• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU

DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

TESIS

OLEH : FRANSISKA 087011007/MKn

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU

DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : FRANSISKA 087011007/MKn

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Telah Diuji

Pada tanggal : 18 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum Anggota : Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(4)

PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ABSTRAK

Dengan berlakunya undang-undang Perkawinan yaitu Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka syarat-syarat sahnya perkawinan diatur oleh undang-undang tersebut kecuali bagi mereka yang tidak menganut suatu agama, maka syarat sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum adat mereka yang memang sudah berlaku bagi mereka sebelum diundangkannya undang-undang perkawinan ini.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan.

Setelah terjadi suatu perkawinan, maka akan timbul hak dan kewajiban suami dan isteri dalam ikatan perkawinan. Hak dan kewajiban suami dan isteri tersebut meliputi kedudukan suami isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta bersama. Dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedudukan suami dan isteri dalam rumah tangga adalah seimbang termasuk dalam hal pengurusan anak.

Dalam hukum adat Minangkabau suami mempunyai kedudukan keluar dimana suami lebih mempunyai kedudukan terhadap keluarga asalnya di bandingkan keluarga intinya, ini di karenakan bentuk perkawinan semendo dimana suami tidak meleburkan diri ke dalam klan isterinya. Hal ini pun berakibat terhadap renggangnya hubungan ayah dengan anak, dimana ayah atau suami lebih berperan dalam pengurusan keluarga asalnya dibandingkan keluarga intinya.

(5)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Fransiska

Tempat Tanggal Lahir : Sungai Penuh, 27 oktober 1983 11. ORANG TUA

Nama Ayah : H. Rizal Yahya

Nama Ibu : Hj. Arniati Damhuri ( alm ) 111. PENDIDIKAN

1. SD : SD Negeri 145 Sungai Penuh Kerinci 2. SMP : SMP Negeri 1 Sungai Penuh Kerinci 3. SMU : SMU Negeri 1 Bandung

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah memberikan Rahmad dan HidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini, degan judul “ Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perlawinan ”.

Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjan Universitas Sumatra Utara. Akan tetapi menurut penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertangung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusian yang penuh keterbatasan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi seluruh ummat.

Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.a A (k) selaku rector universitas Sumatar Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara.

(7)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program studi Magister Kenotariatan sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, sekaligus dosen penguji yang telah memberikan masukkan dan kritikan kepada penulis.

4. Bapak Syahril Sofyan SH, Mkn, selaku pembimbing II yang telah begitu sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis lebih baik lagi.

5. Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing III yang telah begitu sabar memberikan bimbingan dan arahan kepda penulis sehingga penulis lebih baik lagi.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku sekretaris Program studi magister kenotariatan Univeritas Sumatra Utara sekaligus dosen penguji yang telah memberikan masukkan dan kritikan kepada penulis. 7. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatara Utara. 8. Kepada yang terhormat dan tersayang papa H. Rizal Yahya dan mama Hj.

(8)

10. Buat keluarga besar H. Damhuri, terima kasih yang tulus atas doa, semangat, dan dukungannya selama ini.

11. Teman-teman mahasiswa Program Studi magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Suamtra Utara, khusunya untuk kelas regular khusus 2008, makasih atas kekompakkanya selama ini dan yang selalu memberi semangat dalam menyelsesaikan tesis ini.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalam Medan, Jan 2010

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

ABSTRACT

DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI ………... iv

BAB I PENDAHULUAN ……….... 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan masalah ………..…… 10

C. Tujuan penelitian ………...…. 11

D. Manfaat Penelitian ……….. 11

E. Keaslian Penelitian ……….. 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………..………….. 13

G. Metode Penelitian ………..………. 24

BAB II SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM YANG ADA DI INDONESIA A. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam ……....….…………. 28

B. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Minangkbau... 47

(10)

D. Persintuhan Hukum adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam dikaitkan dengan Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mengenai Sahnya Perkawinan……… 59 BAB III PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT

MINANGKABAU DENGAN HUKUM ISLAM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Hukum adat

Minangkabau... 67 B. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Hukum

Islam... 88 C. Persintuhan Hukum Adat Minangkabau dengan hukum Islam

Mengenai Hak dan Kewajiban suami isteri... 98 D. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 TentangPerkawinan... 111 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

(11)

PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ABSTRAK

Dengan berlakunya undang-undang Perkawinan yaitu Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka syarat-syarat sahnya perkawinan diatur oleh undang-undang tersebut kecuali bagi mereka yang tidak menganut suatu agama, maka syarat sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum adat mereka yang memang sudah berlaku bagi mereka sebelum diundangkannya undang-undang perkawinan ini.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan.

Setelah terjadi suatu perkawinan, maka akan timbul hak dan kewajiban suami dan isteri dalam ikatan perkawinan. Hak dan kewajiban suami dan isteri tersebut meliputi kedudukan suami isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta bersama. Dalam hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedudukan suami dan isteri dalam rumah tangga adalah seimbang termasuk dalam hal pengurusan anak.

Dalam hukum adat Minangkabau suami mempunyai kedudukan keluar dimana suami lebih mempunyai kedudukan terhadap keluarga asalnya di bandingkan keluarga intinya, ini di karenakan bentuk perkawinan semendo dimana suami tidak meleburkan diri ke dalam klan isterinya. Hal ini pun berakibat terhadap renggangnya hubungan ayah dengan anak, dimana ayah atau suami lebih berperan dalam pengurusan keluarga asalnya dibandingkan keluarga intinya.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Suku Minang atau Minangkabau adalah suku yang berasal dari Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau pada umunya memeluk agama Islam. Hanya sebagian kecil dari masyarakat Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam.

Sulit menentukan secara pasti kapan sebenarnya Islam masuk ke Minangkabau. Namun dari beberapa literatur, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada awal abad ke-16. Ada tiga cara masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu melalui jalan dagang, saat pesisir Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh dan penyiaran agama Islam melalui pesisir Timur.1 Dari tiga cara masuknya Islam masuk atau datang ke Minangkabau, cara ketigalah yang paling lancar dibandingkan cara yang lainnya.

Penyiaran agama Islam melalui pesisir Timur terjadi karena adanya hubungan antara alam Minangkabau dengan Negeri Sembilan.2 Adanya hubungan saling mengunjungi antara Minangkabau dengan Negeri Sembilan. Hal ini dikarenakan pada abad ke-14 masehi, Islam sudah merata berkembang di Negeri Sembilan. Seorang yang berasal dari Siak (Minangkabau Timur) bernama Syekh Labai Panjang Janggut,

1

. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minagkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal.133-135.

2

(13)

telah mempunyai pengatahuan yang cukup tentang agama di Negeri Sembilan yaitu agama Islam. Kemudian pulang ke Siak ( Minangkabau Timur ) dan bersama muridnya datang mengajarkan agama Islam hingga masuk pada wilayah bagian Minangkabau yang dalam.3

Masuknya Islam dalam masyarakat adat Minangkabau juga dengan ditandai dengan perpindahan agama raja Angawarman Mahadewa yang sebelumnya beragama Budha, lalu memeluk agama Islam dengan mengganti namanya dengan Sultan Alif.4 Maka secara resmi Islam telah masuk ke dalam lingkungan masyarakat Istana Pagaruyung.

Dan setelah Sulthan Alif masuk Islam perombakan juga dilakukan dalam sturuktur pemerintahan sesuai dengan ajaran Islam. Mulai dari lingkungan paling atas yaitu raja Ibadat hingga lingkungan pemerintahan paling bawah yaitu nagari dan suku.

Pembicaraan mengenai Islam dan Minangkabau memang terkadang tidak habis-habisnya dibahas. Beberapa pertanyaan sering menggelitik dalam pikiran orang ketika mengkaitkan antara Islam dan Minangkabau. Diantaranya mungkin adalah mengenai kenapa masyarakat Minangkabau yang terkenal teguh memegang ajaran Islam terkadang untuk beberapa hal yang tidak prinsipal memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kecenderungan yang dianjurkan oleh Islam.

3

. Ibid 4

(14)

Salah satu kecenderungan yang berbeda antara hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau adalah dalam hal hukum perkawinan. Dimana ciri matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau sangat berpengaruh dalam hal perkawinan.

Perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan terdapat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Tujuan suatu perkawinan adalah membentuk suatu keluarga. Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kesatuan masyarakat yang kecil.

Selain itu perkawinan juga harus didasarkan pada hukum agama masing-masing pihak yang hendak menikah. Hal ini dinyatakan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari urain ini dapat kita ketahui perkawinan tidak hanya hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita saja, tetapi juga hubungan dengan tuhan atau agama.

5

(15)

Sedangkan Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.6

Tujuan perkawinan menurut undang-undang dan kompilasi hukum Islam adalah untuk mentaati perintah Allah serta memperoleh keturunan di dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.7

Hukum adat menurut pendapat Mr. Van den Berg yang terkenal dengan teorinya “reception in complexu” adalah menganggap hukum kebiasaan atau hukum adat adalah hukum agama.8 Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mr. Van den Berg, maka hukum adat yang berlaku pada masyarakat Minangkabau adalah hukum Islam. Sehingga perkawinanpun harus berdasarkan hukum Islam, namun pada kenyataanya tidak demikian. Hak ini terlihat pada sistem kekerabatan Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal.

Sistem matrilineal, dimana mereka hidup dalam suatu ketertiban masyarakat yang didalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu semata-mata.9 Artinya setiap orang laki-laki dan perempuan, menarik garis keturunannya ke atas hanya

6

.Kompilasi Hukum Islam. 7

.Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, PT Hidakarya Agung, Jakarta,1959,hal.1

8

.H. Saidus Syahar, Asas-Asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1994, hal.136. 9

(16)

melalui penghubung-penghubung yang perempuan saja. Maka masyarakat Minangkabau yang bercorak matrilineal, seorang laki-laki tidak mempunyai keturunan yang menjadi anggota keluarganya.

Ada enam ciri sistem matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau, yaitu : 1. Keturuan dihitung menurut garis ibu

2. Suku terbentuk dari garis ibu

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya ( eksogami )

4. Perkawinan bersifat semendo bertandang yaitu suami mengunjungi rumah isterinya.

5. Hak-hak dan pusaka di wariskan oleh mamak kepada keponakannya yaitu dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.10

Dari lima ciri sistem matrilineal yang dikemukakan di atas terlihat bahwa tiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya ( eksogami ). dikatakan bahwa sistem eksogami, seseorang hanya boleh menikah dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu sukunya.

Setelah suatu perkawinan didaerah ini terjadi maka si suami turut berdiam di rumah si isteri atau keluarganya.11 Artinya si suami tidak ikut kelurga si isteri, tetapi anak-anak keturunanya dianggap kepunyaan ibunya saja, bukan kepunyaan ayahnya.

10

. Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan di Minagkabau, Center for MinangkabauStudies, 1969, hal.17.

11

(17)

Dan si ayah pada hakekatnya tidak mempunyai kuasa terhadap anak-anaknya. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam.

Ciri matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Mr Van der Berg seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Dimana menurut Mr Van der Berg hukum adat atau hukum kebiasaan adalah hukum agama12, maka masyarakat Minangkabau yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, maka hukum adatnya adalah hukum Islam. Namun ciri matrilineal ini bertentangan dengan hukum Islam.

Teori Van den Berg ini mendapat kritikan dari sarjana-sarjana lain, seperti Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjhehers, Van Ossenbruggen dalam bukunya

Oorsprong en eerte ontwikkeling van het testeer en voog dijrect, I.A. Nederburgh dalam bukunya Wet en Adat. Van Vollenhoven dalam bukunya Het adatrecht van Ned.Indie. Piepers dalam bukunya Tijdschift Von Ned.Indie. Serta seorang sarjana Ameriaka Clve day yang mengkritik teori Van den Berg dalam bukunya The dutch in Java.13

Maka muncullah teori resepsi akibat penolakan dari teori yang dikemukakan oleh Van der Bergh. Teori ini dimunculkan pertama kali oleh Christian Snouck Hurgronje ( 1857-1936 ), yang disampaikannya secara panjang lebar dalam bukunya

De Atjehers. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven ( 1874-1933), seorang sarjana dan ahli di bidang hukum adat, yang memperkenalkan hukum

12

. Saidus Syahar, Op.cit, hal.136. 13

(18)

adat Indonesia ( Indisch Adatrecht ). Teori resepsi ini dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie.14

Secara etimologis, kata resepsi berasal dari bahasa latin reception yang berarti “ penerimaan”. Secara terminologis, teori resepsi berarti “penerimaan hukum asing sebagai salah satu unsur hukum asli”.15

Hukum asing di sini adalah hukum agama, sedangkan hukum asli adalah hukum adat. Oleh karena itu, teori resepsi adalah penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, atau dengan kata lain pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah diterima oleh hukum adat dan diperlakukan sebagai hukum adat, bukan sebagai hukum Islam.

Snouck Hurgronje dengan teori resepsi membantah teori receptio in complexu

dengan mengatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat. Hanya beberapa bagian dari hukum agama yang dapat mempengaruhi hukum adat, yakni berkaitan dengan kepercayaan dan hidup batin, seperti hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris.16

Sementara menurut Van Vollenhoven, teori receptio in complexu itu bergaya seperti hukum Belanda yang dimasukkan ke dalam cetakan hukum Romawi ( codex Justinianus ). Dengan cara seperti hukum adat dimasukkan ke dalam hukum Islam, misalnya. Jadi susunan hukum adat menurut Van den Berg berbeda dengan hukum

14

. Abdul Azias Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar baru van Hoeve, Jakarta, 1977, hal.1493.

15 . Ibid. 16

(19)

adat yang ada. Hukum adat yang ada bukan berasal dari hukum Islam, melainkan berasal dari hukum “Melayu-Polynesia” ditambah dengan unsur-unsur agama.

Hukum agama itu baru dapat berlaku dalam masyarakat apabila telah diresapi ( diterima ) oleh hukum adat dan jadilah ia sebagai hukum adat Indonesia.17

Hazairin, seorang ahli hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, sangat menentang teori resepi yang di sampaikan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, kalimat sila pertama dalam Piagam Jakarta telah ditegaskan lagi oleh TAP No.II MPRS/1960 yang mengatur syariat Islam itu dengan undang-undang. Oleh karena itu, teori resepsi tidak berlaku lagi bagi Hazairin mengemukakan teori dengan nama “teori resepsi exit” , yang berarti bahwa teori resepsi itu harus keluar dari bumi Indonesia dan ini merupakan “teori iblis” yang merusak iman orang Islam dan menetang Al-Qur’an.18

Sajuti Thalib, seorang murid Hazairin, mengemukakan teori yang senada dengan teori resepsi exit, yaitu teori receptio a contrario ( penerimaan yang sebaliknya ). Menurut teori ini hukum Islamlah yang berlaku bagi umat Islam dan hukum adat baru bisa berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.19

Teori ini muncul karena Sajuti Thalib tidak setuju dengan teori Van Den Berg yang menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agama sendiri, seakan-akan hukum adat itu asli itu tidak ada sama sekali. Menurut Sajuti Thalib,

17

. Abdul Aziz Dahlan, Op.cit, hal.1494-1495 18

. Ibid, hal.1496. 19

(20)

hukum adat tetap ada karena berasal dari budaya serta tradisi suatu bangsa dan berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan ia lebih setuju lagi dengan teori yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang merendahkan kedudukan hukum Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta mengangkat derajat hukum adat.20

Teori resepsi yang tercantum dalam Pasal 134 (2) IS dianggap tidak berlaku lagi setelah Indonesia merdeka dengan disahkannya Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi RI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka dengan sendirinya Menghapus I.S yang secara keseluruhan adalah sebagai konstitusi yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk Hindia Belanda.

Dalam hukum Islam anak adalah keturunan dari ayahnya, maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau dimana ayah atau suami dalam suatu keluarga tidak mempunyai kuasa terhadap anaknya. Dikarenakan anak adalah keturunan dari ibunya atau klan ibunya.

Dalam hal syarat perkawinan dalam hukum Islam ada ketentuan yang mengatur rukun dan syarat perkawinan, apakah hal ini juga terdapat pada masyarakat Minangkabau dan bagaimana akibat dari suatu perkawinan terhadap kedudukan suami dan isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam perkawinan

Dalam hal keturunan, garis keturunan ditarik melalui garis ayah menurut hukum Islam. maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Maka anak adalah keturunan dari ayahnya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau di mana

20

(21)

seorang ayah tidak memiliki kuasa terhadap anaknya. Karena ayah atau suami hanyalah tamu di rumah atau klan istrinya.

Atas dasar latar belakang inilah yang menyebabkan penulis tertarik menelitinya, yaitu mengenai syarat-syarat sahnya dan prosedur perkawinan menurut hukum adat dan agama? Bagaimana akibat dari suatu perkawinan terhadap hak dan kewajiban suami isteri.

Oleh karenya penulis akan menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul “ PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU DENGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalah-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan yang ada di Indonesia?

(22)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini dalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana sahynya perkawinan

menurut hukum adat Minangkabau, hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Untuk mengetahui persintuhan tentang hak dan

kewajiban suami dan isteri pada hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a. Secara Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan hukum perkawinan, khususnya hukum perkawinan adat terutama yang berhubungan dengan pengaruh hukum Islam pada perkawinan pada masyarakat Minangkabau

b. Secara Praktis.

(23)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara, yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan adat Minangkabau memang telah ada, yaitu :

1. Judul : “ KEDUDUKAN ANAK DI BAWAH UMUR ATAS HARTA PENINGGALAN ORANGTUANYA PADA MASYARAKAT MINANGKABAU” (Kajian di Nagari Panampuan Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam),

di susun oleh : Rahmi Yuniar Nim : 02111037.

2. Judul : “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESRAN HUKUM PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”.

di susun oleh : Rina Mulyasari

(24)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya.

(25)

a. Pengertian Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah suatu kehidupan bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang dalam peraturan tersebut.21 Yang dimaksud dengan peraturan-peraturan tersebut adalah peraturan-peraturan yang ada di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan. .

Dengan ini teranglah pengertian perkawinan adalah lepas dari hidup bersama dipandang dari sudut ilmu hajat ( biologis ). Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang ditiap-tiap Negara berlaku mengenai peraturan-peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita.

Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda atau sistem kekerabatan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan dari segi agama, dari inilah keadaan perkawinan masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada bentuk perkawinan pada suatu masyarakat tersebut.

R.Subekti beranggapan seperti halnya dalam hukum pewarisan, begitu pula hukum perkawinan di Indonesia beraneka ragam.22 Disamping hukum perkawinan menurut adat, berlaku hukum perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

21

. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Vcr Kink-Van Hoe ‘E, Jakarta, 1959, hal.1-2.

22

(26)

b Hukum Perkawinan Adat Minangkabau

Manusia adalah mahkluk sosial sehingga dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kenyataannya, manusia hidupnya berdampingan yang satu dengan yang lainnya dan saling membutuhkan. Dalam masyarakat maka agar hubungan antara manusia yang satu dan yang lainnya dapat berjalan dengan tertib maka diperlukan hukum yang mengatur hubungan tersebut.

Peraturan hukum yang berlaku di dalam suatu kelompok sosial, ketentuannya tidak tersebar bebas dan terpisah-pisah, melainkan ada dalam satu kesatuan keseluruhan yang masing-masing keseluruhan itu berlaku sendiri-sendiri. Peraturan tersebut salah satunya adalah hukum adat.

Hukum adat adalah serangkain aturan yang tidak tertulis tapi mempunyai sanksi kuat bagi masyarakat23. Artinya walaupun tidak tertulis namun mempunyai upaya memaksa bagi masyarakat.

Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya.24

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai suatu akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri yang menimbulkan suatu ikatan yang berisi

23

. Soerojo Wignjodipoero, Loc.Cit,hal.14. 24

(27)

hak dan kewajiban antara lain mengenai tempat tinggal, saling setia satu dengan yang lain, membiayai belanja rumah tangga dan hak waris.

Ikatan perkawinan bukan saja menyangkut bagi yang melakukan perkawinan tetapi menimbulkan hubungan hukum dalam hukum keluarga baik kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.

Perkawinan dalam hukum adat bukan saja antara pengantin pria dan wanita melainkan pula beserta seluruh keluarga dari kedua belah pihak untuk bersatu menjadi garis kekerabatan secara semenda yang terjadi karena perkawinan.

Perkawinan dalam hukum adat merupakan salah satu unsur dari hukum keluarga yang hubungan hukum dan akibat hukumnya berdasarkan suatu perkawinan tidak sama diseluruh Indonesia karena perbedan sistem kekeluargaan dan suku bangsa yang beragam.

Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat Suatu hukum perkawinan akan sangat sulit dipahami tanpa terlebih dahulu mempelajari sifat kekeluargaan. Di Indonesia terdapat tiga macam sistem kekerabatan, yaitu sebagai berikut :25

1. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal

corak dari perkawinan dalam kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Yang dimaksud dengan jujur di sini adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini yaitu sebagai lambang putusnya hubungan kekeluargaan si isteri dengan kerabatnya dan persekutuannya. Maka isteri masuk dalam kekerabatan

25

(28)

suami beserta anak-anaknya. Sifat kekeluargaan ini dapat kita lihat pada masyarakat lampung, tanah Gayo, Pasemah, Maluku dan Bali.

2. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal.

Dalam susunan kekerabatan ini suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan isterinya sebagai ‘ urang sumando’ . Suami tidak masuk dalam susunan kerabat isterinya, akan tetapi anak-anaknya atau keturunannya masuk ke dalam klan atau susunan kekerabatan isterinya dan suami pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan pada anak-anaknya. Susunan kekerabatan ini dapat kita temukan pada masyarakat Minangkabau.

3. Dalam sifat susunan kekerabatan kekeluargaan parental

dalam susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami menjadi anggota keluarga isteri begitupun sebaliknya. Artinya susunan kekerabatan ini sangat berbeda dengan susunan kekerabatan sebelumnya yaitu patrilineal dan parental, yang hanya masuk ke dalam satu klan saja. Tapi dalam susunan kekerabatan parental adanya hubungan timbal balik dalam susunan kekerabatan. Dimana suami dan isteri dapat masuk kedalam susunan kekerabatan atau klan masing-masing pasangannya. Susunan kekerabatan ini dapat kita lihat pada masyarakat Sulawesi selatan, suku Dayak, dan Minahasa.

Selain sistem kekerabatan yang sangat berpengaruh dalam bentuk perkawinan, kita juga mengenal tiga macam sistem perkawinan, yaitu :26

1. Sistem endogamy

26

(29)

dalam sistem ini orang hanya boleh kawin dengan orang seorang dari suku keluraganya sendiri. Sistem ini terdapat pada satu daerah saja yaitu Toraja.

2. sistem eksogami

dalam sistem ini seorang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya keluarganya. Sistem ini terdapat pada daerah Gayo,Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan dan Seram.

3. sistem eleutherogami

sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistem endogamy dan eksogami.

Dari tiga sistem kekerabatan yang diuraikan pada paragraf sebelumnya, dikatakan bahwa sistem eksogami, seorang hanya boleh menikah dengan orang diluar sukunya. Artinya seseorang tidak diperbolehkan menikah dengan orang dalam satu klan atau satu sukunya.

Dimana pada masyarakat minangkabau adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogamimatrilinia”.

Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu27. :

27

(30)

1. Garis keturunan menurut garis ibu

2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.

3. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Tujuan utama sistem matrilineal adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia dengan memberikan emansipasi seimbang (persamaan hak) kepada lelaki dan perempuan. Seorang perempuan berhak melarang atau menolak kesepakatan-kesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Ia juga berhak mengajukan usul-usul dan saran-saran dalam rapat keluarga, kaum dan nagari. Bahkan dewasa ini kedudukannya telah bertambah kokoh di tengah-tengah masyarakat, mereka juga mendapat tempat dalam organisasi KAN (Kerapatan Adat Nagari).28

Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri, atau didalam lingkungan kekerabatan isteri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan isterinya.

28

(31)

Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Suami tidak masuk kedalam klan isterinya walaupun suami tinggal di rumah isterinya, tetapi suami tetap masuk ke dalam klannya sendiri yaitu keluarga asalnya.

Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minangkabau berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Hal ini ditandai dengan prosesi turun janjang.

Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;

Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak

Datang dek bajapuik pai jo baanta

Ayam putieh siang basuluah matoari

Bagalanggang mato rang banyak

(32)

isterinya. Sedangkan isteri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat.

Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya tamu di rumah isterinya atau klan isterinya.

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi kesalah fahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Persintuhan berasal dari kata sintuh yang berarti singgung, kena raba. Menyintuh berarti meraba dengan tangan atau mengenai bahagian badan. Persintuhan artinya mengenai sesuatu dengan badan atau sesuatu yang lain.

Persintuhan artinya persinggungan atau perabaan. Arti persintuhan dalam judul dari buku ini bukan berarti persinggungan dalam istilah “ hatinya tersinggung “, yaitu suatu arti yang kurang baik, melainkan sekedar pertemuan antara dua aturan yang tidak sama dan juga tidak serupa.

Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak, undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, ketentuan, kaedah, patokan keputusan hakim.29

29

(33)

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.

Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama. Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah :

1. Adanya tingkah laku seseorang 2. Dilakukan terus-menerus 3. Adanya dimensi waktu.

4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.

Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib, dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.30 Artinya hukum adat dibuat oleh penguasa yang walaupun tidak dalam bentuk tertulis namun dipatuhi oleh masyarakat, dimana hukum adat berfungsi sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakat.

Hukum adat mengatur berbagai kehidupan di dalam masyarakat, salah satunya adalah pekawinan. Perkawinan menurut hukum adat adalah ikatan yang tidak hanya

30

(34)

antara seorang pria dengan seorang wanita saja, tetapi juga ikatan orang tua kedua belah pihak.31

Sehingga perkawinan di dalam hukum adat tidak hanya mengatur hubungan antara suami dan isteri saja, tetapi perkawinan di dalam hukum adat ikut melibatkan klan suami dan isteri yaitu orang tua suami dan isteri tersebut.

Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.32 Artinya unsur perjanjian dalam perkawinan adalah kesengajaan serta memperihatkannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan suku memperlihatkan dari segi keagamaannya.

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tanga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.33 Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu, diamana aturan-aturan tersebut berlaku bagi orang banyak atau khalayak ramai.34

31

. Soerrojo Wigndjodipoero, Op.cit, hal.122 32

. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1974, hal.47.

33

. Op.cit. 34

(35)

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis,35 karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian akan menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek yang pelaksanaan hukumnya berhubungan dengan perkawinan pada masyarakat adat Minangkabau.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis Normatif, yaitu memaparkan objek penelitan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau dengan hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai sahnya perkawinan dengan sejelas-jelasnya disertai dengan analisa kualitatif, demikian pula halnya dengan perkawinan menurut hukum adat Minangkabau analisa dilakukan sepanjang mengenai akibat dari perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dibandingkan dengan hukum Islam. Dengan menggunakan sumber-sumber hukum seperti Perundang-undangan serta buku-buku hukum.

Dalam penelitian ini digunakan pula metode yuridis komparatif yaitu pengkajian dengan menggunakan perbandingan antara hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam.

2. Teknik Pengumpulan Data

35

(36)

Sebagai penelitian hukum nomrmatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan ( library research ) untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan peneliti terlebih terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

a. Penelitian kepustakaan ( Library Research ), melaui studi kepustakaan ini, data yang dikumpulkan adalah dat sekunder yang terdiri dari :

1). Bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya.

2). Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa hasil penelitian para ahu, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder.

3). Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan artikel-artikel lainnya.

b. Penelitian lapangan ( Field Research ) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain.

3. Alat Pengumpulan Data

(37)

a. Studi dokumen, yakni mempelajari serta menganalisa bahan pustaka.

b. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara ( Interview guide ).

4. Analisis Data.

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti 36 Untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data skunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Sedangkan evaluasi data dilakukan secara kualitatif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistimatis dengan menggunakan metode

induktif 37 . Dengan metode ini diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat adat Minangkabau dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan adat yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat

36

. Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara, dalam Burhan Bungin (Ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 143, menyatakan wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang di wawancarai (interviewee).

37

(38)
(39)

BAB II

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM YANG ADA

DI INDONESIA

A. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam

Perkawinan dalam hukum Islam di istilah bakukan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata pernikahan. Nikah menurut hukum Islam juga merupakan suatu perjanjian yang dikemukakan dalam akad nikah ( ikrar nikah ) dengan pemberian mahar antara mempelai pria di satu pihak dan wali mempelai wanita di pihak lain.38

Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah merupakan perbuatan yang suci atau sakral yaitu suatu perikatan antara laki-laki dan perempuan dalam memenuhi perintah Allah SWT dan sunah rasul diantaranya adalah sebagai berikut :

“Maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu suka dua, tiga dan empat, tetapi kalau kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (antara perempuan-perempuan itu), hendaklah satu saja.”

Dari Abdullah bin Mas’udra, ia berkata : Rasulullah SWT, bersabda kepada kami :

“ hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan dan

38

(40)

barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa menjadi penjaga baginya”.39.

Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah merupakan suatu ikatan lahir batin atau jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua calon mempelai beserta keluarga dan kerabatnya.

Di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam perumusan mengenai pengertian perkawinan berbeda dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, Pasal 2 kompilasi hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqqan qalidhan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah40.

Dengan perkataan lain perkawinan yang disebut dengan istilah “nikah” adalah merupakan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya, dengan dasar sukarela serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.

Mengenai pengertian perkawinan ini ada perbedaan pendapat dikalangan para sarjana Hukum Islam di dalam merumuskan pengertian perkawinan. Namun demikian perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain.

39

. Mohammad Rifai, Figh Islam Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang, 1978, hal. 455-456. 40

(41)

Perbedaan pendapat ini hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan tentang pengertian perkawinan disatu pihak dan pembatasan banyaknya unsur dalam perumusan pengertian perkawinan pada pihak lain.

Pengertian perkawinan menurut para sarjana Islam diantaranya adalah : Pendapat yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus yaitu :

“ Perkawinan adalah aqad antara calon laki-isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.”41

Pendapat yang dikemukan oleh Sayuti Thalib adalah :

“ Pengertian perkawinan itu adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.”42

Pendapat yang dikemukakan oleh M.Idris Ramulyo, mengenai perkawinan secara agama Islam yaitu :

“ Perkawinan Menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal.”43

Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai perumusan pengertian perkawinan ini akan tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur

41

. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, 1981, hlm.1.

42

. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia ( berlaku bagi umat Islam ), Jakarta, UI Press, hlm.47.

43

(42)

yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat tersebut yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian, perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Perkawinan yang di syariatkan oleh agama Islam dapat dilihat dari 3 ( tiga ) sudut pandang yaitu: sudut hukum, agama dan sosial.44

Tujuan dari adanya perkawinan yang di syari’atkan agama Islam sebagai suatu bentuk dari ibadah adalah :

1. Untuk melanjutkan keturunan adalah hal penting dalam rangka pembentukkan umat Islam yang mengamalkan syari’at Islam dengan memupuk rasa kasih sayang didalam sesama anggota keluarga yang dalam lingkup luas menimbulkan perdamaian dalam masyarakat di dasarkan rasa cinta kasih terhadap sesama.45

2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat. 3. Menimbukan rasa cinta kasih sayang.

4. Untuk menghormati Sunnah Rasul 5. Untuk membersihkan keturunan

44

. Sayuti Thalib, op.cit, hlm. 63. 45

(43)

6. Pada Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.46

Sahnya perkawinan di dalam hukum Islam apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan rukun dan syara :

1. Rukun dan syarat Perkawinan

Untuk melangsungkan suatu perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat nikah yang ditentukan oleh agama Islam. Rukun dan syarat menentukan perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.

Didalam suatu perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada dan tidak lengkap yaitu rukun dan syara.

Rukun dan syara mengandung arti yang berbeda, rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku

46

(44)

untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

Dalam hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan itu tidak bersifat substansial.

Perbedaan pandangan para ulama tersebut di karenakan berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semula ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah akad, perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan dan mahar atau mas kawin.47

Ulama Hanafiyyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu.48 Oleh karena itu yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan.

Ulama hanafiyah membagi syarat itu kepada:49 1. Syuruth al-in’iqaad

yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. karena kelangsungan perkawinan tergantung kepada akad, maka syarat di sini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri.

47

. Amir Syarifuddi, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm.59. 48

. Ibid. 49

(45)

2. Syuruth al-shihhah

Yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti apabila syarat tersebut tidak terpenuhi,maka perkawinan itu dianggap tidak sah.

3. Syuru al-nufuz

Yaitu syarat yang mentukan kelangsungan suatu perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi menyebabkan fasad-nya perkawinan.

4. Syuru al-luzum

Yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin perkawinan tersebut dibatalkan.

Maka dari uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa yang dimaksudkan oleh ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala urusannya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala sesuatu hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.

(46)

pokok atau tiang dari pernikahan sedangkan syarat merupakan syarat pelengkap dalam setiap perbuatan hukum dalam melakukan suatu perkawinan.50

Syarat nikah menurut agama Islam dapat dimasukkan dalam syarat material, yaitu :

a. Syarat bagi calon mempelai laki-laki, yaitu : 1). Beragama Islam

2). Terang laki-lakinya ( tidak banci ) 3). Tidak dipaksa ( atas kemauan sendiri ) 4). Tidak beristeri lebih dari 4 ( empat ) orang 5). Bukan mahram51nya calon isteri

6). Tidak punya isteri yang haram di madu dengan bakal isterinya 7). Mengetahui bakal isteri tidak haram dinikahinya

8). Tidak sedang dalam ihram haji52 b. Syarat bagi calon perempuan

1). Beragama Islam

2). Terang perempuannya ( bukan banci )

3). Telah memberi ijin kepada wali untuk menikahinya 4). Tidak bersuami dan dalam masa iddah

50

. Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta, Proyek Pembinaan Saran Keagamaan Islam, Dirjen Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal.63.

50

. Ibrahim Mayert A dan Abdul Bimas, Islam dan Urusan Haji, Departemen, agama, 1983, hlm.34.

51

. Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Jadi mahram yang dimaksudkan di sini adalah saudara dari calon isterinya.

52

(47)

5). Bukan mahram bakal suami

6). Belum pernah dili’an ( sumpah li’an ) oleh bakal suaminya 7). Terang orangnya

8). Tidak sedang dalam ihram haji

Dari uraian di atas tampak bahwa Islam hanya mengakui pernikahan hanya pada seorang laki dan seorang perempuan saja. Pernikahan antara sesama laki-laki dan sesama perempuan tidak diakui oleh hukum Islam. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan untuk perempuan adalah sebagai berikut :

1. keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik

menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal lain yang berkenaan

dengan dirinya.

2. keduanya sama-sama beragama Islam

3. antara keduanya tidak terlarang untuk melangsungkan perkawinan

4. kedua belah pihak setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang

akan mengawininya.

5. keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan pernikahan.

Tentang batas usia pernikahan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab

fiqh. Bahkan kitab-kitab fiqh memperbolehkan untuk kawin antara laki-laki dan

perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti

(48)

“ Boleh terjadi perkawinan anatara laki-laki yang masih kecil dan perempuan

yang masih kecil” atau boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dengan

perempuan yang masih kecil.”53

Kebolehan perkawinan terhadap anak yang masih kecil disebabkan karena

Al-Qur’an tidak mengatur secara jelas yang menyebutkan batas usia untuk

melangsungkan pernikahan dan tidak ada pula hadis Nabi yang secara langsung

menyebutkan batas usia.

Mengenai batas usia dalam perkawinan diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, diamana Kompilasi Hukum Islam mempertegas batas usia dewasa yang diatur dalam pasal 7 undang-undang perkawinan. ketegasan tersebut terdapat dalam pasal 15 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan sebagai berikut :

“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.”

Maka dengan demikian ketentuan mengenai batas usia untuk menikah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sekurangnya 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki dan sekurangnya calon mempelai wanita berusia 16 tahun.

53

(49)

2. Adanya ijab dan kabul

Akad nikah berasal dari kata-kata aqad yang berasal dari Al-Qur’an ‘aqdu Al-nikah dibaca “aqdun-nikah, tetapi memang telah biasa disebut dalam kata

sehari-hari di Indonesia dengan sebutan akad nikah.54

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam ijab dan Kabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.55

Maka akad nikah dengan ijab dan qabul tersebut adalah proses pernikahan dimana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua, dan pihak kedua menerima dari pihak pertama.

Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat perdata saja. Artinya perkawinan di pandang dalam hukum Islam bukan sekedar perjanjian saja.

Para ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan. untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara syarat-syarat tersebut ada yang disepakati ada yang tidak disepakati oleh para ulama, yaitu :

a. hukum ijab artinya penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan pada laki-laki atau calon suami. Sedangkan Kabul berarti penegasan penerimaan mengikatkan diri

54

. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal.63. 55

(50)

sebagai suami isteri yang dilakukan oleh pihak laki-laki.56 Atau dapat diartikan

Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan sebagai berikut: akad harus dimulai dengan

ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Dalam teknisnya sebagai berikut :

“ Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab suci Al-Qur’an”.

Qabul adalah penerimaan dari pihak laki, seperti ucapan mempelai laki-laki, yaitu :

“ Saya terima menikahi anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab suci Al-Qur’an.

b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan

c. ijab dan qabul diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. d. ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat

membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terang.

Akad perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 27, 28 dan 29 yang seluruhnya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh dengan rumusan sebagai berikut :

Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut :

56

(51)

“Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.”

Pasal 28 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.”

Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.57

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Dari uraian di atas tampak bahwa akad nikah diatur dalam kompilasi hukum Islam, sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh para ulama.

Pengaturan perkawinan dalam agam Islam selain di tentukan dalam kitab suci Al-Qur’an di Indonesia di atur pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia

57

(52)

Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan tertanggal 10 juni 1991.

Pernikahan bagi muslim di Indonesia yang mempergunakan Kompilasi Hukum Islam, yang memberikan definisi dari pernikahan secara tegas pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, yaitu :

“ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.”

Pengertian dari akad dalam Kompilasi Hukum Islam tertuang secara tegas dalam Pasal 1 huruf c, yaitu :

“ Rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapakan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. “

3. Walimah

Yang dimaksud dengan walimah adalah kenduri atau pesta yang dilaksanakan dalam perkawinan. Mengenai walimah ini dianjurkan oleh Rasulullah yang diriwayatkan oleh anas dengan sabdanya :

“ Semoga Allah memberkahimu, adakanlah walimah meskipun dengan seekor

kambing.”

(53)

dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwatkan oleh H.R. Bukhori dan Muslim yang bunyinya sebagai berikut :

Seburuk-buruknya makanan adalah makanan walimah yang hanya dipanggil hanya orang-orang kaya, sedangkan orang-orang fakir di

tinggalkan. Siapa yang tidak memperkenankan undangan ( walimah ) maka

sebenarnya ia telah maksiat kepada Allah dan Rasulnya. “

4. Mahar

Kata “ mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa , mahar menurut kamus besar bahasa Indonesia58 adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.59 Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia di mana mahar diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.

Hukum pemberian mahar adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami tidak menyerahkan mahar kepada isterinya.

Dasar wajibnya menyerahkan mahar tersebut ditetapkan dalam Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 4, yaitu :

“ Berikanlah mahar kepada perempuan ( yang kamu nikahi ) sebagai

pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada

58

. Kamus besar bahasa indonesia 59

(54)

kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah

pemberian itu ( sebagai makanan ) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dari adanya perintah Allah untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada isteri. Tidak ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkan mahar sebagai rukun.60 Para ulama sepakat menempatkan mahar sebagai syarat dalam perkawinan, dalam arti perkawinan tanpa mahar dianggap tidak sah.

Tentang semenjak kapan berlakunya kewajiban membayar mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar mahar yang ditentukan waktu akad.

Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang mahar secar panjang lebar dalam pasal-pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37 dan 3861 yang hampir semuanya mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.

5. Syarat Wali

Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Wali bertindak atas nama orang lain dikarenkan ketidak mampuan atau kekurangan orang yang diwakili tidak memungkinkan untuk bertindak secara hukum.

60

. Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 86. 61

(55)

Dalam perkawinan wali adalah sesorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.62 Ada beberpa pendapat menganai wali dalam akad mengenai wajib tidaknya, yaitu :63

1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan yang kawin wajib memakai wali dan wali itu merupakan syarat bagi sahnya perkawinan itu.

2. Salah satu alasan yang dipergunakan untuk mengatakan syarat adanya wali pada pihak perempuan, bahwa sahnya perkawinan dari pihak perempuan harus ada wali.

3. Ajaran Hanafi menyatakan bahwa wali untuk mengkawinkan wanita yang telah dewasa tidaklah menjadi syarat. Sehingga seorang yang telah dewasa baik gadis maupun janda adalah sah mengikatkan dirinya dalam perkawinan.

Izin wali adalah sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. Haizairin juga menyatakan, bahwa wali bukanlah syarat bagi sahnya perkawinan seorang perempuan yang telah dewasa itu. Wali menurut Hazairin di pandang dari segi hukum, bagi wanita yang telah dewasa tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri dalam perkawinan, akan tetapi alangkah baiknya menggunkan wali dalam ijab dan Kabul.

4. Izin wali adalah sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. tetapi soal wali ini hanya ditujukan kepada pengantin perempuan saja.

62

. Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.

63

(56)

Orang-orang yang berhak menjadi wali ada tiga kelompok, yaitu wali nasab, wali

mu’thiq dan wali hakim64. Wali nasab adalah wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah. Wali mu’thiq adalah orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakanya. Sedangkan wali hakim adalah orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.

Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang wali nasab pada Pasal 21, yaitu : (a) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok

yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

(b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

64

(57)

(c) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (d) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama

derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Maka mengenai urutan perwalian secara tegas dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai bagaiamana urutan penggunaan wali.

Mengenai wali hakim, diatur dalam Pasal 23 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam. Diamana kedudukan wali hakim baru bisa digunakan apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin untuk mnghadirkannya.

Dengan demikian dapat kita lihat, urutan kedudukan wali adalah berurut, apabila wali nasab tidak ada maka kedudukan nya dapat digantikan oleh wali hakim65 untuk menjadi wali perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan.

6. Saksi

Dalam suatu akad pernikahan disaksikan oleh dua orang saksi agar adanya kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian hari.

65

(58)

H.Sulaiman Rasjid berpendapat pentingnya dua orang saksi dalam suatu perkawinan Islam, karena perkawinan yang tidak menggunakan dua orang saksi dianggap tidak sah.66

Untuk menjadi saksi, harus dipenuhi beberapa syarat yaitu Islam, dewasa dan laki-laki yang adil yang dapat terlihat dari perbuatanya sehari-hari. Kompilasi Hukum Islam menyinggung tentang keberadaan saksi. Yang diatur dalam Pasal 24, 25 dan 26 Kompilasi Hukum Islam.

Maka kehadiran saksi dalam hukum perkawinan merupakan rukun pelaksanaan suatu akad nikah, yang mana saksi tersebut adalah dua orang.

B. Sahnya Perkawinan Menuruh Hukum Adat Minangkabau

Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang menjadi pedoman atau aturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Hukum yang tidak tertulis mempunyai sifat dinamis dan berubah mengikuti perkembangan zaman.

Dengan berlakunya undang-undang Perkawinan yaitu Undang-undang nomor 1 tahun 1974, maka syarat-syarat sahnya perkawinan diatur oleh undang-undang tersebut kecuali bagi mereka yang tidak menganut suatu agama, maka syarat sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum adat mereka yang memang sudah berlaku bagi mereka sebelum diundangkannya undang-undang perkawinan ini.67

67

(59)

Sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan.

Perkawinan menurut hukum adat adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan pribadi satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda68. Jadi perkawinan menurut hukum adat adalah merupakan tanggung jawab bersama dari masyarakat hukum adat.

Manusia dalam perjalanan hidupnya akan melalui masa-masa tertentu, dimulai dari masa balita, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua.

Setiap peralihan dari suatu masa berikutnya mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan setiap manusia. Salah satu masa peralihan yang sangat penting adalah pada saat menginjak masa perkawinan, karena masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari masa-masa sebelumnya dan mulai membentuk kelompok kecil (keluarga) miliknya sendiri yang tidak lepas dari kelompok hidupnya semula. Dengan perkataan lain perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.

68

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan yang signifikan antara motivasi belajar bahasa Arab siswa pada kelas eksperimen dengan kelas

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Tes undulasi : suatu tes untuk menandakan adanya cairan dalam rongga abdomen 8.Capillary refill time : tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk 

Menurut hasil analisis kegiatan Marketing Public Relations berdasarkan dimensi kegiatan sosial yang keefektivitasannya dilihat dari kegiatan sosial yang dilakukan Yamaha

Hasil uji statistik menggunakan Spearmank Rank dari hubungan dukungan instrumental keluarga dengan beban pada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia di Poli

Dan juga lebih baik jika ingain membeli produk di suatu thread hendaklah melihat reputasi dari vendor yang menyediakan barang dalam situs komunitas www.kaskus.us sub forum jual

Klien menderita alergi sejak usia 10 bulan dengan keluhan batuk disertai dengan sesak kemudian berobat dan sembuh. Pada usia anak 2 tahun kambuh lagi kemudian klien periksa dan

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di