• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM YANG ADA DI

C. Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Dengan berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai peraturan pelaksanaannya, maka sejak tanggal 1 Oktober 1975 berlakulah secara yuridis formal Hukum Nasional yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia.

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 ini adalah ikatan lahir batin yang harus didasarkan kepada persetujuan kedua belah pihak yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.Yang dimaksud dengan perkataan “ikatan lahir” adalah suatu ikatan yang dapat dilihat secara nyata yang berwujud hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam satu keluarga atau rumah tangga.

Adapun “ikatan bathin” ikatan yang tidak dapat dilihat, tetapi harus ada yang berupa kehendak dari seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk mengikatkan diri dalam suatu keluarga, tanpa adanya ikatan batin ini ikatan lahir akan rapuh.

Bila diperhatikan bahwa sungguh sangat ideal sekali tujuan perkawinan yang diinginkan oleh undang-undang ini, tidak hanya melihat dari segi ikatan lahir saja, tapi sekaligus ikatan pertautan kebatinan antara suami istri yang ditujukan untuk

membina keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa72.

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari:

1. Syarat Material

Syarat material adalah mengenai diri pribadi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Dengan demikian syarat-syarat material ini langsung melekat pada diri calon mempelai.

Syarat material untuk dapat melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu sebagai berikut :

a. syarat material yang bersifat umum

Syarat material umum adalah persyaratan yang berlaku secara umum bagi semua perkawinan. Jadi syarat ini harus dipenuhi oleh semua calon mempelai, yaitu :

1). Asas momogami

Asas ini diatur dalam Pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan bahwa : “ dalam hal suami

72

. Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co , Medan,1975, hal.11.

akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat ( 2 ) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.

Berarti pada asanya dalam waktu yang sama, maka seorang suami hanya dapat atau boleh beristeri satu orang saja, demikianpun sebaliknya seorang isteri hanya boleh bersuami satu. Tetapi apabila para pihak menginginkan sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat ( 2 ), jo pasal 4 ayat ( 2 ) undang-undang perkawinan, dengan ketentuan :

• isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

• isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

• isteri tidak dapat melahirkan keturunan 2). Persetujuan antara kedua calon mempelai

Perkawinan harus berdasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai pasal ( 6 ayat 1 ) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini adalah wajar sebab apabila suatu perkawinan dilangsungkan dengan adanya paksaan, maka dikhawatirkan perkawinan tersebut tidak akan dapat berlangsung.

3). Batas usia untuk melangsungkan perkawinan

Perkawinan hanya dijinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai usia 16 tahun. Persyaratan yang demikian sudah selayaknya diberikan, apabila usia kawin terlalu muda dikhawatirkan

mereka belum cukup mampu untuk membentuk keluarga, yang kekal dan bahagia dan juga dikhawatirkan akan mudah menimbulkan penyakit.

4). Tenggang waktu ( waktu tunggu ) bagi seorang perempuan Diatur dalam pasal 39 Peraturan Pemrintah Nomor 9 tahun 1975.

a).Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat 2 undang0undang ini, ditentukan sebagai berikut :

• apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan 130 ( seratus tiga puluh hari ).

• Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 ( tiga ) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 ( sembilan puluh ) hari.

b). Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran sang anak dalam kandungan. Perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan perkawinan yang putus karena kematian suami, tenggan waktu dihitung sejak kematian si suami.

b. Syarat material yang bersifat khusus

Maksudnya adalah persyaratan yang hanya berlaku bagi perkawinan tertentu, artinya adalah dalam keadaan tertentu para pihak tidak dapat melangsungkan

perkawinan ( pasal 8 jo pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ), yaitu :

1). Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau kebawah

2). Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya.

3). Berhubungan semenda 4). Berhubungan susuan

5). Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami yang beristeri lebih dari seorang.

6). Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang untuk kawin

7). Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin 8). Harus ada izin kawin ( pasal 6 ayat 1-5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan , yaitu :

• Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

• Untuk melangsungkan perkawinan, maka bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua

• Dalam hal salah seorang orang tua telah meninggal dunia atau tidak dapat untuk menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup.

• Dalam hal kedua orang tua telah mati atau tidak dapat mengatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali atau keluarga terdekat.

• Apabila terdapat sengketa dalam hal memberi izin, maka pengadilan dalam daerah hukumnya akan memberikan izin.

Dengan demikian telah selesai dijabarkan tentang persayaratan material yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dapat berlaku secara syah.

2. Syarat formal

Persyaratan ini adalah syarat yang menyangkut tentang formalitas tata cara yang mendahului dan menyertai kelangsungang perkawinan. Mengenai persyaratan formal untuk dapat dilangsungkan suatu perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu sebagai berikut :

a. harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan itu dilangsungkan

b. adanya pengumuman oleh petugas pencatatan nikah tentang akan dilangsungkannya pernikahan. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan setelah lewat 10 ( sepuluh ) hari pemberitahuan diumumkan

c. perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, artinya dilangsungkan dihadapan pegawai pencatatan nikah dan bila ada pemberitahuan terlebih dahulu ( pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ).

Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya, diatur dalam pasal 2 ayat ( 1 ) undang-undang perkawinan.

Pasal 2 ayat (2) undang-undang perkawinan, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, yang mana sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Disamping itu undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami. Adapun tujuan asas monogami ini adalah supaya seorang pria hanya diperbolehkan beristeri satu agar rumah tangga yang telah dibina tersebut tidak menjadi hancur. Hal ini juga berkaitan dengan kemakmuran anak-anak dalam perkawinan tersebut, agar anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut terjamin hidupnya sampai mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri kelak.

D. Persintuhan Hukum adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam dikaitkan dengan Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mengenai Sahnya Perkawinan

1. Persintuhan antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan sahnya perkawinan menurut hukum Islam

Jika dikaji antara hukum perkawinan Islam dengan hukum perkawinan adat Minangkabau mengenai sahnya perkawinan akan terdapat persamaan di antara keduanya namun ada beberapa perbedaan yang terdapat diantara keduanya.

Persamaan diantara keduanya adalah dalam hukum adat Minangkabau untuk sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum Islam, yaitu adanya ijab dan qabul antara calon pengantin pria dengan wali calon pengantin wanita.73

73

Dalam hal batas usia melangsungkan perkawinan, di dalam hukum adat Minangkabau tidak mengatur mengenai batas usia untuk melangsungkan perkawinan, begitupun dalam hukum Islam dimana kitab-kitab fiqh tidak dibicarakan.74

Namun dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mengenai batas usia perkawinan, yang terdapat dalam pasal 15 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam. Dimana dalam Pasal 15 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam, batas usia untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana mana batas usia menurut undang-undang perkawinan adalah sekurang-kurangnya calon suami berusia atau berumur 19 tahun sedangkan calon mempelai wanita berumur sekurang-kurangnya 16 tahun.

Maka salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam adalah batas usia perkawinan adalah 19 untuk calon mempelai laki-laki dan 16 untuk calon mempelai perempuan. Sedangkan dalam hukum adat Minangkabau untuk batas usia perkawinan tidak ditentukan. Menurut hukum adat Minangkabau seseorang boleh melangsungkan perkawinan jika sudah dianggap sudah dewasa berdasarkan ciri-ciri fisik yang muncul dalam diri seseorang tersebut.75

Salah satu dari rukun perkawinan menurut hukum Islam adalah adanya ijab dan Kabul. Ijab dan Kabul merupakan syarat sahnya perkwinan meurut hukum Islam. Ijab dan Kabul dalam hukum adat Minangkabau merupakan roses pernikahan yang paling utama dalam perkawinan. Karena tanpa adanya ijab dan kabul perkawinan dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan apa yang dinyatakan dalam

74

. Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.66. 75

agama Islam. Dimana sebagian besar masyarakat Minangkabau menganut agama Islam.

Maka persintuhan dalam ijab dan kabul meurut hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau sangat jelas. Dimana ijab dan Kabul merupakan pokok atau hal utama dalam syarat sahnya perkawinan menurut hukum Islam dan menurut hukum adat Minangkabau.

2. Persintuhan antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Jika kita mengkaji antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, maka terdapat persintuhan diantara kedua aturan tersebut mengenai syarat sahnya perkawinan.

Persintuhan yang tampak yaitu, sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan. sahnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan berdasarkan agama masing-masing, maka bagi masyarkat hukum adat Minangkabau yang sebagian besar beragama Islam ditentukan oleh hukum agamnya yaitu hukum Islam.

Namun terdapat beberapa perbedaan antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan undang-undang perkawinan. Salah satunya adalah mengenai batas usia melangsungkan perkawinan.

Dalam hukum adat Minangkabau tidak dikenal mengenai batas usia untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, batas usia merupakan salah satu syarat untuk melangsungkan pekawinan. Batas usia untuk melangsugkan perkawinan menurut undang-undang perkawinan diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana seorang pria hanya dijinkan meikah jika sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan untuk wanita 16 tahun.

Dalam hal izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan terdapat perbedaan antara hukum adat Minangkbau dengan undang-undang perkawinan. Dimana minta izin kepada orang tua menurut hukum adat Minagkabau, apabila seseorang pemuda telah ditentukan jodohnya untuk melaksankan perkawinan, maka kewajiban yang pertama menurut adat Minangkabau adalah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara seayahnya, kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya.

Sedangkan izin orang tua menurut undang-undang perkawinan adalah bagi seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.76 Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau izin orang tua bukan seperti apa yang dimaksud dalam undang-undang perkawinan menurut hukum adat Minangkabau.

Untuk tahap meminang dan manjapuik marapulai dalam hukum adat Minangkabau tidak terdapat persintuhan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Tahap meminang dan menjapauik marapulai merupakan rangkaian tata cara adat Minangkabau, sedangkan tata cara perkawinan menurut undang-undang

76

perkawinan lebih di tekankan kepada pencatatan perkawinan dihadapan pegawai pencatat nikah sebagai syarat formal dalam perkawinan.

3. Persintuhan antara sahnya perkawinan menurut hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan hukum Islam, maka akan terdapat persintuhan diantara keduanya walaupun terdapat beberapa perbedaan.

Persintuhan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dilihat dari beberapa hal. Salah satunya adalah pengertian perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Sedangkan pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan adalah ikatan lahir batin yang harus didasarkan kepada persetujuan kedua belah pihak yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar tuhan Yang Maha Esa.77 Dapat kita lihat terdapat perbedaan pengertian perkawinan menurut apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan dengan Kompilasi hukum Islam, namun tujuan keduanya sama yaitu atas dasar untuk mentaati perintah agama.

Persintuhan lain yang tampak antara undang-undang perkawinan dengan hukum Islam adalah mengenai syarat material. Persintuhan yang tampak dalam syarat material ini adalah dalam hal batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Dalam

77

kitab-kitab fiqh memang tidak disebutkan mengenai batas usia bagi seseorang dalam melakukan suatu pernikahan, namun ketentuan mengenai batas usia perkawinan menurut hukum Islam ditentukan di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 15 ayat ( 1 ). Dimana batas usia menurut Kompilasi Hukum Islam memepertegas batas usia yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana seseorang untuk melaksankan perkawinan harus mencapai usia 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 16 tahun bagi calon mempelai perempuan. Dengan demikian untuk batas usia perkawinan menurut hukum Islam dengan undang-undang perkawinan tampak keterkaitannya, dimana Kompilasi Hukum Islam mempertegas syarat batas usia menurut undang-undang perkawinan.

Persintuhan lain yang tampak antara hukum Islam dengan undang-undang perkawinan adalah mengenai syarat perkawinan dalam hal siapa saja yang boleh dinikahi. Dalam hukum Islam syarat bagi calon mempelai laki-laki dan perempuan untuk melaksankan suatu perkawinan tidak diijinkan untuk menikah dengan

mahram78nya. Hal ini juga ditentukan dalam undang-undang pekawinan, dimana undang-undang perkawinan dalam pasal 8 jo pasal 9 adalah para pihak atau calon mempelai laki-laki maupun perempuan dalam keadaan tertentu dilarang untuk melakukan perkawinan. Larangan tersebut dikarenakan adanya hubungan darah baik dalam garis keturunan lurus keatas atau kebawah, meyamping dan semenda dilarang untuk melakukan perkawinan.

78

. Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Jadi mahram yang dimaksudkan di sini adalah saudara dari calon isterinya

Maka persintuhan untuk larangan perkawinan dikarenakan hubungan darah menurut hukum Islam dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan nampak sangat jelas dan diatur secara tegas.

Mengenai syarat formal yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan hukum Islam terdapat persintuhan diantara keduanya, walaupun terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Dimana syarat formal menurut undang-undang perkawinan menyangkut tentang formalitas tata cara yang mendahului dan menyertai perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Persintuhan tersebut nampak dalam tata cara melangsungkan perkawinan harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, pencatatan perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam pasal 5, dimana agar terjamin ketertiban bagi masyarakat maka perkawinan tersebut harus di catatatkan, dan pencatatan tersebut dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah79.

Persamaan lain yang tampak antara kedua aturan hukum tersebut, dimana keterkaitan antara syarat formal menurut undang-undang perkawinan dengan hukum Islam saling terkait. Keterkaitan tersebut tampak pada pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan pasal 5 Kompilasi Hukum Islam. Persintuhan tersebut tampak dimana dalam undang-undang perkawinan menyatakan suatu perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, maksud dari di muka umum adalah pegawai pencatat nikah. Dan hal mengenai pencatatan perkawinanpun diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Dimana dalam Kompilasi Hukum Islam perkawinan pun dicatat oleh pegawai pencatat nikah.

79

Selain dari pencatatan perkawinan, sahnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam juga terdapat saling keterkaitan. Dalam undang-undang perkawinan sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah sah sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

Maka dari penjelasan di atas tampak keterkaitan antara Kompilasi Hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai sahnya suatu perkawinan. Dimana kedua aturan hukum tersebut saling terkait di antara yang satu dengan yang lainnya.

BAB III

PERSINTUHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU DENGAN HUKUM ISLAM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI

ISTERI DALAM PERKAWINAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Hukum Adat Minangkabau

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai adat istiadat dan hukum adat yang berbeda. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan tersebut adalah sistem masyarakat yang berlaku pada masing-masing daerah.

Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama. Dalam rangka penyelidikan hukum, apabila ingin memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum di bidang perkawinan menurut hukum adat, dibidang pertalian sanak keluarga menurut adat dan dibidang waris menurut adat. Maka perlu mempelajari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

Hazairin mengemukakan pendapatnya tentang Masyarakat Hukum Adat, yaitu sebagai berikut : Masyarakat Hukum Adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya80

80

Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat, diyakini pula bahwa setiap kepentingan individu sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakatnya. Sifat hidup bersama dari masyarakat hukum adat ini terlihat dari kerjasama yang kuat seperti gontong-royong dalam membangun atau mendirikan sarana untuk kepentingan umum.

Pada dasarnya Masyarakat Hukum Adat di Indonesia dapat dibagi 2 (dua) golongan menurut susunan masyarakatnya, yaitu berdasarkan lingkungan daerah (teritorial) dan pertalian keturunan (genealogis).

Masyarakat Hukum adat yang disusun berdasarkan lingkungan daerah (territorial) adalah Masyarakat Hukum Adat yang para anggotanya merasa bersatu dengan adanya ikatan diantara mereka masing-masing dengan tanah yang didiaminya sejak kelahirannya secara turun-temurun bersama orang tua serta nenek moyangnya.

Masyarakat hukum adat yang disusun berdasarkan pertalian keturunan (genealogis) adalah Masyarakat Hukum Adat yang para anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari satu keturunan yang sama, menurut garis ibu atau ayah atau kedua-keduanya.

Keturunan berarti adanya hubungan darah antara seseorang dengan orang lain yang berasal dari terbentuknya suatu perkawinan. Misalnya sebagai contoh adalah kesatuan unit yang terkecil dalam masyarakat yang disebut keluarga atau Gesin terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Anak-anak yang sudah dewasa akan membentuk suatu

keluarga dengan menghasilkan keturunan, dan demikian seterusnya secara turun-temurun.

Dengan adanya keluarga-keluarga tersebut maka akan terbentuk suatu klan, suku ataupun kerabat dalam suatu lingkungan Masyarakat Hukum Adat. Dengan kata lain keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan atau suku yang menginginkan klan atau sukunya tidak penuh, melainkan terus berkembang dengan adanya generasi penerus.

Dalam susunan Masyarakat Hukum Adat berdasarkan keturunan (genealogis), berarti : Seseorang menjadi anggota masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap diri keturunan dari seorang ayah asal (nenek moyang laki-laki) tunggal melalui garis keturunan laki-laki atau dari seorang ibu asal (nenek moyang perempuan) tunggal melalui garis keturunan perempuan atau melalui garis keturunan ayah dan ibu81

Dengan prinsip garis keturunan ( istilah yang digunakan Hazairin untuk sistem masyarakat ), dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari individu sebagai keturunan ( anggota keluarga ), misalnya dapat menggunakan nama keluarga, berhak atas bagian kekayaan keluarga, wajib saling memelihara dan membantu sesama

Dokumen terkait