• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Seiring dengan perkembangan masyarakat, hukumpun mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.5

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.6 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.7

5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982, hal. 6.

6 J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan teori seperti yang dikemukakan M. Solly Lubis, yang menyebutkan:

Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.8

Teori ini sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas suatu gejala.

Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah:

Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan

variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut.9

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang terjadi. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Penelitian ini berusaha memahami perjanjian kerjasama antara bank dan developer

secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum, atau sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam

8

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80.

9

Maria S. W. Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hal. 12.

yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah hukum perjanjian.

Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori keseimbangan antara

developer selaku pengembang yang bergerak dalam industri perumahan yang membangun, memasarkan dan melakukan pengadaan tanah dan bangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat/konsumen dan bank selaku lembaga keuangan yang memberikan fasilitas KPR kepada masyarakat/konsumen. Keseimbangan untuk memperoleh kepastian hukum antara para pihak dalam perjanjian kerjasama yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.

Dalam perjanjian kerjasama antara developer dengan bank, bank mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi, namun developer memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana Ia menyatakan bahwa hukum harus diluruskan penegakannya sehingga memberi keseimbangan yang adil terhadap orang-orang yang mencari keadilan. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama pula (seimbang) dihadapan hukum.10

Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, dan pandangan dari para peneliti ilmu hukum di bidang hukum

10

perjanjian pada umumnya, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.

Kerangka teoritis merupakan pijakan utama dari pokok bahasan tulisan ini. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) Buku III Bab I sampai dengan Bab IV Pasal 1319 KUHPerdata menegaskan “Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab II dan Bab I KUHPerdata”.

Di dalam KUHPerdata dikenal ada beberapa macam perjanjian, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dengan lengkap di dalam KUHPerdata dan pada umumnya mempunyai nama, diantaranya perjanjian sewa-menyewa, perjanjian jual-beli, pertanggungan, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah suatu perjanjian yang tidak diatur secara khusus dan lengkap di dalam KUHPerdata, pada umumnya tidak mempunyai nama, tetapi walaupun demikian perjanjian ini sering terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah perjanjian kerjasama developer dengan bank.

Dalam buku ke-III KUHPerdata dapat dicari dasar hukumnya dari perbuatan perjanjian kerjasama yaitu dengan menafsirkan buku ke-III KUHPerdata tersebut sebagai penganut asas kebebasan berkontrak. Dalam hal memuat suatu perjanjian, tegasnya dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.11

Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka perjanjian apa saja yang dibuat menurut persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat para pihak yang telah mengadakannya. Pembuat KUHPerdata menyamakan istilah “kontrak” dengan “perjanjian”, dan bahkan juga dengan “persetujuan”.12 Istilah kontrak dalam terminologi sehari-hari

nampaknya sangat populer, istilah-istilah kontrak seperti kontrak sewa-menyewa, kontrak jual-beli, kontak kerja, hampir tidak perlu klarifikasi bagi kaum awam dan seringkali bertolak dari pandangan bahwa yang dimaksud dengan kontrak adalah sebuah dokumen tertulis.13 Kontrak yang berasal dari bahasa Inggris “contract”,

adalah :

1. An Agreement between two or more parties creating obligations that are enforceable or otherwise recognizable at law (a binding contract). 2. The writing that sets forth such an agreement (a contract is a valid if valid under the law of the residence of the party wishing to enforce the contract).14

11

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996, hal. 342.

12

J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal. 19.

13

Soedjono Dirjosisworo, Kontrak Bisnis (menurut Civil Law, Common Law, dan Praktek

Dagang Internasional), Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 65.

14

Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul Minn, 1999, hal. 318.

Yang mana perjanjian/contract dapat diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Dalam membuat suatu kontrak/perjanjian harus tetap memperhatikan tehnik pembuatan kontrak yang terdapat pada hukum kontrak. Menurut Lawrence M. Friedman, hukum kontrak adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.15

Semua syarat perjanjian yang diatur dalam pasal-pasal KUHPerdata dipandang oleh undang-undang cukup penting. Sehingga lahirlah hubungan hukum, dan di dalam hubungan hukum itu terdapat hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak yang bersangkutan.16

Buku III KUHPerdata bersifat terbuka, maksudnya adalah para pihak yang ingin membuat suatu perjanjian bebas menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam buku III KUHPerdata asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam buku III KUHPerdata tersebut tidak tecantum definisi perjanjian itu sendiri, namun definisi perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (ilmu pengetahuan hukum), diantaranya adalah pendapat R. Subekti

15

Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Penerjemah Whisnu Basuki, Tata Nusa, Jakarta, 2001, hal. 19.

16

Emmy Pangaribuan Simajuntak, Pembukaan Kredit Berdokumen (documentary credit

yaitu “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.17

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya bahwa : “Suatu perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.18

Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.19 Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua

orang yang membuatnya.20 Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian

yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.21

Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang membuatnya. Hubungan hukum itu mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak-pihak. Apabila kedua pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak akan menimbulkan masalah, sebab kewajiban hukum pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan.22

17

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 1.

18

Wirjono R Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1973, hal. 9.

19 R. Subekti, Loc.Cit. 20 Ibid. 21 Ibid. 22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 23.

Tetapi apabila salah satu pihak telah melaksanakan kewajiban hukumnya, sedangkan pihak lainnya belum/tidak melaksanakan kewajiban hukum, barulah ada masalah yaitu wanprestasi yang mengakibatkan tidak tercapai tujuan.23 Dalam hal ini

muncul sanksi hukum untuk memaksa pihak yang wanprestasi itu untuk memenuhi kewajiban.24

Apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:25

1) Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang (subjek), 2) Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus), 3) Ada objek yang berupa benda,

4) Ada tujuan bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan), 5) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan itu, yaitu :26

1. Asas Kebebasan Berkontrak.

Setiap orang bebas melakukan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau yang belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan.

2. Asas Pelengkap

Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak saja. 3. Asas Konsensual 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid, hal. 225. 26 Ibid, hal. 225 – 226.

Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian ini terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup secara lisan saja, sebagai penjelmaan dari asas “manusia itu dapat dipegang mulutnya”, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Tetapi ada perjanjian tertentu yang dibuat secara tertulis misalnya perjanjian perdamaian, hibah, pertanggungan. Tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian dengan formalitas tertentu ini disebut perjanjian formal.

4. Asas Obligatoir

Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering).

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila diantara salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dianggap tidak halal.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa jika undang-undang menetapkan subjek perjanjian yaitu pihak yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib

melaksanakan prestasi, maka intisari atau objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri.27

Subjek yang berupa orang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus telah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti peraturan pailit, dan sebagainya.28

Sedangkan objek hukum perjanjian adalah prestasi dari perjanjian itu sendiri baik secara sepihak atau secara dua pihak. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti ada.29

Adapun yang menjadi objek hukum dalam perjanjian kerjasama ini adalah tanah dan bangunan berupa rumah tinggal, dalam keadaan siap huni maupun siap bangun lengkap dengan surat-surat bukti kepemilikannya dan dokumen pendukung lain, yang dijual oleh developer/penjual kepada konsumen selaku debitur, dimana pembiayaan atas pembeliannya menggunakan fasilitas kredit yang diberikan bank.

Dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Akibat suatu perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai

27

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 10.

28

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 20.

29

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasan,

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena undang-undang. Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ini berarti setiap persetujuan mengikat para pihak. Dari perkataan “setiap” dalam pasal di atas dapat disimpulkan asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut, misalnya terhadap pasal 1320 KUHPerdata.30

Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata menyebutkan, “Suatu Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belas pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Ada persetujuan-persetujuan, dimana untuk setiap pihak atau untuk salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan, misalnya sewa-menyewa, persetujuan kerja, pemberian kuasa, perseroan.31

Persetujuan-persetujuan ini dapat diakhiri secara sepihak, mengingat asasnya para pihak harus diberi kemungkinan untuk saling membebaskan dirinya dari pada hubungan semacam itu. Mereka dapat mencegah kemungkinan tersebut dengan

30

R Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, 1999, hal. 64.

31

membuat persetujuan untuk jangka waktu tertentu, dan selama masa tersebut persetujuan dapat diakhiri dengan kata sepakat para pihak.32

Menurut pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata itu hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.33

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut : Sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut-sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.34

Lazimnya suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral. Artinya, suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu.35

Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain, apa saja hak

32

Ibid.

33

R. Subekti, Op.Cit, hal. 41.

34

Ibid, hal. 29.

35

dan kewajiban masing-masing pihak.36 Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama

antara developer dengan bank tersebut tentunya tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan, ada kalanya para pihak tidak memenuhi kewajibannya, memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya ataupun memenuhi kewajiban tetapi sudah lewat waktu yang diperjanjikan, kondisi demikian disebut dengan wanprestasi.

Wanprestasi juga termasuk kedalam akibat hukum perjanjian disamping tuntutan ganti rugi atas perbuatan wanprestasi tersebut. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.37

Berkenaan dengan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) R. Setiawan mengemukakan sebagai berikut : “Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi, dan jika tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan yang memaksa maka debitur dianggap melakukan ingkar janji”.

Ada 3 (tiga) bentuk ingkar janji, yaitu :38

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Terlambat memenuhi prestasi.

3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

36

Ibid.

37

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit,hal. 20.

38

Adapun hukuman atau akibat-akibat yang tidak baik dari debitur yang lalai ada empat macam dikemukakan R. Subekti sebagai berikut :39

1. Membayar kerugian yang diderita oleh debitur atau dengan singkat (ganti rugi)

2. Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian 3. Peralihan risiko

4. Pembayaran biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim (kepengadilan).

Menurut Abdulkadir Muhammad ingkar janji membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena sejak saat tersebut debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut. Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut :40

1. Pemenuhan perikatan

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi 3. Ganti rugi

4. Pembatalan persetujuan timbal balik 5. Pembatalan dengan ganti rugi

Sehubungan dengan ganti rugi, dalam KUHPerdata yang diatur dalam pasal 1243 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut :

Penggantian biaya ganti rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikan, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.41

39

R. Subekti, Op.Cit, hal. 45.

40

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 18.

41

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.42

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di defenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.43

Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian.44

Selanjutnya, konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan

42

Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3.

43

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7.

44

suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. “Maka konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris”.45

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefenisikan konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu KPR adalah kredit yang diberikan kepada debitur perorangan untuk membiayai sebagian kebutuhan dana untuk pembelian rumah, rumah toko, ataupun tanah.46

Syarat-syarat rumah, rumah toko dan tanah yang dapat dibiayai, antara lain :47

1) Harus bersifat marketable baik ditinjau dari segi lokasi, kondisi, harga, luas tanah/bangunan maupun desain bangunan.

2) Bersertifikat Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan dengan jatuh tempo Hak Guna Bangunan minimum 2 tahun setelah jatuh tempo kredit.

3) Rumah yang dibeli tidak boleh disewakan/dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa ijin bank selama kredit belum lunas.

Salah satu program penyampaian kredit kepada nasabah melalui kerja sama dengan mitra usaha, antara lain mempunyai bentuk developer’s line. Developer’s line

adalah program kerjasama antara bank dengan developer yang merupakan pemberian kredit kepada debitur perorangan (end user) untuk membiayai pembelian tanah dan/atau rumah toko yang dikelola oleh developer.48

45

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 21.

46

Anonim, Buku Materi Peserta Training, Niaga Basic Consumer Credit Management

(NBCCM), Op.Cit, hal. 4.

47

Ibid.

48

Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa Inggris artinya adalah pembangun perumahan. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian

Dokumen terkait