• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Konsepsi

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

UUPA dimaksudkan oleh pembuatnya untuk membawa lebih banyak kepastian-kepastian hukum. Hal ini telah ditegaskan berulang-ulang. Antara lain dapat disaksikan pertimbangan dalam konsiderans yang mengemukakan bahwa hukum agraria penjajahan bagi rakyat asli “tidak menjamin kepastian hukum”. Kata-kata ini diulangi lagi dengan lengkap dalam Memori Penjelasan.13

Hak-hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA serta hak-hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya. Hak-hak atas tanah itu pokok-pokok ketentuannya ada dalam Pasal 4, 9, 16 dan BAB II UUPA.14

Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum. Dengan adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain. Untuk hal-hal tersebut umpamanya dapat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli, tukar menukar dan lain-lain.15

13 Sudargo Gautama, 1989, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, hal. 13.

14 Boedi Harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta:

Universitas Trisakti, hlm. 41.

15 K. Wantjik Saleh, 1980, Hak Anda Atas Tanah. Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 17.

Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah, dengan kata lain yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh dan luas (semua macam hak) adalah warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, yakni untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.

Sedangkan yang bukan warganegara Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi sekali, hanyalah hak pakai dan hak sewa saja. Mengenai badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai semua macam hak atas tanah kecuali hak milik terbatas pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundangan saja.16

Mengenai lahirnya hak atas tanah, dimulai karena adanya hubungan dan kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen). Artinya, orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak menjadi pemilik tanah atau melakukan hubungan hukum melepaskan hak tanah atau menyerahkan tanah kepada orang asing. Orang asing atau mereka yang bukan anggota warga persekutuan, hanya berhak mendapatkan hak mengolah tanah dan menikmati hasil tanah persekutuan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat.17

Anggota warga persekutuan hukum yang ingin memiliki tanah dengan hak milik, terlebih dahulu memilih dan menetapkan bidang tanah yang akan diduduki dan dikuasainya. Hak untuk memilih dan menetapkan pilihan

16 Ibid, hlm. 17.

17 Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan Kepastian Hukum Atas Pemilikan, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah: Rekomendasi dan Masukan untuk Penyempurnaan Naskah KKPN”, Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Finalisasi KKPN-BAPPENAS Tanggal 6 Nopember 2006 di Jakarta, hal. 17.

bidang tanah dan pemberian tanda-tanda larangan untuk dikuasai itu disebut

“hak wenang pilih”. Hak ini adalah bukti awal pendudukan yang sama dengan occupare pada sistem hukum Romawi atau bezit pada hukum sivil Belanda. Dari hak wenang pilih ini orang harus menunjukkan penguasaan nyata berupa pemberian tanda-tanda batas setelah tanah dibersihkan menjadi lahan siap pakai. Pemberian tanda-tanda batas bidang tanah ini menyebabkan orang tersebut mendapatkan pengakuan masyarakat dengan hak yang lebih kuat lagi yaitu “hak terdahulu” (voorkeursrecht).18

Kemudian setelah tanah ditanami dan dibangun rumah tempat tinggal, maka ia memperoleh “hak menikmati” (genoorsrecht). Hak menikmati ini sama dengan “jus ad rem” pada hukum Romawi yaitu merupakan “hak mempunyai” yang peralihan haknya tidak harus dilakukan dengan tata cara

“mancipatie”. Setelah tanah ditanami atau didiami cukup lama maka lahir

“hak pakai” (gebruiksrecht). Hak pakai inilah yang merupakan dasar bagi pertumbuhan menjadi hak milik. Maka hak pakai adat ini dapat disamakan dengan “jus in re” dengan hak mempunyai yang sudah berakibat hukum yang dalam sistem hukum Romawi disebut “jus possidendi”.19

18 Ibid., hal. 17.

19 Sopomo, 1982, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Jambatan, Jakarta, dalam Herman Soesangobeng, loc.cit. lihat juga hal. 14, yang menyatakan, proses pertumbuhan kepemilikan hak milik itu, diawali dengan pendudukan nyata (occupare) oleh orang atas tanah. Pendudukan awal itu menyebabkan orang mendapatkan pengakuan hak awal yang masih lemah dan belum memiliki akibat hukum maka disebut “jus ad rem”, yaitu hak tanpa maksud (non usus) mempunyai (possessio). Setelah orang menunjukkan maksud atau niat (usus) menguasai dengan penuh, maka kekuatan haknya bertambah besar dan disebut hak mempunyai (jus possessionis). Selanjutnya setelah buku pendudukan bertambahan nyata dengan bukti penguasaan tetap yang menunjukkan niat memiliki, maka ia mendapatkan hak yang lebih kuat yang disebut “jus in re”. Pada tingkat ini kekuatan haknya mulai mendapatkan perlindungan hukum sehingga haknya disebut “jus possidendi”. Hak kepunyaan dengan pengakuan hukum oleh negara yang disebut “jus possidendi”

inilah yang kelak menjadi hak sempurna dan tertinggi dengan sebutan “domain”, setelah diberikan surat keputusan oleh negara/pemerintah (gubernaculum). Hak milik tertinggi dan sempurna oleh orang atas tanah itu disebut milik-Ind; ownership-Ingg; eigendom-Bld.;domain/dominion eminens-Latin. Hak milik inilah yang berisikan kemampuan, kekuasaan serta kewenangan bertindak orang sebagai subyek atas benda tetap (tanah) sebagai obyek.

Kemudian setelah tanah diwariskan kepada keturunannya, maka lahir hak yang terkuat dan terpenuh yang disebut “milik” atau “hak milik”. Hak milik inilah yang dapat disamakan dengan “dominium eminens” atau

“domain” pada teori sistem hukum Romawi. Hak milik ini disebut juga “hak milik adat”, yang dalam kepustakaan hukum Adat disebut individuelle bezitsrecht. Disebut demikian karena sistem hukum Hindia Belanda tidak mengakui keberadaan “hak milik adat”, sehingga pemerintah Hindia Belanda pun tidak mengakuinya sebagai hak yang sama kedudukan hukumnya dengan eigendom.20

Menurut pendapat Muhammad Yamin, sejarah kepemilikan tanah di Indonesia berbeda dengan sejarah kepemilikan yang dikenal di negara-negara kerajaan seperti Inggris dan Malaysia. Sekalipun belakangan Belanda memperlakukan model kepemilikan tanah sama seperti di negaranya, itu hanya karena keinginan Belanda untuk memudahkannya menguasai tanah di negara ini.

Sehubungan dengan misi dagangnya (leverentien dan contingenten). Belanda memperlakukan bahwa raja adalah pemilik tanah yang dikenal dengan teori

“semua yang terdapat di kolong langit adalah kepunyaan raja” sehingga ketika dia akan membutuhkan tanah mereka hanya menghubungi raja atau minta izin kepada raja agar mereka dapat menguasai tanah untuk kepentingan usahanya itu di negara ini.21

20 Ibid., hal. 18.

21) Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, 2 September 2006, Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 2

)

Tetapi untuk Indonesia, raja bukanlah pemilik tanah. Atas nama rakyatnya raja berkuasa untuk mengawasi dan memberikan tanah tersebut untuk mendukung kehidupan dan hidup rakyatnya sehingga rakyatnya benar-benar terayomi oleh kekuasaan raja saat itu. Dengan demikian, terdapat di beberapa daerah ada raja yang berkuasa, namun untuk kepemilikan tanah tetap menjadi milik bersama rakyat. Raja hanya sekedar melegalisasi tindakan rakyat terhadap penguasaan dan penggunaan tanah. Namun, karena bersama-bersama bertanggung jawab dalam memanfaatkan tanah untuk kehidupan masyarakatnya, lalu muncullah hubungan tak terpisahkan antara tanah dengan raja tersebut sebagai pertalian hukum (rechts betrekling). Hubungan ini terus melembaga sebagai hubungan religious magis.

Sehingga setiap ada tindakan terhadap tanah selalu harus dengan restu atau bahkan harus seizin raja untuk dapat dikerjakan tanpa ada diganggu manusia sekawasan atau makhluk lain. Bahkan untuk mengalihkannya pun harus tetap mendapat restu raja atas nama rakyat sekawasan. Dalam bahasa adat, untuk tindakan terhadap tanah harus dilakukan secara terang dan tunai. Maka tindakan yang berhubungan dengan tanah harus tetap minta izin dan dibuatkan secara terang, yang dilakukan di hadapan raja.

Tindakan terang dan tunai sebagai ciri khas tindakan dalam hukum adat mewarnai pola legalnya tanah tersebut diusahai atau dikelola oleh warganya sehingga sesama warga tidak saling mengambil lagi tanah yang sudah diusahakan oleh kawan sedesa atau sekawasannya. Bagi yang mengusahakannya pun akan selalu membuat tanda sebatas mana tanah itu dapat diusahakannya dan inilah yang akhirnya disebut hak kepemilikan komunal, yang lama kelamaan atas pertambahan keluarga dengan berbagai kepentingannya terhadap tanah lalu tanah yang komunal tadi terindividualisasi menjadi hak individu dari seorang warga

desa. Namun yang tidak diusahakan tetap menjadi kepemilikan bersama yang sifatnya terus sebagai hak masyarakat sekawasan atau sedesa dengan sifat kepemilikannya publiekrechtelijke dan yang terakhir diberi nama menjadi tanah ulayat. Tanah kaum atau oleh Belanda dahulu disebut dengan beshciking recht (hak pertuanan). Hingga sekarang untuk beberapa desa kepemilikan ini terpelihara dengan baik, dan kepemilikan demikian menjadi diakui sebagai hak atas tanah oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 22

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik secara individual.

)

23

Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau mengubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang.24

22) Ibid., hal. 2-3., lihat juga Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan…, op.

cit., hal. 21-22 Istilah hak ulayat, adalah istilah umum dalam kosa kata bahasa hukum adat di Minangkabau (Koesnoe, 1992, 1996, Ter Haar, 1927). Istilah itu digunakan untuk menggambarkan hubungan penguasaan, pengaturan, dan pemilikan tanah menurut hukum adat alam Minangkabau.

Konsep hak hak ulayat itu lalu mengatur hak dan kewajiban warga persekutuan hukum yang disebut ke dalamnya hak ulayat, dan hak serta kewajiban orang luar dan orang asing yang bukan warga persekutuan hukum. Subyek pengaturanya adalah masyarakat sebagai persekutuan hukum adat yang diwakili oleh para tua-tua adat yang disebut ninik mamak. Pada tingkat tertinggi, masyarakat sebagai persekutuan hukum adat adalah pemilik tanah. Obyeknya adalah tanah dalam lingkungan kuasa atau yurisdiksi teritorial masyarakat hukumnya. Penggunaan tanah diatur untuk kepentingan bersama, kerabat, keluarga, maupun perorangan secara pribadi. Maka subyek pemegang haknya bisa berupa persekutuan hukum desa, kerabat berupa suku-suku, keluarga berupa keturunan seorang ibu kanduang, ataupun perorangan secara pribadi.

23 Syafruddin Kalo, Eebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatra Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hal. 4

24 Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Prajnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 91.

Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam

hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dan tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi menggarapnya. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah hak ulayat.25

Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.26

Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi bahagian penting dari padanya. Apalagi memang saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap terpenuhi.

Tetapi dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang individual. Maka untuk menjaga keharmonisan atas kepemilikan yang makin lama menjadi kecil luas dan penguasaannya ini. Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah-tanah di tengah masyarakat maka pendaftaran tanah ini semakin menjadi tuntutan demi menjaga kepemilikan rakyat tadi. Sekalipun memang diakui bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi ciri dalam kepemilikan bersama namun karena secara alamiah kepemilikan bersama yang semakin runtuh, tuntutan mendaftarkan tanah ini menjadi hak atas tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah

25 Syafruddin Kalo, op. cit., hal. 4.

26 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Ada, Gunung Agung, Jakarta, 1984, hal. 201-202.

sudah menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang sifatnya keperdataan diakui sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan dan konsekuensinya pada si pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya.27

Dari teori lahirnya hak kepemilikan tanah seperti diuraikan di atas, terbukti bahwa semua sistem hukum menjadi kedudukan hukum para warganya sebagai pemilik tanah. Hukum pertanahan Adat Indonesia pun menjamin kedudukan warganya sebagai pemilik tanah. Kedudukan sebagai pemilik tanah itu, oleh warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum adat, adalah pertama-tama merupakan hak kepemilikan de facto yaitu hak milik yang diperoleh karena kedudukan sebagai warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum. Hak de facto itu, setelah diputuskan pengakuannya oleh negara/

pemerintah, maka lahirlah hak kepemilikan de jure. Artinya hak kepemilikan de jure adalah hak yang sudah dilindungi negara dan diatur oleh hukum harta kekayaan, sehingga penyerahan tanah atau peralihan haknya harus memenuhi tata cara khusus menurut ajaran hukum dan sesuai ketetapan undang-undang. Ajaran hukum itulah yang disebut ajaran lamanya waktu atau verjaring dengan ajaran penyerahan benda tetap yang disebut levering.28

Kemudian berdasarkan UUD 1945 karena kedudukan hukumnya sebagai warga negara Indonesia (WNI) secara otomatis menjadi pemilik tanah de facto.

Ketentuan umum kewarganegaraan yang diatur UUD 1945 itu kemudian dipertegas tujuan penggunaan tanahnya dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa tanah harus ditujukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

27 Muhammad Yamin, op. cit., hal. 3

28 Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan…, op. cit., hal. 19.

Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan:

(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 9 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan bahwa WNI adalah pemilik tanah, karena hanya WNI-lah yang berhak mempunyai hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Jadi baik UUD 1945 maupun UUPA, menetapkan bahwa WNI adalah pemilik tanah de facto atas tanah dalam wilayah negara RI. Hak milik de facto itu baru berubah menjadi hak milik de jure, setelah orang (WNI) tertentu menguasai dan mempunyai tanah dan haknya didaftarkan berdasarkan peraturan yang berlaku. Jadi dengan didaftarkannya tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka WNI yang semula merupakan pemilik tanah de facto, berubah menjadi pemilik tanah de jure yang dilindungi hukum Negara.29

(1) Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.

Adapun jenis hak yang dimilik WNI, adalah hak milik yang diatur dalam Pasal 20 UUPA 1960, bahwa:

(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Hak milik WNI, adalah hak milik seperti diatur dalam Pasal 20 UUPA, dan jenis-jenis hak lain yang dipunyai WNI sebenarnya merupakan hak keagrariaan yaitu

29 Herman Soesangobeng, “Perlindungan dan hak atas tanah komunitas adat terpencil”, Makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Diselenggarakan oleh Departemen Sosial R.I., Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, di Hotel Jayakarta, 25 Agustus 2004, Jakarta, Tanpa Penerbit, dalam Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan…, op. cit., hal. 19-20.

hak pakai. Hak pakai atas tanah itu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu (1) hak pakai tanpa batas waktu atau hak pakai selama tanah masih digunakan sesuai peruntukannya, dan (2) hak pakai selama tanah masih berdasarkan kesepakatan pemilik dengan pemakai. Dengan demikian jenis-jenis hak lain yang diatur dalam pasal 16 UUPA 1960 dan hak lainnya yang lahir karena keputusan Pemerintah seperti hak pengelolaan (HPL), semuanya harus hapus dan tidak digunakan lagi, karena bukan merupakan hak atas tanah. Jenis-jenis hak tersebut yang sudah ada seperti HGU, HGB dikonversi menjadi Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu saja.30

UUPA menegaskan bahwa hak menguasai dari negara ini memberi wewenang kepada pemerintah sebagai wakil dari negara untuk mengatur peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang

Jadi, menurut UUPA hak atas tanah tidak akan lahir hanya dengan menguasai atau menduduki/mempergunakan sebidang tanah, untuk lahirnya suatu hak atas tanah haruslah diproses menurut aturan yang berlaku. Kalau tanah yang dikuasai atau yang akan dikuasai merupakan tanah negara, maka untuk memperoleh suatu hak haruslah diajukan permohonan hak.

Permohonan hak ini didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 6 Tahun 1972. Tindak lanjut dari permohonan hak adalah mendaftarkan hak atas tanah sebagaimana diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

30 Herman Soesangobeng, “Dasar-dasar dan strategi amendemen bagi penyempurnaan UUPA 1960”, Saran dan pendapat untuk amendemen UUPA pada Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah di Semarang, 14/11/2005, Unpublished, Jakarta, 2005, dalam Herman Soesangobeng,

“Menuju Penguatan Jaminan…, op. cit., hal. 20

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam Pasal 4 UUPA ditentukan tentang hak menguasai dari negara untuk menentukan ada macam-macam atas hak “permukaan bumi, yang disebut tanah”, dan hak ini dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan badan-badan hukum, hak atas tanah ini harus didaftarkan di kantor pendaftaran tanah setempat. Pendaftaran yang dimaksudkan selain akan bersifat Rechts Kadaster yaitu dalam arti suatu pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin “kepastian hukum”, juga merupakan “alat pembuktian yang kuat”.

Sebagaimana dinyatakan Chadidjah Dalimunthe,

Pasal 19 UUPA menyebutkan, bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah harus didaftarkan Pendaftaran Tanah berfungsi untuk meindungi pemilik. Di samping itu pendaftaran tanah juga berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya, dengan kata lain pendaftaran tanah bersifat land information system dan geografis information system.31

Menurut Boedi Harsono, pendaftaran tanah (land registration) adalah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.

32

Kemudian menurut Suardi, pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,

31 Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Indonesia dan Permasalahannya, Universitas Sumatera, Medan, cetakan ketiga, edisi revisi, Februari 2005, hal. 169.

32 Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prenhalindo, Jakarta, 2001, hal. 80

berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.33

33 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hal. 141.

Dalam kegiatan pendaftaran tanah memelihara data fisik dan data yuridis.

Yang dimaksud dengan data fisik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1977 yang menyatakan bahwa data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku, baik pada waktu Pemerintahan Hindia Belanda dahulu maupun setelah negara Republik Indonesia diproklamirkan, maka semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia harus terdaftar, dengan tujuan pokok sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu:

Berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku, baik pada waktu Pemerintahan Hindia Belanda dahulu maupun setelah negara Republik Indonesia diproklamirkan, maka semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia harus terdaftar, dengan tujuan pokok sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu:

Dokumen terkait