• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

NOVI SRI WAHYUNI 057011064 / MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 0 7

SEK O L A H PA

SCA S AR JANA

(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

Dalam Program Studi Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

NOVI SRI WAHYUNI 057011064 / MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 7

(3)

SISTEM PUBLIKASI NEGATIF YANG BERTENDENSI POSITIF DALAM PENDAFTARAN TANAH

Nama Mahasiswa : NOVI SRI WAHYUNI Nomor Pokok : 057011064

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N.

Anggota

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum.

Anggota

Dr. Pendastaren Tarigan, S.H.,M.S.

Mengetahui:

Ketua Program Magister Kenotariatan

Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc.

Tanggal Lulus: 30 Juni 2007

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.

2. Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S.

3. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.

4. Chadidjah Dalimunthe, S.H., M.Hum.

(5)

iv

Muhammad Yamin 2) Syafruddin Kalo 2) Pendastaren Tarigan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan, harus memenuhi persyaratan: surat permohonan, fotokopi KTP atau identitas diri pemohon, fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa jika permohonannya dikuasakan, fotokopi SPPT PBB tahun berjalan, dan bukti tertulis hak atas tanah yang asli. Semua fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Setelah surat keputusan penegasan hak atas tanah

2)

INTISARI

Salah satu perwujudan pembangunan di bidang materi hukum, adalah produk legislatif yang diundangkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA) yang bertujuan untuk mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan pengalihan hak atas tanah, dalam rangka menunjang berbagai kegiatan pembangunan, terutama pembangunan di sektor pertanahan nasional. Demi menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di Indonesia, pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, yang disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA, untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu PP No. 10 Tahun 1961 yang kemudian dikeluarkanlah PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dimana dalam peraturan ini, sistem yang dianut adalah “sistem publikasi negatif yang bertendensi positif”, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Namun, sertifikat itu bukan sebagai alat bukti yang mutlak, sehingga sertifikat tanah yang telah diterbitkan masih terbuka peluang untuk dilakukan gugatan pembatalannya. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang prosedur pelaksanaan pendaftaran tanah Hak Milik di BPN Kota Medan, dan meneliti kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah, serta upaya mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria dengan alat pengumpulan data studi dokumentasi dan pedoman wawancara kepada informan di instansi terkait.

1) Mahasiswa strata-2, Program Magister Kenotariatan (M.Kn.), Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

2) Dosen Program Magister Kenotariatan (M.Kn.), Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

(6)

v

buku tanah dan diterbitkan sertipikat masih selalu dihadapi kemungkinan pihak yang didaftar kehilangan tanah yang dikuasainya karena digugat oleh pihak pemegang hak yang sebenarnya (nemo plus iuris). Walaupun dalam ketentuan/putusan-putusan Mahkamah Agung ada lembaga rechtverwerking, yang merupakan tambahan sarana pengaman yang berbentuk tertulis, dan kemudian diadakannya ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, yang memberikan batasan atas suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertipikat secara sah maka pihak lain yang merasa mempunyai hak tidak dapat lagi menuntut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, ketentuan substansi PP ini secara mandiri tanpa landasan ketentuan undang-undang menentukan sesuatu yang mempunyai akibat hukum terhadap keperdataan seseorang atau badan hukum yang merupakan materi undang- undang. Sehingga sering menimbulkan sengketa bidang tanah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif bertendensi positif dalam pendaftaran tanah adalah dengan sistem administrasi yang baik dan penelitian data fisik maupun data yuridis yang benar, sehingga substansi Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 tidak menimbulkan masalah hukum, karena kemungkinan ditemukan adanya bukti baru mengenai data fisik dan yuridis dalam proses perbuatan sertipikat yang mengakibatkan sertifipikat tersebut dapat dibatalkan. Sistem administrasi dan ketelitian data fisik dan yuridis diterima sebagai data yang benar adalah baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Selanjutnya substansi Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pernyataan setelah 5 (lima) tahun sertipikat tidak dapat digugat lagi, diupayakan dijadikan substansi (porsi) undang-undang, sehingga kedudukannya menjadi kuat, karena undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama (lex posteriori derogat lex priori).

Disarankan kepada Badan Pertanahan Nasional agar setiap proses pendaftaran tanah diumumkan secara terbuka sehingga pihak yang berkepentingan dapat mempertahankan haknya

Kata kunci: : - Pendaftaran tanah

- Sistem publikasi negatif bertendensi positif

(7)

vi

Muhammad Yamin 2) Syafruddin Kalo 2) Pendastaren Tarigan

Result of research indicate that land registration for the first time (pendaftaran hak milik) in Office Body Land of National (BPN) Medan City, have to fulfill conditions: letter of intention, photocopy of KTP or applicant self identity, photocopy of KTP or self identity receiver of power accompanied by

2)

ABSTRACT

One of the materialization of development in items area punish is legislative product which invited in Law Number 5 Year 1960 about Regulation of specifics base of agraria (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA) with aim to control usage, domination, ownership of land and transfer of land right, in order to supporting various activity of development, especially development in sector land of national. For the shake of guarantying rule of law to rights of land in Indonesia, government obliged to carry out land registry in all Republic of Indonesia region, which is mentioned in Section 19 sentence ( 1) UUPA, to guarantee rule of law by Government performed by land registry in all Republic of Indonesia region according to arranged rule with regulation of government (peraturan pemerintah) that is Regulation of Government number 10 Year 1961 (PP No. 10 Tahun 1961 )which is then published by Regulation of Government number No. 24 Year 1997 (PP No. 24 Tahun 1997) about Land Registration. Where in this regulation, system the embraced is "negative publication system which is have positive mainstream to" (sistem publikasi negatif bertendensi positif), because will yield rights the proof acting as strong verification appliance. But, that land certificate not as a means of absolute evidence, so that land certificate which have been published to leave open opportunity to be conducted by suing so that become cancellation. Is therefore conducted by research about procedure execution of land registration property in Body Land of National (Badan Pertanahan Nasional/BPN) Medan City, and check weakness negative publication system which is have positive mainstream to in land registration, and also strive to overcome weakness negative publication system which is have positive mainstream to land registration.

This research have the character of analytical descriptive by using method approach of juridical normative, that is approach of law seen Law Number 5 Year 1960 about regulation of specifics of agrarian (UUPA) by means of data collecting of documentation study and guidance of interview to informant in related institution.

1) Student of Magistrate of Notary, Postgraduate Study, Sumatera Utara University, Medan.

2) Lecturer of Magistrate of Notary, Postgraduate Study, Sumatera Utara University, Medan.

(8)

vii

publication system have positive mainstream to, that determining validity or its do not a rights and also its switchover is its validity of deed of conducted law, non its registration. Hence although have been enlisted in land book and published by certificate still always faced by possibility of enlisted party losing of mastered land, because sued by right owner party which in fact (nemo plus juris)).

Although in Supremacies Court (Mahkamah Agung) decisions there is institute of rechtverwerking, representing peacemaker medium addition which in form of written, and then performing of Section 32 sentence (2) regulation of government number 24 Year 1997, giving a limit to a land area which have been published by certificate validly hence other party which feel to have rights cannot again claim if during 5 (five years) since publishing of that certificate do not raise objection in writing to owner of Chief Land and certificate or bring a lawsuit to the court to justice. But, rule of this regulation of government self-supportingly without basis for rules and regulations determine something that have legal consequences to civil of legal body or someone representing law items. So that often generate land area dispute decided by Supremacies Court (Mahkamah Agung). Effort able to be conducted to overcome weakness of negative publication system have positive mainstream to in land registry is with good administrate system and research of physical data and also juridical data real correct, so that Section 32 PP No. 24 Year 1997 do not generate the problem of law, because possibility found by the existence of new evidence regarding physical data and of juridical in course of certificate deed resulting the certificate can be canceled. Administrate system and correctness of physical and juridical data accepted as by real correct data is goodness conducting deed of everyday law and also in at law in justice.

Hereinafter Section 32 sentence (2) PP 24 Year 1997 about statement after 5 (five years of certificate cannot be sued again, strived to be to be made by substances of law, so that domiciling it become strength, because new law of old law ones (lex priori derogat lex posteriori).

Its suggested to Body Land of National (BPN) to be each land registry process announced openly so that the interested parties can maintain its rights.

Keywords: : - Land registration

- Negative publications system have positive mainstream to

(9)

viii

panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan anugrah-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini, bukan karena kepintaran ataupun kemampuan saya, melainkan dengan segala keterbatasan yang dimiliki, tetapi karena limpahan karunia-Nya sehingga menambah keyakinan dan kekuatan dalam mengikuti perjalanan panjang dalam penyelesaian studi ini.

Judul tesis ini “TINJAUAN HUKUM TERHADAP KELEMAHAN SISTEM PUBLIKASI NEGATIF BERTENDENSI POSITIF DALAM PENDAFTARAN TANAH yang mana merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., atas kesediaannya dalam membantu memberikan bimbingan, petunjuk serta arahan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada para dosen penguji di luar komisi pembimbing, yaitu yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Chairani Bustami, S.H., Spn., M.Kn., dan Ibu Chadidjah Dalimunthe, S.H., M.Hum.

yang telah berkenan memberi masukan, petunjuk dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil

(10)

ix

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum juga mantan Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana atas bantuan dan memberikan kesempatan serta kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Iman Jauhari, S.H., M.Hum., serta seluruh Bapak/Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada program Magister Kenotariatan atas jasa dan budi baiknya dalam membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(11)

x

dengan sepenuh hati dan memberi senyuman yang terbaik kepada penulis, terutama saran guna memperlancar manajemen administrasi yang dibutuhkan.

7. Bapak Jokiaman Limbong, S.H., selaku Kepala Urusan Perencanaan dan Keuangan, dan Bapak Syafruddin Chandra, S.H., Sp.N., M.Kn., selaku Staf Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan, atas kemurahan hati dalam memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik di BPN Kota Medan.

8. Notaris Wanda Lucia, S.H., Sp.N., yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi data yang penulis perlukan demi kelancaran penulisan tesis ini.

9. Bapak Dr. Januari Siregar, S.H.,M.Hum., selaku Advokat atas kemurahan hari memberikan bantuan dan masukan data yang diperlukan penulis demi kelancaran penulisan tesis ini.

10. Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, khususnya rekan- rekan sekelas di Grup B-2005 maupun rekan-rekan seangkatan umumnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang selalu memberikan bantuan semangat, dorongan, dan motivasi kepada penulis dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Kenotariatan (M.Kn) ini.

11. Ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam penulis sampaikan kepada Bapak Adem Panggabean dan Bapak Parlindungan Panjaitan dari Prima Komputer atas dukungan dan bantuan kepada penulis yang secara ikhlas tanpa mengenal lelah demi penyelesaian penulisan tesis ini.

(12)

xi

pula memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik.

13. Kepada keluarga besar Nenek Hj. Siti Zaenab untuk nasehat dan do’anya, Bapak Ian, Bapak Heru untuk supportnya, bik Yus, bik Yanti dan om Dani serta yang terkhusus buat bik Dra. Nani Sundari, MAP., untuk dorongan, masukan baik moril dan materil sehingga penulis dapat survive menyelesaikan tesis ini.

14. Kepada saudara dan sepupu (Ari, Dodi, Nana, Yudi, Ilham dan Rara), terima kasih untuk dukungannya.

Teristimewa dengan tulus hati penulis ucapkan terima kasih kepada kepada kedua orang tua yang selalu mengasihiku, Papanda yang terkasih Alm. Jaka Hadi Mulya dan Ibunda yang tercinta Hj. Nurlina, yang selalu

memberikan limpahan kasih sayang, cinta kasih serta telah memberikan semangat, haturan do’a dan membimbing penulis untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, dukungan moril dan materil serta memberikan segala yang penulis butuhkan.

Ucapan terima kasih yang tulus dan rasa sayang juga penulis ucapkan kepada abangnda Budi Setiawan, S.Sos., dan adinda Sry Wulandari yang sedang menyelesaikan perkuliahan di Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, serta malaikat kecil Viola dan abangnda yang terkasih T. M. Ali Bahar untuk do’a dan semangatnya mendukung dan memotivasi serta memberikan bantuan moril dan materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) ini.

(13)

xii

dan dukungan kepada penulis selama proses penyelesaian tesis ini. I Love you all.

Medan, Juni 2007 Penulis,

Novi Sri Wahyuni

(14)

xiii I. Identitas Pribadi

Nama : Novi Sri Wahyuni

Tempat/Tgl. Lahir : Medan / 30 Agustus 1983 Status Pernikahan : Belum Menikah

Alamat : Jl. S.M.Raja Gg. Sepakat No.18 Medan

II. Orang Tua

Nama Ayah : Alm. Jaka Hadi Mulya Nama Ibu : Hj. Nurlina

III. Pendidikan

1. SD. Yapena 45 Medan : Tamat Tahun 1996 2. SMP Negeri 1 Medan : Tamat Tahun 1999 3. SMU Negeri 15 Medan : Tamat Tahun 2001 4. S-1 Fakultas Hukum UISU : Tamat Tahun 2005 5. S-2 Magister Kenotariatan (M.Kn.) SPs-USU : Tamat Tahun 2007

Medan, Juni 2007 Penulis,

Novi Sri Wahyuni

(15)

xiv

Agrarische betrekkingen : Hubungan keagrarian

Beheer : Penguasaan

Beschiking recht : Hak pertuanan

Bezit : Hak wenang pilih

Boundary : Batasan hak

Contigenten : Perbuatan dagang

Continues recording : Pemantauan terus menerus data tanah Contradictoire delimitatie : Batas-batas tanah yang ditetapkan pemilik Corpus civilis : Hak keperdataan orang atas tanah

De facto : Hak milik yang diperoleh karena kedudukan sebagai warga negara De jure : Hak milik yang sudah dilindungi negara

atau diatur hukum

Domain : Hak milik

Dominium eminens : Hak milik

Dubius : Penafsiran mendua

Eigendom : Hak milik

Erfpacht : Hak guna bangunan

Examiner of title : Pemeriksa alas hak Exploitation de I’homme par

I’homme

: Tanah tidak menghasilkan sementara sewanya sudah dinikmati pemilik

Gebruikrecht : Hak pakai

Genoorsrecht : Hak menikmati

Indefeasible title : Hak yang tidak dapat diganggu gugat Individuelle bezitrecht : Hak milik adat

Jus ad rem : Hak mempunyai

Jus in re : Hak yang lebih kuat/hak milik Jus possidendi : Hak mempunyai

Land parcels : Bidang-bidang tanah (data fisik) Land registration : Pendaftaran tanah

Land tenure : Pengaturan pemanfaatan tanah Landreform : Pendaftaran tanah

Leverentien : Perbuatan dagang

Levering : Penyerahan

Lijdelijk : Bersikap pasif

Memo plus yuris in alium treansferre potest quamipse habet

: Orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri punyai

Occupare : Hak wenang pilih

Opstal : Hak guna usaha

Overeenkomsten waarbij grond betrokken is

: Perjanjian yang ada hubungan dengan tanah

(16)

xv

Rechts betrekling : Pertalian hukum

Rechts kadaster : Pendaftaran hak-hak atas tanah Rechtsgemeenschappen : Masyarakat hukum adat

Rechtsgemeenschappen : Orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak menjadi pemilik tanah Rechtsverwerking : Lembaga hukum adat

Rechtsvoorganger : Pemberian hak sebelumnya Registration of deeds : Pendaftaran akta

Registration of titles : Pendaftaran hak

Religious magis : Sifat keagamaan / restu raja Right of disposal : Dapat dialihkan

Right to use : Hak mempergunakan

Sivil : Hak wenang pilih

Verjaring : Lampau waktu

Voorkeursrecht : Hak terdahulu

(17)

xvi

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGUJI ... iii

INTISARI ... iv

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xiv

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka teori ... 11

2. Konsepsi ... 35

G. Metode Penelitian ... 37

BAB II : PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA ... 40

A. Asas, Tujuan dan Objek Pendaftaran Tanah ... 40

B. Hak-hak Atas Tanah ... 48

C. Prosedur Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak Milik di Kantor Pertanahan ... 74

BAB III : KELEMAHAN SISTEM PUBLIKASI NEGATIF BERTENDENSI POSITIF DALAM PENDAFTARAN TANAH ... 80

A. Sistem Publikasi Negatif Bertendensi Positif ... 80

B. Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Bertendensi Positif Dalam Pendaftaran Tanah ... 95

(18)

xvii

A. Penggunaan Asas Pendaftaran Tanah Dalam

Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan ... 110

B. Upaya Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Bertendensi Positif Dalam Pendaftaran Tanah ... 130

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA ... 153

(19)

1 A. Latar Belakang

Pembangunan di bidang hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi pembangunan materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, serta budaya hukum sebagai perwujudan negara hukum yang lebih menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk menciptakan masyarakat yang tertib, aman dan tentram.

Salah satu perwujudan pembangunan di bidang materi hukum, adalah produk legislatif yang diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok agraria selanjutnya disingkat UUPA yang bertujuan untuk mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan pengalihan hak atas tanah, dalam rangka menunjang berbagai kegiatan pembangunan, terutama pembangunan di sektor pertanahan nasional.

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang langsung untuk kehidupannya seperti misalnya untuk bercocok tanam guna mencukupi kebutuhannya (tempat tinggal/perumahan), maupun untuk melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya.1

1 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbi IBLAM, Jakarta, 2005, hal. 1.

(20)

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang setiap tahun menunjukkan angka kelahiran yang terus meningkat, maka semakin kompleks pola hubungan yang terjalin antara manusia yang satu dengan lainnya, dan manusia dengan badan hukum. Dinamika dan kebutuhan manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan selalu mengalami perubahan serta berkembang dengan cukup pesat, membutuhkan fasilitas untuk mempertahankan kehidupannya, khususnya tanah dan rumah untuk tempat berlindung.

Hal lainnya yang menyebabkan semakin pentingnya kepemilikan tanah untuk manusia yang semakin pesatnya teknologi dewasa ini, sehingga pendayagunaan tanah untuk kepentingan usaha dan pendirian bangunan untuk berbagai kepentingan semakin meningkat pula. Akibatnya, kebutuhan akan tanah mengakibatkan jumlah penduduk yang ingin mendayagunakan tanah tidak seimbang dengan keadaan tanahnya. Tanpa adanya peraturan yang tegas, maka tanah sering menjadi malapetaka bagi manusia, baik disebabkan perebutan hak, yang menimbulkan perselisihan atau pendayagunaan yang salah.

Demi menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di Indonesia, pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”.

(21)

Pendaftaran tanah yang dimaksud tersebut diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA yang meliputi:

a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tertentu;

c) pemberian surat-surat bukti, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kemudian dalam Pasal 23 UUPA dinyatakan, hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebasannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.

Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 32 UUPA mengatur pendaftaran hak guna usaha, dan Pasal 38 UUPA mengatur pendaftaran hak guna bangunan.2

Dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah kepada para pemegang hak atas tanah diberikan surat tanda bukti hak, dengan surat bukti tersebut

2 Lihat, UUPA:

Pasal 23:

(1) Demikianlah pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebasannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 32:

(1) Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna usaha serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 38:

(1) Hak Guna Bangunan termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

(22)

seseorang dengan mudah dapat membuktikan bahwa dialah yang berhak atas tanah yang bersangkutan.

Perbuatan hukum pendaftaran tanah merupakan suatu peristiwa yang sangat penting, karena menyangkut dengan hak keperdataan seseorang atau badan hukum. Hak keperdataan adalah merupakan asasi seseorang manusia atau badan hukum yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh sesama manusia lainnya yang bertujuan untuk adanya kedamaian dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan yang dengan adanya pendaftaran tanah tersebut, maka akan mendapat jaminan akan kepastian hukumnya. Hal ini merupakan jabaran dari adanya asas publisitas dengan adanya pendaftaran tanah tersebut.

Menurut Pitlo yang dikutip Abdurrahman, menyatakan:

Bahwa pada saat dilakukannya pendaftaran tanah, maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itulah pihak-pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.3

3 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 23.

Pendapat tersebut menegaskan kembali bahwasanya pendaftaran tanah tersebut sangat penting dalam hubungannya dengan hak perdataan seseorang individu di dalam masyarakat. Dengan adanya pendaftaran tanah akan diharapkan bahwa seseorang akan merasa aman, tidak ada gangguan terhadap hak atas tanah yang dipunyainya.

(23)

Dalam hal pendaftaran tanah dikenal beberapa sistem pendaftaran yang dianut banyak negara yang telah menyelenggarakan pendaftaran tanah, di antaranya:

a. Sistem Positif

Sistem positif dalam pendaftaran tanah menyatakan bahwa apa yang tercantum dalam buku tanah dan surat bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat bukti mutlak. Jika pihak ketiga bertindak berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka dia mendapat perlindungan mutlak walaupun kemudian hari ternyata bahwa keterangan yang tercantum di dalamnya tidak benar. Oleh karena itu, pelaksanaan pendaftaran tanah berperan aktif menyelidiki dengan teliti apakah hak atas tanah dapat didaftar untuk nama seseorang.4

b. Sistem negatif

Menurut sistem negatif, sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak yang kuat. Artinya semua keterangan yang terdapat dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain. Bila kemudian hari ternyata keterangan dalam sertifikat itu tidak benar, maka berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, sertifikat tersebut dapat diadakan perubahan seperlunya.5

4 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005.

5 Ibid., hal. 149.

(24)

Pendaftaran tanah dengan sistem negatif yang dianut oleh UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ternyata tidak memberikan jaminan akan adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang telah dimiliki seseorang khususnya dalam pembahasan ini sertifikat tanah.6

Hal ini berarti bahwa sertifikat tanah tersebut belum merupakan suatu jaminan yang kuat bagi seseorang sebagai pemilik atas sebidang tanah.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1975 Nomor: 459/Sip/1975 telah menentukan bahwa: “Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apalagi ketidak absahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain”.

Karena terhadap sertifikat tanah yang telah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional tersebut masih terbuka peluang untuk mengajukan gugatan pembatalannya ke Pengadilan.

7

Sebagai penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut, maka kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana dalam Peraturan ini, sistem yang dianut dalam pendaftaran tanah di Negara Republik Indonesia adalah “sistem publikasi negatif yang bertendensi positif”. Sebagaimana

)

6 Lihat, Muhammad Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 132, yang menyatakan: Memang dalam UUPa tidak pernah disebut, Sertifikat Tanah namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 disebutkannya “Surat Tanda Bukti Hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai sertifikat tanah. Dan penulisan di sini membuat pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertifikat.

7 A.P. Perlndungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 8.

(25)

dinyatakan dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu:

Dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat- surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.8

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, di dalam mengatasi sistem publikasi negatif menekankan pada upaya penguatan di dalam pengumpulan dan pengolahan data fisik dan data yuridis. Data fisik pendaftaran tanah berupa bidang-bidang tanah (land parcels), sedangkan data yuridis adalah segala sesuatu yang melekat di atas tanah, misalnya status hukum atas tanah, riwayat tanah, pemilik tanah, baik perseorangan maupun badan hukum privat maupun publik dan instansi Pemerintah. Secara formal telah dilaksanakan di seluruh Indonesia sejak tanggal diberlakukan peraturan tersebut.9

Pendaftaran tanah yang dilakukan pemerintah masih saja terjadinya konflik, yang mana bila dilihat subtansinya, konflik pertanahan tersebut meliputi pokok persoalan yang berkaitan dengan peruntukan dan atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah, keabsahaan suatu hak atas tanah, prosedur pemberian hak atas tanah, dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya.

8 Ibid., hal. 17.

9 Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional Pada Seminar Tentang Efektifitas Lembaga “Rechtsverwerking” Dalam Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Negatif, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti Tanggal 20 Maret 2002 di Jakarta, hal. 3-4.

(26)

Menurut Rusmadi Murad sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara dua atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadilan.10

Penyelesaian sengketa hukum hak atas tanah merupakan sebagian tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Kantor Pertanahan Nasional melalui pengaturan penguasaan tanah yang dilaksanakan melalui prosedur dalam pemberian hak atas tanah. Dari kewenangan tersebut di atas, walaupun secara tegas tidak diatur, akan tetapi wewenang untuk memberikan hak-hak atas tanah (Pasal 16 UUPA)11

Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah kepada pemegang hak atas tanah diberikan tanda bukti haknya sesuai dengan data yang ada di kantor pendaftaran tanah. Berdasarkan tanda bukti hak tersebut seseorang dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas tanah tersebut. Data yang telah ada di kantor pendaftaran tanah mempunyai sifat “terbuka” bagi adalah pada Negara Republik Indonesia cq.

Pemerintah Republik Indonesia, yang dalam hal ini Kantor Pertanahan sebagai kantor pendaftaran tanah. Dengan demikian, wewenang pemberian hak atas tanah tersebut dilakukan oleh Negara dengan akibat hukumnya antara lain bahwa setiap perselisihan/sengketa hak atas tanah adalah merupakan tugas Negara untuk menyelesaikannya dalam kedudukannya sebagai pelaksana fungsi administrasi.

10 Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Hak Atas Tanah, Alumni, Bandung, hal. 12, dalam Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Edisi Revisi, Tugujogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, hal. 8

11 Pasal 16 ayat (1) UUPA, yang menyatakan: Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil-hutan, h. hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

(27)

umum yang memerlukan. Dengan demikian calon pembeli dan calon kreditur dengan mudah bisa memperoleh keterangan yang diperlukannya guna mengamankan perbuatan hukum yang akan dilakukan, baik yang diperolehnya dari pihak pejabat pertanahan maupun dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.12

B. Permasalahan

) Namun yang menjadi persoalan sejauhmana kebenaran terhadap data yang disajikan, dan sejauhmana hukum melindungi kepentingan orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah-tanah yang haknya sudah didaftar berdasarkan data yang disajikan kantor pendaftaran tanah atau surat bukti hak yang dikeluarkan oleh kantor pendaftaran tanah jika kemudian data tersebut tidak benar. Hal inilah yang menjadi latar belakang masalah sehingga perlu dikaji tentang tinjauan yuridis terhadap kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah.

Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan pendaftaran tanah Hak Milik di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan?

2. Apakah yang menjadi kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah?

3. Bagaimana mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah?

12 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta,2003, hal. 80.

(28)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang prosedur pelaksanaan pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Medan.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan yang menjadi kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dalam pendaftaran tanah.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terutama hukum pertanahan.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan pertanahan bagi aparat pemerintahan yang terkait.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Yang Bertendensi Positif Dalam Pendaftaran Tanah” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini dapat dinyatakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

UUPA dimaksudkan oleh pembuatnya untuk membawa lebih banyak kepastian-kepastian hukum. Hal ini telah ditegaskan berulang-ulang. Antara lain dapat disaksikan pertimbangan dalam konsiderans yang mengemukakan bahwa hukum agraria penjajahan bagi rakyat asli “tidak menjamin kepastian hukum”. Kata-kata ini diulangi lagi dengan lengkap dalam Memori Penjelasan.13

Hak-hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA serta hak-hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya. Hak-hak atas tanah itu pokok-pokok ketentuannya ada dalam Pasal 4, 9, 16 dan BAB II UUPA.14

Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum. Dengan adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain. Untuk hal-hal tersebut umpamanya dapat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli, tukar menukar dan lain-lain.15

13 Sudargo Gautama, 1989, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, hal. 13.

14 Boedi Harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta:

Universitas Trisakti, hlm. 41.

15 K. Wantjik Saleh, 1980, Hak Anda Atas Tanah. Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 17.

(30)

Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah, dengan kata lain yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh dan luas (semua macam hak) adalah warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, yakni untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.

Sedangkan yang bukan warganegara Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi sekali, hanyalah hak pakai dan hak sewa saja. Mengenai badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai semua macam hak atas tanah kecuali hak milik terbatas pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundangan saja.16

Mengenai lahirnya hak atas tanah, dimulai karena adanya hubungan dan kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen). Artinya, orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak menjadi pemilik tanah atau melakukan hubungan hukum melepaskan hak tanah atau menyerahkan tanah kepada orang asing. Orang asing atau mereka yang bukan anggota warga persekutuan, hanya berhak mendapatkan hak mengolah tanah dan menikmati hasil tanah persekutuan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat.17

Anggota warga persekutuan hukum yang ingin memiliki tanah dengan hak milik, terlebih dahulu memilih dan menetapkan bidang tanah yang akan diduduki dan dikuasainya. Hak untuk memilih dan menetapkan pilihan

16 Ibid, hlm. 17.

17 Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan Kepastian Hukum Atas Pemilikan, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah: Rekomendasi dan Masukan untuk Penyempurnaan Naskah KKPN”, Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Finalisasi KKPN-BAPPENAS Tanggal 6 Nopember 2006 di Jakarta, hal. 17.

(31)

bidang tanah dan pemberian tanda-tanda larangan untuk dikuasai itu disebut

“hak wenang pilih”. Hak ini adalah bukti awal pendudukan yang sama dengan occupare pada sistem hukum Romawi atau bezit pada hukum sivil Belanda. Dari hak wenang pilih ini orang harus menunjukkan penguasaan nyata berupa pemberian tanda-tanda batas setelah tanah dibersihkan menjadi lahan siap pakai. Pemberian tanda-tanda batas bidang tanah ini menyebabkan orang tersebut mendapatkan pengakuan masyarakat dengan hak yang lebih kuat lagi yaitu “hak terdahulu” (voorkeursrecht).18

Kemudian setelah tanah ditanami dan dibangun rumah tempat tinggal, maka ia memperoleh “hak menikmati” (genoorsrecht). Hak menikmati ini sama dengan “jus ad rem” pada hukum Romawi yaitu merupakan “hak mempunyai” yang peralihan haknya tidak harus dilakukan dengan tata cara

“mancipatie”. Setelah tanah ditanami atau didiami cukup lama maka lahir

“hak pakai” (gebruiksrecht). Hak pakai inilah yang merupakan dasar bagi pertumbuhan menjadi hak milik. Maka hak pakai adat ini dapat disamakan dengan “jus in re” dengan hak mempunyai yang sudah berakibat hukum yang dalam sistem hukum Romawi disebut “jus possidendi”.19

18 Ibid., hal. 17.

19 Sopomo, 1982, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Jambatan, Jakarta, dalam Herman Soesangobeng, loc.cit. lihat juga hal. 14, yang menyatakan, proses pertumbuhan kepemilikan hak milik itu, diawali dengan pendudukan nyata (occupare) oleh orang atas tanah. Pendudukan awal itu menyebabkan orang mendapatkan pengakuan hak awal yang masih lemah dan belum memiliki akibat hukum maka disebut “jus ad rem”, yaitu hak tanpa maksud (non usus) mempunyai (possessio). Setelah orang menunjukkan maksud atau niat (usus) menguasai dengan penuh, maka kekuatan haknya bertambah besar dan disebut hak mempunyai (jus possessionis). Selanjutnya setelah buku pendudukan bertambahan nyata dengan bukti penguasaan tetap yang menunjukkan niat memiliki, maka ia mendapatkan hak yang lebih kuat yang disebut “jus in re”. Pada tingkat ini kekuatan haknya mulai mendapatkan perlindungan hukum sehingga haknya disebut “jus possidendi”. Hak kepunyaan dengan pengakuan hukum oleh negara yang disebut “jus possidendi”

inilah yang kelak menjadi hak sempurna dan tertinggi dengan sebutan “domain”, setelah diberikan surat keputusan oleh negara/pemerintah (gubernaculum). Hak milik tertinggi dan sempurna oleh orang atas tanah itu disebut milik-Ind; ownership-Ingg; eigendom-Bld.;domain/dominion eminens- Latin. Hak milik inilah yang berisikan kemampuan, kekuasaan serta kewenangan bertindak orang sebagai subyek atas benda tetap (tanah) sebagai obyek.

(32)

Kemudian setelah tanah diwariskan kepada keturunannya, maka lahir hak yang terkuat dan terpenuh yang disebut “milik” atau “hak milik”. Hak milik inilah yang dapat disamakan dengan “dominium eminens” atau

“domain” pada teori sistem hukum Romawi. Hak milik ini disebut juga “hak milik adat”, yang dalam kepustakaan hukum Adat disebut individuelle bezitsrecht. Disebut demikian karena sistem hukum Hindia Belanda tidak mengakui keberadaan “hak milik adat”, sehingga pemerintah Hindia Belanda pun tidak mengakuinya sebagai hak yang sama kedudukan hukumnya dengan eigendom.20

Menurut pendapat Muhammad Yamin, sejarah kepemilikan tanah di Indonesia berbeda dengan sejarah kepemilikan yang dikenal di negara-negara kerajaan seperti Inggris dan Malaysia. Sekalipun belakangan Belanda memperlakukan model kepemilikan tanah sama seperti di negaranya, itu hanya karena keinginan Belanda untuk memudahkannya menguasai tanah di negara ini.

Sehubungan dengan misi dagangnya (leverentien dan contingenten). Belanda memperlakukan bahwa raja adalah pemilik tanah yang dikenal dengan teori

“semua yang terdapat di kolong langit adalah kepunyaan raja” sehingga ketika dia akan membutuhkan tanah mereka hanya menghubungi raja atau minta izin kepada raja agar mereka dapat menguasai tanah untuk kepentingan usahanya itu di negara ini.21

20 Ibid., hal. 18.

21) Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, 2 September 2006, Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 2

)

(33)

Tetapi untuk Indonesia, raja bukanlah pemilik tanah. Atas nama rakyatnya raja berkuasa untuk mengawasi dan memberikan tanah tersebut untuk mendukung kehidupan dan hidup rakyatnya sehingga rakyatnya benar-benar terayomi oleh kekuasaan raja saat itu. Dengan demikian, terdapat di beberapa daerah ada raja yang berkuasa, namun untuk kepemilikan tanah tetap menjadi milik bersama rakyat. Raja hanya sekedar melegalisasi tindakan rakyat terhadap penguasaan dan penggunaan tanah. Namun, karena bersama-bersama bertanggung jawab dalam memanfaatkan tanah untuk kehidupan masyarakatnya, lalu muncullah hubungan tak terpisahkan antara tanah dengan raja tersebut sebagai pertalian hukum (rechts betrekling). Hubungan ini terus melembaga sebagai hubungan religious magis.

Sehingga setiap ada tindakan terhadap tanah selalu harus dengan restu atau bahkan harus seizin raja untuk dapat dikerjakan tanpa ada diganggu manusia sekawasan atau makhluk lain. Bahkan untuk mengalihkannya pun harus tetap mendapat restu raja atas nama rakyat sekawasan. Dalam bahasa adat, untuk tindakan terhadap tanah harus dilakukan secara terang dan tunai. Maka tindakan yang berhubungan dengan tanah harus tetap minta izin dan dibuatkan secara terang, yang dilakukan di hadapan raja.

Tindakan terang dan tunai sebagai ciri khas tindakan dalam hukum adat mewarnai pola legalnya tanah tersebut diusahai atau dikelola oleh warganya sehingga sesama warga tidak saling mengambil lagi tanah yang sudah diusahakan oleh kawan sedesa atau sekawasannya. Bagi yang mengusahakannya pun akan selalu membuat tanda sebatas mana tanah itu dapat diusahakannya dan inilah yang akhirnya disebut hak kepemilikan komunal, yang lama kelamaan atas pertambahan keluarga dengan berbagai kepentingannya terhadap tanah lalu tanah yang komunal tadi terindividualisasi menjadi hak individu dari seorang warga

(34)

desa. Namun yang tidak diusahakan tetap menjadi kepemilikan bersama yang sifatnya terus sebagai hak masyarakat sekawasan atau sedesa dengan sifat kepemilikannya publiekrechtelijke dan yang terakhir diberi nama menjadi tanah ulayat. Tanah kaum atau oleh Belanda dahulu disebut dengan beshciking recht (hak pertuanan). Hingga sekarang untuk beberapa desa kepemilikan ini terpelihara dengan baik, dan kepemilikan demikian menjadi diakui sebagai hak atas tanah oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 22

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik secara individual.

)

23

Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau mengubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang.24

22) Ibid., hal. 2-3., lihat juga Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan…, op.

cit., hal. 21-22 Istilah hak ulayat, adalah istilah umum dalam kosa kata bahasa hukum adat di Minangkabau (Koesnoe, 1992, 1996, Ter Haar, 1927). Istilah itu digunakan untuk menggambarkan hubungan penguasaan, pengaturan, dan pemilikan tanah menurut hukum adat alam Minangkabau.

Konsep hak hak ulayat itu lalu mengatur hak dan kewajiban warga persekutuan hukum yang disebut ke dalamnya hak ulayat, dan hak serta kewajiban orang luar dan orang asing yang bukan warga persekutuan hukum. Subyek pengaturanya adalah masyarakat sebagai persekutuan hukum adat yang diwakili oleh para tua-tua adat yang disebut ninik mamak. Pada tingkat tertinggi, masyarakat sebagai persekutuan hukum adat adalah pemilik tanah. Obyeknya adalah tanah dalam lingkungan kuasa atau yurisdiksi teritorial masyarakat hukumnya. Penggunaan tanah diatur untuk kepentingan bersama, kerabat, keluarga, maupun perorangan secara pribadi. Maka subyek pemegang haknya bisa berupa persekutuan hukum desa, kerabat berupa suku-suku, keluarga berupa keturunan seorang ibu kanduang, ataupun perorangan secara pribadi.

23 Syafruddin Kalo, Eebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatra Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hal. 4

24 Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Prajnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 91.

Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam

(35)

hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dan tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi menggarapnya. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah hak ulayat.25

Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.26

Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi bahagian penting dari padanya. Apalagi memang saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap terpenuhi.

Tetapi dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang individual. Maka untuk menjaga keharmonisan atas kepemilikan yang makin lama menjadi kecil luas dan penguasaannya ini. Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah-tanah di tengah masyarakat maka pendaftaran tanah ini semakin menjadi tuntutan demi menjaga kepemilikan rakyat tadi. Sekalipun memang diakui bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi ciri dalam kepemilikan bersama namun karena secara alamiah kepemilikan bersama yang semakin runtuh, tuntutan mendaftarkan tanah ini menjadi hak atas tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah

25 Syafruddin Kalo, op. cit., hal. 4.

26 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Ada, Gunung Agung, Jakarta, 1984, hal. 201-202.

(36)

sudah menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang sifatnya keperdataan diakui sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan dan konsekuensinya pada si pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya.27

Dari teori lahirnya hak kepemilikan tanah seperti diuraikan di atas, terbukti bahwa semua sistem hukum menjadi kedudukan hukum para warganya sebagai pemilik tanah. Hukum pertanahan Adat Indonesia pun menjamin kedudukan warganya sebagai pemilik tanah. Kedudukan sebagai pemilik tanah itu, oleh warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum adat, adalah pertama-tama merupakan hak kepemilikan de facto yaitu hak milik yang diperoleh karena kedudukan sebagai warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum. Hak de facto itu, setelah diputuskan pengakuannya oleh negara/

pemerintah, maka lahirlah hak kepemilikan de jure. Artinya hak kepemilikan de jure adalah hak yang sudah dilindungi negara dan diatur oleh hukum harta kekayaan, sehingga penyerahan tanah atau peralihan haknya harus memenuhi tata cara khusus menurut ajaran hukum dan sesuai ketetapan undang-undang. Ajaran hukum itulah yang disebut ajaran lamanya waktu atau verjaring dengan ajaran penyerahan benda tetap yang disebut levering.28

Kemudian berdasarkan UUD 1945 karena kedudukan hukumnya sebagai warga negara Indonesia (WNI) secara otomatis menjadi pemilik tanah de facto.

Ketentuan umum kewarganegaraan yang diatur UUD 1945 itu kemudian dipertegas tujuan penggunaan tanahnya dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa tanah harus ditujukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

27 Muhammad Yamin, op. cit., hal. 3

28 Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan…, op. cit., hal. 19.

(37)

Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan:

(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 9 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan bahwa WNI adalah pemilik tanah, karena hanya WNI-lah yang berhak mempunyai hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Jadi baik UUD 1945 maupun UUPA, menetapkan bahwa WNI adalah pemilik tanah de facto atas tanah dalam wilayah negara RI. Hak milik de facto itu baru berubah menjadi hak milik de jure, setelah orang (WNI) tertentu menguasai dan mempunyai tanah dan haknya didaftarkan berdasarkan peraturan yang berlaku. Jadi dengan didaftarkannya tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka WNI yang semula merupakan pemilik tanah de facto, berubah menjadi pemilik tanah de jure yang dilindungi hukum Negara.29

(1) Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.

Adapun jenis hak yang dimilik WNI, adalah hak milik yang diatur dalam Pasal 20 UUPA 1960, bahwa:

(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Hak milik WNI, adalah hak milik seperti diatur dalam Pasal 20 UUPA, dan jenis- jenis hak lain yang dipunyai WNI sebenarnya merupakan hak keagrariaan yaitu

29 Herman Soesangobeng, “Perlindungan dan hak atas tanah komunitas adat terpencil”, Makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Diselenggarakan oleh Departemen Sosial R.I., Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, di Hotel Jayakarta, 25 Agustus 2004, Jakarta, Tanpa Penerbit, dalam Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan…, op. cit., hal. 19-20.

(38)

hak pakai. Hak pakai atas tanah itu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu (1) hak pakai tanpa batas waktu atau hak pakai selama tanah masih digunakan sesuai peruntukannya, dan (2) hak pakai selama tanah masih berdasarkan kesepakatan pemilik dengan pemakai. Dengan demikian jenis-jenis hak lain yang diatur dalam pasal 16 UUPA 1960 dan hak lainnya yang lahir karena keputusan Pemerintah seperti hak pengelolaan (HPL), semuanya harus hapus dan tidak digunakan lagi, karena bukan merupakan hak atas tanah. Jenis-jenis hak tersebut yang sudah ada seperti HGU, HGB dikonversi menjadi Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu saja.30

UUPA menegaskan bahwa hak menguasai dari negara ini memberi wewenang kepada pemerintah sebagai wakil dari negara untuk mengatur peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang

Jadi, menurut UUPA hak atas tanah tidak akan lahir hanya dengan menguasai atau menduduki/mempergunakan sebidang tanah, untuk lahirnya suatu hak atas tanah haruslah diproses menurut aturan yang berlaku. Kalau tanah yang dikuasai atau yang akan dikuasai merupakan tanah negara, maka untuk memperoleh suatu hak haruslah diajukan permohonan hak.

Permohonan hak ini didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 6 Tahun 1972. Tindak lanjut dari permohonan hak adalah mendaftarkan hak atas tanah sebagaimana diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

30 Herman Soesangobeng, “Dasar-dasar dan strategi amendemen bagi penyempurnaan UUPA 1960”, Saran dan pendapat untuk amendemen UUPA pada Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah di Semarang, 14/11/2005, Unpublished, Jakarta, 2005, dalam Herman Soesangobeng,

“Menuju Penguatan Jaminan…, op. cit., hal. 20

(39)

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam Pasal 4 UUPA ditentukan tentang hak menguasai dari negara untuk menentukan ada macam-macam atas hak “permukaan bumi, yang disebut tanah”, dan hak ini dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan badan-badan hukum, hak atas tanah ini harus didaftarkan di kantor pendaftaran tanah setempat. Pendaftaran yang dimaksudkan selain akan bersifat Rechts Kadaster yaitu dalam arti suatu pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin “kepastian hukum”, juga merupakan “alat pembuktian yang kuat”.

Sebagaimana dinyatakan Chadidjah Dalimunthe,

Pasal 19 UUPA menyebutkan, bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah harus didaftarkan Pendaftaran Tanah berfungsi untuk meindungi pemilik. Di samping itu pendaftaran tanah juga berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya, dengan kata lain pendaftaran tanah bersifat land information system dan geografis information system.31

Menurut Boedi Harsono, pendaftaran tanah (land registration) adalah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.

32

Kemudian menurut Suardi, pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,

31 Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Indonesia dan Permasalahannya, Universitas Sumatera, Medan, cetakan ketiga, edisi revisi, Februari 2005, hal. 169.

32 Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prenhalindo, Jakarta, 2001, hal. 80

(40)

berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan- satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.33

33 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hal. 141.

Dalam kegiatan pendaftaran tanah memelihara data fisik dan data yuridis.

Yang dimaksud dengan data fisik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1977 yang menyatakan bahwa data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku, baik pada waktu Pemerintahan Hindia Belanda dahulu maupun setelah negara Republik Indonesia diproklamirkan, maka semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia harus terdaftar, dengan tujuan pokok sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu:

1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.

(41)

2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan.

3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Bahkan UUPA memberikan sanksi terhadap mereka yang melalaikan untuk mendaftarkan tanah miliknya, sesuai dengan Pasal 15 dan 52 UUPA, yang menyatakan:

Pasal 15 UUPA:

Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban-kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Pasal 52 UUPA:

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-

(2) Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam Pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46, 47, 48, 49 ayat 3 dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-

(3) Tindak pidana dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.

Dalam hal pendaftaran tanah dikenal beberapa sistem pendaftaran yang dianut banyak negara yang telah menyelenggarakan pendaftaran tanah.

Sudah menjadi politik hukum agraria bahwa masalah pendaftaran tanah itu disesuaikan dengan sistem-sistem dan stelsel-stelsel hukum agraria dari negara-negara modern. Maka dalam melaksanakan pendaftaran hak-hak atas tanah rechtskadaster itu, dikenal sistem stelsel-stelsel pendaftaran sebagai berikut:34

34 Bachsan Mustafa dalam Y.W. Sumindo dan Ninik Widyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), cetakan I, Bumi Aksara, Jakarta, 1998, hal. 136.

(42)

1. Sistem Positif

Apabila orang sebagai subyek hak namanya sudah terdaftar dalam Buku Tanah, haknya mempunyai kekuasaan yang positif dan tidak dapat dibantah lagi.

2. Sistem Negatif

Apabila orang sebagai subyek hak namanya sudah terdaftar dalam Buku Tanah, haknya masih memungkinkan dibantah sepanjang bantahan-bantahan itu dapat dibuktikan dengan memberikan alat-alat bukti yang cukup kuat.

Sistem positif diterapkan di antaranya di Australia dan Thailand, sedangkan di Indonesia diterapkan sistem negatif dan bantah-bantahan dilakukan melalui Pengadilan Negeri setempat. Dalam pendaftaran hak-hak atas tanah dikenal dua stelsel, yaitu:35

1. Stelsel Specialliteit atau Sistem Spesialitas, ialah bahwa pendaftaran hak atas tanah (rechtskadaster) itu memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid).

2. Stelsel Openbaarheid atau Sistem Terbuka, ialah bahwa Buku Tanah itu terbuka untuk umum, jadi setiap orang, apakah ia WNI atau WNA, dapat minta diperlihatkan Buku Tanah untuk mengetahui kedudukan sebidang tanah dan dapat melihat hak-hak apa atau beban-beban apa yang terletak di atas bidang tanah tertentu.

Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak maka perlu adanya register atau buku tanah sebagai penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikat tanah sebagai surat tanda bukti hak.

Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register itulah yang membuat seseorang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan.

Dalam sistem publikasi positif orang dengan iktikad baik dan dengan pembayaran memperoleh hak dari orang yang namanya terdaftar dalam register memperoleh apa yang disebut indefeasible title (hak yang tidak dapat

35 Ibid., hal. 137

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis yang dilakukan pemetaan pada produk menunjukkan bahwa pada segi kondisi daya tahan produk, merek yang digunakan dan harga dengan pembanding

Mounting itu sendiri adalah menempelkan specimen herbarium pada kertas mounting atau merekatkan dengan menggunakan lem khusus yang telah diawetkan, adapun kertas

Hasil analisis tersebut dapat dikategorikan tentang perilaku siswa yaitu adanya perbedaan tingkat perilaku siswa antara SMKN 1 Pangkalan Kerinci (sekolah Adiwiyata)

Laut adalah sebagai faktor produksi utama di samping faktor produksi yang lain seperti kapal, dan sarana dan prasarana seperti kapal motor ,alat tangkap dan sebagainya

Franky Harryanto : Penentuan Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Pengukuran Waktu Dengan Menggunakan Metode Stopwatch Time Study Pada Bagian Packing Glycerine di PT.. Sinar

Penentuan (multi atribut) keputusan dan penelitian alternatif pemasok pada penelitian ini diperoleh dari wawancara langsung dengan pengambil keputusan dan personal langsung

Titik akhir titrasi adalah titik dimana terjadi perubahan warna pada indicator yang menunjukkan titik ekuivalen reaksi antara zat yang dianalisis dan larutan standar.. Pada