• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikkannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang berisfat empiris agar dapat diuji kebenarannya.

a. Pengertian Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah suatu kehidupan bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang dalam peraturan tersebut.21 Yang dimaksud dengan peraturan-peraturan tersebut adalah peraturan-peraturan yang ada di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan. .

Dengan ini teranglah pengertian perkawinan adalah lepas dari hidup bersama dipandang dari sudut ilmu hajat ( biologis ). Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang ditiap-tiap Negara berlaku mengenai peraturan-peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita.

Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda atau sistem kekerabatan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan dari segi agama, dari inilah keadaan perkawinan masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada bentuk perkawinan pada suatu masyarakat tersebut.

R.Subekti beranggapan seperti halnya dalam hukum pewarisan, begitu pula hukum perkawinan di Indonesia beraneka ragam.22 Disamping hukum perkawinan menurut adat, berlaku hukum perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

21

. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Vcr Kink-Van Hoe ‘E, Jakarta, 1959, hal.1-2.

22

. R. Subekti, Kaitan Undang-Undang Perkawina Dengan Penyusunan Hukum waris, dikutip dari Surini Ahlan, Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana, Jakarta, 2005, hal.2.

b Hukum Perkawinan Adat Minangkabau

Manusia adalah mahkluk sosial sehingga dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kenyataannya, manusia hidupnya berdampingan yang satu dengan yang lainnya dan saling membutuhkan. Dalam masyarakat maka agar hubungan antara manusia yang satu dan yang lainnya dapat berjalan dengan tertib maka diperlukan hukum yang mengatur hubungan tersebut.

Peraturan hukum yang berlaku di dalam suatu kelompok sosial, ketentuannya tidak tersebar bebas dan terpisah-pisah, melainkan ada dalam satu kesatuan keseluruhan yang masing-masing keseluruhan itu berlaku sendiri-sendiri. Peraturan tersebut salah satunya adalah hukum adat.

Hukum adat adalah serangkain aturan yang tidak tertulis tapi mempunyai sanksi kuat bagi masyarakat23. Artinya walaupun tidak tertulis namun mempunyai upaya memaksa bagi masyarakat.

Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya.24

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai suatu akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri yang menimbulkan suatu ikatan yang berisi

23

. Soerojo Wignjodipoero, Loc.Cit,hal.14. 24

. H. Idrus Hamkimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2004, hal.13.

hak dan kewajiban antara lain mengenai tempat tinggal, saling setia satu dengan yang lain, membiayai belanja rumah tangga dan hak waris.

Ikatan perkawinan bukan saja menyangkut bagi yang melakukan perkawinan tetapi menimbulkan hubungan hukum dalam hukum keluarga baik kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.

Perkawinan dalam hukum adat bukan saja antara pengantin pria dan wanita melainkan pula beserta seluruh keluarga dari kedua belah pihak untuk bersatu menjadi garis kekerabatan secara semenda yang terjadi karena perkawinan.

Perkawinan dalam hukum adat merupakan salah satu unsur dari hukum keluarga yang hubungan hukum dan akibat hukumnya berdasarkan suatu perkawinan tidak sama diseluruh Indonesia karena perbedan sistem kekeluargaan dan suku bangsa yang beragam.

Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat Suatu hukum perkawinan akan sangat sulit dipahami tanpa terlebih dahulu mempelajari sifat kekeluargaan. Di Indonesia terdapat tiga macam sistem kekerabatan, yaitu sebagai berikut :25

1. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal

corak dari perkawinan dalam kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Yang dimaksud dengan jujur di sini adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini yaitu sebagai lambang putusnya hubungan kekeluargaan si isteri dengan kerabatnya dan persekutuannya. Maka isteri masuk dalam kekerabatan

25

suami beserta anak-anaknya. Sifat kekeluargaan ini dapat kita lihat pada masyarakat lampung, tanah Gayo, Pasemah, Maluku dan Bali.

2. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal.

Dalam susunan kekerabatan ini suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan isterinya sebagai ‘ urang sumando’ . Suami tidak masuk dalam susunan kerabat isterinya, akan tetapi anak-anaknya atau keturunannya masuk ke dalam klan atau susunan kekerabatan isterinya dan suami pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan pada anak-anaknya. Susunan kekerabatan ini dapat kita temukan pada masyarakat Minangkabau.

3. Dalam sifat susunan kekerabatan kekeluargaan parental

dalam susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami menjadi anggota keluarga isteri begitupun sebaliknya. Artinya susunan kekerabatan ini sangat berbeda dengan susunan kekerabatan sebelumnya yaitu patrilineal dan parental, yang hanya masuk ke dalam satu klan saja. Tapi dalam susunan kekerabatan parental adanya hubungan timbal balik dalam susunan kekerabatan. Dimana suami dan isteri dapat masuk kedalam susunan kekerabatan atau klan masing-masing pasangannya. Susunan kekerabatan ini dapat kita lihat pada masyarakat Sulawesi selatan, suku Dayak, dan Minahasa.

Selain sistem kekerabatan yang sangat berpengaruh dalam bentuk perkawinan, kita juga mengenal tiga macam sistem perkawinan, yaitu :26

1. Sistem endogamy

26

dalam sistem ini orang hanya boleh kawin dengan orang seorang dari suku keluraganya sendiri. Sistem ini terdapat pada satu daerah saja yaitu Toraja.

2. sistem eksogami

dalam sistem ini seorang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya keluarganya. Sistem ini terdapat pada daerah Gayo,Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan dan Seram.

3. sistem eleutherogami

sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistem endogamy dan eksogami.

Dari tiga sistem kekerabatan yang diuraikan pada paragraf sebelumnya, dikatakan bahwa sistem eksogami, seorang hanya boleh menikah dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu sukunya.

Dimana pada masyarakat minangkabau adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogamimatrilinia”.

Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu27. :

27

. Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (buku I), Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, hal 23

1. Garis keturunan menurut garis ibu

2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.

3. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Tujuan utama sistem matrilineal adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia dengan memberikan emansipasi seimbang (persamaan hak) kepada lelaki dan perempuan. Seorang perempuan berhak melarang atau menolak kesepakatan-kesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Ia juga berhak mengajukan usul-usul dan saran-saran dalam rapat keluarga, kaum dan nagari. Bahkan dewasa ini kedudukannya telah bertambah kokoh di tengah-tengah masyarakat, mereka juga mendapat tempat dalam organisasi KAN (Kerapatan Adat Nagari).28

Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri, atau didalam lingkungan kekerabatan isteri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan isterinya.

28

. B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1995

Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Suami tidak masuk kedalam klan isterinya walaupun suami tinggal di rumah isterinya, tetapi suami tetap masuk ke dalam klannya sendiri yaitu keluarga asalnya.

Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minangkabau berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Hal ini ditandai dengan prosesi turun janjang.

Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;

Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak

Datang dek bajapuik pai jo baanta

Ayam putieh siang basuluah matoari

Bagalanggang mato rang banyak

Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minangkabau “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga isterinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.” Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah

isterinya. Sedangkan isteri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat.

Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya tamu di rumah isterinya atau klan isterinya.

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi kesalah fahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Persintuhan berasal dari kata sintuh yang berarti singgung, kena raba. Menyintuh berarti meraba dengan tangan atau mengenai bahagian badan. Persintuhan artinya mengenai sesuatu dengan badan atau sesuatu yang lain.

Persintuhan artinya persinggungan atau perabaan. Arti persintuhan dalam judul dari buku ini bukan berarti persinggungan dalam istilah “ hatinya tersinggung “, yaitu suatu arti yang kurang baik, melainkan sekedar pertemuan antara dua aturan yang tidak sama dan juga tidak serupa.

Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak, undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, ketentuan, kaedah, patokan keputusan hakim.29

29

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.

Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama. Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah :

1. Adanya tingkah laku seseorang 2. Dilakukan terus-menerus 3. Adanya dimensi waktu.

4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.

Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib, dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.30 Artinya hukum adat dibuat oleh penguasa yang walaupun tidak dalam bentuk tertulis namun dipatuhi oleh masyarakat, dimana hukum adat berfungsi sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakat.

Hukum adat mengatur berbagai kehidupan di dalam masyarakat, salah satunya adalah pekawinan. Perkawinan menurut hukum adat adalah ikatan yang tidak hanya

30

. Soepomo, Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981,hal. 20.

antara seorang pria dengan seorang wanita saja, tetapi juga ikatan orang tua kedua belah pihak.31

Sehingga perkawinan di dalam hukum adat tidak hanya mengatur hubungan antara suami dan isteri saja, tetapi perkawinan di dalam hukum adat ikut melibatkan klan suami dan isteri yaitu orang tua suami dan isteri tersebut.

Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.32 Artinya unsur perjanjian dalam perkawinan adalah kesengajaan serta memperihatkannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan suku memperlihatkan dari segi keagamaannya.

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tanga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.33 Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu, diamana aturan-aturan tersebut berlaku bagi orang banyak atau khalayak ramai.34

31

. Soerrojo Wigndjodipoero, Op.cit, hal.122 32

. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1974, hal.47.

33

. Op.cit. 34

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait