Studi Perkembangan Sejarah Abad 13 hingga Abad 20 M, Bandung: Angkasa, 2004.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra Umbara, 2006.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Eko Jaya, 2003.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UUD 1945 Hasil Amandemen, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis penelitian ini adalah: (1) terdapat perkembangan inti mikrospora yang berbeda pada berbagai ukuran bunga tanaman jeruk, (2) terdapat lama praperlakuan dingin

Infocomm secara signifikan mengubah dunia global pada beberapa dekade terakhir, merobohkan batas geografi dan budaya terhadap informasi dan pasar, dan menggeser paradigma

Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Seandainya menetapkan ketinggian bagi Allah Ta‟ala (di atas seluruh makhluk -Nya) bermakna tasybih (menyerupakan Allah

Kemampuan awal yang diperlukan untuk mempelajari modul ini adalah siswa telah mempelajari dan memahami berbagai konsep persamaan dan pertidaksamaan linear maupun

(3) Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, forum musyawarah Desa, lembaga

Tidak terpenuhinya asas Pemilu menandakan Pemilu yang diselenggarakan tidak demokratis karena terdapat manipulasi dan intrik di dalamnya sehingga demokrasi yang dilaksanakan masih

Mengingat betapa pentingnya untuk melakukan pencatatan perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan yaitu untuk memberikan kepastian hukum

dari ketentuan pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran Dinas Perhubungan (DLLAJR) dalam menertibkan aturan lalu lintas angkutan umum adalah suatu